Minggu, 12 Maret 2023

 

Tembakan Salvo di Ujung Senja

-Briantono Muhammad Raharjo-

 

1948, Jember

 

"Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jadi batu tulisan. Bapak ndak sesak tidur terus di dalam?"

Aku tertegun mendengar pertanyaan dari Aksan, adikku yang belum genap empat tahun itu. Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya. Maut selalu mengundang kerumitan-kerumitan, dibalik kepastiannya. Kalaupun bisa menjawabnya, belum tentu aku siap menghadapi kerumitan hidup berikutnya: siapa yang akan menjadi sosok ayah bagi kami untuk selanjutnya. Aku tak tahu berapa lama harus menangis, tak sanggup kulihat ibu harus serba sendiri menghadapi kami berenam.

"Aksan, Bapak sudah bahagia di tempat tidurnya. Di mata kita, mungkin tanah ini terlihat sesak dan sempit, tapi di dalam sana, Bapak sedang tidur di ranjang yang sangat empuk. Lebih empuk dari rumah kita. "

"Oh, gitu ya Mas Satyo? Bapak gak bosan tidur terus di dalam sana?"

"Insha Allah, tidak, San. Makanya, kita harus rajin berdoa, supaya Bapak bisa betah di sana. "

Rupanya, kau, Satyo, di usiamu masih empat belas tahun itu piawai menenangkan Aksan yang masih kecil. Ah, Satyo, untung ada dirimu. Tapi, apa kau sanggup menjadi...

"Mbak Rukmini, mulai sekarang aku siap untuk jadi ayah buat adik-adik. Mbak Rukmini fokus saja bantu ibu. Kalau bisa, mulai sekarang kita belajar yang rajin biar dapat beasiswa. ", tukasmu, Satyo dengan mata berbinar, meski masih kulihat bekas air mata tersimpan di sklera.

"Hah? Jangan kamu yang cari uang, Satyo, Biar Rukmini saja yang berhenti sekolah dan mulai berjualan bantu ibu. Ibu ndak sudi kalau kamu harus bekerja keras. Nanti nilai rapotmu turun.". sergah ibuku, dengan suara serak habis menangis. Aku hanya bisa menunduk dan patuh, karena memang situasi sudah sulit semenjak ayah sakit keras. Apalagi yang bisa kami harapkan dengan harta seadanya? Saat itu, kami melangkah menjauh dari kuburan ayah yang masih basah, mengikuti para pelayat yang bubar secara perlahan.

"Jangan begitu, bu. Mbak Rukmini kan pinter di sekolahnya. Kemarin kan dia dapat piala penghargaan lho, Bu. Sayang kalau dia berhenti sekolah, Bu."

"Tapi, Satyo. Mbakmu, sekolah setinggi apa pun juga nanti akan seperti Ibu; mengabdi pada suami, menjaga anak-anak, dan membimbing mereka semua dari rumah. Sementara kamu, Satyo, laki-laki memang harusnya berkarya di luar, mengabdi untuk bangsa dan negara, menjelajah nusantara, dengan sekolah dan kerja sampai sukses. "

"Tak bolehkah Satyo turut membangun bangsa ini dari rumah, Bu? Bagaimana nanti Aksan, Galih, dan Nilam akan mencari teladan ayah, kalau Satyo berpangku tangan dari mencari nafkah? Mbak Rukmini juga berhak bu, untuk melanjutkan keinginannya tanpa harus terus di rumah. "

"Kamu mau melawan ibu, Satyo?"

Ibu sudah tampak emosi. Kau mulai terdiam sambil menunduk, Satyo. Aku ingat betul, memang bila Ibu sudah mengucapkan suatu kalimat dengan nada tinggi, tak ada satu orang pun anaknya yang berani melawan. Hanya mendiang Ayah, yang bisa meredakan emosi Ibu bila terjadi demikian. Tapi Ayah pun sudah tak ada ,...

