Seringkali, dalam pemikiran orang yang awam, mengira bahwa antara cinta
dan kekerasan adalah dua kutub yang bertolak belakang. “Cinta sejati takkan
membuat orang menyakiti pasangannya”, “orang tua yang baik tidak selayaknya
mendidik anaknya dengan cara kasar.”, dan sebagian jargon anti kekerasan
dilontarkan, seolah kekerasan adalah unsur penghancur dari kasih sayang.
Di sisi lain, kekerasan seringkali menjadi pola dari sebuah kedisplinan
dan unsur yang penting dalam menegakkan keadilan dan mencapai tujuan. Di kebanyakan
institusi pendidikan dan pemerintahan, agitasi bukanlah barang langka, terutama
pada momen-momen orientasi. Meskipun sisi negatifnya dari budaya agitasi menjalar
hingga membuka celah budaya perpeloncoan, tak pelak turut menjadi unsur yang
membangun dedikasi dan komitmen.
Di dalam lingkungan kehidupan yang banyak tekanan dan sasaran, kekerasan merupakan hal yang cukup sulit
dihindari. Lebih-lebih di dalam konteks pekerjaan yang membutuhkan ketepatan
dan kegesitan dalam keterampilan menyelesaikan tugas. Kendati membuat orang
terpacu untuk belajar cepat, kekerasan -yang acapkali- terlontar lewat lisan
kadang punya dampak positif untuk mengarahkan ke tujuan yang lebih prioritas
Kekerasan dalam olahraga bukanlah hal yang asing. Acapkali, disiplin
dalam pemenuhan target untuk atlit menjadi unsur integral, karena di dalam
ajang olahrga terdapat pertaruhan institusi dan gengsi suatu bangsa. Di sepakbola, kita mengenal agitasi-agitasi Ferguson
membina klub Manchester United. Dalam dunia gulat, kekerasan ini sudah menjadi
unsur penting yang ‘kerapkali dirindukan’, sampai-sampai ‘direkayasa’ untuk
menarik minat penonton.
Maka, jangan tanya bagaimana besar porsi kekerasan untuk dunia tinju. Sebagian
besar masyarakat kita yang mengenal bagaimana melewatkan hari minggu dan akhir
pekannya dengan menyimak ajang olahraga pertarungan, cukup hafal dengan
bumbu-bumbu drama kekerasan yang mewarnai lapangan tinju. Kadang, olahraga baku
hantam tangan dan adu kuda-kuda ini berbuah maut.
Jika diumpamakan, kekerasan itu layaknya sebuah pisau. Di sebagian
sisinya, kekerasan adalah hal yang membuat manusia tewas, sementara di sisi
lain kekerasan dengan kadar terkendali adalah bekal penting bagi manusia untuk
mempertahankan dirinya. Sejarah purbakala membuktikan bahwa kerasnya kehidupan
menempa manusia yang nomaden bertahan dalam iklim yang berubah-rubah. Begitupun
dengan tinju sebagai beladiri, kekerasan dengan kadar terkendali perlu diajarkan
agar sang atlit waspada dan peka dengan manuver musuh.
Sudah begitu banyak tayangan layar perak yang mengusung tinju serta
drama di dalamnya, diantaranya ada Rocky yang dibintangi Silverster Stallon, atau
mungkin film biografi mendiang Mohammad Ali. Di antara sekian banyak tayangan
mengenai tinju, ada satu film yang tak sengaja saya tonton di tengah malam.
Ternyata film berjudul Million Dollars Baby ini menyorot romatika hidup dan
matinya seorang petinju wanita bernama Maggie dan pelatihnya yang sudah uzur
kasar, Frankie Dunn dengan narasi multi-bahasa yang cukup mendalam.
