Setiap orang tua pasti menginginkan hal yang terbaik untuk anak-anaknya. Maka disediakanlah beragam fasilitas: makanan, minuman, tempat tidur, uang, mainan, bahkan nyawa pun dikorbankan. Seperti yang pernah diulas dalam Lorenzo's Oil, kehilangan seorang anak kerapkali menimbun kesedihan yang mendalam di hati orang tua. Seringkali diungkapkan, bahwa ketika seorang anak mengalami sakit parah, orang tua merasa separuh dunianya runtuh.
Saya masih ingat ketika Ibu, yang biasa dipanggil Mama, pernah beberapa kali menangis mendapati sekujur badan anak-anaknya panas tinggi dan menggigil. Saat memberi pengobatan, Mama terisak dengan harapan agar anak-anaknya cepat sembuh. Kepanikan Mama bukanlah tanpa alasan, mengingat saya di masa kecil, dengan terus terang, pernah nyaris 'lewat' di ruang ICU. Suatu kenangan mengerikan yang tertancap bertahun-tahun menjadi pelajaran pahit.
Berangkat dari pengalaman itu, Mama kerap menunggui anak-anaknya hingga cuti beberapa hari dari kantor. Bapak saya pun pernah turut risau berkepanjangan saat mendapati anak-anaknya masuk rumah sakit. Lebih-lebih, turut menyaksikan anak remajanya muntah darah depan mata bukanlah suatu momen yang menyenangkan di pagi hari. Ketika Bapak membagi kabar pada Mama yang sedang dinas di luar negeri, kerisauan pun menular hingga Mama berencana pulang mendadak dari dinas. Untungnya, pendarahan pasca-operasi itu tak berlangsung lama, setelah dokter memberi instruksi saya yang terbaring sakit untuk puasa dua hari setelah mulut disembur inflamator.
Pengalaman orang tua menunggui anaknya yang terkena penyakit, pernah menjadi tema wejangan dari Pakde saya. "Ketika kamu punya anak nanti, begadang bukan hanya ketika dia masih balita. Rata-rata orang tua biasanya harus sering terjaga sampai umur 8 tahun."
Pada kenyataannya, berkurangnya jam tidur orang tua ketika anak sakit, adalah bentuk pengorbanan yang paling minimal dan paling lazim. Pengorbanan keluarga karena risau akan sakitnya anak, bermacam-macam tergantung pada konteks kedaruratan. Ada yang harus jual mobil dan rumah demi cuci darah rutin. Bukan sedikit pula contoh orang tua rela berkorban anggota tubuh demi kesembuhan anaknya. Intinya, tingkat normalitas hidup mau tidak mau akan berkurang ketika seorang anak sakit.
Bagaimana dengan keadaan orang tua dimana semua anaknya mengalami sakit bersamaan? Rasanya kenyataan ini biasa kita dengar dari teman-teman terdekat, seringkali tentang sulitnya menghindari musim wabah. Kemungkinan paling logis, biasanya orang tua akan memberi perhatian lebih kepada anak yang diputuskan harus opname. Urusan rumah sakit selalu menjadi bahan pikiran serius mulai sejak jarum infus tertancap di tangan mungilnya.
Kadang harus diakui, kedaruratan kondisi kesehatan memang membuat orang sulit untuk berpikir lebih jauh selain kesembuhan. Maka, selayaknya keluarga yang sehat turut berempati pada anggota keluarga yang sakit. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa kesabaran beberapa orang memang terbatas, karena merasa keseimbangan kehidupannya mulai timpang karena terus memperhatikan keluarga yang sakit. Hanya saja, situasi ini kerap menjadi buah simalakama: ingin rasanya kesal karena orang tidak selalu satu rasa dalam keadaan yang sulit, tetapi memang memberikan perhatian berlebih selalu menyita energi dari hal lain yang kadang tak kalah penting.
Keadaan seperti inilah yang dipotret Jodi Picoult menjadi sebuah novel bertajuk "My Stister Keeper", yang kemudian dialihwahanakan menjadi film bertajuk sama. Adalah Kate Fitzgerald, seorang putri kedua dari petugas pemadam kebakaran bernama Brian dan seorang pengacara bernama Sara, menjadi sorot utama kisah ini karena tak kuasa mengelakkan penyakit kanker darah, Pada awal kisah, Sara, Brian, dan putra sulung mereka Jesse tak cocok menjadi donor sumsum tulang belakang bagi Kate.
