Kamis, 31 Oktober 2019

Diskusi Buku dan Literasi Serupa Nafas Kedua: Sebuah Biografi Singkat Jihan Mawaddah

Akses terhadap informasi yang semakin melaju, berkat dukungan internet, membuat masyarakat semakin mudah menelusuri komunitas dan sarana untuk mewadahi kegiatan literasi. Salah satu komunitas yang cukup populer di media digital dewasa ini antara lain adalah Gerakan One Week One Book. Komunitas yang mengusung dan mendukung agenda kajian dan resensi buku ini merupakan sarana yang bermanfaat untuk menelusuri dan mendalami sinopsis dari segala macam buku. Ketika saya mendaftar menjadi peserta yang turut meramaikan agenda mingguan yang menjadi tuntutan komunitas ini, ada beberapa pelopor yang menjadi tim sukses di balik forum literasi ini. Salah satu diantaranya adalah Jihan Mawaddah. Jihan merupakan salah satu co-founder yang punya peranan penting dalam membesarkan komunitas literasi yang kini harum namanya di jagat media sosial.

Gerakan One Week One Book, menantang peserta meresensi buku setiap minggu.

Srikandi pegiat literasi asal Malang ini lahir tujuh belas Januari awal era sembilan puluhan. Jihan memaparkan bahwa namanya dicetus oleh sang ibu, tepatnya terinspirasi dari  seorang sastrawan
Mesir bernama Jihan Syadat. Sehari-harinya, Jihan bergelut dalam profesi yang cukup menantang, yakni selaku penyuluh masyarakat. Hingga saat ini, sudah banyak prestasi yang diukir Jihan di tempat pengabdiannya. Beberapa di antaranya adalah:

a. Penyuluh Teladan Kota Malang 2018.
b. Juara 2 Penyuluh Teladan  Kementerian Agama  Provinsi Jawa Timur 2018
c. Juara 2 Esai Naskah Moderasi Beragama Provinsi Jawa Timur 2019

Jihan Mawaddah

Selain aktif mengelola Gerakan One Week One Book, Jihan merupakan tokoh sentral di forum Asean Moslem Action Network saat ini. Berbekal pengalamannya menjadi pembicara umum dan penyuluh unggulan, Jihan kerap berkontribusi dalam memecahkan isu beragam segmen masyarakat. Beberapa di antaranya adalah tentang parenting, literasi beragama, hingga anti-terorisme. Di sela-sela kesibukannya, Ibu dari seorang putri Al-Isya ini selalu menyempatkan diri menjadi jamaah pengajian Ustadz Shaleh Hadrami untuk mengisi akhir pekannya.

Saya pertama kali mengenal Jihan melalui sebuah program tantangan menulis satu bulan yang digagas oleh One Day One Post, yang bertajuk Ramadhan Writing Challengen One Day One Post 2019. Setelah berjibaku satu bulan dalam beragam tema tulisan, saya dan Jihan dinobatkan menjadi penulis terbaik. Bentuk tulisan yang kerap dibawakan Jihan cukup beragam;  esai, opini, artikel, cerita pendek, dan novel. Tema yang kerap menjadi unggulan Jihan dalam menulis adalah motivasi dan keluarga. Dalam waktu dekat, Jihan akan merilis buku solonya yang berjudul "Nasihat Sang Gurunda". Buku ini diniatkan Jihan sebagai refleksi terhadap kumpulan nasihat ayahnya sedari usia dini.  Saya sendiri tak sabar menanti  buku oleh yang diterbitkan oleh Caraka Media ini.


Karya Jihan yang akan terbit dalam waktu dekat


Perihal kegiatan menulis di luar profesi, Jihan telah mengantongi jam terbang yang cukup mumpuni dalam menyusun antologi. Hingga saat ini, tidak kurang dari sepuluh judul antologi telah melibatkan dirinya sebagai kontributor. Jihan memulai pengalaman antologinya semenjak 2018, mulai dari proyek penerbit independen Motiva Inspira, sampai berhasil menembus penerbit mayor Diva Press. Jihan menuturkan, bahwa di antara karya antologi yang digarapnya, My Beauty My Journey merupakan proyek yang paling membutuhkan perjuangan. Berikut daftar lengkapnya:

Antologi-antologi yang melibatkan Jihan Mawaddah




Selain menulis buku, Jihan merupakan blogger wanita Indonesia yang patut diperhitungkan. Laman jeyjingga.com  dan bloggerperempuan.co.id menjadi wadahnya untuk mencurahkan aspirasi, inspirasi, dan intuisi. Bagi seorang Jihan, tiada hari tanpa berbincang buku dan tulisan.

Bisa dikatakan, dunia literasi seakan menjadi agenda yang hampir sama pentingnya dengan bernafas bagi seorang Jihan Mawaddah. Tatkala ditelusuri tentang minat, Jihan dengan mantap menjawab bahwa Gerakan One Week One Book dan One Day One Post telah menjadi sumber asupan nutrisi jiwa dan nalar baginya. Kini Jihan berjibaku dalam perjuangan menaklukkan tantangan di One Day One Post melalui grup Konstatinopel.  Dalam menjalankan kesehariannya, Jihan memiliki satu prinsip, yang dikutip dari salah satu ayat al-Qur'an: 



“Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji?” (Q.S Al-Ankabut:2) 

Bagi seorang Jihan, ayat pertengahan akhir dari surat terpanjang al-Qur'an ini kerap menjadi pelecut semangat untuk menghadapi ujian dan tantangan kehidupan. Bila mengulik lebih dalam cita-cita dari wanita yang menggemari Dream Theater ini, tak lain adalah: 


Istiqamah dalam menulis dan membaca, hingga menghasilkan karya yang menjadi amal jariyah. 

Sebagai role model untuk menulis, wanita penyuluh yang biasanya menemui puncak kesibukan di hari Selasa ini kerap mengidolakan  Ahmad Tohari dan  Adian Husaini. Tak terhitung karya Ahmad Tohari yang telah dilahapnya. Salah satu karya Ahmad Tohari yang kini sedang ditekuninya adalah "Di Kaki Bukit Cibalak".

Bila tertarik untuk menghubungi Jihan,  bisa dikontak di hanjihan@gmail.com. 

SEKIAN

Biografi ini didedikasikan untuk tantangan terakhir One Day One Post. 
#biografi
#lainkelompok
#lastchallenge
#tantangan9
#tantangan9OneDayOnePost
#OneDayOnePost2019batch7









Rabu, 30 Oktober 2019

Arah yang Harus Ditempuh Dalam Cerita Ini

(Cerita ini adalah sambungan dari "Dengan Siapa Akan Kita Jalani Cerita Ini" )

Bukit Jadi

Demikianlah nama yang telah disematkan dalam benteng yang agung ini. Tebing-tebing tersusun dalam lajur yang berliku-liku, berperisasi batu-batu tajam dan danau yang mengisi pekarangannya.  Diantara bentuk tubuhnya yang anggun, riuh rendah alap-alap dan elang terdengar bersahut-sahutan. Meluncur, melesat, menukik, hingga menari di dalam ruang antara dataran dan langit. Setiap harinya, para pengerat, kelinci, terwelu, luwak, hingga kambing gunung menemui ajalnya dalam genggaman cakar-cakar pasukan elang yang terasah. Tak terkecuali bagi Rudra. Elang jambul yang mengemban nama sang dewa angin ini bukan hanya sekedar pemancing ulung, melainkan seekor radar kompas bersayap yang akurat. 

"Dua ratus meter di bawah lereng, kambing muda gemuk  merumput dengan riang. Bagus. Dengan segera kuantar menemui sang Pencipta."

Rudra lepas landas dari ujung lereng tempatnya bertengger. Di dalam zona hampa udara, sayapnya membuat gerakan seperti baling-baling memutar. Paruh menjadi ujung kemudi, ekor pusat kendali. . Cakar besarnya mencengkram lalu membanting kambing muda itu ke batu tebing yang keras. Paruh besarnya kini siap menjadi pusara bagi hewan malang tersebut. Memang lingkaran kehidupan begitu adanya. 

"Terima kasih, telah melenyapkan rasa laparku"


Acara bersantap usai, Rudra merasa bahwa gunung tempatnya berdiam terasa membosankan. Setiap harinya: makan, terbang, lalu tidur adalah siklus yang selalu berulang. Kini mata Rudra membidik hutan, berharap petualangan baru memecah kebosanannya. Tatkala mengangkasa beberapa ratus meter dari dataran, Rudra melihat asap membumbung tinggi dari beberapa pohon yang terbakar. 

__________

"Rawwwwrrr!!!"

"Groaaaaarrr!!"

"Hei, macan tutul biadab, kembalikkan adikku! Aku takkan memaafkanmu bila kau tega mencincangnya."

"Ambil kalau kalian bernyali. Sebentar lagi kalian pun hanya menjadi seonggok bangkai."

Macan tutul itu berotot besar, bersorot mata bengis, dengan taring bengkok setajam belati. Beberapa kali Riga mencoba melumpuhkan lehernya, pun Komu yang berusaha menyerang tengkuknya, macan tutul tua itu selalu berhasil meredamnya. Tubuh mereka berdua penuh bilur-bilur cakar dan sabetan taring. Diantara baku hantam tersebut, Neka mengambil ancang-ancang untuk memapah Kamga yang tak sadarkan diri. Macan tutul yang menoleh dalam kepungan, menjadi geram. 

Sementara para iguana berlari ke arah Barat, Komu dan Riga masih berusaha menahan macan tutul tua yang beringas itu. Macan tutul menghempas dua predator muda itu dengan mudahnya, lalu mengejar dua ekor iguana yang lari pontang-panting. Nahas, bahaya tak hanya mengintai dari darat. 

"Seratus lima puluh meter  dari  arah barat diagonal terhadap tebing, dua reptil kuning kehijauan sangat menggiurkan. Baik, waktunya kudapan" gumam Rudra setelah menerawang dari ketinggian. Bergegas ia kembali lepas landas. 

Salah satu pohon lapuk mendadak tumbang, Rudra mengambil posisi berbelok dengan gesit. Tetapi ia kurang mujur, hingga menabrak pohon lain lalu hilang keseimbangan. Pohon yang ditabrak elang jambul itu ikut rubuh, Tak dinyana, pohon yang rubuh itu menjepit macan tutul. 

"Aaaarggh!! Kaa...kalian takkan bisa lolos!" 

"Menyerahlah, macan tutul, Lukamu sudah parah. Jangan kau ganggu kakak dan adikku. "

"Tidak semudah itu, kom,...komodoo....Lebih baik kau yang kumakan sekarang!"

