Senin, 16 Desember 2019

Setelah Sekian SKS, Arah Mana yang Akan Kita Temputh

Vini, Vidi, Vici

Itulah gaung frasa Romawi yang menegaskan tentang keyakinan diri: saya lihat, saya datang, dan saya menang. Saya dengan mantap hati cap laa roiba fiih (tiada keraguan-raguan di dalamnya) mantap memilih non-fiksi dengan berdasarkan minat terhadap dokumenter yang telah mengakar kuat sejak masa belia. Jika meninjau ulang pada diri sekadarnya, seorang Brian telah terbiasa menatap data-data pendukung dan barisan angka yang menjadi anasir suatu kejadian, sebagai unsur yang menyusun sejarah.

Memasuki kelas non-fiksi yang juga terisi beberapa orang yang telah saya kenal selama sekian bulan bahkan setahun ke belakang, rasanya tak jauh berbeda dengan menekuni kelas sejarah, mata pelajaran favorit  bertahun-tahun. Barangkali, menurut hemat saya, memang pada dasarnya seni kepenulisan ini utamanya adalah menjadi alat bantu untuk mengamankan sejarah. Bila boleh terus terang, saya punya harapan besar bahwa barisan non-fiksi akan dikenang selalu sebagai madrasah atau kawah candra-dimuka bagaimana meniti karir untuk melanjutkan beberapa minat bahasan yang sudah tak terkejar selama menekuni profesi utama saya.

Tatkala bertemu kembali mbak Alif, yang pernah mengajar feature di masa penjajakan 3 bulan, rasanya memang memproyeksikan bahwa saya akan banyak fokus di feature dan esai adalah perkiraan yang cukup akurat. Ditambah lagi, niche blog-nya mbak Alif sering menjadi bahan bacaan saya dikala senggang, terutama tatkala saat butuh wangsit dalam perihal pengelolaan kesehatan ibu dan balita. Jikalau boleh terus terang, meninjau blog-nya mbak Kiky membuat saya nostalgia akan suasana zaman masih SD. Saat dimana saya berguru ngaji seorang mahasiswi yang fasih akan seluk-beluk perbidanan, ginekolog, hingga perawatan pasca persalinan.

Empat minggu dua puluh empat kali posting rasanya tak begitu intensif dibanding "stimulus-stimulus" masa penjajakan tiga bulan. Kendati demikian, dengan padatnya waktu sebanyak 4 minggu, saya jadikan pula masa-masa ini sebagai etalase untuk 'menguji' respon pembaca terhadap karya yang diniatkan untuk terbit pada (insha Allah ) kuartal 1 2020. Bagaimana teman-teman? Apa kalian menikmati cara saya mengupas dan mengulas film? Saya hanya berharap, bahwa sisa-sisa kursus perfilman yang pernah diikuti lima tahun silam tak lekas menguap lantaran tidak pernah 'mereproduksi' gagasan.

Sedikit bocoran, sebenarnya beberapa kali di blog ini saya 'titipkan' beberapa cuplikan 'calon buku' yang lainnya. Supaya jadi kejutan: bisa jadi yang jarang saya bagikan justru malah terbit duluan, :D. Pastinya semakin hari saya menjalani rutinitas yang ada dalam kelas ini selama empat minggu, makin mantap desakan hati menjadi dokumenter atau jurnalis warga. Meski demikian, adakalanya untuk membahas hal-hal sensitif, kemampuan sastrawi untuk menyamarkan 'isu' sangat diperlukan.

Selama menjelajah di blog ini, saya mulai merasa lebih kenal dengan teman-teman yang mungkin tidak satu kelompok selama masa penjajakan tiga bulan. Mulai dari Jihan, yang mungkin mulai banyak mengurai tema-tema psikologi sebagai fondasi kemanusiaan, ada mbak Maria yang fasih mengulah seluk beluk sumber daya manusia, mbak Yoha yang khusyu bahas kesehatan, Lulu alias teman senja yang punya segudang tekad untuk menjadikan blog-nya sebagai penyembuhan, reportasenya mas Eko yang ciamik,  hingga Syaifuddin, sosok pria tervokal se-ODOP dengan blog-blog kajian yang bernutrisi diksi filsafat. Selain mereka, saya pun mulai melihat bahwa tulisan-tulisan mbak Betty, mbak Cesskha, mbak Fitri Ane, hingga Ummu Renita seakan-akan menjadi murid 'ideologis' dari mbak Kiky :D. Sedikit bocoran: saya berlangganan diam-diam blog beberapa orang di kelas ini. Bukan tidak mungkin, salah satu buku yang saya niatkan terbit akan mengambil referensi dari mas-mas dan mbak-mbak yang ada di sini.

Baru pagi ini, rasanya tema AdSense kembali menjadi gema utama dalam dunia per-blog-an, beserta manfaat dan kontroversi di dalamnya. Bila saya ungkapkan lebih realistis, memang ada saatnya seorang penulis di era digital harus peka akan titik-titik mendulang rupiah. Sungguh, sebagian porsi kebahagiaan kita memang beririsan dengan pengeluaran dan pembelanjaan hal-hal penting dan yang diimpikan. Maka, berkenalan dengan periklanan, kendati pasti ada porsi pertentangan dan konflik kepentingan, rasanya adalah suatu pilihan yang sulit dihindari di era serba cepat. Seharusnya, memang kita harus jeli melihat periklanan dan traffic digital menjadi anasir untuk memanfaatkan peluang bisnis. Hanya saja, hari ini saya masih dilingkupi beragam kesibukan lain, sehingga belum sempat blog ini dijadikan lahan transaksi yang subur, berkualitas, dan aman.

Akan kemanakah kita setelah usai semua ini? Saya sendiri merasa bahwa tantangan empat yang telah diulas beberapa hari lalu merupakan satu bekal essensial tersendiri, ditambah dengan pengenalan kita akan niche blog, lahan-lahan berkompetisi, hingga bagaimana mengulas kembali produk. Sebagian arah dan tujuan kita dalam menyajikan tulisan, bisa jadi tersarikan dalam dua jalan: kolaborasi dan kompetisi. Dengan tulisan, kita makmurkan persepsi akan promosi nilai-nilai dari sebuah produk dan jasa. Dengan tulisan pula, kita jadikan bekal untuk menajamkan gagasan dalam dunia yang berputar cepat yang dikelilingi oleh arus deras informasi.  Salam Literasi.

#KesandanPesan
#KolaborasiKompetisi
#Nonfiksikonklusi
#nonfiksidengankiky
#nonfiksi
#OneDayOnePost
#Epilog













Sabtu, 14 Desember 2019

Belalang Tempurku-Part 2- Jam 10 Malam Kita Mulai, Saya Tak Lagi Takut Kegelapan

Kegiatan rekreasi apa yang biasanya  kita pilih meniatkan begadang? Rasanya kegiatan yang rutin dilakoni adalah seputar nonton sinema favorit, menonton sepakbola, bercanda ngalor ngidul dengan teman-teman yang sudah lama tidak berjumpa,  ataupun sekedar minum kopi sambil menyendiri. Rekreasi itu bisa bermacam-macam, tak perlu beramai-ramai, bahkan menyepi mengupas sudut pikiran yang baru pun adalah sebuah rekreasi. 

Saat masa berkuliah magister,  pernah kuberanikan diri membawa sepeda mengarungi lintasan jalan gedung parlemen, china town, hingga gereja kathedral. Semua agenda tersebut kuniatkan selesai hari selasa malam pukul 10 di akhir Juli 2015. Tinggal menghitung hari dimana visa pelajar saya akan habis, rasanya sia-sia bila tak mengambil waktu lebih untuk berkeliling CBD Melbourne. 

Jam 10 malam memang bukanlah waktu udara menjadi hangat dan jalanan lepas dari masa gulita. Kendari demikian, meski awalnya bulu romaku hendak berdiri memberi hormat pada malam dan udara dinginnya, kesempatan seumur hidup rasanya terlalu sayang dilewatkan. Kupacu saja belalang hitamku dari kampus menuju ke parlemen.  Bangku sepeda hitam legam itu kualihfungsikan sebagai dudukan tustel. Perjalanan panjang malam itu memang seharusnya ditorehkan menjadi sebuah jejak, minimal sebuah gambar. 


 Suasana seisi kota Melbourne menjelang tengah malam pun membuat saya tercengang. Saking terpukaunya, tubuh saya sudah lupa caranya merinding dan mengeluarkan keringat dingin. Cahaya rembulan pun membaur bersama lampu-lampu yang mengisi sekujur kota. Seakan-akan, jalan yang harus ditempuh dalam safari malam ini telah diberi petunjuk oleh pantulan bias-bias cahaya tersebut. 

Saking megah dan berharganya penampakan sebuah kota,  rasanya dingin pun tak lagi memeluk tubuh saya yang berlapis 4 pakaian tipis. Gedung parlemen yang begitu kokoh, penampakan china town yang menampilkan kolase sejarah, kathedral yang terkunci, hingga beberapa  monumen sekitar gedung tua dimana terukir catatan-catatan sejarah pemerintahan Melbourne. Semuanya adalah momentum berharga yang seakan berbicara mewakili ruh-ruh tiada suara yang terus menghidupi ibukota Victoria. 

Ternyata, dalam perjalanan malam itu saya tidak sendirian. Tatkala saya beralih ke taman air mancur, kujumpai beberapa bapak-bapak tua juga khusyu menikmati suasananya. Saking uniknya taman air mancur tersebut, sepertinya tak perlu lama menunggu kembang api tahun baru untuk menjadi saksi mata akan warna-warni di sudut barat CBD melbourne.

Tidak lupa saya sempatkan mengibaratkan diri sebagai filsuf China saat berpapasan dengan taman Tianjin yang dikelilingi patung pesohor negeri Tiongkok. Hanya terusik oleh sedikit keramaian lalu lintas dan beberapa anak muda,  masih lebih dari cukup mengusir sepi di titik vital monumen. Momentum yang kemudian cukup membuat jantung lebih kencang berdenyut adalah menyusuri lorong jalan sekitar komplek katedral, yang minim penerangan. 

Sesekali  rasa waswas dan takut kembali menyeruak saat mencoba mengambil gambar di sekitar pagar gedung: barangkali ada yang tiba-tiba mencolek. Nyatanya ada juga penampakan penduduk setempat, dan mukanya masih segar tak terlihat pucat. Dengan mengolah rasa seolah saya vokalis symphonic metal, ku berdiri tegak depan katedral, berharap foto itu akan jadi saksi abadi bahwa saya adalah pengembara. 

Lelah pun mulai mendera ketika waktu menunjukkan jam setengah 2 pagi. Bergegas kulawan rasa kantuk sementara untuk kembali ke ruang tunggu stasiun Southern Cross.  Segera ku tertidur di salah satu sofanya, hingga mentari pagi menyapa. 

Demikianlah kilas balik salah satu begadang bermakna, menurut versiku. Semoga begadang berikutnya punya arti lebih. Agar tidak ditertawakan bang Rhoma Irama :p

Refleksi Sabtu Bersama Bapak: "Teladan Orang Tua Mendidik Anak Menjadi Pemimpin Keluarga dari Jarak Jauh”

Long distance relationship rasanya adalah hal yang lumrah didengar. Bagaimana dengan long distance parenting? Rasanya memang wajar namun tidak lebih populer daripada istilah yang pertama. Tidak lebih populer karena seringkali kita lupa, tidak menyadari, atau naudzubillahnya sering melupakan hal tersebut. 

