Jumat, 01 November 2019

DI Balik Semua Cerita Ini


“Kak Guni, hendak kemana?”

“Aku  makin bingung sama Bong. Setiap hari ku tolong dia memetik buah, tapi aku hanya jadi ban serep. Dia minta ini, minta itu, baru ingat giliran butuh. Giliran punya makanan, malas bagi-bagi. Kalaupun kebagian, cuma sedikit. Jadi siapa sih yang dulu janji manis ‘saya takkan bikin kalian kelaparan’?”

“Iya juga sih, memang dia sedikit rakus..”

“Berbulan-bulan kita ikut dia….nyatanya badan makin kerempeng. Coba dulu kita ikut Neka.”

“Buat apa kalian bahas dia lagi? Apa kalian sulit bersyukur punya saudara iguana yang normal?”

“Bong? Jadi, dari tadi kau belum berangkat mencari anggur?”

“Aku tunggu kalian sejak tadi. Ternyata kalian malah berbicara yang tidak-tidak tentangku. Aku tak masalah pergi sendirian untuk cari makan. Nanti kalau ada satwa lain yang jadikan kalian kudapan, aku takkan ikut bertempur.”

Bong memalingkan muka, Guni dan Mara saling berpandangan. Kedua iguana itu kemudian menyusul saudara tertua mereka untuk menenangkannya. Selama terpisah bertiga dari rombongan Komu, Bong dan Guni selalu siap memasang badan manakala marabahaya memngepung mereka. Kendati rakus, Bong paling lihai mengecoh para predator, meskipun Guni yang lebih menguasai ilmu bela diri kadal.

“Jadi, kita tetap akan makan siang bersama?”

“Tentu saja! Kemarau sudah usai,  semestinya buah-buah tumbuh lebih ranum.”

“Ah, Bong, Mara! Lihat sesisir pisang itu! Kita takkan kelaparan untuk berbulan-bulan, hore!”

“Tunggu, tunggu. Kok bentuk dahan pohonnya aneh? Kenapa bentuknya lurus sekali?”

“Kau mungkin berhalusinasi karena lapar, Mara. Nanti kuberi lebih untukmu, biar jadi obat halusinasi.”

….
“Ular sancaaaa!! Lariii……!”

“Nah, apa kubilang, kak Guni?Untung kita masih bisa menyelamatkan diri.”

“Sekarang kita berlindung di gua, cepat! Ular besar itu takkan bisa masuk.”

Selangkah mereka terlambat, Guni mungkin sudah menemui ajalnya. Ular besar itu masih bersikeras menyambar para iguana, meski lehernya tak sanggup menembus celah kecil gua. Ketiga iguana itu terus berlari menuju tengah gua. Tibalah mereka di bilik yang gelap, terjal, ditumbuhi lumut, dan sesekali terdengar bunyi gemercik air. Bulu roma ketiga iguana bergidik, mereka kini hanya tergantung pada penciuman untuk mencari cahaya dan pintu keluar.

“Gelap”

“Aduh! Keras sekali batu ini.”

“Tetap jaga langkah kalian, kadal muda!  Apa kalian sudah lupa cara meraba bebatuan yang ibu ajarkan sejak kecil?”

“Duh, kak Bong. Kau jangan buat aku terkenang ibu. Aku jadi sedih.”

“Sudah, tak ada waktu untuk terbawa perasaan. Lebih baik kita cari jalan keluar dari tempat ini. “

“Lihat! Ada celah gua yang menganga!”

“Memangnya kau yakin ini arah yang tepat, Bong?”

“Mau ke mana lagi? Apa menurutmu perlu kembali biar dilahap ular raksasa?”

“Baiklah. Aku turuti dirim. Awas saja kalau kau membawa kami dalam bahaya. “

“Apa itu? Rumput di tengah gua?”

“Rumput mana yang bisa sebesar dan sebulat itu?”

“Sudah, lupakan saja. Kita fokus cari lubang keluar.”

“G-g-g-Guni. “

“Iya, Mara?”

“R-r-r-rumput bu,bulat itu bangun, Guni. I-i-i-tu,b-b-b, berrr,…. beruaaaaaannggggg!!!!”

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!

“Grrraaaaaaaooooooooooooo!”



“Hei, jangan menyenggolku. Sarang ini sudah sempit, nanti kalau aku jatuh ke lereng, kau mau bagaimana, Yoka?”