"Tentu tidak, Bu. Tak ada niat sama sekali melawan Ibu yang sangat Satyo sayangi dan hormati. Maka, besar keinginan Satyo untuk membantu Ibu meringankan beban sdan menghadirkan ayah dalam keluarga kita, serta membimbing Aksan, Galih, dan Nilam. Satyo hanya tak mau ibu menanggung sendiri semua ini, Bu."

"Benar, kamu ingin turut menanggung kewajiban ayahmu? Ibu ndak yakin, lhe, kamu bisa fokus belajar."

"Ibu ndak usah khawatir. Satyo percaya teman-teman dan guru Satyo pun pasti mendukung supaya tetap bisa belajar sambil bekerja," katamu dengan berbinar di hari itu.

Tiba-tiba, aku ingat tentang cerita lainnya tentang Ibu, yang selalu diungkapkan almarhum Ayah di kala kita bercengkrama. Ayah selalu bilang pada kita, Ibu sebenarnya suka malu dan sungkan untuk minta dibantu. Berbeda halnya bila  kita tatap matanya sambil berkata siap untuk meringankan bebannya. Ibu akan pasrah sekaligus lega. Itulah mengapa, Ibu kerap berkata bahwa tak ada sosok lain yang mendiami hatinya, selain tentang ayah, Kupikir, kaupun tak mirip seperti Ayah, Satyo, karena sifatmu yang acuh tak acuh. Tetapi engkau gemilang dengan menjadi dirimu sendiri. Diam-diam, kau sering membimbing adik-adik kita, tanpa harus bertitah atau melancarkan dikte.

Mungkin karena itulah, tanpa ada desakan atau permohonan ibu, aku, dan adik-adik, sehari setelah ayah wafat kau langsung merelakan diri berjualan di pasar. Segala macam jajanan kau tawarkan pada tetangga, saudara, hingga teman-temanmu di sekolah, meski tak selalu berganti jadi uang kontan.

Kudapati Ibu sering mendesah melihatmu mulai berjualan di sela-sela sekolah. Terkadang, aku menjadi sasaran cibirannya, karena baginya seorang perempuan patut malu berpangku tangan ketika lelaki belum dewasa berjibaku dengan keseharian mencari nafkah. Tanpa disuruh Ibu sekalipun, aku ikhlas menemanimu berbelanja, menata dagangan, hingga mencatat pemasukan. Tapi, kau tahu, Satyo? Ibu tak pernah berubah pendirian sejak Ayah wafat.  Ibu selalu bilang sibuk di dapur setiap kali aku dan Nilam  mengajaknya untuk ikut acara di sekolah. Meskipun tugas sekolah menumpuk, tetap saja ibu memanggil aku dan Prastiwi pemalas bila dapur dan seisi rumah kotor. Berbeda denganmu, Galih dan Aksan; sampai-sampai kadang ibu rela meninggalkan cucian menumpuk seharian demi upacara kelulusan sekolah kalian.

Tahukah kamu, Satyo? Aku pernah tak sengaja mendengar Ibu menegurmu karena masih sibuk berjualan disaat musim ujian sekolah. Ia minta engkau fokus belajar agar nilai yang didapat sempurna, tak perlu repot-repot mencari nafkah. Suatu hal yang kadang aku dan Nilam  dambakan : diminta agar fokus belajar, tak perlu berpikir soal kerjaan rumah tangga atau membantu ibu agar dapur mengepul. Tapi aku tahu, Satyo. Tidurmu sedikit. Setiap hari kau berusaha untuk tak melewatkan kewajibanmu terhadap seisi rumah, meski sesekali  matamu berkunang-kunang.  Di lain waktu kau sempat sakit, ibu merawatmu dengan penuh harap dan cemas, sambil menyempatkan diri menyalahkan aku dan Nilam karena kurang  perhatian padamu.