Kita sadari atau tidak, cinta orang tua meski anaknya berada dalam jarak yang tidak terjangkau adalah cinta tak mengenal kondisi. Saya ingat bagaimana salah seorang teman kerap dihubungi ibunya dari Riau untuk menjaga pola makan, lantaran dia sedang berkuliah di Bandung. Begitupun saat saya dulu berkuliah magister di luar negeri: orang tua kerap meminta 'laporan perkembangan' mingguan lewat video call. 

Karena cinta orang tua seringkali tidak terbatas ruang dan waktu, maka bukan tidak mungkin beragam isi dalam wasiat disiapkan ketika orang tua merasakan risiko berhadapan dengan maut. Entah maut karena penyakit ataupun perang. Bahkan, bukan tidak mungkin setelah maut memisahkan, Allah memberikan 'izin' agar orang tua yang telah berpulang bisa 'bertemu' lewat mimpi.

Dalam sejarah animasi, bimbingan orang tua 'jarak jauh' pun lazim menjadi adegan fantastis. Seperti halnya dalam film 'Lion King', dimana sosok Mufasa sang bapak singa memberi petunjuk pada Simba yang kebingungan akan identitasnya. Tak terhitung pula contoh lainnya, semisal ibu dan ayah tokoh utama memberikan pesan kepada anaknya lewat contoh mimpi. Adegan ini biasanya menyiratkan suatu petunjuk penting: tentang apapun yang harus dilaksanakan sang anak atau keluarga dekat dalam waktu yang seksama, ataupun sekedar menguatkan anggota keluarga yang sedang 'linglung' mencari petunjuk.

Scene ini seringkali mengundang haru, meski tak sedikit yang mengundang tawa. Saya pribadi biasanya mengira bahwa adegan pertemuan orang tua yang sudah wafat mengunjungi anaknya adalah suatu hal yang menarik gravitasi dari kantung air mata. Barangkali, karena adengan lanjutannya berupa seorang anak yang terus menggenggam keyakinan dan pesan dari orang tuanya. Salah satu film dari sekian banyak tayangan tentang 'proyeksi' pesan orang tua yang sudah terpisah lain dunia, ada satu judul yang menarik, yakni "Sabtu Bersama Bapak".

Film garapan Monty Tiwa ini dirilis tepat dua tahun setelah novelnya rilis. Mungkin dari sini bisa terbayang rumitnya proses 'ekranisasi' dari lembaran-lembaran halaman panjang menjadi tayangan satu setengah jam? Beberapa kali sebelum tayang di tepat libur lebaran, cuplikan film ini membuat saya penasaran tentang berapa kadar keharuan yang ditawarkan film ini.

Setelah ditonton, nyatanya selain mengundang haru, tayangan satu setengah jam lebih ini cukup berperan dalam me-redefinisi-kan arti seorang laki-laki dalam keluarga. Film Sabtu Bersama Bapak menceritakan kisah tentang Gunawan (Abimana Aryasatya), yang mendapati dirinya terkena penyakit kanker. Kemudian, ia memberitahukan perihal kondisinya pertama kali pada sang istri, Itje (Ira Wibowo). Ada dua orang putra yang ditinggalkannya, Satya dan Cakra yang saat itu masih duduk di bangku SD.

Untuk menyiasati 'waktu singkatnya', Gunawan merekam banyak video yang nantinya akan ditonton setiap Sabtu oleh kedua anaknya beserta Itje. Substansi dari rekaman gambar merupakan pesan-pesan singkat dan petuah untuk kehidupan keluarganya di masa depan nanti. Selepas ia pergi, keluarga yang ditinggalkan mencoba bertahan hidup dengan membuka sebuah kafe.

Waktu bergulir cepat, Satya sang anak sulung   (Arifin Putra) menikahi seorang gadis bernama Risa (Acha Septriasa) dan dikaruniai 2 orang anak bernama Rian dan Miku. Keluarga ini tinggal di Perancis dan jauh dari Bu Itje yang tinggal di Bandung. Sementara Cakra (Deva Mahenra), menjadi seorang pimpinan salah satu bank di Jakarta dan pulang menemui ibunya ke Bandung seminggu sekali.


Image result for sabtu bersama bapak
Sabtu Bersama Bapak, Bukan Sekedar Drama

Hampir sebagian tayangan pun memfokuskan pada kisah Satya dan Cakra yang memiliki masalah masing-masing di kehidupan pribadinya. Seperti Satya, misalnya, yang terus berusaha untuk menjadi suami ataupun ayah yang baik di keluarganya dengan berkaca pada kehidupan Gunawan selama ia hidup. Sedangkan Cakra adalah seorang jomblo yang masih berusaha mencari jodoh pada usinya yang menginjak kepala tiga.

Kisah Satya lebh terfokus pada pengelolaan rumah tangga beserta ekspektasi yang ada di baliknya Baik itu tentang prinsip-prinsip mendidik anak, atau justru bagaimana seharusnya sikap suami memperlakukan istrinya, lebih-lebih Satya bekerja di kota yang berbeda sehingga jarang pulang ke rumah untuk menemui keluarga. Konsekuensinya, Satya jadi ketinggalan banyak hal mengenai keluarga kecilnya, terutama istrinya Risa.

Setiap kali berbicang dengan Risa, Satya lebih banyak berbicara tentang tuntutan rumah tangga dan segala perencanaan biaya untuk beberapa tahun, ketimbang mendengarkan perasaan-perasaan istrinya. Suatu ketika, Risa kehilangan salah seorang anaknya. Satya sangat marah, kemudiaan membuat Risa cukup sedih, lalu meninggalkan rumah. Satya kemudian kebingungan, harus kemana mencari istrinya yang tak ada di tempat manapun yang ia ketahui.

Sementara itu, kisah Cakra lebih memfokuskan pada perjuangannya mencari jodoh. Bahkan, ia dibantu oleh asisten pribadinya yaitu Firman dan Wati untuk membantunya mencari pendamping hidup. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Ayu (Sheila Dara) yang menjadi bawahan barunya di kantor. Dari sinilah, perjalanan cinta mereka dimulai.

Cakra mulai merasa cemburu, setelah salah seorang karyawannya turut menaruh hati dengan Ayu. Karenanya, Cakra mulai berusaha merapat pada Risa, kendati ia bukan orang yang terbiasa untuk romantis. Hingga pada suatu momentum, Risa bercerita bahwa ia dijodohkan orangtuanya dengan seorang pria. Cakra yang penasaran dan sedikit cemburu, mencurahkan perasaannya pada ibu; ternyata ia pun dijodohkan dengan seorang wanita di masa lampau.

Diam-diam, Itje sebenarnya sedang mengidap penyakit tumor di otaknya. Akan tetapi, ia bersikeras untuk merahasiakan, lantaran sudah berjanji pada sang suami tidak akan merepotkan kedua putranya. Lambat laun, baik Satya maupun Cakra menyadari penyakit sang bunda. Mereka bahu-membahu mendampingi ibunya; teringat mereka pernah kehilangan Bapak.

Satya sendiri kemudian menyadari beberapa hal yang penting telah terlewatkan olehnya. Anak-anaknya baru bercerita bahwa Risa selalu berusaha menjaga badan tetap segar dan terjaga selama di rumah, supaya Satya semakin mesra dan betah di rumah. Ditambah Satya menemukan berbagai catatan resep masakan buatan istrinya, semakin terkesiaplah dirinya bahwa memang ada sesuatu yang hilang di rumahnya, sebelum istrinya menghilang. Satya lalu menuju tempat dimana ia dan Risa pernah membagi kenangan. Risa muncul di tempat tersebut, tak lama Satya ungkapkan penyesalannya.

Di Indonesia, Cakra sedikit gugup lantaran ibunya berniat memperkenalkannya dengan seorang gadis. Tak disangka, gadis yang ternyata anak sahabat Itje tak lain adalah Ayu. Momentum itu kemudian membuat Cakra dan Ayu semakin lengket, hingga Ayu mulai mengerti alasan mengapa Cakra tak kunjung mencari pasangan hingga usia kepala tiga.

Setelah Satya dan Cakra kembali mendapatkan kebahagiaan yang mereka cari, masing-masing memboyong pasangannya untuk menonton video terakhir dari Gunawan di suatu akhir pekan. Pesan dari video terakhir itu cukup menyentuh saya. Apakah itu? Silakan menonton sendiri, dan rasakan betapa humanisnya perjuangan seorang ibu dan kedua anaknya mengelola kehidupan selepas seorang Bapak berpulang.


Jika ditinjau dari perbandingan novel dan filmnya, keduanya sama-sama membuat haru dan bisa jadi membuat anda menahan air mata, atau justru malah menitihkan air mata. Tapi di samping itu, akan ada adegan komedi yang akan membuat anda tertawa. Utamanya dari Cakra yang kerap kikuk dan terlalu menjaga image, sampai-sampai lupa situasi.


Seperti kebanyakan film yang diadaptasi dari novel, proses ekranisasi selalu menampung berbagai perubahan yang dinamis. Hal ini pun terjadi pada film Sabtu Bersama Bapak. Salah satu bagian yang menurut saya bagus, meskipun tidak banyak terekspansi dari versi novelnya adalah pendalaman kisah Satya bersama anak dan istrinya. Adegan ini menyiratkan bahwa memang parenting adalah sesuatu penanaman nilai yang berjenjang, lalu adakalanya disalahpahami karena pembawaan setiap anak berbeda dalam menafsirkan pesan orang tuanya.

Selain dari elemen tersebut, plot cerita asli di novel memang lebih mendominasi pada film ini. Hal ini terbukti dengan beberapa adegan serta percakapan yang tak banyak berbeda dengan versi novel. Bisa jadi, baik sutradara maupun produser sama-sama berusaha menjaga esensi yang telah tertuang dalam versi novel.

Sabtu Bersama Bapak menghadirkan kisah seorang ayah yang berusaha untuk terus mendidik anaknya hingga dewasa, meskipun ia telah tiada. Adhitya Mulya seolah-oleh mengungkapkan kecenderungan psikologis seorang pria dalam menyampaikan pesan: lebih banyak terkait cita-cita dan harapan masa depan, ketimbang perasaan-perasaan kehilangan. Hal ini yang kerap salah ditangkap kedua anaknya yang juga sama-sama lelaki, bahwa mereka merasa keluarga paripurna adalah sematang mungkin perencanaan dan mengejar kemapanan.

Maka, baik Satya dan Cakra sama-sama berusaha menjadi yang terbaik menurut apa yang 'diminta' oleh bapaknya. Sayangnya, karena takut akan kehilangan, mereka kerap lupa situasi sekitar. Namun, kebiasaan itu wajar dijumpai, karena menurut John Gray, memang kecenderungan seorang pria adalah menilai segala respons terhadap situasi dengan logika. Satya bersikukuh dengan kematangan rencana rumah masa depan dan pengelolaan biaya rumah tangga, sementara Cakra berusaha memapankan 'dirinya' di kantor sebelum beroleh pasangan.

Terkadang, memang untuk menafsirkan pesan seorang ayah pun perlu sudut pandang seorang Ibu, selaku wanita yang ada di rumah. Di sisi lain, selain karena mengejar kematangan kehidupan, menuruti pesan orang tua yang telah tiada pun kadang dirasa sebagai jalan untuk 'kembali berbakti'. Di akhir cerita, sebuah pesan pamungkas dari Gunawan pun memiliki peran penting agar kedua anaknya tak lupa menikmati hidup selagi tetap mengejar masa depan.