“Kau kan enak punya sayap, Rudra. Aku tak kuat harus tidur melawan angin. Dingin sekali disini. “

“Kalau kau mau, besok kita berburu merpati dan dara. Kita cincang mereka untuk makan siang, bulunya kita jadikan selimut. Aku sudah bosan terdempet terus selama berminggu-minggu ini. ”

“Baiklah, tapi sekarang boleh kan kita tidur dulu? Aku lelah sekali, tapi angin malam ini menusukku.”

“Semestinya kau belajar kepada para kadal bagaimana bisa tertidur nyaman diatas batu tanpa terusik. “


“Ma, Mara..”

“Apa kau dengar suara itu, Rudra? Aku mendengar igauan?”
“Ya, kurasa itu suara Kamga. Si kadal bocah itu. Bagaimanapun, dia masih cukup muda saat kehilangan ibu dan terpisah dari saudaranya yang lain. Akupun demikian, setelah kusaksikan ayah dan ibu tewas mengucurkan darah tepat di depan mata.”

“Semoga arwah mereka diterima oleh Yang Maha Kuasa.”

“Lalu, dimana ayah ibumu, Rudra? Apa memang elang remaja sudah saatnya hidup menyendiri.”

“Kurasa demikianlah alam memilihku untuk tetap hidup dan terbang bebas. Ayahku mati dalam suatu perkelahian dengan rajawali. Tak kusangka, rajawali bajingan itu menendangku dari sarang, lalu membawa ibuku untuk memuaskan hasratnya. Untungnya, aku sudah mulai paham bagaimana melawan daya tarik bumi saat itu. Luka tertabrak pohon itu tak ada apa-apanya dibanding apa yang telah direbut si pecundang itu. “

“Aku turut prihatin padamu. Kuharap ibumu sehat-sehat saja.”

“Ya, semoga saja saudara-saudara tiriku tak sebiadab si pecundang itu. Ingin sekali kucabik kepala botaknya. “

“Sudahlah, ayo kita tidur kembali.”                 Pagi tiba, rombongan hewan campursari bersiap mencari makan di sekitar lereng. Bagi para kadal, tak mudah mencari makan di antara tebing.  Pepohonan baru tersebar di daerah turunan. Beberapa kali, para iguana dan Komu memilih untuk menetap di lembah, namun setiap malam udaranya membuat sesak nafas.  Baru ketika matahari membumbung tinggi, udara lembah terasa lebih aman. 

"Komu, aku terpikir soal Mara, Guni, dan Bong. Apa jangan-jangan mereka menderita karena api yang membumbung tinggi?"

"Aku pun berpikir serupa dengan kak Neka. Tapi kurasa mereka sanggup bertahan. Selama mereka tidak bertemu pemangsa bercakar besar, aku yakin Guni dan Bong akan selalu melindungi Mara."

"Terus terang, dibanding Bong atau Guni, aku lebih mencemaskan Mara. Di antara kita berenam, dia cukup pasif dan tidak begitu pandai berkelit. "

"Kak Komu, kak Neka, hutan sebelah timur sudah hangus. Pohon-pohon tumbang, bagaimana dengan rumah kita? Makam ibunda?"

"Mungkin, bila ajal dalam bencana telah tiba, siapa bisa mengelak, Kamga? Lagipula, rumah bukanlah sarang belaka. Rumah adalah tempat dimana kita selalu bisa melupakan beban hidup dan berkumpul dengan yang kita sayangi. Ibu sudah tenang di alam sana, dan sekarang kita belum bisa kesana. Dibanding harimau dan elang, bangsa kadal paling rentan terhadap asap dan debu, karena penciuman kita yang tajam ini.  "

Kamga terdiam memaklumi, meski ia melihat beberapa tetes air mata tumpah di wajah Neka yang memalingkan muka darinya. Kamga membatin tentang sulitnya situasi karena asap yang terus melahap seisi hutan. Saat ini, memang lereng gunung adalah tempat teraman untuk mereka, selama tak banyak pilihan yang bisa ditempuh.

"Tolong, tolong!"

"Kau dengar suara itu, Komu? Entah kenapa aku merasa seperti Mara yang meminta tolong. "

"Coba nanti kita pastikan lagi. Siapapun bisa minta tolong dalam situasi segenting ini."

"Tolong, tolong kami....."