Kraus! Dengan mudahnya, Riga berhasil menerkam tengkuk macan tutul tua yang sudah pincang itu.. Tetap saja macan itu menolak mati konyol, meski  sebagian kulitnya telah robek dan kakinya tak lagi gesit bergerak. Sekejap, Komu ikut menggigit leher macan tua yang telah terdesak, hingga sesak nafasnya.  

"Komu, Riga, kita bantu dulu burung yang jatuh tadi. Tanpa dia, mungkin kita takkan selamat dari macan tua itu."

._______

"Tuan elang, engkau sudah siuman?"

"Ehmm...dimana aku berada? Jadi, kalian satu kelompok?"

"Engkau ada di sarang kami, tuan. "

(Berkata dalam hati: Oh, jadi kadal-kadal yang mau ku santap itu satu kelompok dengan harimau dan komodo?) "Kalian sudah lama tinggal di sini?"

"Hampir satu tahun kami mengembara, dan inilah rumah terbaik kami,  tuan elang."

"Apa kalian akan menetap di sini selamanya?"

"Apa maksud tuan berkata demikian?"

"Baru tadi pagi aku melihat api menyala di salah satu sudut hutan ini. Semoga mataku ini salah. Namaku Rudra, dari gunung Bukit Jadi."

"Gunung? Tempat apa itu, tuan?"

"Hei, iguana, coba kau....."

"Jilat dulu kakimu?"

"Hahaha. Tak perlu, anak komodo. Aku hanya bergurau. Tanpa berkelakar, melupakan luka sayap terkilir takkan terasa mudah bagiku. Gunung adalah dataran yang memiliki ketinggian berbeda jauh dengan daerah sekitarnya, berupa sebuah tonjolan besar. Rumahku ada di antara tebing-tebing yang mengelilingi gunung."

"Seperti apa rasanya hidup di antara tebing yang tak banyak pohon, tuan Rudra?"

"Tetap menyejukkan dan nikmat untuk tidur. Kalau ada yang berani mengganggu tidurku, besok pagi dia sudah jadi hantu tanpa kepala. Hahahahaha"

"Apalagi kalau mengusik dengan pertanyaan: _kapan nikah_? Wah, kayaknya besok udah jadi tuyul."
. Dagingnya kita jadikan salad."

"Bisaan juga kamu, harimau abege. Nanti sampai di rumahku, aku ajarkan cara melawak tanpa bermain cakar dan taring. Aku jamin hidupmu tak membosankan,"

Segenap penghuni sarang larut dalam gelak tawa. Rudra mulai lupa tentang niatnya memangsa para kadal, sekaligus menceritakan tentang bahaya api yang mulai menyebar di hutan itu. Sehari kemudian, bahaya menyergap melalui pintu-pintu tak terduga. Saat itu senja kian menyala merah, matahari sedang menuju tempatnya terbenam. 

"Bau apa ini? Seperti ada yang hangus, Kamga."

"Entahlah, setahuku tak ada yang bisa menyalakan api, Apa jangan-jangan?"

"LARI!!! Lari jika ingin tetap hidup!! Api sudah di dekat kita!"

Kepulan asap mulai menampakkan wujudnya, Adalah Riga dan Rudra yang menangkap api yang menghambur di luar sarang mereka. Lantaran Rudra sedang sulit untuk terbang, Komu yang berbadan besar segera memapahnya bersama Riga. Neka dan Kamga lari terlebih dahulu, sembari mengarahkan tiga hewan predator itu menuju tempat yang belum tersentuh api. 

"Lihat, api semakin menyebar! Harus kemana kita, Kak Neka?"

"Nanti kita akan menuju gua. Di sana kita akan beristirahat sementara."

"Sudah, kalian tak perlu ke gua. Di sana ada beruang yang siap memangsa kita. Apalagi, luka kita semua belum pulih. Lebih baik kita berlelah-lelah malam ini menuju rumahku di tebing. "

"T-t-tapi, bagaimana kalian akan beristirahat untuk memulihkan luka?"

"Sudah, kalian ikuti saja arah rumahku. Aku akan tuntun kalian untuk mencari makan dan minum selama perjalanan. Lebih baik kita mati dalam perjalanan mencari tahu penyebab dari kekacauan ini,  daripada bulat-bulat ditelan beruang. Kalau kalian lebih memilih diam di sini, aku tak bisa jamin bahwa kita takkan mati kehabisan nafas.  "

Maka, dimulailah perjalanan Komu, Neka, Kamga, dan Riga mengikuti jalur yang dituntun oleh Rudra untuk mengungsi. Entah apa yang membuat hutan semakin membara. 

BERSAMBUNG

#Tantangan8eps4
#Ceritabersambung
#SambunganhariRabu
#ODOPBatch7
#OneDayOnePost












Selasa, 29 Oktober 2019

Dengan Siapa Kita Jalani Cerita Ini

(Cerita ini adalah sambungan dari 'Mari Kita Mulai Cerita Ini')

Molo bergumam dalam hati, saat ia menatap kasuari yang menyebutkan nama satwa asing. 

("Sudah kuduga, memang dia hendak memperdayaku. Kali ini, aku takkan bertanya lebih jauh. 
Bosan kujilat seisi rimba hanya untuk mencari jejak anak-anakku.")

"Mohon maaf tuan kasuari, aku sepertinya salah arah. Terima kasih telah menerimaku di wilayahmu."

"Oh begitukah? Sepertinya kau memang mencari seekor musang dibalik semak-semak ini. Kau cukup menjilat kakiku dulu, sama seperti hewan lainnya. "

Molo berbalik arah, antusias mencari sumber bau yang sedikit dikenalnya. Tak diindahkannya tanggapan kasuari. Terperanjat dan tertekan. Beberapa cangkang telur sudah dipecahkan, sisa sebutir dan seekor kadal kecil yang terluka. Musang Bajengkong sedang tertidur. Bergegas Molo mengambil langkah memutar untuk menyelinap ke dalam semak, kemudian dibawanya telur yang masih utuh bersama bayi kadal yang terluka. 

Rupanya, musang hitam besar dengan hiasan kepala tengkorak burung itu terusik oleh gerakan induk iguana. Ia mengancam dengan beringas, tepat setelah terjaga dari tidur siangnya.

"Hei! Kembalikan makananku! Akan kulumat kalian."

Molo berusaha susah payah lari dari Bajengkong dengan membawa 'banyak muatan'.  Sesaat Bajengkong mulai menyusul, tinggal selangkah untuk mencengkram mangsanya yang berlari. 

"DOR!" "DOR!"

Bajengkong berbalik arah, lari tunggang langgang mendengar bunyi yang nyaris memecah gendang telinganya. Matanya menangkap api yang melesat menuju pepohonan, melumat dedaunan. Molo tetap berlari sekencang-mungkin, karena tujuan besarnya hanya tentang keselamatan diri dan nyawa dua ekor kadal yang dilindunginya.


_______
_______
"Komu, apa yang terjadi denganmu? Sudah tiga hari ini kau buang air besar dan muntah lebih dari sepuluh kali. Apa jangan-jangan mimpi tentang ibunda membuatmu banyak pikiran?"

"Aku tak paham, kak Neka. Mungkin memang aku merindukannya, sama sepertimu. Tapi entah mengapa, rasanya aku tak sanggup mengunyah buah-buahan selama beberapa hari ini."

"Ya, aku juga merindukan ibunda, Komu. Mungkin, buah-buahan yang tadi sudah membusuk. Kita memang sedang tak banyak pilihan untuk bertahan hidup, gara-gara longsor besar itu."

"Aku jadi terpikir soal Mara, kak Guni, dan kak Bong. Bagaimana ya mereka? Apa mereka sehat?"

"Entahlah, kuharap mereka sehat-sehat saja. Sebenarnya Mara mau saja ikut dengan kita, selama ia mampu membuang rasa segannya terhadap kak Bong dan kak Guni.  Kak Bong memang kasar dan egois dari dulu, sementara kak Guni baru nurut kalau ada maunya. "

"Eh....kok ada bau makanan ya? Tampaknya ada sesuatu yang lezat tak jauh dari sini."

"Entah kenapa, aku tak bisa menciumnya, Komu. Mungkin itu adalah makanan yang cocok untuk lidahmu."

Secara refleks, Komu berlari menuju sumber bau. Ada sesuatu dari dalam diri Komu yang membuat kadal besar remaja itu berlari lebih cepat dari biasanya.  Bau itu ternyata adalah aroma amis darah dari seonggok jasad babi hutan yang ususnya terburai, tergeletak di balik patahan ranting dan kayu pohon besar. Lantaran Komu tak kuasa menahan air liurnya, maka dilahaplah bangkai tersebut.

"Kamu sanggup makan bangkai seperti ini, Komu? Hoeekss,..... aku mual sekali mencium baunya."

"Kenapa ya bisa nikmat sekali? Justru aku merasa tak pernah merasakan kelezatan seperti ini sebelumnya"

"Hei kalian! Roooaaaaaaaarrrrr!! Itu makananku!"

Dari belakang semak pohon tempat jasad babi hutan teronggok, muncullah sesosok kucing loreng besar dan bertaring. Aumannya membuat suasana jamuan makan mendadak tegang. Keringat dingin Komu dan Neka seketika mengucur deras. Mereka memasang kuda-kuda, karena bisa jadi sosok kucing besar itu siap mencabut nyawa mereka karena makanannya direbut.

Namun....harimau beranjak remaja itu mendadak sedikit iba melihat perawakan Komu yang kurus kering.

"Hei, komodo. Aku mengerti kamu memang sedang lapar. Tapi paling tidak, lain kali lihat dulu sekitarmu. Babi hutan itu hasil buruanku, jadi lain kali kalau mau makan bawa buruanmu sendiri. Aku tak keberatan makan bersama-sama."

"Maaf, kau panggil aku komodo, kisanak? Apa itu komodo? Aku ini iguana botak."

(Harimau menggumam dalam hati"Ya Tuhan, ternyata aku berhadapan dengan komodo yang tak sadar siapa dirinya?") "Ya sudah, kita makan saja babi ini bersama-sama. Lagipula, aku sudah cukup kenyang makan usus besarnya. Jadi namamu Komu , ya nama yang cocok dengan asal-muasalmu. Aku Yoka, harimau yang sudah berkeliling hutan ini selama empat tahun."

"Terima kasih Yoka atas kemurahan hatimu. Jadi, kau sebut aku komodo? Bisa ceritakan apa itu?"