Karena perkembangan karakternya sepanjang cerita, film ini cocok untuk ditonton remaja hingga dewasa. Selain itu, banyak kutipan-kutipan berharga yang cukup mengedukasi kehidupan berumah tangga. Kalau saya sendiri, tak ragu menilai bahwa film ini nyaris sempurna, 90 dari 100 kendati memang pesannya kadang multitafsir.


Saat ditayangkan perdana di Juli 2016,  tidak hanya awak media dan sejumlah undangan saja yang hadir, tapi juga ada komunitas tunanetra yang ikut menonton film tersebut. Beberapa penyandang tuna netra duduk 'menonton' film dengan didampingi para sukarelawan yang berbisik menjelaskan jalan cerita film tersebut.

Saat ditemui di acara konferensi pers, Adhitya berujar, "Karena Sabtu itu dulu [kalau] pulang sekolah lebih cepet. Selain itu, di ketiga kata itu [Sabtu Bersama Bapak] ada huruf B, jadi terasa lebih mengalun."Adhitya juga merasa belakangan ini, belum ada film maupun novel yang secara khusus mengangkat cerita tentang sosok ayah. Ia sendiri terinspirasi kegelisahannya saat ini: pesan-pesan yang akan diajarkan untuk kedua anaknya.

"Kalau dulu fase kehidupan saya di tahun 2004 itu menjomblo, jadi menulis tentang itu. Sekarang fase kehidupan  sudah terasa lagi," ujar sang penulis novel dalam suatu kesempatan.

Dengan keistimewaan dan kedalaman risetnya, buah tangan Adhitya inilah yang akhirnya membuat Ody Mulya Hidayat dari rumah produksi Max Picture tergugah untuk membedahnya secara ekranisasi ke layar lebar. Ditambah,  riwayat 22 kali cetak ulang itu mendorong sang produser melihat potensi yang ada di baliknya.

"Saya suka banget dengan ceritanya. Cerita keluarga yang pesannya kuat. Sosok ayah yang tetap pengin mendampingi anaknya walaupun  sudah tiada. Saya pastikan film ini lengkap: romansa, drama, dan juga komedi," ujar Ody saat konferensi pers.



Kamis, 12 Desember 2019

RKAL 2020 (Rancangan Kerja Anggaran Literasi 2020) : 4 Karya dan 6 Tema Dalam 12 bulan

"Saya bisa saja tidak menulis hingga menyempatkan waktu untuk tidak menulis. Tetapi sekali menulis, saya mencamkan diri untuk tidak akan berhenti dan harus dituntaskan." (Puthut EA, pengantar cerpen Kitab Rasa)

Kutipan di atas adalah salah satu kalimat yang cukup menggugah pemahaman saya mengenai menulis:  kegiatan natural  penalaran manusia  alam mengekspresikan bahasa dan mengapa ia adalah sesuatu yang harus diselesaikan. Kemudian, saya sempatkan untuk membaca ulang tulisan lama berupa coret-coretan zaman SD dan SMP. Beberapa di antaranya kembali meluapkan penasaran; akan seperti apa cerita ini tumbuh bila disandingkan dengan isi otak ini bila diteruskan? Kalaupun saya memutuskan untuk tidak meneruskan tulisan-tulisan tersebut, yang tersisa adalah rasa penasaran yang sayangnya diikuti juga perasaan minim estetika.

Ketika mengambil sudut pandang sebagai pembaca tulisan tersebut, nyatanya memang tulisan yang hanya beberapa kalimat yang tidak beres, seringkali distigmakan seperti coret-coretan dinding yang biasa disebut vandalisme. Namun, bukan berarti kegiatan menulis memang diharuskan untuk usai, melainkan ketika kita berusaha menyelesaikan tulisan secara utuh, disitulah nilai seni dan estetika dari suatu tulisan terbit. Meskipun tidak tersentuh tangan penerbit.

Kegiatan menulis pun sebenarnya terbagi dalam banyak ragam; namun paling mudah mendikotomikannya berdasarkan niat adalah dalam dua tipe: tulisan altruis dan tulisan komersil. Dalam konteks bahwa tulisan kita belum usai: tentu kemungkinan besar sulit untuk mengkomersialisasikannya. Selain belum memiliki dan menularkan 'seni' dalam penyusunannya ke dalam benak pembaca secara utuh, tulisan yang belum selesai hanya merangkum 'sebagian sudut pandang' yang belum selesai. Dengan dasar inilah, maka di zaman saya masih menjadi anak berkuliah, belum terpikir serius untuk menerbitkan dan mengumpulkan tulisan-tulisan di akun media sosial untuk dirangkul menjadi sebuah buku.

Di kemudian hari, saya mulai menyadari beberapa manfaat dari menulis untuk komersial: adapun hal tersebut bukanlah kesalahan fatal, selama tidak mengandung framing ataupun kalimat melecehkan pihak tertentu. NH Dini, salah satu sastrawan besar Indonesia pun mengakui bahwa mencari uang lewat tulisan adalah hal yang realistis, dan beliau pun rela membuang malunya demi hal tersebut. Seringkali, para penulis diidentikkan dengan ketidakmapanan hingga hidup terlunta-lunta, padahal tidak demikian. Ada banyak cara untuk mengubah tulisan  menjadi pundi-pundi penyambung nafas kita.

Hari ini pun datang, bahwa sebaiknya dalam kegiatan menulis perlu direncanakan resolusi. Rasanya, memang resolusi, -entah seringkali beberapa persen diantaranya berakhir jadi wacana-, adalah suatu kebutuhan. Kegiatan menulis mendapatkan amunisi dan energinya dari penalaran dan tafsir atas apa yang kita baca. Sebaliknya, rutinitas menulis dan tanggapan yang mengikuti tulisan tersebut, adalah stimulus yang merangsang pikiran untuk menelaah kembali tentang apa yang kita baca dan bagaimana cara membaca yang baik. Maka, bila berbicara soal resolusi menulis, saya secara pribadi ingin menyampaikan bahwa utamanya,  program-program perbaikan menulis harus bisa direncanakan secara sistematis dan tersturktur -termasuk tentang sumber dan bagaimana kita mengambil bahan bacaan-

 Sebelum lanjut ke resolusi, saya ingin menguraikan kembali tentang pemahaman literasi saat ini dan bagaimana menyusun batas serta cita-cita menulis dalam sebuah seni perencanaan strategis, yang meninjau kekuatan,  kelemahan, ancaman, dan tantangan.


MEMAKNAI KEMBALI CARA UNTUK MEMBACA:

Sebelum membahas tentang buku apa yang harus dibaca untuk pengayaan berpikir, ingin diri ini menekankan bahwa manusia sejatinya punya banyak bahan bacaan selain buku. Saya tidak ingin dan berniat menggurui bahwa menjadi kutu buku adalah sebuah kesalahan. Akan tetapi, pemikiran yang salah adalah menilai cara berpikir orang hanya dari buku bacaannya atau perkumpulan yang diikutinya. Selama ini, saya sering mendengar premis dan stigma, bahwa para penulis 'novel romantis' dan pembacanya adalah 'cengeng', 'picisan', 'kurang modern', dan berbagai tuduhan yang bernada meremehkan.  Maka, izinkan saya mengutip kalimat pembukaan favorit dari buku 'Dongeng Panjang Literasi Indonesia'


"Literasi itu bukan hanya tentang bacaan serta cara tulis-menulis. Literasi adalah tentang bagaimana manusia mengenali sumber-sumber ilmu pengetahuannya" (Yona Primadesi)

Berangkat dari premis ini, saya teringat kisah  seorang ilmuwan yang membanggakan dirinya di hadapan seorang nelayan; mengklaim bahwa bila tidak membaca buku adalah kesia-siaan. Beberapa waktu kemudian, situasi berbalik: dia tenggelam lalu ditolong nelayan. Nelayan tersebut akhirnya membalikkan ucapan profesor tersebut: sia-sialah hidup anda bila tak belajar berenang seumur hidup. 

Kita seringkali lupa, bahwa 'bacaan-bacaan' kita juga adalah bagaimana alam menampakkan tabiatnya, orang-orang sekitar menampilkan gaya berbicaranya, atau bahkan sekedar lapuknya perabotan-perabotan di rumah. Maka,  menulis pun sejatinya adalah proeses mengambil gagasan dan rangsangan dari hal-hal yang bisa dirasakan semua panca indera kita, tak hanya dari mata.
Hanya saja, memang lagi-lagi mata, mulut dan telinga kita masih dibutuhkan untuk menalar istilah-istilah yang telah dialami panca indera melalui kamus,b ertanya atau sekedar berselancar di google translate. 

Di lain sisi, orang yang belum pernah membaca buku secara serius pun, selalu punya kesempatan untuk menulis. Sejarah telah membuktikan bahwa menulis punya peran penting dalam mengabadikan peristiwa-peristiwa masa lampau, kendati orang sedang tidak punya banyak amunisi istilah dan teori. Maka lahirlah diary Anne Frank, memoar Solferino, hingga diari istri kepala kebun binatang.

Sejatinya, kendala bahasa bukanlah halangan berarti dalam menalar pengalaman yang ada di sekitar, meski nantinya tetap butuh untuk meninjau kembali istilah agar sesuai dengan konteks sosial-budaya. Sebelum kita fasih dalam memahami bahasa, terlebih dahulu ada tiga bahasa universal 'buatan manusia' yang selalu bisa dibaca: angka, gambar, dan gestur.

Apakah mungkin menghasilkan tulisan yang matang dari gejala alam dan bahasa universal, diluar ketersediaan buku? Tentu saja bisa, kalaupun tidak ada buku pun, menulis wasiat dan catatan resep masakan pun adalah sebuah input yang berharga, meski tak ada sistematika. Intinya, apapun yang telah dialami, dirasakan, dimakan, dicerna, dan diingkari sekalipun bisa ditulis. Ini adalah sebuah pengingat bahwa sebenarnya dalam menulis, takkan terjadi situasi 'kekurangan bahan gagasan', terkecuali bila sedang terikat oleh penerbit untuk menelurkan tema tertentu.

Sebagai tambahan, meski segala hal bisa ditulis, tak semuanya bisa ditampilkan. Sebagaimana udara mengandung polusi gas dan substansi yang membuat sesak nafas lantaran menjalar dalam atmosfir bebas, adakalanya memilah ilmu di dalam informasi yang bertebaran adalah keharusan. Tak semua hal yang didengar dan dirasakan menjadi suatu tulisan yang bisa menyenangkan banyak orang. Maka, langkah paling aman adalah menulis hal-hal sensitif adalah untuk disimpan sendiri, namun bila mengandung sesuatu yang bermanfaat memang sebaiknya disebarkan. Dengan tujuan untuk menyimpan sendiri  ini, maka memfokuskan jadi pembaca sunyi (silent reader) bukanlah suatu kesalahan. Bila akhirnya hal-hal sensitif itu jadi tulisan, siapkan brankas atau kardus kuat untuk membungkusnya rapat-rapat; agar privasi tak berakhir jadi ilusi.



MERUMUSKAN PELINGKUPAN RENCANA MENULIS:

"Orang dewasa hanya menyuruh kita membaca dan membaca agar pintar. Namun jarang kita dengar mereka mengajari  cara untuk menuliskan apa yang kita telah baca" (A.G. Jameela).

