Rabu, 06 November 2019

Keajaiban Tokyo dan Fantasi yang Tak Pernah Padam-Epilog One Day One Post

Destiny is calling you, passing through your edge of heart

We're not a loss anymore, and look up your future


And surely, we'll unite once again


We're filled with power


Don't lose the past


Gone with the steel


(Reffrain Lagu 'Destiny', Dipopulerkan  Band Galneryus, Lima  Pria Pemusik Gahar Senior Jepang)


Semenjak SMP kelas pertama, saya mulai yakin bahwa kegiatan menulis adalah kunci mengabadikan fantasi, fiksi, analisa, dan aspirasi. Terkait dengan pemahaman  mengenai sisi fantasi , saya tumbuh besar mengenali dan membedah seluk-beluknya berkat komik Magic Knight Rayearth, -populer di Indonesia dengan nama Pendekar Ajaib-  hasil tangan dingin tim komikus wanita CLAMP. Dalam komik fantasi yang berhasil melambungkan nama penulisnya ini, dikisahkan tiga orang gadis dari SMP berbeda terpanggil menuju dunia lain melalui sebuah seruan di menara Tokyo. Seiring berjalannya cerita, tiga tokoh utama dalam komik ini berhasil mengeskalasi kekuatan beladiri dan sihir mereka hingga mampu mengendarai raksasa yang disebut 'Rune God" atau dikenal di Indonesia sebagai 'Dewa Mesin'. 


Tiga tokoh utama pendekar ajaib (Kanan-Kiri): Hikaru, Umi Ryuuzaki, dan Fuu Hoji

Dalam banyak kesempatan, seringkali saya merefleksikan perjalanan menulis saya seperti  pengalaman para tokoh utama MKR. Di awal cerita, mereka tak kenal sihir dengan baik, namun terpaksa menggunakannya lantaran perlu untuk bertahan hidup dari serangan monster dan para panglima jahat yang dipimpin oleh Uskup Zagard. Begitupun saya dalam menulis; lantaran banyak tugas semenjak SD yang menuntut kemampuan menggoreskan pena, lambat laun keakraban dengan dunia literasi adalah keharusan untuk menambah ilmu pengetahuan. Seperti halnya para pendekar ajaib yang terus bertambah kemampuannya, ketika menjadi siswa kelas satu SMP cukup terkejut saya mendapati karya buatan tangan dipilih untuk sosiodrama. Sebagaimana para pendekar ajaib mendapat 'restu' para dewa mesin, semenjak momen tugas itu, saya terpacu untuk mendalami dunia tulis-menulis, disamping hobi coret-mencoret gambar. 

Trio Dewa Mesin, Pemilik Kekuatan Tertinggi bagi Para Pendekar


Selama masa SMA, saya vakum terhadap kegiatan menulis yang serius. Tak ada cerita aneh ataupun esai yang terlahir dari tangan saya. Tatkala menginjak bangku kuliah, saya baru kembali menekuni dunia tulis-menulis, terpicu dari keberadaan Facebook, Twitter, dan Yahoo. Selain itu, mata kuliah bahasa di ITB cukup kondusif dalam mendukung hobi menulis saya. Kegemaran menulis ini mulai kembali menggila saat sering jadi panitia kuliah, hingga terjun ke jalan sebagai demonstran. Tak lebih dari lima puisi dan dua esai yang masih minim data dan kedalaman perspektif, lahir dari hasil iseng-iseng saya. Kendati demikian, pengalaman ini memantik saya untuk belajar menulis lebih serius. Jadilah beragam lokakarya dan seminar menulis saya ikuti, dari mulai festival literasi mizan hingga Kelas Menulis Puisi Online. 

Tahun 2018, Gabung ODOP 6 Lalu Gerak Balik Kanan
Setelah berjibaku dengan beragam materi penulisan, saya mulai menantang diri. Jadilah antologi Kekuatan Doa lahir dari keinginan mengungkapkan rasa syukur atas petunjuk Illahi untuk jalan hidup yang lebih bermakna, tentang setelah berkali-kali ditolak lamaran kerja lalu bulat tekad lanjut S2. Di saat hampir bersamaan, sebuah iklan mengenai One Day One Post semarak di laman instagram. Berawal dari rasa penasaran, kucoba saja mengikuti ODOP. 