Usai kau pulih, segera kau tunaikan kewajiban belajar dan mencari nafkah, tanpa mengeluh ataupun banyak bicara. Kau berkata dengan yakin pada ibu, bahwa setiap bulir-bulir masa depanmu bukan hanya ada pada lembar-lembar buku yang dipelajari setiap malam; melainkan juga ada pada kekerasan hati untuk bertahan hidup dan mencari peluang melalui tangan sendiri. Ibu terdiam saat itu, entah karena dirimu memang cukup keras kepala, atau memang sebenarnya beliau sadar kau meyakini hal yang tepat saat itu. Keyakinan itulah yang kau pelihara demi cita-cita besarmu: menjadi benteng pelindung ibu pertiwi.

 

***

1990, Magelang.

 

Sekarang aku sudah merasakan apa yang dimaksud dengan puncak, lembah, dan jurang kehidupan. Mungkin juga dirimu, Satyo. Menjadi seorang pengabdi negara yang dicintai sekaligus dibenci memang sesuatu yang membuat hari-hari kita yang melelahkan jarang berakhir membosankan. Setiap kali idul fitri tiba, kita bersua lalu saling terkejut. Rambut kita yang dulu hitam legam kini memutih. Beberapa kali aku sempat cemas ketika mendapati keriput mulai bersarang di pipi, meskipun kau tak begitu ambil pusing dengan pipi yang mulai tirus. Lima tahun ini, kita mulai merasakan betapa nyatanya kehadiran para utusan malaikat Izrail, yang sering didongengkan almarhum ayah dulu.

Petang membayang, tapi selalu ada ruang untuk kita melompat ke dalam aliran masa lalu. Aku ingat saat kau berbagi salam tentara pertama ketika sekolah militer menjadi madrasah cita-cita. Begitu pula engkau yang sering mengumpati celotehan filsafatku, sebagai akibat pergaulan dengan orang-orang politik. Lalu kita meleburnya dalam canda tawa, sambil sesekali kau sisipkan pesan tersirat agar aku tetap menatap lurus ke depan, tanpa lirik kiri dan kanan. Tanpa perlu kau ingatkan berkali-kali, setiap kali aku bergumul dengan ranah politik, pesanmu terekam jadi bayang-bayang di otak. Bayangan itu menguat karena hadir dalam senantiasa nada suaramu yang lugas berbaur dengan sorot mata tajam dan sebelah telinga yang tak lagi utuh. Kau tahu, Satyo? Setiap malam setelah tragedi perang yang membuat telinga kiri lenyap,  aku mengingat setiap pesan menjadi jalinan petunjuk hidup.

Waktu berjalan dengan jalur rahasia, hari ini kita bukan lagi sekedar ayah dan ibu. Ada puluhan manusia-manusia belia di zaman ini yang selalu sedia memberikan hormat pada kita, sembari menyelipkan salam kasih sayang. Sesekali, aku turut menyimak apa yang putri-putriku perbincangkan tentang kau dan keluargamu. Setiap kali kuangkat pertanyaan tentang siapa pria yang akan mengisi masa depan mereka, dengan lengkap mereka akan sebutkan ciri-ciri serupa dirimu. Aku selalu ingin belajar, apa yang membuatmu matang menjadi teladan?

Setiap tahun kita berkumpul, seorang Satyo takkan ada gantinya. Dengan jenaka, kau ceritakan masa-masa mengangkat senjata, menghadang penyerang, lalu mencabik-cabik penindas. Kau sering berujar santai pada cucu-cucumu, bahwa kakeknya adalah seorang tentara tanpa kenal takut. Bagai gemuruh, di atas kapal perang kau sapu musuh-musuhmu sambil memekik kencang, "Keadilan harus ditegakkan." Kadang aku ikut tertawa, saat cucu-cucumu dengan polos menyandingkanmu dengan Thor -yang mereka bilang sebagai dewa petir-, atau Gundala -pahlawan petir fiksi yang terkenal puluhan silam-. Yang pasti, cara bertuturmu, adalah sebuah kunci, agar kita tetap optimis dalam memandang hidup, meski tubuh tak lagi utuh.