Uraian kalimat di atas boleh untuk tidak dicerna dengan serius, karena yang mengucapkannya pun belum merasakan duduk di bangku sekolah menengah pertama. Namun kutipan ini menohok saya pribadi; bahwa budaya kebanyakan keluarga di Indonesia seringkali luput dari membahas bagaimana seorang anak usia belia bisa menulis dengan baik. Setiap kali dinding dan tembok tercoret, caci maki kadang terlontar. Kalaupun seorang anak sudah menulis dengan baik, maka urusan kompetensi menulisnya kerapkali tak ditanggapi orang tua secara serius. Saya pun mencerna perkataan seorang anak kecil dalam buku "Mengapa kita harus membaca" hingga merasuk ke dalam hati.

Adapun bagi orang dewasa, kegiatan menulis pun tidak selalu distigmakan positif. Meminjam kutipan dari Zulkarnaen Ishak, tulis-menulis kerap disamaratakan dengan mencoret-coret keisengan belaka. Hanya saja, menurut Zulkarnaen Ishak, tulisan adalah suatu ruang dimana manusia memiliki hak dan kepuasan tertingginya mengabadikan fantasi dan kejadian dengan gaya bahasa sendiri. Suatu fleksibilitas yang tidak dimiliki oleh media lainnya. Barangkali, ketika realita di sekitar kita tak selalu mengungkap kebenaran secara utuh, tulisan mampu menjadi senjata untuk mencolek orang-orang sekitar tentang suatu isu yang sepatutnya jadi perhatian.

Berangkat dari kemungkinan ini, yang patut dipikirkan sebelum mengutarakan resolusi, puncak seperti apa yang mau dicapai dalam perjalanan kepenulisan kita? Tentu saja, perencanaan, -entah berapa persen yang hanya akan jadi wacana, adalah hal yang mutlak diperlukan. Toh, bukankah bila tidak merencanakan, artinya kita merencanakan kegagalan?

Sebagaimana yang telah saya utarakan mengenai polusi informasi, bila pikiran yang disiapkan untuk menulis itu terlalu sporadis, nantinya setiap hari tulisan tak akan berproduksi lebih dari sekadar curhatan atau gaung tanpa makna. Dari sekian banyak gagasan, ada beberapa hal dari masa lalu hingga hari ini yang menarik untuk diangkat: film yang pernah ditonton, game yang pernah dimainkan, syair-syair lagu kesayangan, serial kartun, ajaran-ajaran para Imam tabi'in, beberapa cerita dari teman-sepupu, hingga kompilasi tragedi manusia.

Gagasan hanya akan tinggal sekelumit kabut yang sementara menetap di otak, jikalau saya tak segera memintal benang atau menuju mesin jahit untuk merajutnya supaya bisa ternalar. Oleh karena itu, saya memfokuskan bahan bacaan untul satu tahun ke depan, berikut dengan beberapa rencana kegiatan lain. Harapannya, kegiatan menulis saya bisa bersinergi dengan proses kreatif bermain musik, berkelana dengan sepeda, lika liku tuntutan karir, berikut warna warni harmoni rumah tangga. 

Supaya fokus ini dapat disusun secara sistematis, saya memetakan ulang beberapa hal mengenai diri dan lingkungan sekitar. Dengan demikian, saya tahu sudah sampai dimana kemampuan menulis dan membaca, serta lebih memprioritaskan kebutuhan belajar pada anasir-anasir yang penting. 

Berikut hasil 'pengkajian' saya:

 1. ANALISA INTERNAL

Dalam menguraikan pencapaian diri secara sekilas, berikut yang saya simpulkan: 
Kelebihan dalam menulis dan literasi:
- Saya seorang pecandu ensiklopedia dan tayangan discovery channel. 
- Setiap hari menyempatkan membaca esai lebih banyak ketimbang berita aktual. 
- Pekerjaan utama sebagai analis, sehingga paham sistematika
- Punya banyak hafalan gaya referensi kepenulisan: mulai dari Asma Nadia hingga Nirwan Ahmad Arsuka 
- Terbiasa meliput situasi, pernah ikut merekam aksi demonstrasi. 


Kelemahan dalam menulis dan literasi:
- Saya sering memakai kalimat sensitif yang mengawang, membuat orang suka salah tafsir. 
- Ketika keliru prioritas, suka buru-buru salin tempel
- Saya agak emosional dalam menyusun kata-kata.
- Tidak cukup rapi mengulas statistik dan grafik. 
2.ANALISA EKSTERNAL

Adapun kemajuan teknologi informasi dan era digital telah membawa banyak kesempatan bagi karir kepenulisan, meski menyisakan beberapa hal yang harus dikritisi. Berikut uraiannya: 

Peluang dalam bidang menulis dan literasi:
- Banyaknya wadah untuk menulis, utamanya blog dan media sosial
- menjamurnya perguruan menulis dari berbagai instansi
- merebaknya lomba-lomba menulis
- Banyak penerbit baru yang bermunculan, mencari ide-ide segar.
- Fasilitas untuk penerbitan secara pribadi lebih lengkap. 
- Menjamurnya seminar dan lokakarya bisnis tulisan,

Ancaman dalam bidang menulis dan literasi:
- Getok tular politik dan konspirasi: mengusung kedustaan dan framing tak berimbang lewat tulisan yang memihak dan tendensius. 
-Maraknya pencurian data lewat modus adsense dan periklanan. 
-Pencurian hak cipta yang kadang kurang di seriusi oleh payung hukum yang berlaku. 
-Bermunculan sekolah menulis abal-abal, padahal modus MLM. 

RANGKUMAN PROSES PENYUSUNAN STRATEGI 

Dengan meninjau analisa eksternal dan internal, maka saya merumuskan program resolusi dengan membagi fokus sebagai berikut: tulisa. fiksi berupa cerpen, puisi, prosa, atau novel dengan kadar 33.3% dan non-fiksi berupa reportase, liputan, testimoni, dan fitur dalam intensitas  66.67%.. Tujuan intinya, saya ingin agar kemampuan analisa dan penalaran lebih difokuskan untuk merangkum kejadian aktual, serta membangun pengalaman tafsie baru terhadap produk-produk yang sedang berkembang di pasar. 

Dengan demikian, saya kerucutkan fokus tema untuk non-fiksi menjadi 6 tema. Harapannya bisa didalami dengan realistis, terukur, dan spesifik selama 2 bulan untuk setiap tema. Kecepatan menulis dan membaca itu penting, tetapi bukan segalanya dibanding dengan membangun pemahaman wawasan jangka panjang.

1. 6 Tema utama untuk 2020

a. Bisnis: Januari-Februari
Saya telah lama berkecimpung dalam dunia bisnis telekomunikasi sejak tahun 2016. Kendati demikian, sejak ditempatkan di bagian analisa strategis, saya merasa tak memilik banyak pengetahuan keuangan, model bisnis UMKM, ataupun cara berjualan door to door yang masih awet hingga era digital. 

Maka, untuk Januari hingga Februari, saya ingin bisa kembali mengulas Dewa Eka Prayoga, Rendy Saputra, Warren Buffet, Robert Kiyosaki, Saptuari Sugiharto, Tung Desem Waringin, Aditya Hakim, hingga Hermawan Kertajaya. Besar harapan bahwa dengan memfokuskan pada manajemen dan bisnis, saya bisa menguasai teknik pemasaran, dasar-dasar mendulang uang, hingga bagaimana menyusun ketahanan bisnis masa depan secara mandiri. 

b. Seni dan Desain: Maret-April
Secara empiris, saya mengenal cara menggambar bersamaan dengan pertama kali mengetahui cara membaca dengan baik. Oleh karenanya, membumikan kembali ilmu-ilmu desain dan estetika rasanya bisa meluapkan kembali kreativitas untuk mengukir sudut pandang holistik. Saya pun ingin pada periode Maret-April ini, tangan bisa kembali disuasanakan untuk fasih menggambar dan menalar rancang bangun. 

Dahulu saya adalah seorang anak teknik. Sekarang saya juga akan menuangkan ilmu teknik bangunan, agar rumah lebih nyaman. Sembari demikian, saya pun ingin kembali memunculkan ruang imajinasi baru lewat penafsiran desain foto, produk, lukisan, dan sinematografi. Saya percaya, segala inovasi masa depan, sempat menjadi fiksi hari ini, yang pernah tertuang dalam media-media terbungkus kemasan estetika dan komposisi. 


c. Psikologi: Mei-Juni
Segala pemahaman mengenai karakter diri dan orang di sekitar bermuara dari satu ilmu ini. Pun demikian dengan parenting, membangun relasi bisnis, hingga sekedae membuat refleksi dari pengalaman sekitar terhadap perkembangan emosi. 

Lebih dalam lagi, pemahaman psikologi yang baik cukup berperan untuk memperbaiki pengelolaan ego dan sikap, serta menempatkan harga diri dan perasaan. Izinkan dua bulan ini saya fokuskan untuk memahami Jurgen Habernas, Sarlito Wirawan, Carl Jung, Michel Focault, Erich Fromm, Elly Risman, hingga Ayah Edy. Saya berharap, dengan perjalanan menyusuri jiwa ini, bisa memiliki kompetensi dalam menjaga keseimbangan dalam rumah tangga dan sekitat. 

d. Sejarah: Juli-Agustus
Saya tak perlu mengulang-ulang tafsir tentang Jas Merah. Keadaan kita di masa kini tak lepas dari segala progresi masa lampau. Sebagaimana kendaraan butuh spion untuk melihat kanan kiri, kita butuh sejarah agar kesalahan masa lalu tak terulang. 

Acapkali sejarah kerap membuat bosan sebagian orang, karena taburan angka kronologis tahun dan runutan kejadian. Akan tetapi, dengan pemahaman mengenai motif dan manajemen konflik, sejarah bukanlah suatu anasir yang membebani pikiran. Sejarah adalah cermin yang cukup bening untuk menduga pantulan-pantulan kejadian dinamika masa depan. 

e. Militer dan Persenjataan: September-Oktober
Penting untuk menyadari peran militer dan alutsista dalam menjaga keamanan negara. Selain itu, saya tahu persis bagaimana falsafah militer cukup bermanfaat dalam bertahan menghadapi lika-liku hidup. Seorang tentara pasti pernah bersinggungan dengan kehidupan keras di alam, hingga bersaing dengan binatang buas itu sendiri. 

Selain itu, saya ingin kembali mengenang keseruan counter strike dan berbagai macam game militer. Kali ini, saya ingin mendalami beragam senjata dan alat tempur yang berperan dalam keamanan dan pertahanan negara. Siapa tahu, ada falsafah-falsafah manuver militer yang bisa diaplikasikan dalam dinamika kehidupan. Di lain sisi, menulis dan mengakji tentang militer bisa meningkatkan pemahaman, tentang situasi apa saja yang membuat seorang sipil pun perlu kecakapan bertempur dan bertahan hidup seperti militer

f. Ekologi dan Keberlangsungan Lingkungan Hidup: November-Desember
Ini merupakan bidang kegemaran saya sejak lama. Meski demikian, ekologi tak melulu soal hutan, alam belum terjamah manusia, dan hewan liar. Ekologi juga mencakup tindak-tanduk manusia dalam menjaga efisiensi perangkat dengan keseimbangan alam. 

Membahas runutan lingkungan di sekitar rumah adalah kajian ekologi. Maka, dengan kembali mendalami ekologi, saya bisa menyusun perilaku-perilaku serta program-program ramah lingkungan dalam menjaga kesehatan dan keseimbangan alam. Saya ingat bekal terakhir dari kuliah magister: 20 model keseimbangan manusia dengan alam. Mudah-mudahan, dalam perjalanan membumikannya, empati terhadap kekuatan alam bisa menjadi energi tafakur untuk merenungi Maha Dahsyatnya sang Pencipta, Allah SWT.