"Ya, tentu saja. Kulihat, sepertinya kamu jarang berburu. Yang jelas, kalau kalian bertanya apapun padaku, aku takkan meminta untuk menjilat kakiku. "

Setelah menikmati jamuan babi hutan, Yoka mengajak Komu dan Neka berkeliling hutan. Komodo, cara berburu, dan beberapa langkah untuk bertahan di hutan menjadi topik perbincangan mereka. Tak lupa, Komu dan Neka mengajak Yoka bermain ke sarang. Saat itu, Kamga sedang tertidur pulas.

"Kau takkan memakan adikku kan?"

"Tentu saja tidak, Neka. Aku lebih tertarik berburu sapi, rusa, banteng, dan babi. Maka, jika kalian memboyong seekor rusa jadi teman , siap-siap saja melihat air liurku terkucur. "

"Kau bilang tadi cara membunuh hewan adalah dengan memutus nadinya. Tapi, sepertinya aku tak selihai kau dalam menggigit leher hewan besar."

"Kau punya racun dalam liurmu.  Jangankan rusa, badak pun bisa kau tumbangkan hanya dengan menggigit kakinya."

"Baik. Sepertinya aku perlu lebih banyak berguru padamu. Kau kan calon raja hutan"

"Raja hutan? Ada yang lebih mampu merajai hutan ini. Lebih tepatnya, merajalela. Salah duanya, adalah para pembunuh ibu dan ayahku. Sungguh tega mereka hujamkan api ke jantungnya. "

Komu, Neka, dan Kamga tertegun. Mereka ingat cerita ibu mereka beberapa bulan silam, tentang letusan api yang membuat Bajengkong berbalik arah, dengan bunyi yang sanggup memecah telinga. Seketika keringat dingin mengucur. Khawatir para pemilik api itu ada di hutan ini. Yoka menunduk; dalam pikirannya berkutat kenangan tentang mendiang ayah dan ibu.

Grosak...! Grosak...!

"Siapa itu?"

"Grrroaaaaarrrr!!!!!"

Dalam sekejap, seekor macan tutul segera menggamit Kamga, iguana bertubuh mungil itu, dalam mulutnya. Komu, Neka, dan Yoka bergegas mengejar macan tutul dewasa itu.


BERSAMBUNG

#TantanganODOP8eps3
#SambunganSelasa
#OneDayOnePost
#ODOPBatch7























Senin, 28 Oktober 2019

Mari Kita Mulai Cerita Ini.

(Cerita ini adalah lanjutan dari 'Jangan Baca Cerita Ini)

"Jadi, waktu itu ibu berhasil kabur dari kasuari dan musang bajengkong?"

"Ya, untung penciuman ibu masih tajam. Meskipun musang bajengkong bersembunyi di sekitar semak yang cukup gelap, sudah kutemukan batang hidungnya sebelum kujilat kaki si kasuari angkuh itu. Lalu ibu menemukanmu yang terluka,  bersama seorang saudara angkatmu yang masih hidup."

"Ibu, siapa sebenarnya ayah dan ibu kandungku. Aku tak mengerti mengapa saudara yang lainnya risih karena tidak punya jambul dan anak tekak. Kerap kali mereka bilang aku anak ular yang cacat karena lidahku yang bercabang ini?" 

"Kamu memang anak ibu, Komu. Meskipun kau lahir bukan dari telurku, tetapi sebagai sesama kadal engkau adalah anakku yang sejiwa dengan saudara-saudaramu. "

"Ibu, terima kasih sudah menyayangi dan membesarkanku setulus hati. Aku ingin sekali tetap melindungi dan mengayomi semua keluargaku. Bantu aku untuk tegar, Bu."

"Sebagai pejantan, kau harus tangguh meskipun ada saatnya menangis sulit untuk dihindari.  Jadilah anak kebanggaanku, seperti saudara-saudaramu yang lain. Ibu dan saudara-saudara akan terus menjagamu pula."

Seusai bercengkrama dan berpelukan, Komu pergi mencari air minum. Kepalanya yang panjang dan lonjong terjejali banyak hal, salah satunya tentang jati diri. Komu menatap dalam-dalam danau yang jernih, dimana pantulan wajah terlihat jelas. 

"Mengapa kepala ini pitak? Kapan akan tumbuh jambul ? "

"Taring-taring ini, besarnya berbeda dengan milik kakak-kakak iguana. Air liur tak berhenti menetes, aku tak suka. Karena air liur ini, mereka kerap menjahiliku, kecuali Neka. "

"Lalu, apa yang terjadi dengan badan ini? Aku masih lebih muda dari mereka, mengapa tubuh ini kian membesar?"

Kemudian Komu merenungi perjalanannya bersama Molo, ibu angkatnya yang penuh welas asih. Delapan tahun silam, ia dibawa kabur dari terkaman musang bajengkong. Musang sadis yang senang menyantap hewan pengerat, burung,  dan kadal muda itu tak lain adalah seekor binturong yang memasang paruh burung rangkong sebagai hiasan wajahnya. Komu ingat secara samar-samar bagaimana gigi tajam musang bajengkong menembus kaki belakangnya, hingga menghilangkan kesadaran utuhnya. 

                                 
                     
                                 
Mengapa aku berbeda dengan yang lainnya?

"Pok!"

Sebuah tepukan membuyarkan lamunan liar Komu

"Komu, kenapa melamun saja disini? Sebentar lagi kita akan mencari makan. Jangan sendirian aja, nanti kalau kamu dimangsa gimana?"

"Kak Neka? Maaf aku terbawa ingatan masa lalu. Aku hanya heran, tentang siapa dirimu."

"Kukira, mungkin kau seekor biawak, Komu. Tetapi biawak pun tak sebesar dirimu. Tak mengapa buatku, soalnya enak tidur dibawah badanmu yang besar. Selama tidak ditimpa, hehehe..."

"Ah Kak Neka suka aneh juga.  Takutmya Kak Neka jadi gepeng kalau aku sulit menahan kantuk."

"Entah kenapa, Komu. Aku tidak ingin menjahilimu seperti saudara yang lain. Kamu punya suatu kehangatan yang berbeda dengan iguana seperti kami. Aku pun tak takut dengan taring datarmu yang bergerigi itu. Setiap makhluk pasti memiliki keistimewaannya tersendiri. "

Komu dan Neka mengikuti ibu dan saudara mereka mencari pangan untuk siang hari. Berjalan cukup lama, tampaklah sebuah pohon pisang yang berbauh  ranum. Pohon yang cukup tinggi itu berdiri dekat tebing tanah gembur yang licin.

+ "Pisang lebat! Jamuan besar!!"

0 "Cukup nih buat tahan sampai sore."

+ "Aku mau lahap semuanya"

- "Ih bagi-bagi lah, masa semua mau diembat sendiri"

+"Kom, kita mau manjat, nih. Badanmu kan besar, boleh dong sebentar jadi pijakan."

- "Boleh, tapi beri Ibu jalan terlebih dulu. Sejak kemarin, jatah makan Ibu sudah dihabiskan kalian semua."

                                            Molo melangkah ke pohon terlebih dahulu

Komu pun mempersilakan saudara-saudari angkatnya untuk memanjat melalui badannya yang memegang pohon, tepat setelah Molo memimpin di depan. Begitu menduduki puncak pohon, saudara-saudari Komu berebut mengambil semua sisir pisang dengan tergesa-gesa, sampai-sampai Kamga, adik bungsu mereka terpelanting jatuh dari pohon. Untungnya, kedua kaki depan Kamga masih berpegangan pada ujung tebing.

"Kakak-kakak, Kak Neka, Ibu, tolong aku!"

"Kamga,...bertahanlah, Nak. Ibu segera datang!"

.....
"Hahahahahaha! Kutemukan kalian lagi, kadal betina dan anak-anaknya, sebentar lagi akan kulahap kalian"

Di tengah suasana genting itu, terdengar suara tawa tak jauh dari pohon besar tersebut. Rupanya, musuh lama Molo muncul, musang Bajengkong. Musang Bajengkong dengan segera mencengkram leher Molo, sementara Neka berusaha mencakar agar ibunya dilepaskan. Di saat bersamaan, Komu dengan sigap menjulurkan kaki depannya untuk menolong Kamga

"Kamga, pegang tanganku sekarang. Jangan lihat kebawah!"

"Kamga takut, Kak Komu,...cakar kakak besar sekali."

"Lecet sedikit tak akan mengapa, Kamga."

Brug!

Suara hantaman memecah kegentingan. Neka yang berusaha melawan terus digempur oleh Bajengkong. Molo terlepas dari cengkeraman,  lalu terbanting  dari pohon, kepalanya terantuk batu besar. Tampak deras merah darah mengucur di permukaannya. Komu dengan segera menarik Kam

"Ibuu,.....kurang ajar kau Bajengkong! Kau lukai ibu kami!"

"Matilah kau Bajengkong!"

Musang Bajengkong kembali dengan tabiat culasnya 


Semakin tua semakin jadi. Musang Bajengkong sudah naik tingkat dari sekedar pencuri telur dan bayi hewan, menjadi penyamun kelas kakap. Sabetan cakarnya yang gesit berhasil meredam serbuan para iguana yang jumlahnya tak lebih dari empat ekor. Di setiap wajah para iguana, Bajengkong mendaratkan luka menganga. Tatkala melihat  Komu dan Kamga, Bajengkong semakin beringas, lantaran dua kadal itu terlihat menggiurkan

"Cukup kubunuh kamu yang berbadan besar, yang kecil akan kulahap setelahnya"

Crak!!

"Oh, iguana botak besar ini boleh juga nyalinya ya. Kamu bisa menggigit tangan kiriku, tapi bagiku ini cuma sekedar garuk....eh? Uhuk...uhuk..... Kenapa kepalaku pusing sekali? Hhhaahhah,....ken,...kenapa sesak rasanya. Si,....apa kamu seb...benar...nya, kadal bes..ssaar? Apa jangan-jangan,...kkkk..kaaamuuu....."

"Aaaa.....akuuu...tidak ingin mati di sini,.! Aku,...masih,...ingin....ma...kaaan."




Musang Bajengkong memuntahkan darah dari mulutnya. Nafasnya tersengal-sengal, sementara luka tangan bekas gigitan Komu menjadi busuk dengan cepat. Rupanya, tubuh Bajengkong yang tak terlalu besar membuat bakteri dalam gigi Komu menyebar cepat.  Musang Bajengkong menuai karma, karena telah mencari masalah dengan seekor komodo muda. Bajengkong mengerang untuk terakhir kali, kemudian menghembuskan nafas terakhirnya. Tepat saat darah mengalir deras dari hidungnya.

"Ibuu,...bertahanlahhh. Kakak-kakak, Neka, Kamga, ayo papah Ibu."

"Jangan tinggalkan kami, Bu."