Aku masih ingat satu hal yang tak berubah darimu, meski kita telah melewati pahit manis berpuluh-puluh tahun. Di sela-sela menunaikan tugas di jalur laut nusantara, kau tetap setia mengajarkan anak-anakmu, bahkan cucu-cucumu, untuk berjuang dengan dengkul sendiri. Bahkan, bila mereka telah beroleh jabatan dan berlimpah tunjangan, tak kau biarkan mereka berpangku tangan.  Besar keinginanmu agar setiap manusia yang kau cintai sanggup untuk berdikari tanpa harus banyak bergantung pada orang, jabatan, dan keadaan. Mungkin, karena sifatmu itulah hari ini aku, Galih, dan Nilam mereguk kesuksesan. 

Sayang, tahun ini Galih sudah pergi lebih dulu. Awal tahun ini, Ia sempat merayakan ulang tahun pernikahannya, dengan dikelilingi anak dan cucu. Sampai di akhir hayatnya, kau masih menjadi salah satu idolanya.  Terlihat dari salah satu foto besar di ruang tamunya, yang menyorot gambar kapal raksasa legendaris tempatmu menabur sejarah. Kapal itulah yang menjadi saksi bisu akan daun telingamu yang tak lagi berjumlah sepasang. Aku dengar dari istrinya, Galih kerap mendongeng pada tamu-tamunya tentang kehebatanmu berjibaku dengan laut yang bergelombang.

Ah, aku hampir saja lupa, Satyo. Sudah tujuh tahun berlalu sejak kau merasa cukup atas perjalananmu menjadi benteng negara yang menjaga laut. Aku paham perasaanmu yang tak ingin mengumbar kekecewaan, bahwa kita -tepatnya, sebagian besar kita-, belum siap untuk menjadi bangsa yang besar. Sikap kebanyakan kita masih cukup jauh dari harapan bapak bangsa, Soekarno, bahwa kebesaran sebuah bangsa ada dalam penghargaan pada para pahlawannya. Setidaknya, itu yang kusimak dalam nurani setelah ku dengar bahwa dalam suatu upacara kenegaraan kau merelakan diri untuk berpanas-panasan berdiri, karena banyaknya angkatan militer muda yang tak sabar ingin merasakan kursi kehormatan. Bagimu itu lebih baik, karena tak sedikit teman-teman seperjuanganmu yang memilih mengasingkan diri daripada berharap kembali ke barisan tapi dianggap tak lebih berharga ketimbang seonggok sapu pelenyap debu.

Dengan segenap daya dan upaya, aku berusaha agar kau dan teman-teman seprofesi selalu mendapat ruang dan tempat yang memadai. Aku bersuara lantang; berusaha menembus hati rekan-rekan seperjuanganku; para petinggi, dan pejabat publik, agar medali kehormatan tersemat untukmu dan mereka yang pernah mencucurkan keringat dan darah demi republik ini. Sesekali aku ceritakan pada mereka, tentang keprihatinanmu akan seorang sahabat yang kini harus rela rebahan di bawah kolong jembatan karena ketidakpastian nasibnya setelah berjibaku di medan lega. Sungguh, air mata di hari kau temukan nelangsa sahabatmu, adalah sebuah sejarah yang terpatri dalam benakku yang turut menangisi negeri ini.

Dua tahun setelah kau mengundurkan diri, oase kebahagiaan baru datang menyambut. Kau sambangi panti asuhan, panti jompo, hingga panti rehabilitasi. Dengan ditemani anak-anakmu, kau kembali bangkitkan semangat kepahlawanan yang tertidur dalam jiwa mereka yang terasing dan teraniaya. Setiap kali kusempatkan seorang diri mengunjungi tempat-tempat oasemu, para penghuni mencatatmu sebagai seorang pahlawan super. Kau menjelma menjadi legenda baru untuk mereka. Hingga suatu hari, kau mulai ungkapkan batas ragamu.

