Minggu, 06 Oktober 2019

BALADA PENUMPUK BUKU (Fiksi)

"Mas Iwa, jadi ini hasilnya menggadaikan laptop?"
"Iya, Yusri. Daripada ngupdate software terus, mbok ya update otak dulu. Mumpung lagi diskon gila-gilaan kemarin, cak."
"Mas yakin bisa kebaca semua setahun ini?"
"Kalaupun ada yang ndak kebaca, paling jual di lapak atau kasih ke perpustakaan. Yang penting, gairah sastrawan dan pegiat literasi harus terpenuhi dulu"

Aku turut merasakan antusiasnya  Mas Iwa. Betapa banyak judul karya-karya sastra ternama Indonesia yang kini akan memenuhi lemarinya. Barangkali, ini memang 'efek samping' yang memukau dari seminar membaca cepat yang diikuti beliau tiga bulan silam.  Tak sepatutnya pula kupertanyakan tekad beliau untuk mengganti jatah waktu bermain sosial media dengan menggali buku-buku berkelas. Sekalipun aku masih penasaran, berapa banyak waktu per hari yang akan dihabiskan untuk meresapi buku-buku yang dibawanya dalam kantong seukuran 2 karung beras tersebut?

Selang 1 minggu semenjak pertemuan dengan beliau, kucoba habiskan seperenam gaji bulananku untuk mendalami buku-buku semiotika dan keselamatan lalu lintas. Tuntutan profesi sebagai mandor konstruksi jalan, mendorongku untuk mendalami bagaimana menampilkan simbol apa yang membuat pengguna jalan lebih peka dalam membaca marka lalu lintas. Aku sudah lelah berulang kali harus bekerja sama dengan polantas dalam menangani kasus pelanggaran dan pengaduan kecelakaan. Dari mulai yang konyol semacam ibu-ibu atau ABG ugal-ugalan yang bawa motor berlainan arah, hingga kejadian tragis seperti tru terguling karena salah membaca rambu sudah jadi sarapan sehari-hari. Sarapan yang mulai membuatku mual bercampur air mata ironi. 

Sayang sungguh disayang, setiap malam mataku harus rela memerah. Setiap buku yang dibeli baru bisa kubaca setelah jam 9 malam, ataupun dini hari sebelum Shubuh. Itupun tidak semuanya bisa langsung melekat di otak. Pikiran sudah kadung campur aduk dengan rencana kerja harian, laporan kasus di lapangan, hingga segala perubahan di jalanan yang harus diantisipasi. Tak pelak, setelah 2 minggu kuterapkan rutinitas seperti Mas Iwa, berkunjung ke dokter mata pun harus disempatkan. 

Sambil menahan jangar ketika menerawang hasil tes yang menunjukkan penurunan kualitas lensa mata, aku mulai membayangkan tentang stamina Mas Iwa dalam menyusuri huruf-huruf dan narasi yang menggunung setiap harinya. Seingatku, profesinya sebagai konsultan perusahaan yang sering menyita waktu hingga akhir pekan bukan rutinitas yang bisa dengan mudah ditinggal tidur tenang tanpa pikiran. Pikiranku mulai berkhayal -cukup liar- apakah mas Iwa ini makan semacam obat kuat? 

Di suatu pagi sebelum ke lapangan, aku terkejut saat membuka akun media sosial. Di beranda utama terpapar foto Mas Iwa yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit dengan infus dan tabung oksigen. Caption foto menyatakan bahwa sudah hampir seminggu dia berada di sana. Setelah mendelegasikan karyawan untuk tugas proyek penting, bergegas kusambagi tempat Mas Iwa hari itu juga. Di meja registrasi rumah sakit, sempat-sempatnya aku bertanya pada suster yang biasa berkeliling di sekitar kamar rawat inap Mas Iwa. Sebuah spontanitas yang kuniatkan, lantaran tak enak bertanya langsung kepada Mas Iwa yang sedang sendiri di sore itu. 

"Kalau boleh tahu, Mbak, Pak Iwa sakit apa ya? Saya teman dekatnya, kata keluarganya beliau sudah seminggu di sini."

"Oh, Pak Iwa. Beliau sedang pemulihan operasi batu ginjal pekan lalu, Pak. Dokter bilang dia jarang makan dan minum air putih, karena istrinya bilang dia terlalu sibuk baca dan kerja. "

Meskipun sudah menduga, tetap saja aku terkejut mendengar penuturan suster. Pada dasarnya, dalam melakukan kegiatan apapun selalu memerlukan waktu. Lalu, aku niatkan untuk berbincang dengan mas Iwa sekadarnya saja. Mudah-mudahan beliau punya banyak waktu beristirahat setelahnya. 

"Assalamu alaikum Mas Iwa, apa kabar? Mohon maaf Mas, baru sempat jenguk. "

"Ora opo-opo, Yus. Minggu lalu habis pulang tengah malam langsung tidur, bangun paginya langsung kumat perutku. Untung segera dibawa ke sini, bojoku sing tanda tangan operasi. Kalau ndak, aku wis di ICU. " 

"Oalah, Mas. Alhamdulillah, untung cepat ditangani. Kira-kira, dokter udah kasih sinyal boleh pulang?" 

"Sebenarnya aku udah bosan di sini, Yusri. Tapi rasanya belum siap untuk bosan di rumah selama belum masuk kantor yang baru.  Aku sudah gak kerja di konsultan. "

"Lho, Mas Iwa resign ? Kenapa, Mas? Sayang, udah dapat karir mentereng di biro konsultan ternama. internasional." 