Mereka semua sudah terlambat. Jiwa Molo sudah lepas dari raganya. Para iguana dan Komu bersedih. Tak lama, dua ekor iguana tertua beradu mulut. Mereka saling menyalahkan mengapa Molo bisa terjatuh dari pohon.  Neka berusaha melerai, justru mereka berbalik menghina Komu -seperti biasa-.

"Seandainya kamu tak membawa kami ke pohon itu, Komu, ibu mungkin masih hidup sampai saat ini."

"Ya, coba saja kamu bunuh musang sialan itu lebih cepat, mungkin kami semua sudah selamat."

"Tta, tapi aku kan sedang menyelamatkan Kamga. Hampir saja dia jatuh tadi. "

"Kak Bong, Kak Guni, kenapa kalian malah menyalahkan Komu? Dia dari tadi berusaha menolong adik kita."

"Entah kenapa, aku tak suka Komu di sini. Sejak ada dia, kita selalu kena sial. Terserah kamu Neka, kalau  nekad mau dia tetap ada disini atau mau ikut kami. Sekarang aku, Guni, Kamga, dan Mara akan mengembara ke tempat lain, sebelum kami mati tergigit taringmu, Komu. "


"Baik, mungkin aku tak sepantasnya berada di sini. Maafkan aku telah merepotkan kalian selama bertahun-tahun. "

Setelah jasad Molo dikubur,  Komu melangkah gontai menuju selatan, sementara Bong memboyong empat saudaranya menuju utara. Sekian kilo perjalanan, Komu melihat bunga bermekaran. Dipetiknya salah satu bunga dan digenggamnya melalui rahang. Komu berbalik arah menuju tanah tempat jasad Molo terkubur,  lau air mata menggenangi korneanya yang kecil.

"Ibu, maafkan aku tak bisa melindungimu. Semoga ibu bahagia di sana. Aku berjanji. Komu akan selalu menjadi anak yang ibu banggakan. Komu akan berwelas asih kepada semua bangsa kadal, entah ia hidup di hutan, gurun pasir, atau dimanapun. Komu akan selalu ingat, bahwa semua kadal bersaudara."

"Jangan khawatir Komu, kamu tak sendiri."

"Kak Neka? Kamga? Bukannya kalian mengikuti Kak Bong dan yang lainnya?"

"Mungkin gigi dan cakarmu menakutkan. Tapi aku takkan mengingkari apa yang pernah ku ucapkan tentangmu, adikku.  Aku takkan tahan untuk satu jalan dengan mereka bertiga yang egois. Lebih baik kubawa Kamga untuk menemani pengembaraanmu. Akan kemana kamu sekarang, Komu? Bukankah kami adalah yang membuatmu merasakan artinya sebuah rumah?"

"Aku tidak tahu kemana. Yang jelas, aku ingin kalian mencintaiku bukan sebagai iguana, tapi sebagai apa adanya diriku."

"Tentu, apapun yang terjadi, kamu tetap saudara sebangsa kadal."

Komu semakin larut dalam haru, lalu memeluk kakak dan adik angkatnya itu. Sungguh, berbeda bukan alasan untuk saling membenci. Bukankah keberagaman adalah warna kehidupan?

BERSAMBUNG

#TantanganCeritaBersambung
#episode2dariceritadianggaptamat
#perjuanganparakadal
#Tantangan8ceritabersambung
#OneDayOnePost2019Batch7










Minggu, 27 Oktober 2019

Feature: Jalan Terjal Mengubah Laut Menjadi Listrik

Pengalaman kerja kuliah nyata memang membekas bagi sebagian orang. Tak terkecuali saya, yang memilih pabrik pembangkitan listrik menjadi tujuan dalam menguji pemahaman kuliah selama tiga tahun. Dalam episode kali ini, saya akan mengulas lebih pabrik pembangkitan listrik di Suralaya, yang terletak cukup dekat dengan Selat Sunda beserta perjalanan yang harus ditempuh ubtuk mencapainya. 

Lima hingga tujuh jam. Demikian jumlah durasi yang harus ditempuh sebuah bus dari Bandung untuk bisa mencapai kota pelabuhan Merak. Lokasi pelabuhan strategis yang menghubungkan ujung Jawa dengan pangkal Sumatera ini adalah pintu akses termudah untuk memasuki Suralaya. Adapun jalan paling mudah ini tersusun aspal retak dikerubungi bebatuan terjal. Jadi jangan heran bila kita harus siap bergoyang di atas motor, angkutan umum,  atau mobil saat menempuh jalur ini. 

            Jalan Terjal Menuju Suralaya 

Suralaya sendiri adalah sebuah desa yang berdekatan dengan pantai. Setiap malam, pantai Suralaya biasanya dijaga oleh beberapa orang satuan pengamanan. Selain bertugas mengamankan, mereka juga disiagakan untuk menanggulangi kesurupan yang biasanya menimpa para pelancong pantai yang suka 'mencari masalah' saat malam hari. 

     Jangan Main Sampai Malam di sini!

Pabrik pembangkitan listrik yang dimaksud dalam feature kali ini, adalah Unit Bisnis Pembangkitan Suralaya milik PT Indonesia Power, salah satu anak Perusahaan Listrik Negara. Bisa dibilang, arus listrik yang menyangga satu kabupaten biasanya ditopang oleh unit pembangkitan yang ada di pelosok. Sumber kekuatan Unit Suralaya dalam membangkitkan arus listrik yang masif itu adalah pengolahan air laut. 

Berdasarkan pengetahuan dasar yang dipahami sebagian besar orang, pada umumnya PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) memerlukan sumber air yang cukup besar. PDAM memang difokuskan untuk memenuhi pasokan air minum, manakala PLTA mengolah listrik dari sungai, danau, laut, hingga hujan. Bedanya, air untuk membangkitkan listrik harus bebas klorin, tak seperti halnya air minum. Lantaran UBP Suralaya menggunakan air laut, proses desalinasi dan membran osmosis terbalik menjadi rangkaian proses untuk menjernihkan air (sangat) asin menjadi air berion murni. 

Terkait dengan desalinasi, air laut dijernihkan dengan tenaga suhu panas yang cukup tinggi. Keakuratan alih energi melalui prinsip termodinamika menjadi faktor kesuksesan dalam membebaskan substansi air laut yang menjadi penghambat arus listrik. Maka, menjaga proses aliran panas dalam instalasi desalinasi dibutuhkan keahlian dan daya stamina dalam membaca angka temperatur dan faktor kestabilan mesin yang optimal. 

Panas Mengubah Air Laut Menjadi Arus Listrik 

Bagaimana dengan membran osmosis terbalik? Proses pengalihan air laut menjadi air pembangkit listrik akan melalui penyaringan membran sebanyak ratusan kali. Dari mulai tangki penampung hingga pemisah kuman dan klorin, adalah serangkaian petualangan panjang agar air laut aman diubah mesin pembangkit  menjadi sumber arus lampu, laptop, dan stopkontakmu. Sebagaimana mesin pada umumnya, instalasi membran rawan terkena kerak. Maka diperlukan proses pembilasan dan penambahan cairan kimia untuk menjaga kestabilan rangkaian sistem proses. 

                  Rangkaian Membran 

Tentu saja, limbah pasti selalu terjadi setiap kali suatu proses dijalankan. Residu sisa konversi listrik ini dilenyapkan oleh Mesin Penguapan Elektrostatik. Dengan menggunakan energi kinetik bercampur magnet, sisa substansi hasil proses dicacah semakin kecil dengan gerakan turbin berarus. 

         Magnet Ajaib Pelenyap Debu


Bagi para insinyur mesin, listrik, dan lingkungan, menguji efisiensi dari proses pengolahan hingga pemusnahan residu merupakan lahan penelitian yang cukup menantang. 

Ini adalah sebuah cerita tentang bagaimana laut berubah wujud jadi listrik melalui keajaiban mekanika, kimia, dan fisika. Bagaimanakah listrik hadir di kotamu? 




Sabtu, 26 Oktober 2019

Kenikmatan Berdebat Dengan Para Bedebah

Negeri saya ini lucu. Tanpa perlu sesering mungkin menonton tayangan humor, beberapa sikap dan tingkah laku orang-orang yang berada dalam dunia maya dan nyata senantiasa membuat perut ini sakit. Sudah beberapa tahun ini, saya lebih suka untuk melatih diri untuk mengubah sakit hati menjadi sakit perut. Soalnya, sakit jiwa tidak ditanggung asuransi kesehatan. 

Apalagi, asuransi kesehatan jaman sekarang malah mengancam status kewarganegaraan para penggunanya. Saya masih ingat berita beberapa hari silam, bilamana uang premi tidak dibayarkan, maka layaban listrik  dan kartu tanda penduduk milik pengguna berhak dicabut. Sungguh sebuah ironi berlelah-lelah kerja hanya untuk membayar asuransi kesehatan, meski di sisi lain tak semua rumah sakit mau menerima jaminan asuransi untuk hal-hal yang sepele tapi vital. Itupun belum termasuk tagihan listrik dan pajak lainnya. 

Selain  menghemat biaya asuransi, saya rasa, melarikan beragam jenis lelah hati jadi sakit perut bisa memperkaya wawasan. Wawasan tentang hal-hal yang tidak perlu dipikirkan terlalu jauh dan orang-orang yang tidak sepatutnya diambil hati. Di berbagai belahan negeri saya, polusi beraneka rupa telah muncul. Tak hanya polusi udara, air, dan tanah: polusi informasi, waktu, etika, dan isu ikut mewarnai kekeruhan dan kekisruhan yang telah lama menjangkiti negeri ini. Sialnya, banyak orang yang justru ketagihan untuk menghirup beragam macam jenis polusi baru ini.  

Sebagaimana tingkat mabuk tergantung kadar alkohol, orang-orang yang menjadi para penghirup polusi ada yang masih biasa saja, ada pula yang berubah wujud menjadi para bedebah. Diantara empat macam polusi yang telah disebutkan, saya selalu berharap banyak lelucon lebih bermutu dilontarkan oleh para bedebah yang kecanduan polusi etika dan informasi.  Masih tertanam di kepala saya, beberapa orang yang memulai 'kelucuan' ini bertahun-tahun silam. Merekalah yang berperan besar untuk mendidik saya agar tak lekas lelah hati menghadapi orang-orang yang masih satu spesies dengan mereka.

Tiga tahun lalu, salah seorang tetangga saya mencicil mobil tipe MPV yang menghabiskan banyak tempat. 'Prestasi' yang diukir mobil tersebut kian bertambah, manakala beberapa kali si bongsor roda empat itu terparkir menyesaki jalan komplek yang tidak luas. Saya sempat lega, lantaran empunya mobil ditegur hansip,

"Pak, mohon maaf lain kali jangan parkir di sini. Banyak orang lalu lalang dan mobil bapak menutupi jalan."