Penyakit gula sedikit demi sedikit mengambil alih kebebasanmu; mulai dari otot-otot lengan hingga kedua kaki. Rasanya sudah dua tahun sebelum hari ini tiba, kursi roda sudah menjadi sepasang kaki baru untukmu. Hanya saja, tak sedikit manusia yang menaruh rasa hormat padamu; baik keluarga kita, hingga semua orang yang kau nyalakan api jiwa di dalamnya. Rasanya, kata pesimis mungkin tak pernah ada dalam otakmu, meski satu persatu gerak tubuhmu dirantai oleh stroke yang bersarang.

Di suatu siang di hari Minggu, aku mendengar bahwa kau 'mengumpulkan' putra-putramu di rumah. Lima orang keponakanku yang telah menjadi orang di tempatnya masing-masing:i komisaris, direktur, manajer, mandor, dan juragan restoran. Mereka yang telah berdiri dengan kaki sendiri berusaha melayanimu dengan sebaik-baiknya; ada yang menyuapi makan, membacakan kitab suci,  hingga membawakan tabung oksigen. Semestinya, dari awal aku tahu, bahwa waktumu sudah akan tiba.

***

  1994, Solo

 


Suatu pagi, kudengar dari putra sulungmu, ada sebuah permintaan terucap dari mulutmu yang bernafas tersengal-sengal. Kau ingin menuju taman wisata dekat rumahmu. Kebosanan dengan rutinitas di sekitar ranjang membuatmu ingin melihat gelora bunga, wahana, dan warna yang mengisi sekujur badan taman itu. Dalam perjalanan menuju tempat itu, kedua belah matamu tertutup. Mereka kira, engkau sedang tertidur sesaat. Andai tahu lebih cepat, mungkin bergegas ku hampiri dirimu di taman itu. Supaya aku tahu, seperti apa detak jantung terakhir manusia yang paling tegar dalam menjalani hidup sedari belia. Sedari aku yang baru mengenal bahasa dan kata menyambutmu yang masih bayi merah.

Tak lama, tubuhmu yang sudah rapuh itu terdiam. Tiada lagi pesan atau wejangan. Kain biru , muda tutupi mukamu di ranjang kamar perawatan intensif. Kamar yang kini kutempati, setelah bertahun-tahun lalu engkau pergi. Semua orang menitikkan air mata, tanpa kecuali diriku. Karena gerilyamu menyalakan surya dalam jiwa di hati para manusia yang terasing dan teraniaya, para pemimpin negeri ini tergerak untuk memberi ruang kenangan lebih untukmu.

Begitu engkau berpulang ke liang lahat, ku saksikan ribuan orang siap mengantar. Saat itu surya hendak tenggelam ke sisi lain dunia dengan warna temaram. Air mataku tertumpah, begitu pula dengan ribuan orang lainnya. Keralihat sebndamu dibopong oleh puluhan tentara berseragam, dengan balutan kain merah putih. Haru semakin tak terbendung, seolah aku menyaksikan seperti apa pahlawan nasional kembali bersemayam di bumi nusantara. Sekelebat mata, kulihat getaran angin nyaris membentuk pipa di atas ranjang pusaramu. Angin itu seolah menjadi corong wadah peluru yang melesat, saat komando salvo bergemuruh.

"Untuk penghormatan terakhir, salvo tiga kali. Siaaaap, gerak!"

Tiga butir peluru itu melesat ke angkasa, mengukir kilatan-kilatan di antara garis perak awan berarak. Seakan-akan peluru - peluru itu mengetuk pintu peristirahatan terakhirmu di langit, agar engkau dipersilahkan untuk berbaring selamanya hingga akhir zaman. Tempat dimana tiada lagi rasa sakit menderamu. Hari itu, awal tahun 1991, Susatyo menjadi sebuah sejarah yang hidup di hati kami.