Maggie, yang diperankan oleh Hillary Swank, merasa bosan dengan
kehidupannya sebagai pelayan restoran, serta merasa ada yang salah dengan
hidupnya. Berangkat dari mimpinya sebagai atlit tarung, Maggie mengajukan
dirinya untuk belajar tinju kepada Frankie,-diperankan aktor unggulan Clint
Eastwood- di dalam sebuah sasana tinju bernama Hit Pit. Sebagai konsekuensi
dari minatnya, kerasnya metode pelatihan Frankie yang acapkali dibumbui agitasi
menjadi makanan rutin Maggie sehari-harinya.
“Kamu yakin tetap lanjut bertinju? Kamu sudah jadi perawan tua
sekarang!” (fFrankie Dunn, awal film)
Usia atlet binaan yang melewati masa matang, kerap menjadi celah bagi Frankie
mengagitasi Maggie, hingga menyuruhnya berhenti. Tetapi Maggie memang keras
kepala, tetap pada tekadya sebagai petinju. Untunglah, seisi staff dan pegawai
sasana tinju Hit Pit tak sama galaknya dengan sang pelatih utama. Adalah Eddie
Durpris (diperankan Morgan Freeman), seorang pegawai tua sasana tinju tersebut
kerap membesarkan hati Maggie dalam menerima segala metode dari Frankie.
Frankie pun tak memiliki pilihan atlet lain, saat salah seorang sponsor
utamanya, Big Willie mengikat kontrak dengan Mickey Mack untuk mengikuti kejuaraan.
Lantaran diancam dengan terhentinya pembiayaan sasana jika masih absen pertandingan,
mau tak mau Frankie melatih Maggie dengan prasyarat, bahwa Maggie hanya
berlatih dasar tinju hingga memperoleh manajer atlit yang baru. Frankie sendiri
sebenarnya adalah seorang penduduk senior yang cenderung penyendiri dan tak terlalu
suka berbagi, Karenanya, hanya seorang pastur di dekat rumahnya yang sering
dijadikan teman curhat.
Menjelang pertandingan perdana Maggie di kelas amatir, Frankie tak
muncul di dalam sasana dan mendelegasikan ‘perannya’ kepada seorang manajer
yang tak dikenalnya. Maggie bisa jadi berang dan apatis dengan perintah sang
manajer, jikalau Eddie tak membesarkan hatinya dan mendinginkan situasi. Maggie
pun terjun ke lapangan bertarung dengan susah payah hingga Frankie kembali
muncul di babak pertengahan. Frankie kemudian takjud dengan kemampuan Maggie
menyerap segala arahannya dengan cepat, hingga pertandingan kelas amatir itu
dimenangkan hanya dengan satu ronde.
Reputasi Frankie kian membaik dengan kemenangan pertama Maggie,
sampai-sampai banyak manajer atlit lain yang mulai menantang adu tinju dengan
atlit wanita yang sudah berusia kepala tiga itu. Frankie, dengan tergesa-gesa
memutuskan untuk mengirim Maggie untuk terjun ke pertandingan kelas bantam.
Maggie kembali menang, meskipun tulang hidungnya patah. Meresapi pengorbanan
Maggie, Frankie merasakan bahwa atlit wanita binaannya itu seperti pengganti
putri kandung. Lantas, Frankie mengizinkan Maggie untuk istirahat untuk sekian
bulan sebelum lanjut bertanding. Sayang, Mickey Mack yang memegang kontrak
dengan Frankie, mendesak agar sang atlit wanit itu diterjunkan lagi di
pertandingan lain tanpa jeda.
Melihat gelagat kontraktor yang mendesak, Eddie yang ingin Maggie bisa
memulihkan lukannya terlebih dahulu mencoba menyusun rencana pertemuan makan
malam antara Frankie, Maggie, dan Mickey Mack. Rupanya. Maggie menolak,
lantaran ia dan Frankie sudah siap untuk mengikuti pertandingan kelas berat di Inggris,
dengan lawan yang tidak main-main, seorang petinju wanita juara kelas wahid. Maggie
kembali mencetak kemenangan, hingga uang hadiahnya mampu membeli rumah untuk
ibunya. Sayang, ibu Maggie justru menghina dan mengejek putrinya, lantaran
pengunduran diri sang putri dari profesi pelayan membuahkan keputusan
pemerintah mencabut subsidi bagi dirinya.
