Kamis, 17 Oktober 2019

Tentang Kriteria Pasangan (Part-2) : Maafkan Dering Teleponku yang Jahil

Di masa  putih abu, kuingat sesekali tetangga dekat rumah  memanggil namaku. Mereka adalah para mahasiswi dari beragam jurusan yang sudah memesan ruang kos di rumah Pak R, salah satu sesepuh di komplek perumahan. Setiap kali hendak ke masjid, sesekali mereka menyapaku langsung.

Halo Brian!

Halo Brian!

Halo Brian!

Awalnya aku mencoba untuk tidak peduli. Tetapi, hasrat pubertas memaksa diri untuk kenalan dengan mereka. Maklum, teman-teman sekolahku sudah memiliki pasangan, meskipun usia masih di angka belasan. Aku tidak berpikir panjang, berharap salah satu dari para mahasiswi itu bisa menjadi pacarku.

Lalu sosokmu, yang ada diantara mereka, menumbuhkan benih dalam diriku. Alismu yang tebal, matamu yang besar, hidungmu yang mungil, dan tubuh langsing yang lincah. Aku tak tahu mengapa lobus complex dalam susunan otakku paling menggambar ulang sosok dirimu. Diam-diam, aku mulai berharap bisa mendapat lebih dari sekedar sapaan hangat.

Ketika kau mengajakku lari pagi bersama, jantungku berdetak lebih kencang dari klakson taksi. Tentu saja mataku langsung terbuka sebelum matahari benar-benar berdiri gagah di ufuk timur. Mengencangkan sepatu, merapikan penampilan, hingga menggosok gigi adalah serangkaian usaha yang dikerahkan untuk memberi kesan pertama terbaik pagi itu. Lalu, kita berlari sepanjang Antapani menuju Gedung Sate. Kita lapar, aku pun membelikan nasi goreng untuk kita berdua.

Beberapa bulan berselang, kau ingin meminjam uang. Tentu saja ku berikan tanpa pikir panjang.

Apa sih yang nggak buat kamu

Kau pun berjanji akan mengembalikkannya dua minggu kemudian.  Aku sudah menandai tanggal-tanggal tersebut dalam buku catatanku. Ku sempatkan pula untuk membeli mawar putih, untuk persiapan melancarkan kalimat pamungkas itu. Lalu kita berjanji untuk tatap muka di kedai kopi dekat masjid. Saat itu, kita sedang memakai baju santai seadanya. Aku sedang libur sekolah saat itu.

Sore itu, kunyatakan saja kalimat pamungkas itu. Kau tak sendirian, ditemani sepupumu. Sepupumu berceloteh, bahwa momentum itu sepatutnya diabadikan dalam kamera. Aku langsung memberikan pilihan tentang apa yang harus dilakukan saat menolak dan yang bisa dipilih untuk menyatakan terima. Lalu kau menjawab, minta waktu untuk berpikir.

Selama tiga minggu, aku sempatkan untuk menelponmu. Kau selalu bilang, belum punya jawaban. Lantaran aku merasa bahwa memberikan banyak ruang untuk berpikir adalah sebuah kebaikan, tak ada pertanyaan heran ataupun permintaan lebih saat dirimu mengajukan demikian. Suatu sore, engkau berpesan cukup panjang:

"Mohon maaf aku sudah bertanya pada orang tuaku. Orang tuaku ingin pria yang serius. Aku berharap kalau memang kita jodoh, takkan ada yang memisahkan kita. Tapi untuk saat ini, mohon maaf aku belum bisa."

Aku anggap saat itu engkau hanya menunda. Menunggu aku siap. Menunggu aku matang sebagai manusia. Tetapi, saat tahun 2007 beralih menjadi 2008, bibi penunggu lapangan badminton mengabarkan kabar yang cukup pahit mengenai dirimu.  Dia bilang, engkau sudah dipinang seorang pengusaha yang usianya lebih tua.

Aku kecewa, tapi tak hendak luapkan semua itu dengan amarah atau kegalauan. Aku sudah punya fokus untuk selesaikan ujian akhir nasional. Tak ada waktu untuk tenggelam dalam sakit hati.
Dengan menguras keringat ataupun memeras pikiran demi segudang rumus lebih dari cukup untuk mengubur kenangan tentang dirimu. Aku takkan mengganggumu, begitu bunyi sumpah dalam diam.

Setahun berselang, aku masih memandangi nomormu yang tersimpan di telepon genggam biru putih. Karena ruang penyimpanan terbatas, ku coba menghubungi setiap nomor yang ada dalam telepon. Kau pun menjawab, saat nomormu kutekan.  "

"Halo"

Aku berpura-pura mencari yang lain dalam telepon itu, menyebut nama orang yang sebenarnya tak betul-betul dituju. Ternyata masih suaramu yang berada di balik nomor itu. Aku terhenyak, berharap tak melakukan panggilan telepon itu.

Di suatu sore yang berhujan, aku mengurung diri. Kembali ku tekan nomormu. Kau menjawab, lalu ku mulai pembicaraan dengan mengatakan hal-hal yang sebenarnya. Bahwa aku merindukan kabarmu, serta perjalanan hidup setelah kita menjalani pilihan masing-masing. Aku tak melupakan tanggapanmu hari itu.

"Terima kasih sudah menelpon. Aku baik-baik saja. Sekarang aku bahagia, dan bayi di perutku sudah delapan bulan. Tak ada halangan atau rasa sakit berarti ketika menyetir, sungguh kehamilan yang melegakan. Aku doakan semoga kamu sukses. Assalamu alaikum. "

Kuakhiri pembicaraan telepon itu dengan ucapan terima kasih dan maaf. Lalu ku simpan telepon genggam itu rapat-rapat di dalam tasku.

Ketika telepon genggam biru itu hilang dicuri, bercampur aduk rasa dalam diriku. Antara geram pada sang pencuri, sekaligus lega. Karena si pencuri kurang ajar itu membuatku sukses melupakan sebagian kenangan pahit yang tak hendak diungkap kembali.

(Mengenang cinta monyet itu memang jauh dari rasa manis. Tapi cara melupakan cinta monyet adalah mencintai hewan  lain. Cinta kucing, cinta burung, cinta belalang, dan cinta iguana. Semuanya punya sensasi nano-nano)





5 komentar:

  1. 😂 kalimat penutupnya ...
    Aku cinta kucing 🐱 aja

    BalasHapus
  2. hahahaha, seru kan kalimat penutupnya. Ya ga nio dan ayu?
    oh tentu boleh mba heni. Nanti dibaca saja bu cara mencintainya...:D

    BalasHapus
  3. Ampyun, closingnya itu lho 😬
    Semoga beneran hewan ya cinta berikutnya 🙊

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...