Tapi, kemudian saya berhenti di tengah jalan. Ada beberapa orang PJ Odop 6 yang mencoba cari tahu, salah satunya Ake Auliana dan Lutfi Yulianto. Saat itu isi pikiran saya terbelah oleh banyak hal, salah satunya memberi perhatian lebih untuk istri yang sedang menanti kelahiran putra pertama. Karena saat itu saya dalam masa cukup bimbang, barulah pertanyaan Lutfi dijawab. Sayang, ODOP 6 keburu berakhir. 

Akan tetapi, saya akhirnya tetap menjalin persahabatan dengan beberapa orang dari ODOP 6. Di antaranya adalah Mas Winarto, mba Nata Salama, mba Suci, Mba Rindang Yulia, hingga Mba Kifah Ismail. Penyesalan tidak terlibat dalam ODOP 2018 saya bayar dengan mengawasi berita-berita terkait ODOP, salah satunya tentang pemilihan ketua ODOP.  Saya sampai hafal saat itu salah seorang bapak yang telah berkeluarga terpilih jadi pemimpin besar ODOP. 

Setelah beberapa momen mencoba berkenalan lebih jauh, Lutfi menawarkan saya untuk terlibat dalam ODOP batch 7. Dengan senang hati saya berikan antusias untuk tawarannya. 

RWC Odop

Sebelum ODOP 7 berlangsung , saya coba menjajal konsistensi menulis lewat ajang RWC. Hasilnya cukup mengubah gaya berpikir saya. Terkadang, hanya untuk setor tulisan, saya rela nongkrong lama di depan minimarket. Acapkali saya pernah ditegur Isnania, sang PJ rekapitulasi untuk mencantumkan tema dalam tulisan yang akan disetor. Berkat konsistensi yang tertuang dalam adrenalin otak dan tangan, Alhamdulillah saya jadi penulis terbaik grup Fatimah. 

Melalui grup Fatimah, saya bukan hanya kenal Lutfi Yulianto, melainkan juga beberapa pegiat literasi lain. Katakan saja Avis Melivera alias Rizki Maulana, Jihan Mawaddah, Lisa Pingge, Nina Saingo, dan juga pujangga wanita pengabdi pendidikan Halima Maysaroh. Adalah suatu kebanggaan bisa bersanding jadi penulis terbaik di ajang yang begitu singkat. 

Jika saya kembali mengulas tiga puluh tulisan itu, ada rasa haru yang cukup membuncah di dada. Bahwa dalam waktu yang singkat, ada saja kenangan dari alam bawah sadar yang bisa lahir dalam susunan aksara yang terjalin dalam sistematika solid. Tak dinyana, RWC ODOP membuka peluang saya untuk berkarir di lain grup, salah satunya Excellent Family Writer. Tak lama setelah mengenali sepuluh unsur wajib cerpen di EFW, lonceng ODOP pun bergema. Saya bersiap ikut barisan dengan setumpuk rumus sistematika tulisan dan beberapa jalan pintas menggali gagasan. 

Lonceng ODOP Ditabuh, Mendarat di Menara Tokyo. 

Terkesima. Begitulah kesan pertama ketika saya dijebloskan ke dalam grup yang mengambil nama ibukota yang menjadi latar banyak cerita fantasi. Tokyo, demikian nama titik pusat negeri matahari yang selalu menjadi rujukan dalam melanglang buana, yang terkenal dengan harga barang premium dan menara pemancarnya. Di grup ini saya bertemu dengan banyak orang dengan beragam gaya dan kedalaman menulis, dengan beberapa fasiltator yang karakternya warna warni. Terus terang, cukup sumringah mendapati bahwa Lutfi Yulianto yang telah lama saya kenal mendapuk jadi pimpinan fasilitator Tokyo. 

Di dapur rekapitulasi dan supervisi penyuntingan, grup Tokyo punya Dyah Yukita. Gadis berkacamata yang mengabdi jadi editor profesional ini memiliki kejelian membaca yang membuat saya tercengang. Di antara minggu kedua dan ketiga, gadis yang sebaya dengan adik sepupu saya ini cukup lugas menggali substansi beberapa tulisan yang telah dibuar. Dengan melihat daftar coretan setiap minggunya, saya cukup penasaran soal berapa cepat kaidah kesesuaian kalimat bisa tertangkap matanya. Sesekali kulihat kacamata, saya acapkali berimajinasi bahwa Dyah Yuukiyta adalah 'Cyclops-nya' para PJ Tokyo, jikalau para fasilitator memiliki kekuatan serupa X-men. Mata lasernya adalah senjata terhebat yang membuat seorang Dyah Yuukita menjadi polisi bahasa yang sakti mandraguna. 