"Rumah saya sudah ga cukup buat masuk mobil pak, emang situ mau bayarin garasi buat saya?"

Rupanya, hansip pun dia lawan. Mbelgedhes! Dasar kelakuan orang pura-pura kaya. Mosok punya uang segepok, beli garasi aja ndak iso. Belum lagi, tetangga saya ini kerap nyombong. 

"Saya merasa punya mobil itu jaminan kebahagiaan. Memang uang tidak bisa membeli kebahagiaan tapi lebih nikmat menangis di dalam mobil daripada di dalam bus. "

Saya cukup tertawa geli mendengar penuturannya, sambil bergumam dalam hati: 

"Yah, benar memang lebih enak buat menangis. Saking enaknya buat nangis, saya ga tahu berapa lama dalam sehari bapak tersedu-sedu dalam mobil itu. Bisa jadi, nangisnya lebih lama di kursi jok daripada kursi bus, lantaran cicilan dan agunan yang nggak beres-beres. Huahahahaha."

Ternyata, bapak tukang pamer itu menemui karmanya. Belum lama ini, bagian belakang mobilnya ringsek diterkam motor tiger. Pelakunya, seorang anak kuliahan berjaket langsung kabur tanpa menengok. 

Ya begitulah namanya harimau, memang gak pilih-pilih mangsa.

Bapak itupun terisak di depan umum, sesuatu yang dianggapnya hina selama ini. Segala sumpah serapah dan ratapan yang keluar dari mulutnya entah kenapa terdengar nikmat di telinga saya dan beberapa orang yang sakit kepala dengan sikapnya. Satu sisi, saya belajar bahwa memang kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang, dan bagi orang yang hobi pamer miskin empati,  kebahagiaan bisa lenyap dalam sekejap. 

Selain bapak tersebut, beberapa bedebah lainnya yang saya ingat, menimbulkan trauma yang cukup membekas. Dia memang tak punya niat mencelakakan, tapi juga tak ada niat bertanggung jawab. 

Saya tak kenal siapa dia, hanya seorang ibu-ibu yang membawa motor bersama anaknya. Yang kutahu, dia membawa motornya berlawanan arah dengan lampu sennya. Paman saya telah menjadi korban dari ketidakjelasan arah motornya, lalu dia ambil langkah seribu tanpa menoleh. 

Saat kulihat lengan paman bersimbah darah, dalam hati kutukan keras kualamatkan pada ibu tak dikenal tersebut.  Tak sampai sebulan, kudengar berita pahit di TV bahwa seorang ibu dan anak meninggal di tempat setelah motornya tersapu mobil minivan.  Saya mengelus dada sambil mewanti-wanti diri sendiri,

"Astaghfirullah Ervan, lain kali hati-hati dalam berdoa. Jangan-jangan, tak perlu menunggu setahun untuk terkabul."

Selain bapak tetangga dan ibu serampangan tersebut, ternyata bedebah tak hanya muncul di lalu lintas dan komplek perumahan. Dua orang teman yang kusangka sahabat selama ini, ternyata menjadi sumber lelucon dengan topik pengkhianatan.  

Dua tahun silam, Roni meminjam uang  dalam jumlah fantastis. Tak kurang dari enam digit. Dia datang memohon dengan muka memelas. Karena iba, tentu saja kuanggap ia berhak atas uang itu. 

Sayang, begitu uang itu kubutuhkan, Roni selalu mengelak.

"Tadinya saya sudah mau bayar, cuman uangnya ketinggalan."

"Maaf dipakai dulu untuk yang lain ya."

"Ada yang lagi penting banget, bro.."

Akhirnya kudaratkan bogem mentah di wajahnya, sambil tertawa puas. Saat itu, alasan yang dia utarakan cukup menggoda nyaliku:

"Bro, emang lu sekarang udah miskin, sampai-sampai lu sering nagihin gue?"

Sama-sama jadi pekerja kantoran, sama-sama pakai motor. Tak kusangka giginya harus rontok di tanganku. Tanpa diminta perusahaan untuk mundur, harga diriku mendorongku untuk resign lebih dulu. Maaf, saya tidak mau lama-lama berkubang dalam lingkungan para 'pelawak' pinjaman uang. Banyak teman sekantor yang justru membelanya, meski tak sedikit yang memaklumi sikapku. 

Aliran uang tak harus menunggu tanggal tertentu, itulah yang saya yakini ketika kembali merintis usaha penerbitan. Usaha ini bertahun-tahun dijalankan dengan merapel pekerjaan kantor. Maka, ketika surat resign sudah jadi resmi, saya lebih fokus menjalaninya. Tapi, tak jua mengusir bedebah yang ada di sekitar saya. 

Eris, yang kusangka bisa dipercaya untuk menjadi tangan keduaku dalam bisnis ini, nyatanya tak lebih dari seorang plagiat.  Beberapa naskah milik mitra, langsung dimuat di koran atas nama dirinya tanpa izin. Mitra marah, langsung saja kuseret dia secara halus. 

"Eris, sekarang kamu hapus publikasi yang sudah dimuat di koran itu. Saya tidak mau tahu, kamu sudah melakukan plagiat!"

Saya kemudian menyindir perlakuan dirinya dalam akun media sosial. Tak lama, ia malah balik mengancam 

"Kenapa pak Ervan tega mencemarkan nama baik saya? Saya akan laporkan bapak!"

"Kalau kamu mau tidak dicemarkan, kamu jangan pernah berniat untuk berkubang dalam kotoran. Saya hanya tidak mau ada editor semacam kamu di teman-teman penerbit lainnya. Kamu mau ngancam? Silahkan! Kita juga punya undang-undang anti plagiasi, dan saya yakin bukan hanya mitra kita yang sakit hati. Yang jelas, kalau kamu mau nekad somasi, saya takkan pernah lari karena saya bukan Pinokio!"

Dia pun diam membisu. Batang hidungnya tak pernah lagi tampak di mukaku bertahun-tahun. Dasar pelawak. 

Mulai dari empat orang itu, saya selalu belajar menertawakan para bedebah yang tidak tahu malu. Lebih-lebih, kadang saya menanti keberadaan orang-orang semacam ini di manapun berada. Sungguh mereka mengusir kebosanan hidupku. 

Tamat

Masih diniatkan untuk tantangan ketujuh ODOP

#Cerpen10paragraf
#ChallengeOneDayOnePost
#OneDayOnePostBatch7
#Tantangantujuh










Jumat, 25 Oktober 2019

Kutunggu Engkau di Podium

KUTUNGGU ENGKAU DI PODIUM
oleh Briantono Raharjo 

Setibanya di kantor polisi, Maryani mencengkeram kerah baju Mansur lalu menampar pipi kanan putra bungsunya itu. Wanita berseragam kasir yang belum genap empat puluh tahun itu geram dengan ulah putranya yang kedapatan memakai shabu-shabu. Setelah mendaratkan tamparan pertamanya, Mahmud, suaminya, menarik dan menahan tangannya. 

 “Maryani, hentikan! Kita belum dengar sendiri penuturan Mansur dan aparat soal bagaimana dia bisa dapat shabu-shabu itu.”

“Kamu memang lembek, Mud! Sekarang kamu lihat dengan mata kepalamu itu bagaimana bengalnya bocahmu itu?”

Melihat pertengkaran orang tuanya, Mansur hanya memicingkan mata. Pikirannya tersekat pada kejadian setahun silam, yang membuatnya terseret obat-obatan terlarang:

Maryani begitu kecewa akan Mahmud, yang harus menerima ‘hadiah’ pesangon setelah bekerja bertahun-tahun. Hari-hari setelah Mahmud dirumahkan, Mansur kerap kali mendengar nada-nada tinggi dari mulut Maryani. Ayahnya selalu menjadi bahan gunjingan manakala didapati hal yang tidak beres dalam rumahnya. 

Lima bulan mengalami pemutihan, Mahmud diterima bekerja di sebuah bengkel. Namun tak ada pujian atau sekedar rasa syukur terucap dari bibir Maryani. 

“Mahmud, bisa bawa berapa kamu kerja di bengkel? Kamu sih cuma lulusan D3.  Untung aku nguli di kasir biar tetep nafas. Mending dulu aku tamatin S1, daripada kepincut janji manismu!”

Mansur yang mendengar omelan Maryani  dari ruang sebelah, berhadapan dengan kebuntuan dalam dirinya. Batinnya seolah tertusuk sebongkah es besar. Ia merasa bahwa menjadi laki-laki seolah tak berarti saat kehilangan mata pencaharian. 

Sayang, saat berusaha bangkit dari titik rendahnya, kadang bukan yang pertama kali menolong bukanlah sosok tulus. Mansur ingat pernah menyanggupi tawaran Rusfi untuk berkenalan dengan para siswi SMA lain di suatu malam. Selain karena percaya Rusfi sebagai teman berbagi rasa, Mansur ingin menunjukkan supremasinya di hadapan wanita sebaya.

 "Semoga saja cewek-cewek yang mau ketemuan gak rese kaya Ibu” gumamnya dalam hati.  

Nyatanya, pertemuan malam itu adalah ranjau yang membuatnya terdepak dari sekolah. Kini ia harus menerima status barunya sebagai pasien rehabilitasi bekas murid SMA, sekaligus menerima kenyataan bahwa Mahmud dan Maryani bercerai. Belum lagi,  Mahmud dan Mansur tidak lagi diperkenankan tinggal satu atap. Maryani yang tidak terima penghasilan suaminya dan ulah putranya lalu menahan Marini bersamanya. Beruntung, tidak sampai seminggu Mahmud menemukan kontrakan baru, sementara Mansur harus mendekam dulu di bangsal rehabilitasi. 

Suatu hari, sehelai kertas tercecer menembus celah bawah pintu kamar menarik perhatiannya. Mansur lalu membaca kertas itu: pamflet iklan berisi gambar dan narasi memikat mata. Terketik sebuah inisial di kop kertas: A. Wicaksono.  Ia langsung mencari tahu soal pemilik nama pamflet. Nyatanya, sang pemilik nama saat ini adalah penghuni panti seperti dirinya : Alrian Wicaksono, 

Seusai berkenalan, Alri kemudian menjelaskan bahwa bisnis periklanan masih leluasa untuk dijalankannya sekalipun dalam masa rehabilitasi. Mansur kemudian menyatakan ketertarikannya untuk belajar periklanan.  Kebosanan Mansur dalam panti rehabilitasi tergenapi oleh 'kursus' dari Alri. 

