Senin, 07 Januari 2019

Awan, disanalah tempat menyimpan buku. Tapi apakah hanya disimpan?

Sebagai orang yang besar dengan budaya kutu buku, jadilah tumpukan buku ditemukan di beragam lemari di sekitar kamarku. Mama sempat bertanya heran, :"Jadi kamar kamu tuh yang mana? Banyak amat buku kamu nongkrong di rumah" Aku pun sulit menjawab, mungkin sudah terlalu adiktif dengan tergeletaknya buku di setiap lemari. Namun, tetap sebagai orang yang butuh kebersihan, setiap 5 minggu kubereskan buku-buku.

Apa yang sebenarnya saya cari? Bukan hal muluk-muluk, memang perasaan bahwa buku itu adalah teman yang senang memberi saran tanpa menggurui nyata adanya. Apalagi buku agama yang memang memberikan kisah dan pencerahan, terutama di saat-saat bingung mencari pembunuh waktu. Sesekali buku psikologi, motivasi, dan kepemimpinan tercolek biar saat-saat bengong tidak lagi lempem; lalu muncullah perasaan puncak tentang diri yang bertambah wawasan.

Di beberapa forum, mungkin saya pernah angkuh soal pentingnya buku pada adik-adik tingkat saya. Ada yang mengkritik, ada yang mengajak diskusi. Tapi bila lagi-lagi bermuara tentang ketakutan orang kalau saya ini tercitrakan skeptis dan kutu buku, bisa jadi saya bebal soal wacana demikian. Toh, sudah bertahun-tahun saya terbiasa belajar sesuatu secara mandiri, jadinya bukan hal yang begitu menyakitkan bila harus menyendiri atau kehilangan beberapa teman.

Lalu, tiba saatnya saya harus berhenti membawa beberapa buku dan majalah. Saat itu kewajiban belajar luar negeri setahun patut ditunaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kapasitas koper 30 kg adalah penyempit kemungkinan menghiasi lemari buku di kosan dengan tumpukan. Padahal, masih banyak bagian yang saya masih penasaran.

Saya jarang membawa buku ke kampus banyak-banyak. Lebih baik ditaruh di lemari, sembari dikupas sampai puncak di tempat strategis. Menurutmu bagaimana bila kubilang toilet adalah tempat strategis menanam pemikiran baru? Ya, doakan saja, dan sayapun berdoa agar setan tidak bertamu di toilet tempat kubiasa menumbuhkan pikiran. Nyatanya, memang daripada hawa nafsu yang muncul, sering ada ide-ide brilian di setiap paragraf buku favorit yang distabilokan.

Kita semua hidup dengan memelihara ilusi. Mungkin juga saya. Ga bisa lepas dari belahan jiwa yang meneriakkan sugesti. Dari semenjak belia, sang ilusi diri membisikkan buat saya agar beli buku ini dan itu bila ke toko buku. Ah, tapi saya sering lupa kapasitas diri yang cuma bisa baca.......1-2 buku setebal 100 halaman per hari. Itupun jenis buku humor. Diktat? Self Help? Halo, apa stabilo bisa membantuku hari ini?

Titik perubahan terjadi saat di luar negeri. Buku yang biasa bisa ambil 5 sekali kubawa uang 100 ribu, harus menabung ekstra untuk membeli 1 eksemplar saja. Diktat penulisan karya ilmiah saja bernilai 9 dollar.  Lebih baik sesering mungkin uang jajan disisihkan untuk buku teks. Membawa narasi agar bisa lulus gemilang sepatutnya jadi prioritas.

27. Begitu jumlah buku yang bisa dibawa agar syarat koper 30 kg tidak kebablasan. Itupun sebagian besar hanya buku tips ini itu yang sebesar genggaman tangan. Tapi bukan berarti saya tidak membawa "isi buku" lainnya. Saya membawa seratus "kopi" buku. Dasar pecicilan, sebagian buku yang tak usai dibaca langsung saja difoto menggunakan smartphone. Habis jadi foto, segera diamankan di laptop, lalu pindah dari 1 eksternal hardisk ke lainnya.

5 tahun berlalu sejak 2014, awal menjejakkan kaki di Australia. Kebiasaan mengamankan isi buku dengan cara memotret masih lestari hingga detik ini. Tapi coba tanya, berapa yang sudah dibaca sejak 5 tahun? Belum 10%. Yang kuutamakan adalah rentetan kisah nonfiksi dan satir. Karena satir inilah makanya blog ini hidup kembali. UUUUUU (ZOMBIE MODE).

