Senin, 28 Oktober 2019

Mari Kita Mulai Cerita Ini.

(Cerita ini adalah lanjutan dari 'Jangan Baca Cerita Ini)

"Jadi, waktu itu ibu berhasil kabur dari kasuari dan musang bajengkong?"

"Ya, untung penciuman ibu masih tajam. Meskipun musang bajengkong bersembunyi di sekitar semak yang cukup gelap, sudah kutemukan batang hidungnya sebelum kujilat kaki si kasuari angkuh itu. Lalu ibu menemukanmu yang terluka,  bersama seorang saudara angkatmu yang masih hidup."

"Ibu, siapa sebenarnya ayah dan ibu kandungku. Aku tak mengerti mengapa saudara yang lainnya risih karena tidak punya jambul dan anak tekak. Kerap kali mereka bilang aku anak ular yang cacat karena lidahku yang bercabang ini?" 

"Kamu memang anak ibu, Komu. Meskipun kau lahir bukan dari telurku, tetapi sebagai sesama kadal engkau adalah anakku yang sejiwa dengan saudara-saudaramu. "

"Ibu, terima kasih sudah menyayangi dan membesarkanku setulus hati. Aku ingin sekali tetap melindungi dan mengayomi semua keluargaku. Bantu aku untuk tegar, Bu."

"Sebagai pejantan, kau harus tangguh meskipun ada saatnya menangis sulit untuk dihindari.  Jadilah anak kebanggaanku, seperti saudara-saudaramu yang lain. Ibu dan saudara-saudara akan terus menjagamu pula."

Seusai bercengkrama dan berpelukan, Komu pergi mencari air minum. Kepalanya yang panjang dan lonjong terjejali banyak hal, salah satunya tentang jati diri. Komu menatap dalam-dalam danau yang jernih, dimana pantulan wajah terlihat jelas. 

"Mengapa kepala ini pitak? Kapan akan tumbuh jambul ? "

"Taring-taring ini, besarnya berbeda dengan milik kakak-kakak iguana. Air liur tak berhenti menetes, aku tak suka. Karena air liur ini, mereka kerap menjahiliku, kecuali Neka. "

"Lalu, apa yang terjadi dengan badan ini? Aku masih lebih muda dari mereka, mengapa tubuh ini kian membesar?"

Kemudian Komu merenungi perjalanannya bersama Molo, ibu angkatnya yang penuh welas asih. Delapan tahun silam, ia dibawa kabur dari terkaman musang bajengkong. Musang sadis yang senang menyantap hewan pengerat, burung,  dan kadal muda itu tak lain adalah seekor binturong yang memasang paruh burung rangkong sebagai hiasan wajahnya. Komu ingat secara samar-samar bagaimana gigi tajam musang bajengkong menembus kaki belakangnya, hingga menghilangkan kesadaran utuhnya. 

                                 
                     
                                 
Mengapa aku berbeda dengan yang lainnya?

"Pok!"

Sebuah tepukan membuyarkan lamunan liar Komu

"Komu, kenapa melamun saja disini? Sebentar lagi kita akan mencari makan. Jangan sendirian aja, nanti kalau kamu dimangsa gimana?"

"Kak Neka? Maaf aku terbawa ingatan masa lalu. Aku hanya heran, tentang siapa dirimu."

"Kukira, mungkin kau seekor biawak, Komu. Tetapi biawak pun tak sebesar dirimu. Tak mengapa buatku, soalnya enak tidur dibawah badanmu yang besar. Selama tidak ditimpa, hehehe..."

"Ah Kak Neka suka aneh juga.  Takutmya Kak Neka jadi gepeng kalau aku sulit menahan kantuk."

"Entah kenapa, Komu. Aku tidak ingin menjahilimu seperti saudara yang lain. Kamu punya suatu kehangatan yang berbeda dengan iguana seperti kami. Aku pun tak takut dengan taring datarmu yang bergerigi itu. Setiap makhluk pasti memiliki keistimewaannya tersendiri. "

Komu dan Neka mengikuti ibu dan saudara mereka mencari pangan untuk siang hari. Berjalan cukup lama, tampaklah sebuah pohon pisang yang berbauh  ranum. Pohon yang cukup tinggi itu berdiri dekat tebing tanah gembur yang licin.