  Duhai Satyo, hari itu sudah berlalu dengan sangat cepat.  Anak-anak dan keponakan kita yang mendambakan jadi dirimu, atau mencari suami sepertimu. Kamu adalah pejuang lautan yang tak pernah berhenti berpikir dan mencari peluang untuk masa depan. Kini kamu sudah istirahat dengan tenang.

Aku bukanlah Rukmini yang dulu, yang bisa dengan tegas berbicara lantang dan beretorika. Aku pun tak kuasa melawan misteri yang bersembunyi di balik waktu yang terus bergulir. Aku telah menua seperti dirimu, Satyo. Di tempat ini, terkadang aku bisa melihatmu, siap menjemput dan membawaku berpetualang. Barangkali demikian adanya ruangan ini dinamai, I see you, supaya siapapun yang berdiam di dalamnya bisa melihat siapa yang dikasihi sepenuh hati.

Engkau lenyap, berpetualang ke tempatmu yang abadi, diiringi salvo syahdu menyelimuti udara di kala senja. Hari ini aku sudah tidur lebih pulas. Nafasku pun lebih lega. Kasur putih tempat berbaring ini rasanya tepat untuk melambangkan kedamaian. Sudah lama rasanya berbaring tak pernah senikmat ini.

Aku memang tidak sendiri di sini. Berbagai macam orang kutemui, meski jarang kulihat mereka terbangun menyapa. Aku takkan bosan mengulangi, bahwa di sini adalah tempat yang paling nyaman untuk melampiaskan tidur yang tertunda lantaran serbuan beragam kesibukan. Kesibukan yang merampas waktu, perasaan, dan juga energi tak kasat mata yang menyangga tubuh ini.

Banyak yang mau membantuku, meski mereka bukan manusia. Tapi, aku tetap menghargai bantuan mereka, kendati mereka adalah benda mati yang sudah diprogram. Pipa-pipa yang mereka susun di sekitar lubang bernafas, membuatku nyaman dan lupa akan luka yang aku goreskan sendiri pada tubuh ini. Ya, luka yang membuatku berbaring tidak berdaya, melampiaskan rasa kantuk sekaligus rasa sakit yang sering menjangkiti sekujur paru-paruku.

Tetapi, entah mengapa sunyi tetap terasa, meski berlalu lalang orang di sini. Baik orang yang datang dengan berjalan, maupun yang berjalan terpapah dan yang sudah 'berjalan' ke alam lain. Aku masih ingat, sore hari kemarin kudengar tangisan di ranjang sebelahku. Tak henti-hentinya tetanggaku yang sedang berbaring diratapi oleh putrinya. Sesekali, putrinya meminta bantuan untuk meyakinkan bahwa ayahnya yang terbaring itu masih bisa bangun.

Duhai adikku, apa kau saat ini sedang tersenyum? Bila demikian, berikanlah tatapmu yang hangat dan pancaran matamu. Aku tak peduli seperti apa wajahmu kini, karena engkau masih sama seperti puluhan tahun lalu. Saat pertama kali aku datang pada orang tuamu untuk niat memulai hidup bersama.

Tapi aku tahu, kau sudah beberapa langkah di depan, Satyo. Aku terbaring di sini, setiap hari menanti kabar akan seisi badan yang bisa diajak damai. Meskipun sebaik-baik definisi perdamaian hanya diketahui oleh Yang Maha Kuasa.

Nyatanya, meskipun di sini tenang dan sunyi, dengan hanya sesekali diiringi isak tangis, tetap cemas dan risau menyambangi. Anak-anak mulai sibuk kembali, begitu pula dengan para keponakan, sementara  cucu-cucu kita masih kecil sehingga tidak boleh masuk kamar tidur ini. Nilam yang kini berkursi roda ingin menjengukku disini, tapi apa daya ia tak punya seorang pun menemani. Putri tunggalnya, Miranti, telah pergi mendahului, mengikuti dirimu dan Galih , sementara suaminya terbaring lemah di ranjang rumahnya.