2. Program penulisan utama 2020


Dengan terfokus pada enam tema di atas, saya berencana untuk merutinkan beberapa jenis tulisan serta menerbitkan sekurang-kurangnya dua buku dalam satu tahun. Terkait penerbitan buku ini, ada salah satu yang sudah hampir jadi, sedangkan satu buku lainnya kemungkinan besar akan mengusung satu diantara enam tema:

a. Rutin: Tak perlu saya uraikan dulu lebih jauh, berikut beberapa jenis tulisan rutin yang akan diterbitkan untuk 2020:
 - Resensi di media sosial, online bookstore, dan media online.
 - Feature singkat produk di ngodop.com atau instagram.
 - Berpuisi di facebook dan twitter.
 - Esai di brilio, selasar.com, mojok.co, idntimes, kumparan, atau tirto.id
 - Cerpen di beberapa majalah anak, dewasa, hingga menyasar media utama seperti Tempo.

b. Rencana penerbitan buku:
i.  Buku bertema film: rasanya sudah sering saya share di blog. Doakan semoga terbit di bulan Maret. Beberapa konten masih dirahasiakan, namun besar harapan bahwa teman-teman sudah cukup familiar dengan gaya tulisan saya sebelum diterbitkan.

Adapun untuk satu buku lainnya, akan mengusung salah satu dari 6 tema berikut. Sehingga, bisa jadi bila insha Allah saya punya energi, maka akan menerbitkan lebih dari dua buku. Berikut tema-tema potensialnya berikut bentuk rencana buku:

ii. Kumpulan puisi tentang tragedi dunia dan Indonesia
iii. Kumpulan tafsir refleksi terhadap toko filsuf seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, atau Imam Al-Ghazali.
iv. Kumpulan catatan selama saya pergi belajar di luar negeri, atau berwisata dalam kurun waktu lama.
v. Kumpulan cerpen yang merangkum kenangan seseorang terhadap sesuatu yang telah hilang.
vi. Rangkuman dokumentasi tentang game-game konsol yang pernah meramaikan masa kecil, dibalut dengan humor dan satir. Supaya tidak jangar.

Demikian, penguraian program resolusi saya. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi pengingat agar saya tetap konsisten.

#ODOPnonfiksi
#Tantangan4
#Resolusibutuhperencanaan
#Biarlahjadiwacanaasaltetapdirencanakan





Rabu, 11 Desember 2019

Reflksi Sandal Bolong Untuk Hamdani: "Beberapa Masalah Akut yang Sering Menimpa Buruh"

Ketika  membaca post soal pembedaan makanan antara majikan dan baby sitter, disitu saya trenyuh. Masih hangat mata saya ini merekam 9 tahun silam sepasang keluarga tidak memberikan kursi untuk baby sitter anaknya.  Tapi waktu itu saya diamkan dan tidak mencegah mereka, Barangkali karena pemikiran masih sebagai mahasiswa tingkat 3 yang polos, saya punya keterbatasan unutk mengkritisi. 

Pemandangan itupun makin lazim, saat sering kulihat para asisten rumah tangga maupun supir terpisa meja  dengan para majikan bila ada acara makan. Mungkin bukan sesuatu yang masalah kalau mereka diberi uang makan, tapi cukup terlalu kalau hanya dibiarkan berdiri atau duduk menunggu, tanpa sepeser upah tambahan untuk makan.

Barangkali, pledoi untuk isu semacam ini muncul, saat menganalogikan bahwa karyawan perusahaan pun seringkali makan tak disantuni tempatnya bekerja. Barangkali, ada yang perlu dipoles dalam pemikiran kita: apa jangan-jangan sebenarnya setiap buruh adalah para pekerja kasta terendah dalam setiap instanasi? Awalnya saya berasumsi bahwa beberapa pekerja kantor-kantor khusus seperti konsultan, media, ataupun jasa keuangan rasanya tak banyak mengalami situasi perbudakan atau jadi masyarakat 'kelas sekian' di dalam struktur sosial perusahaannya. 

Tetapi, cukup dua buku bertajuk  "Tirani Pasar Kerja" dan " Orde Media", membuat otak saya kembali tercuci mengenai definisi buruh dan penyimpangan perusahaan yang menghadang mereka. Dengan cukup pahit, harus saya akui bahwa wartawan, teller bank, konsultan pemula, hingga karyawan kontrak yang berdasi pun tidak lolos dari penyimpangan budaya perusahaan yang menempatkan mereka sebagai 'budak'. Apa yang saya maksud budak di sini adalah: ditempatkan pada pekerjaan berisiko, upah seadanya, tunjangan ditahan-tahan, dan beberapa pengurusan dokumen administrasi pun dipersulit. 

Hanya saja, Orde Media, yang disusun oleh tim keroyokan remotivi, memaparkan beberapa sebab mengapa beberapa pekerja 'tak sadar; bahwa dirinya sedang dijadikan 'buruh' :

"Para wartawan kerap tak menyadari bahwa mereka pun diposisikan sama seperti buruh honorer, lantaran mereka sering bersinggungan dengan para artis dan pejabat elit. Perasaan mempunyai 'kolega' seperti itu acapkali menghipnotis pikiran bahwa pekerjaan mereka adalah profesi terpilih." 
(Orde Media, 2017)

Lalu bagaimana dengan buruh lainnya? Setiap kali peringatan hari 1 Mei digemakan, rasanya buruh yang menuntut upah tak lepas dari stigma masyarakat. "Mereka hanya tukang demo", "bikin rusuh", dan "tidak terdidik". serta ribuan jenis hinaan yang kemungkinan bermuara pada stigma bahwa menjadi buruh adalah sangat relevan dengan 'tidak berpendidikan.' Acapkali, stigma itu menguat karena demonstrasi kerap memaksa aparat untuk membuat barikade bagi jalan dan fasilitas umum. Belum lagi kalau ada adegan sampah di sekitar demonstrasi, sudah tertangkap kamera sebelum dibersihkan. Jadilah bertambah cacian bagi para buruh. 

Ribuan Buruh melakukan aksi demonstrasi menuju Istana Negara, Jakarta. Dalam aksinya mereka menolak PHK sepihak, sistem kerja outsourcing, dan menuntut kenaikan upah. TIRTO/Andrey Gromico
Demo Buruh 1 Mei 2016
Melansir dari laman berita tirto.id,  dalam kasus berjudul "Aspek Indonesia: Demo Buruh Melanggar?", para penggerak serikat buruh menolak bahwa diri mereka melakukan kekerasan dalam aksi damai menentang PP 78 tahun 2015 tentang skema pengupahan. Nyatanya, mereka mengklaim bahwa justru aparat represif terhadap demonstrasi. Tak kurang dari 26 aktivis ditangkap dan diperlakukan semena-mena. Kasus ini kemudian tetap dikawal oleh serikat buruh dengan digawangi dua puluh tiga aktivis dan dua orang pengacara ke pengadilan umum pusat. 

Pada awalnya, jika saya kembali memakai pikiran tahun 2013, dimana sempat melihat demonstrasi buruh dengan memakai lagu dangdut serta menelan mentah-mentah agitasi seorang pejabat perusahaan, muncullah kesimpulan: 'buruh demonstrasi hanya bikin berisik". Untungnya, salah seorang teman kuliah mengingatkan: "Memangnya kamu sudah menelusuri langsung dengan mencari tahu buruhnya? Mereka berdemonstrasi pasti ada sebabnya". Akhirnya, saya berpikir ulang, dan memang merasakan bahwa harus verifikasi berlapis sebelum memasang suatu stigma. 

Ketika ikut terjun dalam demonstrasi buruh di Australia tahun 2014, barulah saya sadar, tentang bedanya demonstrasi yang dibayar dan yang memang substansial. Demonstrasi yang berisi isu substansial biasanya tak serta merta membuat para peserta lari tunggang langgang kalau 'ditembaki' aparat. Mereka akan pilih menunduk, tapi tetap menuju ke tempat yang dituju. Demonstrasi yang dibayar, cenderung mudah bubar kalau sedang cuaca buruk. 

Kalaupun dipukul rata bahwa para buruh tak selayaknya berdemonstrasi karena mereka kurang berpendidikan, siapakah dalang yang membuat kualitas pendidikan kita runtuh? Tentunya kita ingat bahwa ketika guru honorer meminta kenaikan gaji pada Oktober silam, mereka hanya diminta memaklumi bahwa mengajar itu diganjar dengan surga. Fantastis, padahal rasanya standar kelayakan hidup tidak cukup hanya diselesaikan dengan motivasi dan ceramah.  Momen ini kembali membuat saya teringat, bahwa sejatinya guru honorer kita pun turut mengalami 'penyimpangan' sebagaimana buruh pada umumrnya. 

Terkait ketimpangan ini, saya mulai mengingat film yang pernah tidak sengaja tertangkap mata saat terjaga dari tidur tahun 2006. Waktu itu, saya masih SMA, dengan kamar tidur memiliki TV. Begitu stasiun SCTV pernah menayangkan nominasi yang menyebut film ini, langsung saja pikiran yang semestinya sudah tidur langsung beranjak fokus pada tayangan seratus menit ini.  Film itu bertajuk "Sendal Bolong untuk Hamdani" 


Film ini diangkat dari kisah nyata dengan nama tokoh disamarkan, dengan esensi utama bahwa menggapai keadilan hukum di Indonesia memang sulit. Keadilan itu hanya dimiliki segelintir warga yang mempunyai "kasta" sosial yang elbih terpang. Buktinya, Hamdani bin Ijin, seorang buruh pabrik sandal PT Osaga Mas Utama divonis hukuman kurungan selama dua bulan 24 hari oleh Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, 23 Oktober , dengan tuduhan mencuri sandal bolong. Ironis memang, hanya lantaran dituduh mencuri sebuah alas kaki rusak milik perusahaan, Hamdani harus kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya. 

Awal dari kisah memilukan buat penegakan hukum di Tanah Air ini berawal pada suatu petang, 4 September 2000. Saat itu, Hamdani akan menunaikan ibadah salat Ashar. Seperti biasanya, Hamdani bersama rekan buruh lainnya secara bergantian menggunakan sandal apkiran yang tersimpan di sebuah gudang untuk mengambil air wudu. Anehnya, manajemen pabrik melaporkan Hamdani kepada Kepolisian Sektor Jatiuwung, Tangerang, dengan tuduhan mencuri. Padahal, kebiasaan meminjam sandal sebelum salat juga kerap dilakukan karyawan di pabrik itu.

Isu pun merebak di kalangan karyawan bahwa tudingan itu hanyalah rekayasa belaka. Soalnya, selama ini, Hamdani dikenal sebagai pengurus serikat buruh di Karya Utama dan aktif memperjuangkan hak-hak karyawan di pabrik sandal yang terletak di kilometer 5, kawasan Tangerang, Banten. 

"Ada indikasi balas dendam juga" kata Aswad Sugiarto, rekan Hamdani. Apalagi, sandal yang dipinjam dianggap mereka sebagai barang reject atau rusak. "Masa sandal yang dipinjam malah dituduh hasil curian" ucap Aswad dengan geram. Itulah sebabnya, ketika PN Tangerang menggelar kasus Hamdani unjuk rasa pun kerap mewarnai persidangan yang dikenal dengan sebutan Kasus Sandal Bolong. Bahkan, saat awal persidangan yang bertepatan dengan hari kelahiran Hamdani ke-26, rekan-rekan buruh pun bersama-sama merayakan ulang tahun pria pemalu ini.

