Senin, 21 Oktober 2019

Tempat Ini Nikmat Untuk Tidur, Meski Bukan Rekreasi.

Istriku  tercinta,

Hari ini aku sudah tidur lebih pulas. Nafasku pun lebih lega. Kasur putih tempat berbaring ini rasanya tepat untuk melambangkan kedamaian. Sudah lama rasanya berbaring tak pernah senikmat ini. 

Aku memang tidak sendiri di sini. Berbagai macam orang kutemui, meski jarang kulihat mereka terbangun menyapa. Aku takkan bosan mengulangi, bahwa di sini adalah tempat yang paling nyaman untuk melampiaskan tidur yang tertunda lantaran serbuan beragam kesibukan. Kesibukan yang merampas waktu, perasaan, dan juga energi tak kasat mata yang menyangga tubuh ini. 

 Banyak yang mau membantuku, meski mereka bukan manusia. Tapi, aku tetap menghargai bantuan mereka, kendati mereka adalah benda mati yang sudah diprogram. Pipa-pipa yang mereka susun di sekitar lubangku bernafas, membuatku nyaman dan lupa akan luka yang aku goreskan sendiri pada tubuh ini. Ya, luka yang membuatku berbaring tidak berdaya, melampiaskan rasa kantuk sekaligus rasa sakit yang sering menjangkiti sekujur paru-paruku. 

Tetapi, entah mengapa sunyi tetap terasa, meski berlalu lalang orang di sini. Baik orang yang datang dengan berjalan, maupun yang berjalan terpapah dan yang sudah 'berjalan' ke alam lain. Aku masih ingat, sore hari kemarin kudengar tangisan di ranjang sebelahku. Tak henti-hentinya tetanggaku yang sedang berbaring diratapi oleh putrinya. Sesekali, putrinya meminta bantuan untuk meyakinkan bahwa ayahnya yang terbaring itu masih bisa bangun. 

Duhai istriku, apa kau saat ini sedang tersenyum? Bila demikian, berikanlah tatapmu yang hangat dan pancaran parasmu. Aku tak peduli seperti apa wajahmu kini, karena engkau masih sama seperti puluhan tahun lalu. Saat pertama kali aku datang pada orang tuamu untuk niat memulai hidup bersama. 

Tapi aku tahu, kau sudah beberapa langkah di depan, sayang. Aku terbaring di sini, setiap hari menanti kabar akan seisi badan yang bisa diajak damai. Meskipun sebaik-baik definisi perdamaian hanya diketahui oleh Yang Maha Kuasa. 

Nyatanya, meskipun di sini tenang dan sunyi, dengan hanya sesekali diiringi isak tangis, tetap cemas dan risau menyambangi. Anak-anak terlalu sibuk, sementara cucu kita masih kecil sehingga tidak boleh masuk kamar tidur ini. Kalaupun anak-anak berkunjung, hanya satu atau dua orang yang bisa masuk. Jika boleh meminta, ingin sekali aku berjalan barang sebentar. Dulu aku merasa sangat butuh tidur, di sela-sela kesibukan dan kepentingan yang tidak pernah berakhir. Sekarang aku leluasa untuk tidur, namun aku bosan, sayang. 

Kamar tempatku berada ini memang terdengar sangat menggambarkan kerinduan akan seseorang. Paling tidak bagiku saja, sayang. Jika kueja kembali nama kamar ini, terasa seperti 'aku melihatmu'. I see you.  Aku berharap semoga 'kamu' yang dimaksud kamar ini adalah orang yang tersayang. Termasuk kamu yang sudah berkemas beberapa tahun lalu. 

Maka, sayang. Izinkan aku menutup mata setelah berbagi beberapa tulisan tentang kamar ini kepada dirimu. Kapanpun engkau hendak membacanya, dari sudut manapun, dibaca selama apapun, sungguh hatiku akan senang. Karena aku tidak bisa melihat kehadiran dirimu saat ini. Tetapi, bisa saja aku mengetuk pintu rumahmu besok pagi, cintaku. Tepat ketika sinyal dalam kotak yang terhubung kawat dengan jantungku ini membentuk garis lurus.  Barangkali, saat itu tercipta jalan lurus untuk kita kembali bertemu. 

Aku tidur dulu, cintaku. Jika besok  bertemu denganmu, berlutut dan meminta maaf adalah hal pertama yang kulakukan. Takkan lagi aku membuat bibir ini terus berasap, hingga sulit untuk berdamai dengan paru-paruku. Mungkin besok ada isak tangis yang mengantarku pergi. Entah isak tangis bahagia ataupun kehilangan. 

(catatan: Latar cerita ini adalah ruang ICU)


4 komentar:

  1. Wow ICU jadi I see You tak pernah terpikirkan ๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah. Terima kasih mbak hen. Ayo bertukar gagasan.

    BalasHapus
  3. Istrinya udah meninggal jg kah mas

    BalasHapus
  4. Carita yang amat sangat mengalir. Tak perlu berpikir pun hanyut aku terbawa kata dan logika.

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...