Minggu, 13 Oktober 2019

Terlatih Nomaden

Tujuh kali. Intensitas pindah yang dilakoni semasa menemani orang tua berkuliah di Inggris. Saat itu saya tidak mengerti apa-apa soal pindah. Acapkali orang tua meminta mainan untuk dibungkus dan dikemas, saatnya pindah telah tiba.

Selama kurun waktu 1993 hingga 1995, bermacam-macam rumah sudah pernah dicoba. Lengkap dengan dinamika yang terjadi semasa menempati tiap-tiap rumah. Dari mulai rumah dua tingkat, sharehouse, apartemen, rumah satu lantai, hingga paviliun sudah pernah dicicipi. Bersamaan dengannya, orang tua pun ingat bermacam-macan ulah anaknya yang masih belia itu.

Dari mulai jingkrak-jingkrak lantai yang mengganggu tetangga, menceburkan kamera, ketok-ketok pintu tengah malam, memakan karet panah mainan, ngemut baso dilepehin di selimut, hingga bersembunyi di lemari adalah beberapa ulah yang menggambarkan seorang Brian saat itu. Kadangkala, Bapak masih ingat  pula bagaimana realisasi berlainan dengan ekspektasi, saat melihat saya yang masih belum banyak paham itu hanya bereaksi dingin saat dibelikan mainan mobil mahal. Pada dasarnya, memang ketika menjalani pindahan lalu menempati suatu tempat, ada tiga hal yang dikenang dari seorang manusia: ulah, prestasi, dan tagihan.

Waktu berlalu begitu cepat, melebihi argo taksi mainan yang tidak nyala ketika baterenya habis. Tibalah saat pertengahan SMA, saya mulai belajar untuk menginap di luar rumah. Dengan membawa baju seadanya, membawa diri menjajal tantangan mabit adalah kenikmatan unik yang bercampur ketegangan. Masih ingat saya dimarahin pagi-pagi di Pindad karena beberapa kecerobohan saat presentasi. Begitulah bila menginap dipadukan dengan kaderisasi.

Masa menjelang akhir SMA, selepas menjalani dua hari berekspedisi di kawasan Tangkuban Perahu, saya  sangat menikmati arti perjalanan. Meskipun daerah gunung itu tersusun atas tebing curam berkabut dan batu-batu keras, lengkap dengan aroma belerang. Seusai perjalanan itu, saya sesumbar soal kesiapan untuk menjalani kuliah di daerah luar Bandung.

Ternyata saya masih memilih kuliah di Bandung, dengan mengikuti program kemitraan. Dalam program berdurasi tujuh minggu ini, setiap peserta diwajibkan untuk mendekam di asrama. Laki-laki dengan laki-laki, demikian halnya perempuan. Hanya saja, karena punya banyak urusan dengan teman-teman SMA, entah itu ambil ijazah atau bermain band, saya kerap curi-curi untuk bermalam di luar asrama.

Kenikmatan hidup di asrama antara lain adalah momentum belajar bersama, jajan berjamaah, hingga bergosip tentang para dosen. Masih terbayang enaknya sore jam lima seusai kuliah jajan supermi campur sosis, lalu berkelakar bersama teman-teman seasrama. Sesekali, saya juga turut menonton bioskop hingga melebihi jam malam. Setelah tujuh minggu berkesan itu usai, saya acapkali mendatangi asrama: entah untuk belajar atau curhat dengan teman-teman.

Lain halnya, ketika menetap lima minggu di Suralaya. Tak banyak teman yang dikenal, meskipun berbagi kantor yang sama. Tetapi momen keakraban mulai terjalin, saat bersama-sama menonton dangdut dan mengepulkan asap rokok. Saat ini saya sudah tujuh tahun berhenti merokok.

Mungkin, ada banyak saat-saat berpindah yang ingin saya utarakan. Tapi saat ini saya lebih ingin berbagi tentang awal masa mengenal pindah rumah dan akomodasi. Di titik saya mulai paham, bahwa kenangan berpindah tercipta tak hanya dari soal mengenali medan, namun juga mengikat emosi dengan orang-orang yang dijumpai dalam lingkaran waktu tersebut.

(bersambung ke Australia, benua yang belum pernah terjamah)

2 komentar:

  1. Kok nomaden?
    Terus kapannjadi permanen kak .Hehehe

    BalasHapus
  2. oh sorry baru baca. jadi permanen residen itu cukup costly chuy. wkwkwkw. setelah uang terkumpul yang jelas, yog

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...