Kalaupun anak-anak berkunjung, hanya satu atau dua orang yang bisa masuk. Jika boleh meminta, ingin sekali aku berjalan barang sebentar. Dulu aku merasa sangat butuh tidur, di sela-sela kesibukan dan kepentingan yang tidak pernah berakhir. Sekarang aku leluasa untuk tidur, namun aku bosan, Satyo.

Kamar tempatku berada ini memang terdengar sangat menggambarkan kerinduan akan seseorang. Paling tidak bagiku saja, Satyo. Jika kueja kembali nama kamar ini, terasa seperti 'aku melihatmu'. I see you. Aku berharap semoga 'kamu' yang dimaksud kamar ini adalah orang yang tersayang. Termasuk kamu, Galih,  yang sudah berkemas beberapa tahun lalu.

Maka, Satyo, izinkan aku menutup mata setelah berbagi beberapa tulisan tentang kamar ini kepada dirimu. Kapanpun engkau hendak membacanya, dari sudut manapun, dibaca selama apapun, sungguh hatiku akan senang. Karena aku tidak bisa melihat kehadiran dirimu saat ini. Tetapi, bisa saja aku mengetuk pintu rumahmu besok pagi ataupun sore ini. Tepat ketika sinyal dalam kotak yang terhubung kawat dengan jantungku ini membentuk garis lurus.

 

(Jakarta, Maret 2021)

 