Bila besok, saya disuruh meloakkan begitu saja semua buku, smartphone dan penyimpanan cloud sudah tersedia. Yang jadi favorit saya adalah Google Drive yang merupakan "tali-pusarnya" gmail, disusul dengan Degoo. Degoo bisa muat 100 GB, tapi sekali mengunggah 1gb  kamu bisa menunggu dengan menonton lusinan episode dragonball di gadget kesayanganmu.  Kalau mengunduh, bisa disambil membuatkan 1 pintu untuk rumahmu yang perlu diperbaiki karena jebol.

Itulah manuver teknologi hari ini. Saya menanti saat dimana awan akan berkembang supaya istana buku tetap lestari.


....

Eh, mungkin kamu mengira wacana ini akan saya usaikan. Belum, aku sendiri masih ingin mengulas tentang penyesalan atas ketundukan terhadap wacana konsumerisme buku. Buku makin menumpuk di rumahku, menggunung di Bandung dan Jakarta. Kunantikan saat dimana kapasitas membaca menjadi berkali-kali lipat.

Kadang saya malu pada mereka yang hanya punya sedemikian buku, tapi bisa memahami hingga detil-detil halaman. Mungkin, saya adalah sebagian orang yang menyia-nyiakan ruangan dalam rumahku tapi otakku tidak bisa bergerak lebih cepat dari mengulas 1 buku per 3 hari. Hari ini aku makin sibuk, dan semua hal aktivitas makin terisi oleh beragam hal krusial, diluar membaca buku.

Jadi, mungkinkah perlu disusun kurikulum dan jadwal agar jaringan otak yang kusut menentukan aktivitas ini bisa terajut serapi benang yang dipintal menjadi jas mewah?

Ya, barangkali dengan sedikit mencatat, tanpa sadar ada dalam 1 malam kuhabiskan 2 buku petunjuk. Tentang bagaimana menggodok essay dan biografi. Patut disadari, bahwa tidak setiap teks memiliki tingkat esensi yang sama. Disitulah pikiran dirajut dengan kerangka yang disarikan dari daftar isi, dan juga sebagian kata pengantar.


Dan saya rindu, menjadi pengisi kata pengantar....biografi keluarga dan teman-teman saya.









Minggu, 06 Januari 2019

Mengobati Defisit Literasi dengan Sembarangan Bernarasi


Literasi. Begitulah nama salah satu unsur yang hari ini rawan kita perbincangkan, terlebih berkaitan dengan penyebaran berita bohong. Ketidakmampuan membaca mendorong untuk tergerus pada sudut pandang yang keliru. Namun betulkah sekedar kelumpuhan membaca adalah bukti ketidakmapanan kita mengolah narasi?

Keadaan dunia saat ini yang dikatakan banyak orang "menuntut wawasan global" rasanya mendorong untuk mengolah sekian banyak informasi menjadi suatu aset ilmu yang bermutu. "Perbanyak membaca, sehingga anda tidak bodoh" begitu anjuran yang biasa didengungkan tentang keharusan melahap isi buku. Tapi bolehlah aku menggelitik sedikit: apakah betul semua buku patut dibaca?

Rasanya, bolehlah kalau kita coba membawa imajinasi sejenak kembali ke toko buku kesayangan masing-masing. Akan ditemukan beberapa rak yang berlabel "BEST SELLER". Frase inilah yang bisa saja memijat mata kita untuk segera menukar uang menjemputnya segera ke tangan. Bila ada waktu untuk berpikir, pernahkah mengkaji ulang seperti apa isi dan alur buku yang bisa dikategorikan best seller itu?

Seperti halnya kedondong yang berbuah pada musimnya, tak sedikit buku -terutama berjenis jurnal dan biografi- yang terbit menjelang musim pemilihan umum. Diceritakanlah pada lembaran kertas itu bahwasanya calon A begini begitu,  calon B begini begini. Tatkala musim pemilu berlalu, sebagian buku mungkin akan langka ditemukan pada rak tersebut. Coba, kita menggali lagi. Senetral apakah narasi-narasi buku yang bertebaran itu?

Ada saatnya memang membaca buku adalah kegiatan terbaik untuk menurunkan depresi. Namun kadang kenikmatan menelusuri narasi, lagi-lagi adakalanya tidak terlepas dari subjektivitas pembaca. Tentu bagi engkau yang enak mengagumi artis korea, mengoleksi buku biografi terntang artis sungguh lebih mengasyikan buat membunuh waktu. Ketimbang buku fisika yang menemani hari-harimu menjalani syarat penerimaan mahasiswa baru.

Sebelum saya masuk perkuliahan, di otak hanya terpikir bahwa semua buku itu baik. Kalaupun ada yang dilarang, mungkin itu cenderung soal gambar atau narasi vulgar. Tapi entah kenapa semua pemikiran itu bertolak balik saat menginjak tingkat 4. Kutemukan beberapa teman yang asik membahas buku bertema "kiri", entah kenapa giliran ibadah sering tidak tepat waktu. Bahkan, ada yang menjadikannya bahan becandaan.