Bergegas Komu, Neka, dan Kamga menuju sumber suara. Semakin jelas terlihat bahwa yang memohon pertolongan adalah iguana. Ketiga kadal terbelalak menyadari iguana-iguana itu tak lain adalah Bong dan Mara. Yang membuat Neka semakin terkejut, kaki belakang Bong sudah putus sebelah. 

"Apa yang terjadi dengan kalian? Guni ada dimana? Pemangsa mana yang membuatmu seperti itu, Bong? "

"Kak Gun, kak Guni......di,...diaaa..."

"Dia sudah dimakan beruang."

"Ya Tuhan, apa karena itu kakimu buntung sebelah, Bong?"

"Ya, Neka. Aku berusaha..."

"Kamu ga perlu bohong, Kak!! Dasar pengecut! Aku tahu kakimu diterkam beruang saat berusaha lari terlebih dahulu meninggalkan kami. Kalau bukan karena Guni, aku sudah larut dalam perut beruang!"

Dari raut mukanya, Bong tampak ingin menepis kecaman Mara. Komu dan Neka hanya menggeleng-gelengkan kepala. Tak tampak lagi rasa keheranan di muka komodo  jantan dan iguana betina muda itu. 

"Plak!"

"Nek, Neka, aku bisa jelaskan kenapa. Kau tak perlu menamparku seperti ini. "

"Kamu belum berubah, Bong. Dari dulu aku sudah hafal tabiatmu yang selalu berkelit lebih dulu di saat-saat sempit. Kau pikir Mara seekor iguana pembohong sepertimu? Kau jangan lupa, bahwa ibu tak sempat tertolong  gara-gara dirimu yang selalu rakus saat makan!"

"A,...aku minta maaf, Neka. Saat itu aku hanya terpikir untuk menyelamatkan dua nyawa ketimbang tiga ekor kadal harus berakhir di lambung beruang. Lagipula, Mara, karena aku berusaha lari, kau jadi tahu dimana pintu keluar gua, kan?"

Mara membisu, sambil memalingkan muka. Bagaimanapun Bong adalah saudara tertua mereka. Mara pun tak bisa mengelak bahwa berkat inisiatif Bong, dia punya kesempatan untuk lari dari gua. 

"Sudah, sudah. Yang penting sekarang kita cari makan dulu. Makin lapar nanti makin sulit cari solusi."

"Kadal bertaring sepertimu mestinya mudah melahap kambing gunung, tanpa harus mencari buah-buahan. Sudahlah, berhentilah pura-pura menjadi iguana."

"Bong, apa perlu kujitak kau sekali lagi? Sudah bagus Komu melerai kita, kau malah menyudutkannya. "

"Sudah, kak Neka, tak perlu berlarut-larut. Yang Bong katakan benar soal aku adalah pemakan daging. Sekarang, ayo kita cari makan. Semakin lapar, semakin banyak pikiran buruk berkecamuk."

Mereka berlima menjelajah sisi lembah, untuk mencari pepohonan. Lantaran Bong kini pincang, mau tidak mau dia meminta yang lain untuk memapahnya. Sisi lereng gunung yang terdapat pohon ranum memang agak sulit dicapai. Seringkali karena lumut bertunas di sela-sela jalan setapak atau bebatuan, membuat satwa tanpa kuku yang keras mudah tergelincir. Seminggu sekali memang Komu makan daging. Itupun hasil berbagi dengan Rudra dan Yoka. 

"Kalian betah tinggal di sini? Di dataran lurus dan pepohonan saja kadang melelahkan, bagaimana kalian bisa bertahan dalam tempat securam ini?"

"Yang aku yakini hanya satu, Bong: mungkinkah para kadal bisa berumur panjang dalam dataran landai penuh asap?"

"Lalu kalian tinggal disini dengan belas kasihan para predator? Seyakin apa mereka takkan menjadikan perut sebagai kuburan buat kita?"

"Selama kami percaya bahwa dalam situasi sulit, sesama satwa harus saling merangkul. Lihatlah dibawah sana, Bong. Apa kau lihat bagian hutan yang belum melebur bersama asap?"

"Hmm, baiklah. Awas saja kalau mereka menerkam kita. Hantuku akan datang dalam tidurmu!"

"Mudah-mudahan, aku yang jadi hantu lebih dulu. Paling tidak, aku bisa melepas rindu bertemu ibu "

"Cih."