Berangkat dari kekecewaan, Maggie kembali mengikuti arahan Frank untuk
terjun kembali ke arena tinju. Tak disangka, maut menanti dirinya di arena
perebutan juara di Nevada, Las Vegas. Lawan yang dihadapinya, Bille Osterman,
sang beruang biru, mempunyai banyak catatan hitam tentang pelanggaran di atas
ring. Maggie mendominasi pertarungan rumit, namun tak dapat mengelak dari
takdir pahitnya. Billie menerjang lehernya tepat setelah bel ronde kedua berbunyi,
dimana semestinya atlit berhenti bertinju. Nahas, Maggie yang perkasa harus
terbaring dengan ventilator menyangga lehernya dari luka tinju yang mengoyak syaraf
di lehernya.
Frankie yang mulai memiliki rasa lebih dari ayah kepada anak terhadap Maggie,
mulai dihinggapi rasa bersalah. Eddie dan semua dokter yang beropini negatif
tentang kesehatan Maggie kerap dijadikan pelampiasan kekesalannya. Tetapi, Frankie
pun sadar akan akibat buruk dari kekalutannya, hingga kembali berdoa di sebuah
gereja. Utamanya adalah meminta kesembuhan Maggie dari keterpurukannya di atas
ranjang.
Ibu dan keluarga Maggie menjenguk putrinya di rumah sakit. Awalnya,
Maggie mengira bahwa keluarganya prihatin dengan tragedi yang menimpanya. Namun,
setelah sang ibu kedapatan membawa pengacara yang membujuk Maggie untuk
memindahkan asset hasil uang hadiah ke rekening keluarga besarnya, mantan atlit
tinju itu berang bukan kepalang. Diusirlah sang ibu karena niat
materialistisnya, bahkan sampai
mengancam akan melapor badan penyelidik keuangan untuk memeriksa kekayaan
keluarganya.
Clint Eastwood, Hillary Frank, dan Morgan Freeman,
beradu akting dalam Million Dollar Baby di tahun 2002
Kesehatan Maggie kian memburuk, hingga kakinya infeksi setelah syarafnya
tidak bekerja dengan baik. Setelah dokter menyarakan amputasi, Maggie memanggil
Frankie untuk mendekap di sisinya.
“Tolong bantu aku mati. Aku sudah mendapatkan semua yang
kuinginkan dalam hidup ini”
Maggie kemudian berniat bunuh diri, dengan berkali-kali menggigit
lidahnya. Aksi itu kemudian digagalkan para petugas medis dan diberikan suntikan
penenang. Frankie sendiri kembali ‘mengadu’ ke gereja, dan teman pasturnya
memberi wejengan bahwa sang pelatih tua itu baru saja terhindar dari menambah
dosa.
“Jikalau kamu menolong dia untuk bunuh diri, kamu akan selamanya
kehilangan dirimu sendiri, Frankie” (Pastur Horvak, bagian klimaks film)
Tapi, karena merasa tak tega dengan kondisi
Maggie yang kini sudah tak memiliki kaki, Frankie memilih sebuah keputusan yang
kejam, disaat rasa bersalah dalam dirinya tak terbendung. Frankie menyiapkan
sebuah suntikan adrenalin yang bisa membuat syaraf kejang maksimal. Di atas
ranjangnya, Maggie pun sudah pasrah saat Frankie mengacungkan suntikan maut
tersebut. Sebelumnya tersirat sebuah tanya dalam Maggie yang sudah kepayahan
“Apa artinya Ou Moshle?”