Yang membuat Tokyo istimewa tak hanya Lutfi dan Dyah. Ada Mbak Betty yang setiap pagi selalu memberikan salam hangat. Dengan pembawaan ceria, energik, dan antusias, Mbak Betty kerap mengingatkan peserta untuk bersemangat dan fokus dalam bedah. Mbak Betty sendiri adalah seseorang yang sudah bertangan dingin melahirlkan tiga buku solo. Di sela-sela agenda beliau menjadi fasilitator, seringkali kuteladani semangatnya membina harmoni dengan keluarga kecilnya. Kuakui, mbak Betty adalah role model parenting yang cukup inspiratif. 

Sosok fasilitator lain yang tak kalah penting adalah mbak Titi. Berkat program blog walking yang dikawalnya, peserta Tokyo terdorong untuk saling bersilaturahmi aksara. Setelah berjalan lebih jauh bersama beliau, sepertinya ia tertarik dengan tulisan tema keluarga. 

Di antara mereka berempat, ada pula pengawas grup besar yang bernama Mbak Sandra. Instruktur senam ini cukup aktif mengawasi kami kendati sedang hamil besar. Kudoakan semoga dedek dan mbak sehat selalu. 

Rekan-Rekan Tokyo yang Berbahagia

Tak kurang dari dua puluh peserta terlibat dalam laboratorium bernama ODOP, dalam sebuah rumah kecil. Adalah sebuah kejutan kembali bertemu dengan Halima dan Avis/Rizki. Momentum ODOP ini membuat saya bisa mendalami lebih jauh intuisi dan pergerakan suara hati mereka lewat puisi-puisi yang mewarnai perjalanan delapan minggu. Kadang saya prihatin dengan perjuangan Halima berjibaku di tempat kerjanya yang menjelma jadi supermarket bencana. Semoga dibalik musibah ada hikmah. Terkait Avis, saya merasakan gelora Kahlil Gibran terwadahi oleh pemikirannya. Puisi gubahan Avis acapkali membuka ruang kerinduan yang penuh misteri, tanpa perasaan galau yang berlebihan. 

Selain Avis dan Halima, beberapa teman yang berkesan adalah mba Anis, Ayu Safitri, Lilis, Fitri Ane, mba NyiHeni, Yulia Tanjung, Dewi Ratna, Mei Tantie, Qheiza, Rahman Arrijal, hingga Rifqi rekan bedah dan Nio yang selalu bersemangat blog walking. Saya merasa butuh banyak belajar fiksi pada mba Anis, Dewi Ratna, dan Nio yang bisa memadukan banyak unsur untuk melukis cerita yang apik. 

Kepada Mba Anis, aku butuh belajar membangun suspense cerita yang bisa menghadirkan ketegangan. Mba Dewi pun saya kagumi karena piawai membawakan fiksi roman yang bisa membuat rasa hanyut. Teruntuk Nio, mungkin saya butuh kursus dengan anda untuk memadukan lirik dan narasi fiksi dengan lebih intensif. 

Mba Ayu, Lilis, dan Fitri seringkali berbagi curahan hatinya lewat tulisan. Tanpa sadar, lewat blog walking saya diam-diam telah menyerap keseharian mereka. Mudah-mudahan curahan hati yang tersusun bisa menjadi legenda seperti buku Diary Anne Frank. Melihat tulisan mereka, akhirnya sayapun tergoda untuk curcol di sepanjang petualangan ODOP. 

Mbak Qhei, Tantie, Heni, dan Yulia sepertinya sudah piawai membawakan artikel. Sering saya berandai-andai bahwa mereka adalah jurnalis yang menyamar di ODOP. Di minggu-minggu terakhir, saya mulai tercengang dengan kejelian mbak Tantie membaca tumpukan chat. Mbak Qheiza seringkali menyajikan artikel kesehatan yang mumpuni, dimana Mbak Heni cukup jeli melihat tren kejiawaan dalam artikelnya. Di setiap grup penulis, pasti ada motivatornya, dan aku terkejut menyadari bahwa Mba Yulia-lah orangnya. Melihat tulisan mbak Yulia, kadang jadi rindu demo mahasiswa. (Lho?)