Sayangnya, upaya sejumlah buruh untuk menggugah nurani sang hakim agar memutuskan kasus ini dengan penuh rasa keadilan tak terwujud. Dengan tegas, Ketua Majelis Hakim Suprapto tetap mengetokkan palu dan memvonis Hamdani bersalah. Sontak saja, putusan majelis hakim itu membuat para pendukung termasuk kuasa hukum Hamdani kecewa. Menurut Fredy Kusnanda, seorang di antara kuasa hukum Hamdani dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, majelis hakim tak memahami kronologi kasu, lantaran tuduhan tersebut tak tepat konteks 

Usut punya usut, Kepala Hubungan Masyarakat PN Tangerang Ade Komarudin menyatakan, mereka tak melihat latar belakang konflik perburuhan yang terjadi antara manajemen dan Hamdani. Soalnya, mereka hanya melihat tindak pidana yang dilakukan Hamdani, yakni mencuri sandal.Akhirnya, putusan yang dianggap berat sebelah itu dijalani Hamdani di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tangerang selama hampir tiga bulan. Di dalam sebuah ruangan yang sempit dan pengap, Hamdani berusaha tabah menjalani hukuman atas perbuatan yang tak pernah dilakukannya. "Saya merasa diperlakukan tak adil. Penegak hukum telah dipengaruhi orang berduit," ujar pria yang beralamat di Kosambi Bedeng RT 04/1 Desa Kayu Bengkok, Sepatan, Tangerang.

Hari terus berganti, saat yang dinanti Hamdani untuk menghirup udara bebas pun tiba, 14 Januari 2001. Dengan ditemani istri, kedua orang tua, dan tim kuasa hukum, Hamdani melangkah keluar dengan keinginan untuk melupakan kehidupan di dalam sesuatu yang jauh dari premis hotel prodeo. Jika melihat hamdani, julukan hotel tak pantas disematkan pada tempatnya menjadi pesakitan

"Kehidupan di bui itu menyedihkan," tutur Hamdani. 

Hal serupa juga dirasakan keluarga yang ditinggalkan Hamdani. Menurut kedua orangnya, selama sang anak tercinta mendekam dalam penjara, hati mereka dilanda kesedihan yang mendalam. Bahkan, hingga saat ini, mereka tak pernah percaya bahwa anak mereka adalah pencuri. Namun, kepedihan itu usai ketika Hamdani tiba di rumah. Kebebasan Hamdani ini disambut gembira seluruh sanak keluarga Hamdani, khususnya sang istri yang tengah berbadan dua.

Kembalinya Hamdani di tengah-tengah masyarakat juga disambut gembira rekan-rekannya. Soalnya, perjuangan yang dilakukan Hamdani selama ini dalam memperjuangkan hak-hak buruh mulai mendapat perhatian dari manajemen pabrik. Saat itu, mereka sempat berunjuk rasa menuntut hak-hak normatif, di antaranya dihapuskannya kontrak lantaran tak sesuai dengan Undang-undang Tenaga Kerja. Selain itu, mereka juga menuntut adanya tunjangan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Kendati belum sepenuhnya tuntutan dikabulkan, kini perbaikan sejumlah kesejahteraan buruh mulai dialami buruh. "Lumayan, saat ini telah ada uang makan," ungkap Aswad.

Kasus menyedihkan yang menimpa Hamdani ini juga menjadi perhatian publik. Soalnya kasus ini menunjukkan, rakyat kecil masih kesulitan dalam menggapai keadilan. Menurut Purwaningsih dari Institut Perburuhan Jakarta, dalam kasus ini menunjukkan terjadi perubahan pola dalam menyelesaikan kasus antara pengusaha dan buruh. "

"Banyak kasus yang berawal dari perburuhan dialihkan menjadi kasus kriminalitas," kata Purwaningsih. 

Apalagi, ketika di tingkat pengadilan majelis hakim kerap mengabaikan unsur perburuhan. Lantaran itulah, pemerintah, pengusaha, dan buruh harus berinisiatif dalam menyusun skema perburuhan yang adil dan tidak memihak. Setidaknya dengan rumusan: pemerintah berinisiatif, pengusaha menjaga konsensus, dan buruh menjalani fungsi kontrol.

Hal senada juga pernah dikemukakan Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea. Menurut beliau, selama ini, penegak hukum kurang memahami hukum perburuhan, sehingga kasus perburuhan kerap berakhir rumit. Karena itu, hakim maupun jaksa diminta dapat mengerti UU Tenaga Kerja. Sebab, hingga kini, kerap terjadi rekayasa yang tak sehat berkaitan dengan persoalan buruh. Itulah sebabnya, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi kini membentuk Tim Crisis Centre untuk meredam kasus perselisihan tersebut tak membesar.(ORS/Tim Derap Hukum)

Image result for sendal bolong untuk hamdani
Sendal Bolong Untuk Hamdani, tayang perdana tahun 2004

Seringat saya lihat foto rekan yang kuliah ataupun kerja di negeri maju hampir jarang terlihat adegan majikan dan asisten berpisah meja. Tak ada pula keresahanan buruh honorer atau buruh pengangkut sampah yang tidak bisa membeli makanan.  Kemungkinannya karena mereka terbiasa melakukan kerjaan domestik tanpa seorang asisten, atau memang negara seperti Belanda, Inggris, Australia, atau Swedia memberikan upah dan perhatian layak kepada para asisten domestik dan buruh. Bisa jadi, menjadi buruh pun tetap dianggap pekerjaan mulia di negara tersebut. 

Beberapa tahun yang lalu, saya ingat sebuah berita tentang mantan penyiar merintis resto yang membedakan menu babysitter dan majikan, demi menghilangkan rasa keberatan para majikan dan memberi tempat istimewa bagi para pekerja domestik, Sayangnya hujatan dari para pembela HAM sempit pikiran masih menghujani niat sang pendiri resto yang mencoba mengembalikan hak-hak para buruh domestik. Sesungguhnya, saya bisa pahami ini. Barangkali, masih banyak orang mengaku membela kebebasan dan keadilan namun masih buram perbedaan akan equity (samarata) dan equality (persamaan hak).

Equity adalah memberikan hal yang sama pada orang yang situasinya berbeda, seperti halnya kita memberi upah buruh sama seperti upah bos atau sebaliknya. Kalau dilihat dari kacamata Dan Pink, psikolog ternama amerika, semua hal yang sama pada orang berbeda justru akan memberikan demotivasi; akan ada pihak yang enggan bekerja sebagai petinggi karena upahnya sama seperti buruh. Tidak  semua orang secara alamiah bersifat altruis {tulus} untuk bekerja lebih berat tanpa penambahan upah. Dan bisa jadi pula seorang buruh merasa tak perlu lagi bekerja karena duitnya sudah sebesar pejabat. Apakah ini adil? Actually no....when we work and we employ someone, we need to reconsider equality.

Persamaan hak itu tidak berarti memberikan hal yang sama, tapi mengusahakan agar ketika seseorang diberdayakan, hak-hak asasinya terpenuhi sebagaimana hak-hak, visi-misi, dan target kita dipenuhi olehnya. Ada banyak pebisnis, kepala perusahaan, pejabat, ataupun sekedar majikan rumah merasa uang adalah segalanya,  lantas merasa bahwa segala urusan selesai ketika penggajian. Keintiman dan empati masalah sekian bahkan terlupakan.  Padahal mereka sendiri enggan tak diacuhkan oleh para atasan dan pemangku kepentingan bisnis mereka.  Maka disinilah pentingnya komunikasi empati. 

Sesekali, coba rasakan bahwa anda adalah seorang pekerja yang hanya dianggap segepok duit lalu tiada dihiraukan kapan sakit punya kesulitan sebagainya, apa rasanya? Ya, ketenangan sulit diraih meski tunjangan segudang. Maka , jangan lupa untuk bermurah dalam hal sikap selain tunjangan. Memang sikap yang baik tak membuat rekening listrik terbayar, tapi mampu membawa ketenangan hati dan disitulah kemampuan membina hati manusia terbangun.

Refleksi Alif Lam Mim: "Makin Berkembang Teknologi, Makin Beragam Konspirasi dan Rekayasa"


Apakah artinya seorang oknum?, Bila kita kembali mendefinisikan berdasarkan kitab bongsor KBBI, oknum merujuk pada 'individu yang terkait anasir sesuatu'. Biasanya keterkaitan individu ini kerap dikonotasikan negatif. Semisal ada orang berseragam polisi melakukan penembakan salah alamat, media kemudian menyebutkannya sebagai oknum. 

Lalu, saya berpikir lebih jauh lagi mengenai ke-oknum-an ini. Jikalau memang ini selalu merujuk pada individu yang 'tercemar', mungkinkah oknum ini bisa jadi 'individu' yang mewakili kepentingan 'tercemar' milik sekumpulan massa? Pada beberapa tahun pertama menjadi sarjana, mungkin dengan polosnya saya berpikir bahwa segala kejahatan yang melibatkan institusi tertentu, hanyalah kelakuan beberapa oknum tak bertanggung jawab. 

Namun, pikiran saya sedikit tercuci, tatkala menelaah buku milik Anthony Dio Martin bertajuk : "Toxic Leadership.", terbitan tahun 2005., Buku yang mengulas dan mengupas tentang titik-titik dimana pemimpin jahat dan budaya buruk berlaku, nyatanya membuka pemikiran baru dalam kepala saya: bahwa kejahatan masif tak bisa langgeng hanya karena kelakuan orang-perorang, melainkan terdorong oleh kekuasaan besar yang merajut benang-benang permufakatan jahat yang tersusun rapi. Lebih dalam lagi, buku ini mengupas tentang empat tipe pemimpin jahat: pemimpin yang suka membentak hanyalah dua diantaranya, yang diumpamakan sebagai singa dan gajah. 

Dua pemimpin jahat suatu instansi nyatanya ada yang memiliki pembawaan tenang, menghanyutkan, sekaligus menjerumuskan. Salah duanya adalah pemimpin jahat tipe buaya dan pemimpin tipe musang. Pemimpin jahat tipe buaya hampir tidak pernah marah ataupun mengagitasi terang-terangan, akan tetapi dia membebaskan perlakuan anak buahnya yang kejam dan sulit mengampuni anak buah yang melakukan kesalahan. Tipe pemimpin musang malah lebih unik: merupakan tipe orang yang jarang hadir dan kurang cakap memimpin di suatu instansi, jarang terlibat, namun setiap kali anak buah melakukan keberhasilan, dia mengklaim turut andil. 

Beberapa tipe pemimpin jahat ini, sayangnya berada pada beberapa lapis birokrasi sipil dan militer, berdasarkan beberapa fakta sejarah. Maka, kita mengenal adanya diktator seperti Pol Pot di Kamboja yang tidak mengumbar banyak muka garang tetapi lalim bukan main. Contoh lainnya, Robbespiere, orang yang terkenal dengan selera humornya tetapi cukup sadis menjadikan lawan yang dibantai sebagai bahan tontonan khalayak ramai. 