Sabtu, 04 Maret 2023

9 Panglima Aksara Digital: Mengurai Resep Rahasia 9 Penulis Digital Tersohor Indoneisa

"Satu teladan lebih baik daripada seribu nasihat". Kiranya pepatah anonim yang telah mengakar bersama peradaban manusia ini turut berlaku untuk dunia kepenulisan, pun demikian dlaam segmen aksara digital. Mencari petuah, nasihat, dan petunjuk baik secara teknis hingga strategis untuk terjun dalam dunia kepenulisan digital sejak era 2015 hingga sekarang hampir sama mudahnya dengan menyalakan lilin kala gelap. Sekali kita mengetikan "rahasia sukses kepenulisan digital" pada search engine, akan kita dapati puluhan hingga ratusan tips pada halaman pertama browser. Tentunya, dari kiat-kiat melimpah yang tersedia, hanya sebagian orang Indonesia yang membuktikan keberhasilan serta kesuksesan berdasarkan prosesnya yang panjang dan bertahap. Mencari lahan penghasilan dalam dunia tulis-menulis bisa dibilang menjadi salah satu lahan bisnis yang cukup mudah untuk dimulai, meski membutuhkan konsistensi dan tekad baja untuk tetap produktif tanpa terpaku jam kerja agar tulisan yang dibuat bukan hanya mendatangkan pundi-pundi uang, melainkan juga menjaga tingkat volume viewer (penyimak) yang konstan menghasilkan selama bertahun-tahun. Di zaman aplikasi dan infrastruktur penunjang digital berkelimpahan, geliat persaingan dunia tulis-menulis kian memanas, sebab bermunculan beragam platform menulis berbasis kontrak dan munculnya desain-desain blog yang bisa mengoutsource sumber daya dari luar negeri (baca: hosting, domain, premium subscription). Adapun dari sekian banyak wadah menulis digital, potensi tertinggi monetisasi bisnis bterletak dalam tiga klaster utama: a. Media Sosial b. Platform Menulis Freemium c. Blogging atau Website. Kriteria: a. Aktualisasi gagasan dalam konten. b. Tingkat viewer dan follower c. Jangkauan konten dan hasil monetisasi a. Media Sosial 1. Kartini F. Astuti: Instagram
2. Iqbal Aji Daryono: Facebook 3. Raditya Dika: Twitter Penulis, blogger sekaligus youtuber ini followers-nya mencapai 13.8 juta lho! Radit memang kerap kali membagikan konten kocak di instagramnya, mulai dari kehidupan pribadi, buku-buku, atau inspirasi menulis. Bahkan di tahun 2016 ia mendapat penghargaan sebagai “male celeb instagram” dalam Indonesia Social Media Awards 2016. Selain itu, buku-buku yang ditulisnya juga masuk dalam Best Seller dan diangkat menjadi film layar lebar, seperti Cinta Brontosaurus, Koala Kumal, Kambing Jantan, Manusia Setengah Salmon, dan masih banyak lainnya. b. Platform Menulis Freemium 4. Alfian N Budiarto: Storial 5. Almira Bastari: Wattpad 6. Tendi Murti: Komunitas Bisa Menulis c. Blogging/ Website 7. Asri Tadda: Health Blogging Assri Tadda merupakan pria asal Sulawesi Selatan yang menjadi salah satu blogger terkaya di Indonesia. Assri Tadda memulai membangun blognya sejak tahun 2005. Blog Assri Tada mengusung tema kedokteran karena Assri Tadda memiliki latar belakang dibidang kedokteran. Saat ini, Asri Tadda mendirikan AstaMedia yang merupakan Blogging School. 8. Yosef Ardi: Travelling Blogging< osef Ardi mweupakan salah satu blogger terkaya di negeri kita yang berasal dari Flores Nusa Tenggara Timur (NTT). Yosef Ardi mengawali kariernya sebagai wartawan di harian Bisnis Indonesia. Saat itu, Yosef Ardi memulai bisnis online dari sebagai pekerjaan tambahan disamping pekerjaan utamanya sebagai wartawan. Blog yang dibangun Yosef Ardi bertemakan politik dan bisnis. Pengetahuan tersebut ia dapatkan dari California sewaktu ia menempuh pendidikan sarjana disana. Pada awal membangun blog, Yosef menggunakan bahasa Inggris. Blog itu dibangun oleh Yosef sejak tahun 2005 hingga kini. Setelah mengalami perkembangan pesat dan memiliki banyak pembaca, Yosef membuat blog nya berbayar per hari 1 dollar Amerika untuk berlangganan membaca artikelnya. Saat ini, blog miliki Yosef sudah berkembang di berbagai negara seperti New York, Tokyo, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Sydney, dan lainnya. 8. Iwan banaran: Website Informasi Otomotif Blogger Indonesia Iwan Banaran sebetulnya mengambil niche yang cukup spesifik. Namun, ini tak membuatnya terjebak pada topik bahasan yang itu-itu saja. Dia membagi kontennya dalam lima kategori utama, yaitu reviews, gosip motor, racing, modifikasi, dan galeri. Dengan banyaknya kategori, banyak juga tenaga yang dihabiskan untuk membuat konten. Tapi nampaknya ini bukan jadi masalah bagi blogger Indonesia kelahiran Tulungagung ini. Jika Anda sering mengunjungi blog Iwan, sudah jelas kalau ia sangat sering mengunggah konten baru. Bahkan, dalam sehari ia bisa menerbitkan dua sampai tiga artikel. Catatan inspirasi dari Iwan Banaran: Bedah niche Anda ke berbagai ide konten yang menarik. Buatlah konten secara terus-menerus dan konsisten. Semakin sering Anda membuat konten, semakin besar audiens kembali mengunjungi blog. Kembangkan konten ke berbagai platform, misalnya YouTube dan Instagram. Buat website toko online dengan tutorial WooCommerce sesuai dengan niche blog. referensi: 1. https://www.niagahoster.co.id/blog/blogger-indonesia/ 2. https://www.10thetop.com/2018/06/10-blogger-terkaya-di-indonesia.html 3. https://www.indoworx.com/niche-blog/ 4. https://blog.mizanstore.com/inilah-penulis-indonesia-dengan-followers-terbanyak-di-instagram/

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...