Seusai rehabilitasi, Mansur berusaha untuk lulus paket C, sekaligus mendalami desain periklanan hasil gemblengan Alri.  Ketekunan Mansur membuahkan hasil, saat reklame coretan tangannya merombak bisnis bengkel Mahmud hingga meningkat pesat. Dari uang yang terkumpul, mereka menempati rumah baru sekaligus membuka showroom mobil

Empat setengah tahun kemudian, hidup Mansur dan Mahmud berbalik arah. Mansur adalah mahasiswa berprestasi di universitas tempatnya berkuliah. Tiap kali Mansur terjun dalam kompetisi antar kampus, jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Nagajaya kerap memborong piala, piagam, dan hadiah. 

Suatu ketika, Maryani mencari Mansur dan Mahmud demi agenda yang cukup penting. Lantaran tidak menemukan mereka di kontrakan lama, Maryani mencari tahu dari tetangga sekitar. Didapatilah alamat baru  Mahmud dan Mansur di sebuah komplek cluster. Empat tahun berpisah, Maryani dan Mahmud hampir tak pernah bertatap mata.  Sesekali Mahmud bertanya tentang dirinya dan Marini, Maryani hanya menjawab satu-dua patah kata dalam SMS. 

Maryani tertegun setibanya di alamat baru Mahmud. Rumah barunya lebih besar dari tempat mereka pernah satu atap dan bersanding dengan bengkel berisi perlengkapan otomotif. Maryani memencet bel, dan ternyata Mahmud yang menyambutnya. Selain mengulas tentang persiapan Marini menikah, Maryani mengurai segala lika-liku dirinya dan Marini selepas bercerai dengan Mahmud. Dia menyesali tindakannya mengusir Mahmud dan Mansur, hingga pernah hampir terseret kasus penyelundupan opium. Maryani sempat tak kuasa mengelak pubertas kedua dengan pengusaha yang perhatian padanya dan Marini. 

"Gak seharusnya aku tertipu sikapnya selama berbulan-bulan, Mas Mud. Aku ga nyangka dia bernyanyi di pengadilan soal aku ikut menikmati hasil jualan haramnya." tutur Maryani mengutarakan ironi yang dialaminya.

"Jadi, kamu sekarang nrimo kalau  menantu kita cuma pegawai toko yang gajinya  ndak gede?", tanya Mahmud pelan bernada menyindir.

"Aku paham kalau mas Mud belum memaafkan sikapku. Tapi aku mohon Mas Mud memberikan restu untuknya dan mendampingiku saat resepsi nanti. "

"Restuku selalu ada buat Marini dan Mansur.  Sampai saat ini aku ingat soal kamu yang sulit mendengarkan orang lain dan mudah panik saat terkena masalah.  Tapi aku jamin, di pelaminan nanti insha Allah kamu takkan sendiri. Aku mau pulang dulu, Yani. Assalamualaikum." Mahmud beranjak dari swalayan, meninggalkan Maryani kembali menunaikan tugas hariannya.  

Dua bulan berselang, ijab kabul antara Marini dan suaminya terlaksana  khidmat. 
Mahmud dan Mansur mendampingi Maryani, Marini, dan suami Marini hingga resepsi berakhir. Sebelum beranjak pulang, Mansur memberikan kertas undangan wisuda pada Maryani. 

"Aku ingin lihat Ibu di aula nanti. Mansur dapat waktu lima belas menit untuk pidato mahasiswa berprestasi. Sayang kalau cuma ditonton Bapak."

Maryani tidak sanggup memendam haru  membuncah di dada. Mansur yang acapkali jadi tempatnya melampiaskan amarah, kini menjadi akademisi teladan sesuai impiannya dulu. 

"Luar biasa kamu, Mahmud. Kamu bimbing Mansur sampai dia berhasil."

"Bukan hanya karena aku, Yani. Mansur tumbuh besar karena kita semua punya peran dalam kehidupannya. Nanti kita ketemu lagi di aula universitasnya Mansur ya."

Manusia berhak untuk berencana, namun Allah Yang Maha Menentukan. Seminggu sebelum wisuda, Mansur tidak kuasa mengelak tabrakan dengan mobil di sisi turunan jalan, hingga badannya terhempas dari motor. Mansur yang jatuh bersimbah darah segera dievakuasi warga sekitar bersama puluhan korban lainnya. Mahmud yang ditelepon oleh rumah sakit setempat bergegas menghubungi Maryani untuk segera merapat.

Nahas, setibanya mereka di rumah sakit, Mansur sudah berpulang ke pangkuan Ilahi. Semua orang histeris, tidak terkecuali Maryani yang langsung kehilangna kesadaran. Tidak pernah disangka momen resepsi satu setengah bulan lalu adalah hari terakhir mereka berkumpul sebagai satu keluarga utuh. 

Hari kelulusan datang, batin Maryani masih terbebani dengan kepergian Mansur, hingga rona mukanya begitu pucat pasi. Maryani berharap acara wisuda segera usai, sebab takkan dijumpai sosok Mansur di podium. Namun pihak rektorat menyiapkan sebuah kejutan: sesi pidato digelar sebelum sesi serah terima ijazah para mahasiswa. 

Begitu nama Mansur Hamzah Alfatih bergema dalam aula, video kilas balik kiprah Mansur selama di kampus ditayangkan. Awalnya, Maryani hanya mengatupkan tangan pada mukanya, karena tak sanggup melihat podium kosong. Di menit-menit terakhir video, sosok Mansur muncul menghaturkan rasa syukur dan terima kasih atas usaha, bimbingan, dan do’a  rekan-rekan sejawat dan orang tuanya. Maryani dan Mahmud terbelalak takjub.  Lalu dari seisi aula serentak para hadirin mengangkat poster-poster coretan spidol

“We love and miss u so much, Mansur” , “Mansur, you are a Man with Sure!”

Poster-poster itu menggetarkan hati Maryani kembali tegar menjalani sesi wisuda. Seolah di podium tempat rektor dan dewan kampus duduk sosok Mansur masih berpidato merayakan kelulusannya.  

SEKIAN

(Cerita pendek ini disusun ulang dengan modifikasi terhadap kisah nyata salah satu teman saya. Kali ini saya persembahkan untuk tantangan ketujuh ODOP.)

#OneDayOnePost
#ODOPChallenge
#7thChallenge
#Cerpen

Kamis, 24 Oktober 2019

JANGAN BACA CERITA INI!

Seekor iguana betina baru saja bertelur di sebuah sarang dekat pepohonan. Lantaran tak tahan panas, gundukan tanah di bawah pohon beringin adalah tempat yang paling sesuai untuk melahirkan telur-telur yang dikandungnya selama sekian bulan. Karena saat itu adalah musim hibernasi bagi beberapa hewan, termasuk si iguana, maka tidur untuk hampir sebulan adalah pilihan yang sungguh nyaman untuk dijalankan. 

Nahas, tak sampai sebulan, iguana mendengar ada suara kasak-kusuk hewan lain di sarangnya. Rupanya, telur yang dieraminya berkurang tiga buah. Risau mendera, iguana betina memantau segenap penjuru sarangnya. Terdapat jejak kaki sebesar musang, namun tidak seperti musang-musang pada umumnya. Jejak kaki bahkan dua kali lipat besarnya dari jejak binturong, -seekor musang hitam besar-. Namun, jejak kaki itu juga lebih kecil cakar macan.  

Maka, demi mengejar si pelaku penculikan telur, iguana menimbun puluhan telurnya dengan batu-batu besar dan tajam, tak lupa dengan sedikit makanan dan celah udara. Tidak ada yang bisa mencegah naluri seorang ibu untuk melindungi semua anaknya tanpa terkecuali. Setelah sarangnya tbentengi pagar-pagar batu yang melenyapkan bau dan penampakan  telur. 

Rupanya, jejak kaki besar itu masih memanjang menuju suatu titik. Iguana terus berusaha menyusuri jejak-jejak yang tercetak di sepanjang jalur dataran hutan yang berlumpur dan becek. Di suatu titik, jejak itu tak lagi tampak. Yang dilihat sang iguana adalah sarang trenggiling di depan jejak itu terhenti. Maka diketuknya sarang trenggiling. 

"Ya, mbak iguana, ada apa mengetuk pintu rumahku. "

"Mbak trenggiling, aku kehilangan tiga buah telur. Mereka diculik oleh seekor musang. Apakah engkau tahu kemana pencuri biadab itu pergi? Sungguh aku risau ia akan membantai anak-anakku itu."

"Nampaknya dia tadi berlari menuju sarang monyet siamang."

"Siamang? Apa itu siamang?"

" Jilat dulu kakiku, nanti kuberi tahu apa itu siamang"

Ibu iguana terpaksa menuruti permintaan trenggiling yang jahil itu. Dia memang belum mengenal seisi hutan, manakala sebagian penghuni hutan ini adalah binatang-binatang yang egois dan sering berperilaku aneh. Setelah dijelaskan berbusa-busa tentang monyet siamang, bergegas ibu iguana menuju peraduan para monyet siamang. Terlihat memang ada jejak kaki musang besar yang dia cari. Maka digoyangkannya pohon, untuk berbicara dengan salah seekor monyet siamang. 

"Hei iguana, ada apa kau menggoyang-goyangkan sarangku. "

"Tolong aku, tuan siamang. Aku melihat ada jejak kaki musang raksasa di dekat pohonmu. Apa kau melihat kemana ia pergi?"

"Aku melihat tadi dia pergi menuju sarang tarsier. Letaknya tak jauh dari sini. "

"Hah? Apa itu tarsier?"

"Jilat dulu kakiku, nanti kuberi tahu. "

Setelah iguana menjilat kaki siamang, dijelaskanlah tentang primata kecil bertelinga panjang itu. Bergegas iguana merapat ke ranting dimana seekor tarsier tertidur. Di bawahnya terdapat jejak kaki musang raksasa. Iguana tak berpikir panjang, segera ditepuknya primata kecil itu. 

"Iguana, ada apa kau membangunkanku? Sedang asyik mimpi indah, malah kau hentikan. "

"Maafkan aku nona tarsier muda. Anak-anakku hilang diculik seekor musang raksasa. Kau tahu ia pergi kemana?"

"Saat ia lewat, aku takut dan ku pilih untuk tidur. Tadi kulihat ia bergegas menuju daerah kekuasaan kasuari. "

"Kasuari? Apa itu?"

"Hoaaahhm, jilat kakiku dulu, mbok iguana.."

Dijelaskannya tentang kasuari dan wilayah kekuasaannya. Iguana semakin risau, hari semakin sore,  pelaku penculikan belum juga jelas rimbanya. Iguana semakin memacu larinya menuju semak-semak dimana seekor kasuari gagah berdiri. Di dekat gundukan tanahnya, terdapat jejak kaki musang raksasa. 