Kecurigaan itu bermula dari saat sesi pelatihan panitia ospek. Sebagai penunjang teknis, kami mengkaji buku MADILOG. Tak perlu kusebutkan pengarangnya, dia sudah terkenal diantara sebagian pembaca blog ini. Yang menjadi bahan utama adalah bab 9-nya "DIALEKTIKA".

Saya iseng saja coba melihat ulang bab 1. Alamak, kutemukan narasi -mohon maaf- lancang. Masa dia katakan akhirat itu dongeng?? Hello........

Mungkin, didikan orang tua bahwa selayaknya menyeleksi makanan dan bacaan, punya manfaat yang tidak hanya isapan jempol. Kadang patut heran bila kita mengakui pikiran kita terbuka, tapi justru malah terjerumus menyantap dan meniru narasi yang tidak pantas.

Hari ini, agama mungkin menurut sebagian orang adalah candu. Tapi bukan berarti bila kita sudah menyandang status makhluk terkutuk, lantas agama ditinggalkan. Bila Kualat dan ketakutan akan murka-Nya masih menjadi kompas dalam memilih tindak-tanduk serta informasi, sepatutnya syukur diucapkan. Kita belum tentu ditempatkan di surga, tapi mengapa harus bernikmat dalam siksa-Nya: toh sekecil nyamuk menggigit belum tentu kita tahan. Hari ini bisa jadi mereka yang berpikiran terbuka, tak selalu menerima akibat dari apa yang dititahkan dan dibanggakan setinggi langit.

Hari ini, bisa jadi sebagian orang sekeliling kita kekurangan buku dan bahan bacaan, tapi tak berarti mereka miskin wacana lagi miskin cita-cita. Justru merekalah sumber penulisan bahan-bahan narasi lainnya.  Jangan sampai kita memuja apa yang diatas kertas, namun malah mengabaikan apa yang telah tergambar di alam semesta, termasuk apa yang telah ditahbiskan oleh Yang Maha Kuasa.

Introduksi: Ngeblog itu sama seperti ngasi makan setiap waktu, really?

Mengenal dunia blog kadang memang hal yang saya jalankan dengan pincang. Pernah dapat kewajiban untuk bikin blog terkait kelulusan mata kuliah. Tapi ga saya urus telaten.
Kelar kuliah, ya sudah wordpress terbengkalai. Ga bayar ya angus. Mulailah ada sedikit penyesalan, mengapa ga lebih tekun saya menyusun blog.

Tapi nasi udah jadi bubur. Que sera sera Ternyata blogger yang saya bikin di pertengahan 2015 masih ada meski melempem tiada tambahan konten.Maka selama beberapa tahun ini, saya gak tahu harus dapat dorongan darimana biar blog kembali berjalan. Ternyata motif ekonomi jadi cambuk pemecutnya. Kebutuhan makin banyak, apalagi semenjak ada si kapten mungil.

Belum lama ini, saya berkenalan dengan Asep Solikhin. Dia adalah praktisi freelancer blogger yang mencoba tawarkan gagasan bahwa ngeblog ibarat kasih makan siang pagi malam. Tapi saya ga langsung manut.

Ngeblog yang ini saja, lebih mirip membuka kembali toples yang nyaris diserbu jamur. Boro boro kasih makan orang. Nanti mereka malah keracunan kudapan melempem. Yikes!! Eh. Ternyata pikiran saya ini adakalanya lebih berisik daripada mulut. Ada aja ide yang kadang nyampah kadang bagus, mendadak muncul. Mulailah saya mikir: kenapa ya gak diwadahin aja?

Saya terbilang lumayan sering nulis di medsos, dan ternyata di pertengahan Juli cerpen kompilasi terbit. Tapi ternyata itupun ga cukup untuk jadi perangkap untuk ide ide liar di kepala. Mungkin, karena saya tak puas dengan honorarium buku yang hanya dibawah 50 ribu rupiah.

Karenanya, ketimbang harus diumpamakan blog ini sebagai piring, lebih enak untuk dijadikan toples saja. Silakan ditutup bila sudah tidak dimakan, tapi segeralah dibuka saat butuh kudapan.
Saya berharap: tulisan yang tiba - tiba ada di toples ini bisa menghadirkan kerenyahan dalam mengisi keseharian kita. Entah saya maupun kamu yang terpincut membacanya.

Tapi bila anda tak tertarik membaca, cukup aku saja yang terus 'ngemil' di toples ini. Lalu akan kutawarkan cemilan lain yang bisa jadi kamu, anda ikut memakannya. Disitulah kita akan berbagi.
Sungguh, banyak momen renyah yang kadang sayang bila tiada toples yang menyimpannya. Lempem sendiri deh.

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...