My Sister's Keeper, pergulatan pilihan antara ibu dan anak |
Berangkat dari keterbatasan ini, Sara dan Brian mengambil tindakan bayi tabung atas saran Dokter Chance. Sayangnya, memang situasi sulit kondisi Kate membuat Sara dan Brian sejak awal meniatkan anak yang sedang 'ditunggu' sebagai 'penyelamat kakaknya'. Tatkala anak itu lahir, yang kemudian dinamai Anna, tak kurang dari sebelas tahun harus berjibaku dengan rutinitas donor cairan dan sumsum tubuh. Semuanya tak lain adalah demi kesembuhan Kate.
Tak pelak, berangkat dari 'peran pentingnya', seorang Anna harus tumbuh dengan mengakrabkan diri terhadap serangkaian aktivitas di rumah sakit: injeksi, pengambilan darah, penyuntikan hormon, perdarahan, dan infeksi. Kate yang telah berumur lima belas tahun, kemudian mengalami komplikasi gagal ginjal. Di titik itu, Anna mulai berniat menolak untuk mendonorkan ginjal.
Anna yang turut beranjak dewasa pun mulai paham, mendonorkan ginjal berarti merampas sebagian besar kebebasan hidup yang masih menjadi hak asasinya. Dengan tegas, ia meminta Brian dan Sara untuk menghentikan donor, serta mengingat bahwa tubuh juga punya hak untuk dipelihara oleh pemiliknya. Sayangnya, kendati Brian mulai paham penderitaannya, nyatanya Sara yang sejak awal lebih terobsesi dengan kesembuhan Kate, bersikeras menolak permintaan putri bungsunya itu,
Kemudian, Anna tak berjalan sendiri dalam menegakkan hak-hak tubuhnya. Gadis menjelang remaja yang diperankan oleh Abigail Breslin ini kemudian didampingi pengacara resmi, Campbell Alexander, yang ditunjuk oleh pengadilan anak. Campbell setulus hati ingin membantu Anna, untuk menuntut Sara mengembalikan hak-hak gadis tersebut untuk menjaga tubuh sendiri. Salah satu alasan yang mendorong pengacara Campbell untuk membantu adalah pengalaman dirinya saat kecil yang pernah mengalami epilepsi.
Sebelum sidang anak melawan orang tua di jalur hukum dimulai, cerita terfokus mengupas detil kehidupan Kate. Kate sendiri sebenarnya tak ingin sang adik bungsu terus berkorban demi dirinya. Karenanya dirinya harus mendekam di rumah sakit, acapkali membuat Jesse kakaknya sering bolos perkemahan musim panas. Kate kemudian menemukan seseorang yang membuatnya bahagia di rumah sakit khusus kanker tersebut, Taylor.
Bersama Taylor, Kate merasakan pengalaman yang memang selayaknya dilalui gadis remaja yang sedang jatuh cinta dan pubertas. Dari mulai dansa bersama hingga berkencan, Taylor telah mengisi sekujur ruang hati Kate. Sayang, beberapa hari kemudian Kate mulai risau lantaran tak mendapati Taylor di rumah sakit.
Ternyata, Taylor, yang diperankan Thomas Dekker, telah membuktikan bagaimana stadium akhir menjadi gerbang kematian yang sesungguhnya. Kate yang kehilangan harapan, memutuskan untuk bunuh diri dengan menelan obat bius. Untungnya, Anna sempat mencegah hingga kakak perempuannya itu terselamatkan. Kate yang depresi pun meluapkan emosinya, berharap dirinya dapat menyusul Taylor jika meninggal saat itu juga.
Waktu beralih menuju beberapa saat sebelum sidang gugatan Anna, Kate sempat memohon kedua orangtuanya untuk pergi ke pantai, meskipun untuk terakhir kali. Brian, yang diperankan oleh Jason Patric ini menyetujui permintaan tersebut, lalu bersegera mengeluarkan putri malangnya itu dari rumah sakit. Sara, yang diperankan oleh Cameron Diaz, justru gusar dengan keputusan putrinya, lalu mendesak suaminya untuk memulangkan Kate ke pembaringan. Brian justru menolak keras hingga mengancam cerai kalau Sara tidak ikut. Akhirnya, Kate merasakan wisata pantai sekeluarga bersama keluarganya.
Sidang gugatan Anna dimulai, Jesse menyadari bahwa Anna menuntut haknya di pengadilan bukan atas kemauan dirinya saja, melainkan turut 'mewadahi' keinginan Kate. Penolakan donor ginjal itupun nyatanya didukung oleh Kate, yang tidak mengharapkan apapun setelah Taylor wafat. Anna yang sebenarnya ingin memberikan ginjalnya, justru gusar dengan sikap pesimisnya Kate.
Taylor dan Kate, sempat saling mengisi meski sesaat. |
Di pertengahan sidang, air mata Sara mengalir. Rupanya ketika menyadari bahwa penolakan donor ginjal itu turut didukung Kate, Sara menyadari bahwa Anna sedang menyampaikan 'ucapan selamat tinggal' dari kakak perempuannya secara tersirat. Tak lama setelah sidang, semua keluarga Kate lebih terfokus untuk mempersiapkan kepergian dirinya. Kate, yang diperankan Sofia Vasilyeva, meninggal dalam damai di sisi Sara.