+ "Pisang lebat! Jamuan besar!!"

0 "Cukup nih buat tahan sampai sore."

+ "Aku mau lahap semuanya"

- "Ih bagi-bagi lah, masa semua mau diembat sendiri"

+"Kom, kita mau manjat, nih. Badanmu kan besar, boleh dong sebentar jadi pijakan."

- "Boleh, tapi beri Ibu jalan terlebih dulu. Sejak kemarin, jatah makan Ibu sudah dihabiskan kalian semua."

                                            Molo melangkah ke pohon terlebih dahulu

Komu pun mempersilakan saudara-saudari angkatnya untuk memanjat melalui badannya yang memegang pohon, tepat setelah Molo memimpin di depan. Begitu menduduki puncak pohon, saudara-saudari Komu berebut mengambil semua sisir pisang dengan tergesa-gesa, sampai-sampai Kamga, adik bungsu mereka terpelanting jatuh dari pohon. Untungnya, kedua kaki depan Kamga masih berpegangan pada ujung tebing.

"Kakak-kakak, Kak Neka, Ibu, tolong aku!"

"Kamga,...bertahanlah, Nak. Ibu segera datang!"

.....
"Hahahahahaha! Kutemukan kalian lagi, kadal betina dan anak-anaknya, sebentar lagi akan kulahap kalian"

Di tengah suasana genting itu, terdengar suara tawa tak jauh dari pohon besar tersebut. Rupanya, musuh lama Molo muncul, musang Bajengkong. Musang Bajengkong dengan segera mencengkram leher Molo, sementara Neka berusaha mencakar agar ibunya dilepaskan. Di saat bersamaan, Komu dengan sigap menjulurkan kaki depannya untuk menolong Kamga

"Kamga, pegang tanganku sekarang. Jangan lihat kebawah!"

"Kamga takut, Kak Komu,...cakar kakak besar sekali."

"Lecet sedikit tak akan mengapa, Kamga."

Brug!

Suara hantaman memecah kegentingan. Neka yang berusaha melawan terus digempur oleh Bajengkong. Molo terlepas dari cengkeraman,  lalu terbanting  dari pohon, kepalanya terantuk batu besar. Tampak deras merah darah mengucur di permukaannya. Komu dengan segera menarik Kam

"Ibuu,.....kurang ajar kau Bajengkong! Kau lukai ibu kami!"

"Matilah kau Bajengkong!"

Musang Bajengkong kembali dengan tabiat culasnya 


Semakin tua semakin jadi. Musang Bajengkong sudah naik tingkat dari sekedar pencuri telur dan bayi hewan, menjadi penyamun kelas kakap. Sabetan cakarnya yang gesit berhasil meredam serbuan para iguana yang jumlahnya tak lebih dari empat ekor. Di setiap wajah para iguana, Bajengkong mendaratkan luka menganga. Tatkala melihat  Komu dan Kamga, Bajengkong semakin beringas, lantaran dua kadal itu terlihat menggiurkan

"Cukup kubunuh kamu yang berbadan besar, yang kecil akan kulahap setelahnya"

Crak!!

"Oh, iguana botak besar ini boleh juga nyalinya ya. Kamu bisa menggigit tangan kiriku, tapi bagiku ini cuma sekedar garuk....eh? Uhuk...uhuk..... Kenapa kepalaku pusing sekali? Hhhaahhah,....ken,...kenapa sesak rasanya. Si,....apa kamu seb...benar...nya, kadal bes..ssaar? Apa jangan-jangan,...kkkk..kaaamuuu....."

"Aaaa.....akuuu...tidak ingin mati di sini,.! Aku,...masih,...ingin....ma...kaaan."




Musang Bajengkong memuntahkan darah dari mulutnya. Nafasnya tersengal-sengal, sementara luka tangan bekas gigitan Komu menjadi busuk dengan cepat. Rupanya, tubuh Bajengkong yang tak terlalu besar membuat bakteri dalam gigi Komu menyebar cepat.  Musang Bajengkong menuai karma, karena telah mencari masalah dengan seekor komodo muda. Bajengkong mengerang untuk terakhir kali, kemudian menghembuskan nafas terakhirnya. Tepat saat darah mengalir deras dari hidungnya.