Sialnya, karena pemimpin jahat ini punya posisi dan pangkat, serta beberapa jasa yang sulit dilupakan, mereka kerap bisa bersembunyi dan cuci tangan dari segala permufakatan jahat yang direncanakan. Salah satu trik yang biasa mereka lakukan untuk mendorong terjadinya pembantaian, adalah teknik 'fear mongering'. Trik fear mongering adalah teknik pemimpin jahat menyebar ketakutan dan kecemasan baru pada masyarakat atau anak buah yang dipimpin, untuk mengikuti arahannya. Salah satu contoh paling kongkrit ada pada masyarakat Indian yang dijajah pendatang asal Barat pada awal-awal pendudukan tanah Amerika Utara, dimana para pendatang Eropa kerap menyebut para Indian sebagai radikal. 


Image result for indian apache meme
Pembantaian terbesar di abad 13-14, suku Indian kerap distigmakan radikal oleh para pendatang Eropa
Tapi kita takkan membahas film indian, melainkan film Indonesia yang mengetengahkan modus fear mongering yang menjadi sorot utama dalam adegannya. Karena alasan inilah,maka film Indonesia yang diproduseri mantan VJ MTV Arie Untung ini sempat dicekal oleh aparat dan beberapa ormas dari peredaran.  Padahal, siapa yang berhak mengadili imajinasi dalam fiksi? Film yang disutradarai Anggi Umbara  ini justru menyorot pada kejadian di Indonesia beberapa dekade ke depan. 

Film yang dirilis pada tanggal 1 Oktober 2015 silam bagi saya tidak hanya manarik dari latar yang dan alur, melainkan juga menyorot situasi politik dunia yang kian hari tambah tak bersudut. Sebagian penghargaan dalam politik di berbagai belahan dunia kerap mengacaukan akal sehat kita, dimana sebagian penghakiman atas nama politik membuat fitnah semakin kencang

Jakarta tahun 2036, bukanlah ibu kota yang kita kenal saat ini. Dalam film ini, negara sudah kembali damai dan sejahtera sejak perang saudara dan pembantaian kaum radikal berakhir di titik revolusi tahun 2026. Penggunaan peluru tajam adalah perihal yang terlarang, sehingga hak asasi manusia kembali dijunjung. Peluru karet menjadi andalan utama aparat untuk meringkus residivis, oknum penjahat, dan teroris yang masih tersisa. Satu dilema yang sangat menyulitkan bagi aparat mengingat beberapa kelompok radikal kembali bangkit dan berjuang untuk menganti wajah demokrasi sehingga aparat mengandalkan kemampuan bela diri yang tinggi untuk menumpas para penjahat.
Tokoh utama adalah Alif, Lam, dan Mim, merupakan tiga sahabat  seperguruan silat yang dibesarkan bersama di padepokan Al-Ikhlas. Alif, yang diperankan Cornelia SUnny yang lurus dan keras dalam bersikap, memutuskan jalan hidup mengabdi jadi aparat negara. Ia bertekad membasmi semua bentuk kejahatan serta mencari para pembunuh kedua orang tuanya. Lam, seorang jurnalis yang diperankan oleh Abimana Aryasatya, punya pembawaan yang lebih tenang dan tidak tergesa-gesa.  Kendati kerap tak disukai perusahaannya, ia selalu mengusahakan dirinya berpikir netral untuk menyebarkan kebenaran dan menjadikan dirinya mata dari rakyat. Sementara Mim, seorang pengajar silat di Padepokan, yang  Om Agus Kuncoro, punya pembawaan sifat yang bijaksana namun tak segan-segan melawan bila disakiti. Ketiganya dipertemukan kembali setelah terjadi kekacauan pasca ledakan bom di sebuah cafe.
Bukti-bukti versi kepolisian dan investigasi mengarah pada keterlibatan Mim beserta anak-anak padepokan. Namun Lam sebagai jurnalis mendapat informasi dari agen misterius tentang rekaman CCTV kejadian sebelum ledakan yang terjadi disebuah cafe. Rekaman tersebut menunjukkan bahwa ledakan yang terjadi adalah rekayasa dari agen profesional yang bertujuan melakukan "framing" dan mendiskreditkan umat Islam. 

Alif yang menerima bukti-bukti prematur dari atasannya harus menghadapi sahabatnya sendiri, Mim dan menghancurkan padepokan yang telah membesarkannya. Lam yang terjepit di antara kedua sahabat berusaha mencari titik temu demi menghindari kehancuran yang lebih parah. Mim memilih menghadapi para aparat dan rela mengorbankan jiwanya tanpa kompromi. Alif, Lam, dan Mim dipaksa bertempur satu sama lain dalam mempertahankan dan memperjuangkan kebenarannya masing-masing, seraya harus terus menjaga keluarga dan orang-orang yang mereka hormati dan cintai.

Film pun memutar kembali, menjelaskan segenap detil yang melatarbelakangi pikiran dan watak segenap karakter.. Alif berasal dari keluarga terpandang, berada, dan punya posisi dalam masyarakat. Namun, kebakaran dan perlakuan semena-mena dari orang tak dikenal (jahat) harus ia saksikan dengan mata telanjang hingga menyebabkan kedua orang tuanya tewas di TKP. Tangis air mata membasahi dirinya, lantaran  ilmu  bela diri yang dimikinya tidak bisa menyelamatkan keluarganya dari mara bahaya. 

Aparat Penegak Hukum (APH) pun saat itu, sangat berlarut-larut dalam menuntaskan masalah keluarganya tersebut. Tak ayal, jika kasus kaluarga Alif mulai menguap di permukaan seperti jarum tertelan jerami. Acapkali, para aparat yang bertanggung jawab hanya menjawab "sedang dalam penyelidikan", namun tak membuahkan hasil berarti. 

 Berangkat dari titik tolak tersebut, Alif memantapkan diri untuk menjadi APH pro rakyat. Sebab, dalam dirinya APH hanya menyelesaikan dua perkara; duit dan keputusan transaksional. Hanya dua perkara tersebut yang selalu sukses memangkas segala kerumitan dalam proses penyelidikan aparat, menurut pemikirannya. Cita-citanya pun tercapai. Ia tak hanya menjadi anggota, mayor, bahkan ia dilantik menjadi kapten. Sepak terjangnya pun diakui oleh BIN saat itu, bahwa seorang Alif adalah kapten bertangan dingin dan disegani banyak penjahat.


Alif (Cornelio S). Herlam (Abimana Aryasatya), Mim (Agus Kuncoro), berbeda watak namun tetap bersahabat

Berlanjut ke Lam, sapaan akrab Herlam, merupakan sosok kritis, serba ingin tahu, teliti, dan penuh empati dengan keadaan sosial. Pernah merasakan hidup didunia pesantren tidak serta merta membuat ia "konservatif" tapi tak juga berpikiran bebas. Menambah pengetahuan dengan membaca buku adalah kegemarannya, hingga tenggelam menekuni karir dalam surat kabar. Iapun didapuk menjadi wartawan yang profesional di Majalah Liberti Indonesia (dalam film tersebut). 

Herlam adalah orang yang selalu menginginkan perubahan terhadap bangsa ini dengan cara memberikan infomasi yang berimbang dan objektif. Bukan informasi yang tendensius, memperkeruh keadaan, menyebarkan ketakutan, serba komersil, dan hanya mencari traffic. Maka, sepanjang tayangan, ia kerap menampilkan pemikirannya yang kritis sekalipun di depan atasannya. 

Herlam selalu meniatkan, bahwa semua hasil tulisan yang menetes dari tangannya, merupakan kebenaran yang hakiki dan berimbang. Kekuatan menganalisis dan menyelesaikan problem dalam satu kekacauan menjadi ciri khasnya. Tak heran pimred Liberty tersebut memperlakukan istemewa kepada Herlam, meskipun kerap tak setuju dengan gagasannya.

Mim terbiasa hidup dalam dogma yang kental, membuat ia hanya percaya pada satu sosok saja, yakni sang guru. Sayangnya, ia kadang kerap mengkultuskan sang guru dan. karena sedemikian taatnya sang guru tak boleh disalahkan. Film ini merupakan suatu bentuk visualisasi dari pergulatan politik yang membutuhkan kambing hitam demi tercapainya kepentingan suatu pihak, sehingga apapun dan siapapun akan dikorbankan demi tercapainya kepentingan tersebut; termasuk orang-orang yang tidak bersalah, hingga agama dan umatnya.

Meski berbeda cara dalam menjalankan kebenaran, Mim tetap menjadi sahabat yang solid, saling bercengkrama, tak jarang juga kerap berbagi pandangan tentang situasi kebobrokan negeri ini. Mim lah sosok sahabat yang paling dewasa dengan pembawaan tenang, Lam selalu bertindak dengan teliti dan penuh pertimbangan, sementara Alif bertindak sesuai tugas yang dibebankan kepadanya.

Kembali ke alur awal, persahabatan mereka mulai terusik, sejak para pejabat negeri ini mulai mencari nama baik dan mengorbankan sejuta manusia. Bagaimana tidak? Pondok Al-Ikhlas yang menaungi ketiga sahabat tersebut, harus direlakan disidik oleh TNI. Sebab, ditengarai menjadi sarang teroris. Kecurigaan tersebut semakin mengemuka usai tiga santri masuk ke sebuah cafe di mall dan membawa tas hitam. Seperti biasa, kecurigaan pertama dimulai dari ciri-ciri celana cingkrang, jenggot pancang, dan dahi merah.

Pertikain pun semakin menjadi-jadi usai tulisan press release sementara yang ditulis Herlam menyebar ke seluruh media, bahkan sampai ke email kepala BIN. Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa tulisan Herlam merupakan kebenaran yang hakiki, dengan release yag ditulis Herlam itulah menjadi bukti BIN untuk melakukan penyelidikan intens terhadap pondok tersebut. Pasukan pertama dikirim, rupanya dibantai habis oleh Mim. Di titik itulah Alif kebagian beban untuk membawa pengasuh pendok pesantren tersebut untuk diadili, hingga terjadi perkelahian sengit antara Alif dan Mim.


Di sela-sela pertikaian dan rencana penyelidikan pesantren, para anggota polisi sempat singgah di rumah Alif yang sekadarnya. Tiada TV, hanya beberapa kamar dengan lemari, dan satu fitur yang Alif unggulkan: jendela. Saat ditanya kawan-kawannya, mengapa tiada TV di rumahnya, jawaban Alif cukup menancap di kepala saya: 

"Saya lebih suka membeli jendela daripada televisi. Melalui jendela-lah, saya melihat kenyataan hidup yang sebenarnya, bukan yang terpoles oleh berbagai macam make-up dan skenario"

Setelah sang guru ditahan, pondok pesantren yang kehilangan sosok pemimpin mendapuk Mim menjadi penanggung jawab pimpinan sementara. Namun, kegelisahan dan kecemasan tak segera usai dari pondok pesantren tersebut, lantaran ada gerak-gerik mencurigakan dari beberapa orang rekannya di pesantren. Mim mulai mencurigai salah seorang rekan satu pesantrennya yang kerap pergi keluar menuju suatu tempat., yakni Marwan. 

Di sisi lain, Lam menyempatkan diri menemui atasannya, mempertanyakan alasan mengapa berita yang dibuatnya, yang masih berupa draf, sudah disebar kemana-mana. Sang atasan malah menyuruhnya meliput Bromo sekaligus pergi liburan. Herlam bukannya tergiur, dia semakin kritis: mengapa setiap kali mengumpulkan berita mengenai terorisme, dirinya selalu diminta berlibur atau pergi ke daerah lain. Atasannya, Pak Chandra pun kehilangan kesabaran, lalu kelepasan bicara bahwa kantor berita ini turut didanai aparat.