“Itu adalah bahasa Irlandia, artinya kasihku,
sayangku, cintaku”
Alih-alih menolak suntikan maut tersebut,
justru Maggie turut ‘mempercepat’ kematiannya sendiri. Dipeluk dan diberikanlah
pelatih tua itu ciuman terakhir. Seusai Maggie meninggal, Frankie menghilang
dan tak pernah muncul kembali ke sasana tinju. Eddie kini hanya sendirian
mengelola sasana seperti anak ayam kehilangan induknya. Dalam benak Eddie,
beberapa ingatan tentang Maggie kembali terkenang, salah satunya tentang pesta
mereka bersama di sebuah kedai seusai menang pertandingan tinju. Di pertemuan
itu, Maggie berceloteh: “Aku sudah siap bila saatnya dipanggil ke akhirat.”
Sepintas, apa yang menjadi garis besar dari
tayangan kisah kelam dunia olahraga, adalah tentang huru-hara eksistensi
seorang pelatih dan atlet. Seorang wanita yang mempertanyakan cita-cita dalam
hidupnya dan pelatih yang dirundung sepi. Ketika keduanya bertemu, tak lantas
saling cocok, dimana Frankie melihat Maggie yang sudah berumur belum tentu
sanggup menanggung segala beban menjadi atlet. Sementara, Maggie dirundung
kekecewaan melihat keluarga hanya menilai pencapaiannya dari segi materi,
hingga merasa bahwa menjadi petarung adalah pilihan untuk memenuhi kebutuhan
eksistensinya.
Jikalau melihat perubahan pola dan tingkah
Maggie di film, mungkin penonton pun akan heran. Maggies seakan tak berhenti lalu
mengambil jeda, setelah mereguk kemenangan pertama. Pun hingga sang pelatih
terseret kontraktor untuk kembali melaksanakan kejuaraan, Maggie tak serta merta
menolak. Kemungkinan besar, hasrat Maggie menemukan eksistensi dalam
pertarungan telah mengalahkan kelelahannya. Di sini bila saya simpulkan, passion
Maggie sedang ‘bekerja dengan baik’. Maka, passion bukanlah tentang segala
hal yang membuat nyaman, melainkan tentang sesuatu yang disenangi meskipun
mengorbankan banyak hal.
Frankie kerap menjadi keras, lantaran demi
bertahan hidup ia dikelilingi oleh orang-orang yang lebih banyak berhubungan
secara transaksional, ketimbang tulus sebagai sahabat dan keluarga. Frankie
kemudian meresapi pengorbanan Maggie yang setia mengikuti arahannya, meskipun
babak belur. Lambat-laun, dari pengorbanan dan kesetiaan Maggie, Frankie memberikan
sinyal kasih sayang berupa ungkapan ‘Ou Moshle’ karena kedekatan yang dibangun
dengan atlitnya tersebut. Kehadiran Maggie beserta watak keras kepala tapi haus
pertarungan membuat Frankie kembali menemukan arti sebagai pelatih.
Kehadiran Eddie, meskipun tak banyak dari
film ini, seolah menjadi kutub penyeimbang dari kedua tokoh utama yang
sama-sama berwatak keras. Jikalau dianalogikan antara Frankie dan Maggie adalah
dua banteng, Eddie menjadi jembatan penghubungnya. Kalaulah bukan karena
bujukan dan inspirasi dari Eddie, mungkin Maggie akan menyerah di awal latihan,
saat Frankie enggan menjajaki bakatnya. Secara logisnya, memang sekeras apapun
lingkungan perlu diimbangi dengan tokoh yang lembut dan penyayang.
Frankie dan Maggie kemudian menjalin ikatan
yang cukup intim secara kejiwaan. Maggie merasakan Frankie yang kerap menyemangatinya
sebagai pompa untuk kebutuhan eksistensial dalam berjuang di atas ring tinju. Maggie
pun menganggap Frankie lebih dari seorang ayah, terutama setelah menelan pil
pahit dari sikap keluarganya. Maka, di dalam titik terendahnya, sekalipun kita
yang awam cenderung menyayangkan keputusan Maggie untuk mati, rasanya sulit
untuk mengelak bahwa Maggie hanya mempercayakan nyawanya pada Frankie. Bisa
jadi, ini bentuk yang cukup pahit dari sebuah romantisme dua sejoli di titik
terendah.