"Ibuu,...bertahanlahhh. Kakak-kakak, Neka, Kamga, ayo papah Ibu."

"Jangan tinggalkan kami, Bu."

Mereka semua sudah terlambat. Jiwa Molo sudah lepas dari raganya. Para iguana dan Komu bersedih. Tak lama, dua ekor iguana tertua beradu mulut. Mereka saling menyalahkan mengapa Molo bisa terjatuh dari pohon.  Neka berusaha melerai, justru mereka berbalik menghina Komu -seperti biasa-.

"Seandainya kamu tak membawa kami ke pohon itu, Komu, ibu mungkin masih hidup sampai saat ini."

"Ya, coba saja kamu bunuh musang sialan itu lebih cepat, mungkin kami semua sudah selamat."

"Tta, tapi aku kan sedang menyelamatkan Kamga. Hampir saja dia jatuh tadi. "

"Kak Bong, Kak Guni, kenapa kalian malah menyalahkan Komu? Dia dari tadi berusaha menolong adik kita."

"Entah kenapa, aku tak suka Komu di sini. Sejak ada dia, kita selalu kena sial. Terserah kamu Neka, kalau  nekad mau dia tetap ada disini atau mau ikut kami. Sekarang aku, Guni, Kamga, dan Mara akan mengembara ke tempat lain, sebelum kami mati tergigit taringmu, Komu. "


"Baik, mungkin aku tak sepantasnya berada di sini. Maafkan aku telah merepotkan kalian selama bertahun-tahun. "

Setelah jasad Molo dikubur,  Komu melangkah gontai menuju selatan, sementara Bong memboyong empat saudaranya menuju utara. Sekian kilo perjalanan, Komu melihat bunga bermekaran. Dipetiknya salah satu bunga dan digenggamnya melalui rahang. Komu berbalik arah menuju tanah tempat jasad Molo terkubur,  lau air mata menggenangi korneanya yang kecil.

"Ibu, maafkan aku tak bisa melindungimu. Semoga ibu bahagia di sana. Aku berjanji. Komu akan selalu menjadi anak yang ibu banggakan. Komu akan berwelas asih kepada semua bangsa kadal, entah ia hidup di hutan, gurun pasir, atau dimanapun. Komu akan selalu ingat, bahwa semua kadal bersaudara."

"Jangan khawatir Komu, kamu tak sendiri."

"Kak Neka? Kamga? Bukannya kalian mengikuti Kak Bong dan yang lainnya?"

"Mungkin gigi dan cakarmu menakutkan. Tapi aku takkan mengingkari apa yang pernah ku ucapkan tentangmu, adikku.  Aku takkan tahan untuk satu jalan dengan mereka bertiga yang egois. Lebih baik kubawa Kamga untuk menemani pengembaraanmu. Akan kemana kamu sekarang, Komu? Bukankah kami adalah yang membuatmu merasakan artinya sebuah rumah?"

"Aku tidak tahu kemana. Yang jelas, aku ingin kalian mencintaiku bukan sebagai iguana, tapi sebagai apa adanya diriku."

"Tentu, apapun yang terjadi, kamu tetap saudara sebangsa kadal."

Komu semakin larut dalam haru, lalu memeluk kakak dan adik angkatnya itu. Sungguh, berbeda bukan alasan untuk saling membenci. Bukankah keberagaman adalah warna kehidupan?

BERSAMBUNG

#TantanganCeritaBersambung
#episode2dariceritadianggaptamat
#perjuanganparakadal
#Tantangan8ceritabersambung
#OneDayOnePost2019Batch7










2 komentar:

  1. Tak menyangka ini fabel. Kukira hanya perumpamaan awalnya. Seru, tapi jadi penasaran dengan wujud bajengkong

    BalasHapus
  2. ya, udah lama ingin nyusun fabel. Nanti wujud bajengkong menyusul

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...