Dua teman lelaki saya selain Avis di grup Tokyo bisa dibilang meninggalkan kesan cukup mendalam. Saya masih ingat bagaimana Rifqi begitu optimis untuk jadi enterpreneur sukses, lalu berusaha menyajikan gubahan fiksi yang radikal dan apik. Saya percaya Rifqi bisa jadi pakar inovasi suatu saat nanti. Rahman sendiri kerap romantis dalam berpuisi dan entah mengapa saya menikmati pembawaan satir dalam narasi blog miliknya, manusia amatir. Saya berharap, kalian bisa menjadi bintang bersinar di bidang yang ditekuni masing-masing. 

Penutup

Petualangan dalam menara Tokyo telah berakhir. Tetapi, kerinduan untuk kembali berpadu dan beradu pasti akan tetap ada. 
Setelah hujan berlalu tinggalah genangan, setelah petualangan berlalu tinggalah kenangan. Delapan minggu ini tetaplah terlalu singkat untuk saling mengenal dan bersilaturahmi dalam aksara.  
Setelah ini, mungkin kita akan sibuk dengan jalan masing-masing, tetapi rindu takkan menyakitkan selama tak ada niat saling melupakan dan mengkhianati. 

Kelak, aku akan merindukan Tokyo, sebagaimana Hikaru, Foo Houji, dan Umi selalu bergemuruh untuk berjumpa dalam menaranya, lalu terbang menuju Zephyr. Sehabis ini, semoga pikiran, tangan, dan naluri kita bisa mewujudkan dunia yang lebih adil dan indah. 

SEKIAN
SELAMAT JALAN, TOKYO.

JAYALAH SELALU, ONE DAY ONE POST 










12 komentar:

  1. MKR ya ... Komikku waktu SMP sempat terpengaruh gaya gambarnyaπŸ˜† keren bgt, jg ngikut😁, kpn2 aq post di blog... Mungkin?

    Kursus?? Aq batu kali yg baru naik ke darat, Bro Brian πŸ˜…πŸ™

    BalasHapus
  2. Mantapp suka anime jg ternyata wkwkwk

    BalasHapus
  3. Lengkap sudah tulisannya mas Bri. Awal mengenalmu dulu rasanya "aneh ni orang", selain bahasa yg tinggi, pengalaman anda di literasi sudah melalang buana, kadang sampai pusing aku membacanya. Overall, u all amazing. πŸ˜„πŸ€πŸ˜Š

    BalasHapus
  4. Nama saya tersebut 6 kali πŸ˜¬πŸ˜† seneng rasanya.
    Alhamdulillah, akhirnya ngodopnya selesai
    Rasanya sepi ...

    BalasHapus
  5. baca dari awal sampai akhir nggak bosen, tulisannya selalu enak dinikmati.. Masya Allah berkesan banget ya di Tokyo..terharu jadinya..

    saya belajar banyak dari semuanya dan semua punya kesan masing2

    semangat untuk terus menulis yaa

    BalasHapus
  6. Mas Brian memang juara... Terimakasih juga sudah menjadi rekan bedah tulisan yang hebat... Semoga selalu sukses ke depannya mas...

    BalasHapus
  7. Nggak tahu mengapa, saya kok nangis baca tulisan ini. Tulisan yang begitu apik dengan penguliti satu persatu member tokyo dengan begitu ciamik. Saya merasa nggak ada apa-apanya. Bagaimana mas Bri bisa mengenal semua orang membuat saya malu. Saya tak berusaha menjadikan kesempatan ini untuk mengenal teman-teman.

    Rasanya nama saya tak pantas disebut du tulisan yang sebegini keren. Because i am nothing and doing nothing.

    Makasih Mas Bri, tulisan ini membuat saya ingin mempelajari tulisan yang lain untuk membayar hutang saya. Saya memang nggak rajin BW. Saya terlalu sombong dan puas dengan diri sendiri.

    BalasHapus
  8. Big thanks mas bri
    Tulisanmu penuh inspirasi dan fantasi hehe

    BalasHapus
  9. Mas Bri msk Odop 7 sdh dg membawa segudang umunisi, berbalik dg saya yg msk.odop 7 dg modal nekat dan nekat,

    Bagi sy yg sngt terliht dr seorang ms Bri adl wawasannya yg luas dn sngt humble...

    BalasHapus
  10. Wow saya selalu kagum dengan tulisan teman-teman, angkat topi untuk Mas Brian kerenπŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus
  11. Ouw ouw ouw .... Aq juga merasa kehilangan grup tokyo ... πŸ˜…

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...