"Jadi kau kakak tertuanya, Neka?"

"Iya, tuan....h-h-h-harimauuuuu?"

"Sebenarnya wajar kalau kalian tidak begitu betah di sini. Aku ingat memang ada satu tempat yang semestinya tidak tersentuh oleh api, kakak iguana. Tepatnya, sebuah habitat dimana sahabat lama ayahku berdiam di sana."

"Baguslah, aku tak suka lama-lama disini, Yoka. Kakiku sudah buntung seperti ini, bagaimana aku tak lelah menuruni lereng."

"Tapi, apa kau sanggup melewati tempat itu? Hanya hewan secerdas kancil yang bisa melaluinya."

"Memangnya apa yang ada di sana?"

"Markas para klan buaya. Mereka saling bersaing memperebutkan wilayah dan makanan. Sahabat lama ayahku ada di antara mereka. Tapi aku sendiri lupa bagaimana rupanya dan dimana sarangnya, karena ia mengunjungi kami saat aku masih bayi. "

"Bu,...buaya katamu? Apa kau tahu dimana lagi daerah hutan yang masih aman selain itu?"

"Ya kalau masih ingin menghirup asap masih banyak hutan yang bisa dijelajahi. Hanya itu pilihan yang bisa ditempuh, selain menetap berhari-hari di lereng ini. Atau, coba kau tanya Rudra, dia ahli navigasi. Siapa tahu dia bisa menunjukkan jalan paling singkat ke rawa tanpa harus sowan dengan buaya."

Dengan bulu roma bergidik, Bong berdiskusi dengan Rudra. Kesimpulannya, mereka hanya punya dua pilihan jalan: melewati rawa yang penuh buaya atau jalan berbukit yang dikelilingi lumut dengan jurang yang dalam. Komu mengusulkan untuk melewati rawa dengan menaiki gelondongan kayu. 

" Kalian tak perlu cemas dengan predator. Ada saya, Rudra, dan Yoka yang terbiasa bergulat dengan hewan bertaring." timpal Komu meyakinkan rombongan satwa. 

"Sok tahu, komodo abege. Siapa yang mau ikut sampai ke dalam rawa? Aku mau kencan, cari pacar. Sudah belasan purnama aku menyendiri, bosan rasanya. ", elak Rudra dengan nada sedikit kesal. 

"Sudah, Komu. Tak apa kalau hanya aku yang menemani kalian.  Tapi aku minta semuanya, terutama kamu, Bong, untuk jaga sikap selama di perjalanan. Kalau kalian saling memprovokasi, sampai-sampai terperangkap buaya, aku tak yakin bisa menolong.", tegas Yoka yang masih hafal tabiat Bong. 

Beberapa pohon tumbang mereka susun, tepat di titik hulu menuju sungai. Meski pepohonan banyak yang kering, daerah rawa itu tak tersentuh oleh asap. Perjalanan mereka dimulai dari kali tempat ikan-ikan besar berarak. Rudra mulai ingat, dirinya belum makan sedari matahari meninggi di langit. 

"Aih, kenapa ikan-ikan itu terlihat nikmat sekali? Rasanya ingin sekali kucicipi rasanya. Baiklah, bersiap untuk menukik." , Rudra membatin sambil menyusun ancang-ancang dari ketinggian. 

Didapatnya seekor ikan arwana raksasa. Lantaran mencoba berontak terhadap cengkeraman Rudra, ikan raksasa itu memuntahkan reptil berkulit kasar menuju rerumputan di pinggir rawa. Demi meredam pergerakan si ikan besar, Rudra bergegas mencabik insang lalu mengeluarkan dagingnya. 

Sementara itu, reptil berkulit kasar yang jatuh di rerumputan itu siuman. Tatkala matanya melihat ada seekor harimau dalam sekoci gelondongan kayu, ia mengambil ancang-ancang berenang. Sorot matanya berubah tajam, dikayuhnya kedua kaki untuk mengejar sekoci itu. 

Suara reptilia yang berenang dalam air itu terdengar pertama kali oleh Yoka. Harimau muda itu menoleh dan terkejut melihat siapa yang mengikuti.

BERSAMBUNG

#Tantangan8episode5
#sambungankamis
#ceritaekologi
#semifinal
#ceritabersambung
#OneDayOnePostBatch7







"











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...