"Permisi tuan kasuari. Apa engkau tahu kemana pemilik jejak kaki ini pergi? Ia menculik anak-anakku!"

"Sepertinya aku tahu siapa dan dimana musang itu. Sarangnya hanya sekian meter dari sini, masih masuk dalam wilayahku. Musang itu adalah musang bajengkong."

TAMAT

Rabu, 23 Oktober 2019

2012 Agustus: Selamat Tinggal Untuk DIrimu.

Aku berkenalan dan bersahabat denganmu di suatu masa setelah ujian akhir nasional berakhir. Awalnya aku menyatakan dengan lantang:  "Engkau takkan pernah kutatap!" Kau telah menjadi teman baik teman-temanku selama aku melihatmu di warung depan sekolah. Tak henti-hentinya mereka mengajakmu menjadi teman bicara, bersantap, atau meneguk kopi.

Kau pernah menjadi teman baik Nenekku. Setiap kali kau bertamu, pintu halaman belakang selalu terbuka untuk menyambut. Lalu mulailah kau menemani beliau berbagi aspirasi dan imajinasi. Percakapan kalian begitu khusyuk, sampai-sampai Nenek tidak menghiraukan imbauan Ibu, Pakde, dan Paman untuk menjauhi dirimu. Barangkali, memang dirimu hadir sebagai teman setia.

Di masa setelah ujian akhir nasional, aku telah mengamankan bangku program pembinaan calon mahasiswa di sebuah universitas ternama. Salah satu aturan yang harus ditaati dalam program ini, adalah setiap calon mahasiswa tidak boleh membolos untuk acara wisuda SMA. Saat itu aku memilih melanggar, lalu tenggelam bercengkrama bersama teman yang telah resmi menjadi alumni berkalung medali kelulusan. Sialnya, ada yang melihat jejakku hingga surat dokter yang sudah tertulis sakit seakan tidak memberi dampak berarti.

Orang tuaku yang mengetahui ulahku membolos memberiku beribu wejangan. Entah seperti apa lagi harus kulaksanakan arahan mereka, agar bisa lulus program pembinaan itu dengan gemilang. Maka, di suatu malam aku menemui dirimu. Kau lepaskan penatku, menjadi ruang untuk imajinasi-imajinasi liarku. Aku mulai tersanjung akan kehadiranmu. 

Lambat laun, sejenak bercengkrama denganmu adalah rutinitas yang selalu disempatkan di sela-sela kesibukan. Baik saat istirahat kuliah tiba, saat bermain musik, ataupun saat dirundung sepi. Kamu telah membaur dalam kehidupanku. Sampai-sampai, setiap kali ujian mingguan ku jalani, selain belajar dengan semampunya, sempat-sempatnya kuminta 'restu'-mu. Engkau memang tidak istimewa bagi sebagian orang, terutama kaum wanita. Tetapi, sebagian wanita bahkan Nenekku pun mengakrabi dirimu.

Bertahun-tahun, dokter bagi terapi depresiku adalah dirimu. Padahal, dokter pun melarang untuk akrab denganmu. Tapi aku tak perduli; maka melupakan soal stigma, prasangka, dan noda yang melekat padamu adalah sebuah upaya yang selalu berhasil membunuh segala tekanan hidup yang menyergap. Lebih-lebih, saat kudengar dirimu ikut tertawa saat begitu banyak kenyataan pahit yang patut dijadikan lelucon. Bukankah dirimu adalah penghibur yang punya kemampuan luar biasa dalam menjernihkan isi pikiran? Maka saat pikiranku tenang, aku lupa tentang dirimu yang seringkali sukar berdamai dengan anggota tubuh yang lain.

 Ketika masa kuliah kerja nyata datang, aku tidak lagi menjalani hidup sendiri. Maka di ruang TV asrama sering kuajak engkau berbicara, menjadi teman tertawa dan bersedih menyaksikan daftar tayangan TV. Perantauan membuatku nikmat dalam mencari arti kesunyian, lebih-lebih saat engkau merangkulku. Kau ajarkan diriku  akansunyi yang membuat pikiran melayang tanpa beban.

Tetapi, aku sadar bahwa kau hanya menjanjikan khayalan sesaat. Sayang, tak semudah itu aku melepaskan diri dari jeratmu. Sekujur isi otakku selalu menginginkanmu hadir menemani. Padahal, fakta telah terkuak bahwa engkau adalah si pelaku biadab yang merampas kekuatan tubuh Nenekku, hingga menorehkan lubang kecil di sebelah jantung beliau. Di satu sisi aku tetap akrab denganmu, di sisi lain aku mengutuk dirimu habis-habisan.

Sering ketika kuajak bicara Ibu, janji akan tersingkirnya dirimu terucap. Apa daya, aku selalu jatuh dalam bujuk rayumu. Seakan-akan, seisi otakku telah kau isi dengan tenung dan mantra terbaik. Jangan-jangan, kau telah siapkan perangkap agar tak terpikir olehku untuk menjauh.

Tidak berapa lama, sebuah mantra pamungkas yang mampu memisahkan aku dengan dirimu terucap.

Kalau memang tidak bermanfaat, mengapa tak lekas kau tinggalkan?

Jika terlalu lama engkau mesra dengan hal yang tidak penting, semakin banyak hal penting yang menjadi terlupakan. 

Saat teman-temanku menghubungi dirimu, aku pura-pura lupa untuk bercengkrama denganmu. Kali itu, di sebuah hari di bulan Agustus 2012, aku mencoba tak menjamah atau menyapa dirimu selama seminggu. Tidak kusangka akhirnya aku mampu lepas dari jeratmu. Hingga kini, aku begitu bangga menjadikanmu sekedar masa lalu, bukan untuk menjadi masa depan.

Selamat tinggal, kau yang hidup dengan api, meraba dengan asap. Kau bermain manja dengan akalku, sambil terus menikam sedikit demi sedikit paru-paruku. Aku lelah harus menanggung panas di ujung mulut ini, setelah sekian jam mengakrabi dirimu melalui gerak hisap bibir dan lidahku.  Sekarang, ku harap kau tak lagi mengembara di sembarang udara. Aku tak sanggup melihat air mata mereka yang meminta agar sentuhan tanganmu tak jadi menikam paru-paru anak mereka. 



   Sebuah lirik lagu berucap: Indonesia supermarket bencana. Kau berwajah ramah, tapi ternyata kau penyumbang bencana itu. Semoga api hari ini padam supaya asapmu tak membuat ulah. 

Selasa, 22 Oktober 2019

Kabut di Tengah Simpul

KABUT DI TENGAH SIMPUL


-Puisi ini adalah simbol keprihatinan untuk tragedi Bintaro 1987-


Besi-besi dalam roda saling memantul, 

membawa ratusan jiwa berdesak,

kepada kampung halaman yang menanti, 

dengan sejumput asa tak terperi.


Lurus, lurus, lurus,

Tiada yang salah dalam mata ini

Jalan terikat ini adalah garis lurus

Takkan tertukar ataupun melingkar.


Simpul-simpul terhubung, 

dalam setangkup besi tipis raksasa

Terasa rumah yang dituju, 

hanya segaris jarak pandang kornea.


Sekejap, percik-percik sinar muncul!

Menghadang seperti tembok yang berjalan

Bukan, itu bukanlah sekedar dinding biasa.

Benteng besi itu terus berderap mendekat…


Mulut terbuka, benteng besi hendak melumat,....

“Semoga ini hanya ilusi kabut semata”

pinta-pinta suara dengan doa bernada putus asa.

berharap desing gesekan baja hanya sebuah nisbi.


Luluh, lantak, berserak…

Besi -besi pengangkut pecah bertaburan.

Darah terhampar, jasad terburai

Senin tahun delapan tujuh, tragedi tercatat


(Gatot Subroto, 23 Oktober 2019)

Senin, 21 Oktober 2019

Tempat Ini Nikmat Untuk Tidur, Meski Bukan Rekreasi.

Istriku  tercinta,

Hari ini aku sudah tidur lebih pulas. Nafasku pun lebih lega. Kasur putih tempat berbaring ini rasanya tepat untuk melambangkan kedamaian. Sudah lama rasanya berbaring tak pernah senikmat ini. 

Aku memang tidak sendiri di sini. Berbagai macam orang kutemui, meski jarang kulihat mereka terbangun menyapa. Aku takkan bosan mengulangi, bahwa di sini adalah tempat yang paling nyaman untuk melampiaskan tidur yang tertunda lantaran serbuan beragam kesibukan. Kesibukan yang merampas waktu, perasaan, dan juga energi tak kasat mata yang menyangga tubuh ini. 

 Banyak yang mau membantuku, meski mereka bukan manusia. Tapi, aku tetap menghargai bantuan mereka, kendati mereka adalah benda mati yang sudah diprogram. Pipa-pipa yang mereka susun di sekitar lubangku bernafas, membuatku nyaman dan lupa akan luka yang aku goreskan sendiri pada tubuh ini. Ya, luka yang membuatku berbaring tidak berdaya, melampiaskan rasa kantuk sekaligus rasa sakit yang sering menjangkiti sekujur paru-paruku. 

Tetapi, entah mengapa sunyi tetap terasa, meski berlalu lalang orang di sini. Baik orang yang datang dengan berjalan, maupun yang berjalan terpapah dan yang sudah 'berjalan' ke alam lain. Aku masih ingat, sore hari kemarin kudengar tangisan di ranjang sebelahku. Tak henti-hentinya tetanggaku yang sedang berbaring diratapi oleh putrinya. Sesekali, putrinya meminta bantuan untuk meyakinkan bahwa ayahnya yang terbaring itu masih bisa bangun. 

Duhai istriku, apa kau saat ini sedang tersenyum? Bila demikian, berikanlah tatapmu yang hangat dan pancaran parasmu. Aku tak peduli seperti apa wajahmu kini, karena engkau masih sama seperti puluhan tahun lalu. Saat pertama kali aku datang pada orang tuamu untuk niat memulai hidup bersama. 

Tapi aku tahu, kau sudah beberapa langkah di depan, sayang. Aku terbaring di sini, setiap hari menanti kabar akan seisi badan yang bisa diajak damai. Meskipun sebaik-baik definisi perdamaian hanya diketahui oleh Yang Maha Kuasa. 