"Endasku sudah ndak karuan disuruh mikir sampai begadang. Mestinya tiap Sabtu cuci mobil, bantu istri mengurus rumah, atau sekedar baca buku, justru harus ngantor karena klien banyak maunya. Sialnya, anak buahku yang bisa diandalkan hanya 2 orang. Sisanya ahli....ahlinya pasif dalam bekerja. Mesti disuruh terus. Kalau tidak di-SMS atau di-telpon, pasti mereka masih asyik sendiri di komputer masing-masing."

"Mmm, cukup berat juga kalau Mas kerja agak sendirian. Kalau kantor yang sekarang, lebih dekat atau lebih jauh dari rumah?"

"Sekarang jadi manajer produksi  di pabrik cabang keramik. Jauh dari rumah, gajinya lebih kecil, tapi kerjaan beres kalau target produk selesai. Jadi ndak ada lagi drama klien keras kepala atau permintaan mendadak tengah malam. Toh, udah ada penjaga gudangnya juga. Mungkin 2 minggu lagi aku masuk. "
"Oh, syukurlah, Mas. Ya mudah-mudahan Mas cocok dengan kerjaan yang sekarang."

"Insha Allah, Yus. Aku juga jadi punya banyak waktu. Kasihan bukuku yang bikin 2 lemari penuh itu sekarang udah jadi sarang rayap.  Saking sibuknya, aku wis dadi jarang cek lemari. Nikmat waktu itu lebih berharga daripada nikmat gaji.  "

2 bulan berselang semenjak pertemuan kami di rumah sakit. Tadinya Mas Iwa hampir susah ketemu dan ditelpon, sekarang beliau sering nongkrong di warung kopi. Beberapa teman kantornya yang sekarang sering bercerita, bahwa Mas Iwa begitu hafal dengan beberapa karya sastra dan bisa bercerita panjang lebar tentang sastrawan favoritnya. Di suatu waktu ketika sedang memesan kopi tubruk, aku berjumpa kembali dengan Mas Iwa. Badannya lebih segar, rona muka cerah, dan membawa sebuah buku tebal. 

"Lagi baca buku opo, Mas? Kayaknya seru banget. "

"Aku lagi mendalami HB Jassin, Yus. Bukuku yang kemarin dimakan rayap wis tak loakkin. Ora iso mikir kalau terlalu banyak banyak daftar buku sing musti dibaca. "

"Wah, Mas. Kok ga bilang-bilang bukunya udah dijual? Kan aku juga minat sama bukunya Mas."

"Nanti sampeyan cuma dapat setengah buku kalau beli punyaku. Lha, ratusan lembar halaman udah empuk jadi daging steak buat rayap. Buat mereka, lebih enak dari steak yang biasa kita pesan di warung kopi. Lagian, Yus, paling enak tuh beli buku sedikit tapi langsung dibaca. Bacanya pelan-pelan tapi setiap kali waktunya sempit, selesaikan dulu bagian yang paling penting. Habis itu lanjut kerja lagi. "

"Wah, pantesan kata teman-teman Mas, sekarang kalau baca buku bisa menghayati banget. "

"Aku baru belajar sekarang, soal enaknya memahami tulisan dengan perlahan dan sesuai prioritas. Seminar yang baca kilat itu rasanya sudah ndak sreg. Sayang mata kalau harus dijejali banyak tulisan sekaligus. Alhamdulillah, sesekali aku juga plong rasanya bisa menulis kembali beberapa isi buku yang sudah ngelotok di kepala. Biar ndak cuma sekali baca langsung beres terus taruh di lemari. "

Di hari itu, aku terus tenggelam dalam perbincangan hangat dengan Mas Iwa. Darinya, aku mulai memahami arti pentingnya waktu, serta misteri di dalamnya yang kadang tidak bisa dipahami meskipun karir sudah sangat menanjak. Dari hikmah bertemu Mas Iwa pula, mungkin mata ini akan kupakai untuk mencari bab-bab terpenting dari buku yang mulai memadati lemariku. 

Sambil terus berupaya untuk membaca, aku menatap langit yang diselingi awan kelabu. Kepalaku bergumam: Jika di antara luasnya langit terdapat noda dan polusi udara, bukan tak mungkin di dalam susunan syaraf otak terdapat noda dan polusi informasi. Ya, polusi informasi yang acapkali mengaburkan mata dan pikiran dari kejelian memahami rahasia sang waktu. 

(Gatot Subroto, 7 Oktober 2019)








4 komentar:

  1. Euiz, penutupnya keren ... Aku lbh suka baca santai daripada cepat, hehe lebih meresapi

    BalasHapus
  2. Paragrafnya kalau dibuat tdk trll gendut, pasti tulisan ini akn lbh ciamik .


    Ttg koleksi buku, kadang aku suka mikir gini, segala sesuatu yg kt punya nnti akan dihisab, lalu bgmn dg aku yg jg byk buku tapi tetap tertata rapi di raknya stlh hbs dibaca beberapa waktu yg juh berlalu...🙇🙇

    BalasHapus
  3. Aku suka numpuk buku 😔

    BalasHapus
  4. nio: thank you. Ya memang ada yang butuh cepat, tapi untuk memenuhi fungsi rekreasi, baca lambat lebih enak.

    anis: wah harus dicari obat anti kolesterol paragraf. Hm perkara hisab ya rupanya. Menarik.

    Tantie: saya juga.

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...