Apa yang dialami Maggie serta keputusan
Frankie yang dirasa kejam, sebetulnya merupakan pilihan realistis. Beberapa
tahun silam, mungkin lebih dari lima tahun, pernah kita dengar seorang suami yang
mengajukan permohonan euthanasia, karena tak tahan dengan penderitaan istrinya
yang sudah sekarat koma bertahun-tahun. Di benak orang yang sadar dan melihat
penderitaan, memilih maut sebagai solusi bukan pilihan yang benar-benar indah
secara kasat mata. Akan tetapi, bila mempertimbangkan keterbatasan sebagai
manusia, yang mau tak mau perlu banyak usaha untuk kesehatan dan sokongan
finansial, perlu ada motivasi dan solusi yang lebih meyakinkan agar mujizat
terjadi.
Dalam film ini, sisi yang menarik adalah Frankie
yang tetap memelihara kebutuhan rohaninya, dalam menghadapi banyak hal yang
membuatnya getir. Maka, kehadiran pastur Horvak seolah menyiratkan pentingnya
konsultan rohani. Jikalau boleh menerjemahkan dalam konteks agama saya, keberadaan
seorang ustadz dan ahli rohani punya peranan lebih dalam menentramkan hati
untuk mencari solusi yang tak terbayangkan saat dirundung rasa bersalah luar
biasa. Kemungkinan besar, Frankie pun mengambil langkah bertentangan dengan
sang pastur karena tak merasakan lagi ‘tujuan dalam dirinya’, sebelum diberikan
wejangan. Atau lebih tepatnya, Frankie merasakan bahwa kebahagiaan dari Maggie
adalah ketika penderitaan berakhir.
Terkait dengan momen kekerasan dalam
olahraga, sayapun pernah mengalaminya. Ketika masih SMP, tatkala mengikuti
pelatihan beladiri karate, pernah sang pelatih memarahi saya. Apa pasalnya?
Saya berpura-pura pingsan saat kelelahan pemanasan. Tentu saja sang pelatih
mengancam akan menjitak jikalau mengulangi.
Akan tetapi, memang keselamatan dalam olahraga
keras pun perlu disiplin yang tidak main-main. Sang pelatih memang hanya berharap
para atlitnya bisa mengikuti disiplin agar selamat dan tidak cedera. Tetapi,
lambat laun pelatih jadi kenal dekat dengan saya, meskipun pada akhirnya tak
lama pelajaran beladiri itu diikuti. Beberapa disiplin keras itu membuat saya
punya bekal dalam menghadapi agitas-agitasi di tahap selanjutnya.
Beberapa tahun kemudian, saat kuliah tingkat
dua, saya menyaksikan beberapa paradoks dari film ini yang menjadi nyata. Ada satu-dua
adik tingkat yang justru menangis karena tidak ada momen agitasi dalam ospek. Mungkinkah
justru dalam benak sebagian orang, kekerasan yang menjadi unsur disiplin itu
jadi hal yang dirindukan? Saya kembalikan pada diri masing-masing.
Sudut pandang beda tentang menjemput kematian dg euthanasia, dan kekerasan yang dirindukan. Kegundahan atas pencarian?
BalasHapusBisa jadi begitu. Maka film bagus ini pun babyak yang mengkritik, tapi Clint Eastwood selaku sutradaa dan pemainya sendiri phn menukas bahwa film ini dibuat apa adanya
BalasHapusOh, ini film ya.... baru tahu saya. Jadi penasaran filmnya
BalasHapuswah ini filmnya rame bu nces. Tonton deh. Memang endingnya pahit beut. Tapi setiap tokoh begitu detil digambarkan peralihan jiwanya....
BalasHapusWah, keren ini filmnya
BalasHapus