Nyatanya, meskipun di sini tenang dan sunyi, dengan hanya sesekali diiringi isak tangis, tetap cemas dan risau menyambangi. Anak-anak terlalu sibuk, sementara cucu kita masih kecil sehingga tidak boleh masuk kamar tidur ini. Kalaupun anak-anak berkunjung, hanya satu atau dua orang yang bisa masuk. Jika boleh meminta, ingin sekali aku berjalan barang sebentar. Dulu aku merasa sangat butuh tidur, di sela-sela kesibukan dan kepentingan yang tidak pernah berakhir. Sekarang aku leluasa untuk tidur, namun aku bosan, sayang. 

Kamar tempatku berada ini memang terdengar sangat menggambarkan kerinduan akan seseorang. Paling tidak bagiku saja, sayang. Jika kueja kembali nama kamar ini, terasa seperti 'aku melihatmu'. I see you.  Aku berharap semoga 'kamu' yang dimaksud kamar ini adalah orang yang tersayang. Termasuk kamu yang sudah berkemas beberapa tahun lalu. 

Maka, sayang. Izinkan aku menutup mata setelah berbagi beberapa tulisan tentang kamar ini kepada dirimu. Kapanpun engkau hendak membacanya, dari sudut manapun, dibaca selama apapun, sungguh hatiku akan senang. Karena aku tidak bisa melihat kehadiran dirimu saat ini. Tetapi, bisa saja aku mengetuk pintu rumahmu besok pagi, cintaku. Tepat ketika sinyal dalam kotak yang terhubung kawat dengan jantungku ini membentuk garis lurus.  Barangkali, saat itu tercipta jalan lurus untuk kita kembali bertemu. 

Aku tidur dulu, cintaku. Jika besok  bertemu denganmu, berlutut dan meminta maaf adalah hal pertama yang kulakukan. Takkan lagi aku membuat bibir ini terus berasap, hingga sulit untuk berdamai dengan paru-paruku. Mungkin besok ada isak tangis yang mengantarku pergi. Entah isak tangis bahagia ataupun kehilangan. 

(catatan: Latar cerita ini adalah ruang ICU)


PASIF, AGRESIF, DAN ASERTIF

Dalam sebuah  sharing session yang dibawakan oleh ahli kriminologi, ada 3 sikap manusia yang senantiasa terjadi dalam berkomunikasi, bersikap, dan berdialog: pasif, agresif, dan asertif.
Ketiga tahapan ini terkait dengan emosi dalam komunikasi verbal dan non verbal yang biasa terjadi
dalam keseharian kita dengan sekitar.

Berkaitan dengan watak agresif,  beberapa ciri mencoloknya adalah:
a.  cenderung temperamental bilamana ditanya atau diajak bicara suatu hal
b.  terang-terangan meluapkan amarahnya.

Adapula kita akan temui orang yang bersikap pasif, yang cenderung diam dan menerima bila diajak berbicara , ataupun terbata-bata dalam menjawab. Salah satu implikasi dari kedua sifat ini adalah defensif secara eksplisit

Di sisi lain,  ada gabungan sifat agrestif dan pasif.  Cirinya mudah ditemukan: orang yang  sekilas ramah dan terbuka saat bertatap muka, namun kemungkinan besar dia akan
menyindir ataupun mencela hal yang tidak disukainya saat kita tidak nampak di depannya. Gabungan kedua sikap ini secara simultan kadang berujung pada reaksi defensif implisit antar lawan bicara.

Berbeda dengan asertif: menyatakan sesuatu dengan tegas, lugas, dan jelas. Asertif merupakan
suatu sikap penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam ranah etika bisnis. Kalau
dilihat sekilas, mungkin asertif tidak jauh beda dengan sikap agresif maupun pasif. Hanya
saja, dalam menjadi asertif, kita sebisa mungkin mempertimbangkan perasaan dan pertimbangan orang lain dan sekitarnya. Sikap asertif bukan berarti tidak pernah marah. Istimewanya, orang yang asertif tetap akan mengungkapkan hal yang membuatnya kecewa dan marah, tanpa merasa emosi berlebihan pada orang yang diajak bicara.

Di zaman sekarang, ada banyak orang sulit untuk berkata “tidak”, meski di lain sisi akan meluapkan kemarahannya dan ketidaksetujuannya di tempat berbeda, Bisa jadi tempat pelampiasannya kadang kurang relevan. Sebagai contoh: lantaran tertekan karena pekerjaannya, lantas menjadi temperamental saat di rumah.

Ketika kita merasa sulit untuk menjawab lantaran tertekan secara ‘pasif’ sering kita terdorong untuk agresif karenamenemukan ‘sasaran empuk’.

Sikap asertif inilah yang harus dipupuk agar menjadi mediasi diri ketika dihadapkan pada banyak tekanan: agar integritas dan sikap tetap terjaga di antara sekian banyak konflik kepentingan yang seringkali tidak terduga.

Langkah pertama bersikap aserfif dimulai dengan menghindari dan mengurangi kebiasaan yang memicu sikap agresif, salah satu contohnya: berdiri atau duduk sama tinggi sama rendah dengan lawan jenis, bicara dengan beradu tingkat kekerasan suara yang sama. Semua dikendalikan melalui upaya menenangkan diri terlebih dahulu ataupun sementara menunda pembicaraan.

Bila dikaji lebih lanjut, sikap asertif ini bermanfaat untuk menjaga keseimbangan dalam komunikasi yang produktif dan objektif. Itulah mengapa, bersikap realistis dan saling menghargai perlu diutarakan, agar para pelaku komunikasi dapat saling memahami secara kolaboratif dan positif. Hanya saja, sikap asertif ini akan lambat kita pupuk antaran sering mengaitkan kegagalan akibat kesalahan pribadi atau perihal sukses adalah karena faktor keberuntungan.

Karenanya, kita perlu kesampingkan terlebih dahulu pemikiran seperti demikian. Bisa jadi, diam-diam kita terdorong untuk malas melihat sisi baik dari segala kejadian.

Unsur yang harus dipenuhi saat bersikap asertif diantaranya:
a. mengetahui hak-hak kita,
b. memahami batas kewenangan kita, serta
c. mempersiapkan diri untuk hal-hal yang tidak terduga.

Cara-cara untuk menekankan unsur ini di dunia kerja bisa dengan memasang poster di dinding tentang batas-batas meja kerja, mengetahui betul undang-undang serta batas kewenangan terkait jabatan yang kita duduki, atau sengaja mengistirahatkan diri untuk berbagi waktu luang dengan keluarga. Jangan lupa, kelelahan yang dipaksakan untuk terus beraktivitas , sering menghambat kita karena bebal yang menumpuk di kepala.

Namun, bersiap menghadapi segala kemungkinan merupakan unsur sikap asertif yang tidak
bisa dipandang sebelah mata. Apa saja yang harus dipersiapkan? Cobalah sejenak bayangkan
tentang berkata soal situasi  sulit. Saat itu, mulailah bertanya pada diri sendiri:

Apa tujuan saya berkata demikian? Apa yang ingin dikatakan? Bagaimana cara mengatakannya?

Setelah contoh monolog tersebut diungkapkan; baik terang-terangan maupun bisik-bisik, bayangkan antara scenario ideal maupun yang terburuk dalam pikiran. Sebisa mungkin, hasil dari perkiraan tersebut dikomunikasikan kepada teman yang bisa dipercaya, dan akan lebih baik bila dengan pasangan.

“The biggest difference between assertive and being aggresive is how your words and behaviors affectthe rights and well being of others.” — Sharon Anthony Bower
[Source: 1. The Telin Times, December]

Sabtu, 19 Oktober 2019

"Abu Hurairah Fans Club"

Tempo hari, saya telah berceloteh tentang 'cinta pada hewan'. Interaksi dengan hewan sejatinya mempunyai fungsi penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di muka dunia. Minimal, menyeimbangkan kehidupan yang ada di sekitar rumah. Maka, binatang pun punya hak dan kewajiban atas mereka yang patut dipenuhi. 

Berbagi soal sedekah dengan orang adakalanya adalah momen yang mengharukan dan berkesan. Tak jarang pula larut dalam haru. Disisi lain, sedekah kepada binatang juga merupakan amal yang cukup krusial. Sebagai teladan, saya banyak berguru pada kisah Nabi Sulaiman AS, dan juga khususnya  Abu Hurairah tentang tata krama terhadap kucing. 

Diantara binatang lainnya, kucing memainkan peran yang cukup penting dalam perjalanan hidup saya. Diawali dengan bagaimana kucing betina 'merelakan' dirinya hidup bersama keluarga saya selama tiga tahun. Selama itu pula adakalanya kami berbagi ikan dan makanan dengan si belang abu itu.Lebih-lebih, keluarga besarku pernah "menjenguk" dia di rumah sakit bersalin cap kardus tiapkali anaknya lahir. 
_
Saya beranjak SMP, si belang abu sudah pergi ke rumah lain. Namun saya tidak terlalu lama absen untuk berinteraksi dengan kucing sekitar sekolahan saya. Tiap bawa bekal ikan, ya kubagi dengan mereka. Kukira berbagi ikan adalah kebiasaan bersedekah yang unik dan autentik. Budaya ini saya genggam sampai sekarang. Di awal Januari ini, kubagi makanan sahur ikan dengan kucing belang hitam, mata berbinarnya tanda lapar cukup membuatku iba ๐Ÿ˜ข.

Di masa kerja praktek, sempat saya tidak bisa pulang ke rumah karena hujan sangat deras. Sontak berteduh di emperan masjid setelah isya adalah pilihan pasti. Seekor anak kucing ikut menumpang berbaring di sarung yang sedang saya kenakan.  Rasa gemas ingin membawanya pulang ke mess muncul, hanya saja saya urungkan. Saya belum siapkan shampo dan makanan kucing, dan juga tak siap mental kalau didamprat bapak penjaga mess๐Ÿ˜†๐Ÿ˜†.

Seusai lulus kuliah sarjana,  saya sempat mabit di masjid. Lantaran udara cukup dingin, beberapa kucing menepi di pinggir-pinggir masjid. Saya kemudian ingat tentang toko-toko baju di Pakistan yang membukakan pintunya bagi para anjing yang kedinginan. Lalu kucoba teladani dengan membagi jaket sebagai selimut untuk si belang coklat. 

Apakah dengan berlaku demikian, saya sudah mirip Abu Hurairah RA? Mungkin secara fisik baru sekian persen, dan secara amal, takkan mungkin menandingi Abu Hurairah RA. Sungguh Rasul SAW telah menjamin ia akan surga๐Ÿ˜‡๐Ÿ˜‡. Yang jelas, kecintaan akan hewan serta memenuhi hak mereka pun membuahkan ketenangan hakiki, baik soal moral ataupun ekosistem. 

Sungguh, saya jadi merindukan masa-masa bersama si belang abu. 

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...