 Libernesia ini dibangun dengan mengusung ide kemerdekaan, merdeka dari dokma, dokrin radikal. Akan hancur sehancurhancurnya ketika media lain menyerang kita dengan senjata kita sendiri.”
“Kamu nggak akan obyektif dalam mengusut kasus criminal yang dibuat oleh sesama kalian. Kita di sini nggak bisa menyimpan criminal.” (Pak Chandra, dengan nada mengancam) 

"Jikalau Libernesia ini menganggap saya criminal, mengapa masih ditahan di sini?" (Herlam mengkritisi)

"Siapa yang bilang? Saya sudah sering bilang sama kamu, kalau masih saja kolot dalam bekerja, silakan pilih: mengundurkan diri atau saya pecat!"(tegas Pak Chandra) 

Setelah pertengkaran itu, Lam mencoba mengklarifikasi semua kejadian yang ada di kantor beritanya kepada Alif. Lam ingin membuktikan, bahwa guru padepokan mereka tidak bersalah, namun saat itu Alif yang sedang merasa berduka atas kepergian kekasihnya dalam pemboman cafe menyatakan bahwa semuanya sudah terlambat. Herlam tetap bersikeras bahwa tidak ada kata terlambat bagi Alif untuk menyadari kebenaran dibalik kasus: 

Mata enggak sesimpel dunia kriminal. Tampilan dunia ini bergerak tiga dimensi.Elo harus lihat satu titik dari berbagai sudut pandang.Udah waktunya elo lepas kacamata kuda lo." (Herlam, berusaha meyakinkan Alif)


Tak lama berselang. Lam tak sengaja menemukan seseorang aparat menyamar menjadi santri. Celah penyamaran itu terlihat lantaran sang santri 'gadungan' lupa melepas sepatu bootnya. Bersikeras menguntit, Lam menemukan bahwa santri yang menyamar itu adalah Kapten Rama, salah satu pasukan anti-teroris yang merupakan rekan kerja Alif.  Herlam semakin terkejut, tatkala mendapati bahwa kapten Rama mempersiapkan pasukan yang bersekongkol dengan Marwan, salah satu rekan MIm penghuni pesantren untuk strategi peledakan bom. 

Lam kemudian bergegas memberitahu Alif dan Mim. Mim langsung waspada, lantaran memang sejak awal dia sudah menemukan gelagat mencurigakan dari Marwan. Alif tidak langsung percaya, meskipun penasaran. Akan tetapi, Alif yang dikuasai rasa penasaran pun mencoba menelusuri kasus. Bergegas mengumpulkan bukti, ternyata dalang dari pemboman yang baru santer terjadi adalah ulah pimpinan tertingginya, Kolonel Mason 

Ketika Kolonel Mason memanggil Alif untuk suatu tugas, Alif mulai mengkritisi, kemudian memaparkan bukti-bukti keterkaitan atasannya dengan kejadian pengeboman. Alif pun geram, lalu menuntut sang Kolonel mengapa membunuh orang-orang tidak berdosa.

Tidak bersalah? Ada 12 orang tikus politik yang sedang menyusun strateegi kudeta. Ada 15 orang mahasiswa menganut paham komunis, dan ada 10 anak koruptor pemilik bisnis ilegel. Mestinya disana juga ada 3 orang teroris yang mati, kalau mereka tidak kamu usir”.(Kolonel Mason berujar) 


Kolonel Mason, mengakui bahwa dirinya adalah dalang

Tentu saja, Alif segera 'diamankan' setelah mengetahui kebenaran pahit ini. Dia pun ditempatkan di suatu kursi bersama Kapten Nayla, Tragis, demi keselamatan Alif, kapten Nayla pun mengorbankan keselamatan dirinya. Alif segera menyelamatkan diri sembari dirundung duka kehilangan rekan sekaligus orang yang ternyata mengakui dirinya mencintai rekan prianya itu. 

Dari sisi pesantren, Herlam sedang berusaha mengejar Marwan. Marwan telah tiba di gedung interogasi, dimana kyai pondok ditahan. Ternyata Marwan sudah menyiapkan rencana pengeboman saat kiai pondok sedang diinterograsi, bersama beberapa oknum aparat . Beruntung, Herlam tiba di lokasi segera menyelamatkan Mim yang sedang dikepung. Tak lama, Marwan melancarkan aksi bom bunuh diri untuk membumihanguskan 'bukti-bukti'. 

Herlam dan Mim kemudian mendapati Alif yang terluka. Mereka saling menceritakan kejadian yang dialami, menghasilkan suatu kesimpulan : terorisme yang terjadi selama ini adalah hasil kongkalikong antara para petinggi aparat, media, dan orang dalam pesantren yang terbujuk rayuan uang. Mereka bertiga kemudian dihadang sisa-sisa aparat yang dipimpin kolonel Mason di sebuah ruangan bawah tanah, setelah mereka berusaha melarikan diri. 

Di saat terdesak itu, tentu saja baku hantam dan tembak tak terhindarkan. Beberapa kali adu peluru, akhirnya Kolonel Mason tumbang. Namun aparat tetap menembaki, lantaran muncul seorang dalang lagi, kolonel Tamtama. Kolonel yang merupakan sahabat lama Alif ini kemudian menuturkan alasan mengapa aparat memerlukan 'adanya terorisme':

“Ini mainan kami. Kita butuh musuh Lif. Kita butuh perang, kita butuh kekacauan, kita butuh semua fanatis ini untuk apa? Balance. Untuk menjaga kestabilan di dunia ini. To create peace. Agar semua orang menjunjung tinggi nilai perdamaian. Agar mereka mensyukuri apa yang mereka miliki. Ini tugas kami. Dan seharusnya juga menjadi tugas kamu.” 
Pasti yang ada di dalam otak kamu sekarang kami adalah komplotan iblis yang membuat perang dan kekacauan.  Membunuh orang semau kami. Guest what… Iblis adalah makhluk yang paling dekat dengan Tuhan. Yang paling ta’at atas fungsi dan perintah Tuhan. So we are the necessary evil. We control everything.
(Kolonel Tamtama, dengan wajah senyum sinis)

Pertermpuran klimaks tak terelakkan, dari mulai adu peluru hingga berkelahi 'seadanya'. Tak lama, kolonel Tama pun tertembak. Namun, sepertinya akhir dari film ini menuju anti-klimaks.

Dikaji lebih dalam, tayangan 120 menit  ini menjadi peringatan bagi umat beragama terutama Islam. Secara tersirat mendeskripsikan  menggambarkan betapa sedikit orang yang memegang teguh agamanya di masa yang akan datang. Agama menjadi minoritas, lantaran sedikit sekali perhatian dari pemerintah, didiskriminasi, bahkan diadu domba, difitnah sebagai teroris.

Beberapa adegan dalam film ini menyorot stigma teroris yang kerap menempel pada Islam, dimulai pada adegan di scene-scene awal yang memperlihatkan pemberitaan bom terjadi di berbagai tempat dari tahun ke tahun. Masyarakat berdemo menuntut perlindungan dan kedamaian. Pelaku teroris digambarkan muslim berdasarkan kelengkapan atribut yang mereka kenakan berupa  jubah atau gamis dan n sorban yang dililitkan menutupi kepala dan wajah mereka. 

Menyorot pada latar tahun 2036, dimana keadaan Indonesia telah berubah secara signifikan,  struktur dan pola sosial pun telah mengalami banyak perubahan mulai dari penampilan, pemikiran hingga keimanan.  Krisis kepercayaan akan tuhan, Islam satu-satunya agama yang ada dalam film tersebut,  acapkali dibubuhkan sentimen radikal sehingga menjadi elemen yang dikucilkan masyarakat . Hal ini karena banyaknya aksi terorisme dengan pelaku yang mengenakan atribut Islam, membuat masyarakat kian resah hingga stigmatisasi pun sukses.  

Arie Untung selaku produser mengakui bahwa banyak hal dalam film ini terinspirasi dari kisah-kisah dizaman Rasulullah Muhammad SAW. Namun inspirasi tersebut dikemas ulang sesuai dengan konteks abad 21. Contohnya pada pemilihan angka Detasemen 38: 80-83, yang merupakan nama dari pasukan elit tempat Alif bernaung. Angka-angka tersebut bukan tanpa makna. 38: 80-83 merujuk pada Al-Qur’an surat ke 38 yaitu Shad ayat 80-83.

Meskipun film 3: Alif, Lam, Mim ini hanya bertahan tujuh hari tayang di bioskop, namun film ini telah menyabet berbagai nominasi dan mendapatkan penghargaan. Seperti menjadi nominasi sebanyak 7 kategori dalam Piala Maya 2015, menjadi nominasi di 4 kategori dalam Indonesian Movie Awards (IMA) 2016, dan Tahta Ginting mendapatkan penghargaan sebagai pemeran pria pendukung terbaik, meskipun dia mendapatkan peran sebagai antagonis utama. Bahkan film 3: Alif, Lam, Mim ini juga masuk nominasi Atlanta Asian Film Festival di Amerika.

Film 3 ini juga telah terbit dalam bentuk DVD di Jepang. Selain beberapa hal yang disebutkan di atas, film yang menggambarkan masa depan ini merupakan karya masyarakat Indonesia untuk pertama kali menampilkan laga futuristik dengan memadukan tentang persahabatan, dan drama keluarga.  Rekaan adegan yang dilcontohkan oleh aktor dan aktris Indonesia papan atas menambah nilai tambah bagi film ini. Seperti Abimana Aryasatya yang melakukan adegan-adegan laga tanpa stuntman (pemeran pengganti), ataupun  bumbu drama antara Kapten Nayla (Prisia Nasution) dan Alif yang memberi warna roman bagi cerita ini. 

Teori konspirasi mulai dipraktekkan. Dimana "kesalahan" diciptakan dengan perencanaan yang sangat matang, melibatkan pasukan, hingga dikontrol oleh pasukan asing. Tujuannya tidak lain adalah menginginkan nama baik dari publik. Namanya tersohor, dipuja, dan kemudian menacalokan sebagai presiden. Film yang cukup menggambarkan keunikan negeri ini. Pada intinya, fim tersebut mengambarkan pada kita bahwa tidak semua yang terjadi di negeri ini merupakan kesalahan yang nyata, melainkan kesalahan yang dibuat-buat dengan perencanaan yang sangat matang. Tidak lain bertujuan untuk branding nama. Bisa jadi teroris yang belakangan ini marak terjadi meruapakan konspirasi dari salah satu kalangan. Misalnya bom Sarinah yang mengundang banyak kejanggalan. Pada intinya adalah mari belajar membedah kasus hingga ke akar-akarnya

Ya, diakui atau tidak, perkembangan ideologi akan sejalan dengan tindakan aplkatif yang dilakukan seseorang. Tindakan tersebut, secara tidak sadar akan menyulap perubahan terhadap dirinya sendiri. Contoh, bagaimana Buya Hamka, sedikit memberatkan nikah poligami, sebab ayahnya adalah poligami sejati. Namun, dimata Buya keadaan berpoligami itulah yang menyebabkan keadaan rumah tangganya menjadi tidak nyaman. Hingga memutuskan dalam tulisannya yang tertuang dalam Tafsir Al-Ahzar, sedikit memeberatkan terahadap poligami. Sedikit gambaran, bahwa kecenderungan ideologi seseorang tergantung pengalaman tersebut.


  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...