Setelah kepergian Kate, Sara yang sempat berhenti lama dari pekerjaannya di firma hukum pun kembali berkarir. Brian mengundurkan diri dari dinas damkar, lalu mengambil pekerjaan sebagai penyuluh remaja. Jesse yang mendekati usia berkuliah, dianugerahi beasiswa di jurusan seni. Anna yang beranjak remaja, selalu menyempatkan pergi ke Montana, tempat favorit mendiang kakak.
Kate dan Sara, meluangkan waktu sebelum ajal menjemput. |
Di tempat itu, Anna mengenang hari ulang tahun sang mendiang kakak. Dari perjalanan belasan tahun yang dirasakannya bersama sang kakak semasa hidup, Anna mengambil sebuah kesimpulan:
"Aku terlahir bukan untuk menyelamatkan kakakku. Aku terlahir karena aku adalah adik dari seorang kakak, dan tidak ada yang namanya mantan adik atau mantan kakak setelah maut memisahkan." (Anna Fitzgerald, konklusi film)
Pada awalnya, film dengan situasi keluarga berhadapan dengan kedaruratan kanker yang diarahkan oleh sutradara Nick Cassavettes ini hendak mengambil Dakota dan Elie Fanning sebagai pemerannya. Selain untuk mempercepat 'meresapi peran', kedua artis remaja ini pun cukup berpengalaman. Sayangnya, ketika Dakota diminta untuk menggunduli rambut demi mendalami peran, kontrak pun dibatalkan. Maklum, bukan keputusan mudah bagi seorang wanita untuk mengorbankan rambut demi peran, maka kursi peran beralih pada Abigail Breslin dan Sofia Vesilieva.
Namun, patut diakui bahwa kinerja dua aktris remaja ini dalam membumikan kisah garapan Jodi Focault memang layak mendapatkan lebih dari acungan jempol. Bagaimanapun, terdesak dalam pneyakit kronis sama sekali bukan situasi yang mudah dihadapi oleh orangtua manapun. Jikalau melihat pada opsi-opsi yang diambil Anna, Kate, maupun Sara, dalam situasi pelik ini, memang cukup rasional.
Kita yang sebagai manusia biasa, yang sudah bertahun-tahun hidup normal pun, masih perlu waktu untuk beradaptasi andaikata organ tubuh harus didonorkan. Yang dialami Anna lebih rumit' karena sejak awal ia ditemaptkan sebagai 'ban serep' untuk kakaknya, maka mandat sang ibu untuk mendonorkan ginjal adalah desakan yang cukup berpengaruh pada masa depannya. Bayangkan saja, sudah diminta ambil darah, hormon, dan sumsum seminggu sekali, belum ditambah infeksi dan perdarahan, tentu kita sebagai manusia pun akan bertanya pada diri sendiri: "Sebenarnya saya ini bisa gak sih hidup sebagai diri sendiri?"
Apa boleh buat, yang dialami Sara semenjak mengetahui putri sulungnya mengidap penyakit krnois, memang mendorongnya sulit untuk mencari pilihan lain, lantaran dokter sudah memvonis ketidakcocokan genetika untuk proses donor. Saya cukup yakin, kalaupun kita berada di posisi Sara, kemungkinan besar selain menahan malu unutk pinjam uang untuk pengobatan, kemungkinan besar akan cenderung manut dengan apapun yang disarankan oleh dokter. Hanya saja, memang Sara perlu dibantu untuk 'melihat' dan mendengar lebih jauh tentang apa yang sebenarnya diinginkan sang putri.
Terkait dengan Kate, mengidap penyakit kronis sejak usia belia sama sekali bukan situasi yang nyaman. Tetapi, kehidupan pun istimewa bukan hanya karena kehidupan itu sendiri, melainkan karena ada yang mengisinya. Kate yang bertemu Taylor, yang mengisi sekujur hatinya, membuat kehidupan gadis malang itu sempat berubah. Taylor yang memiliki kondisi serupa dengan Kate, membuat pubertas kedua remaja kondisi khusus itu bergelora sebagaimana remaja kebanyakan.
Kehilangan Taylor, memang tak bisa dipungkiri berdampak cukup signifikan bagi Kate, mengingat masa remaja adalah waktunya seorang manusia berkenalan dengan beragam gejolak emosi yang mudah naik dan mudah turun. Apa yang membuat seorang Kate terpukul nampaknya bukan semata-mata perasaan pubertas, melainkan karena 'penerimaaan' apa adanya Kate yang diungkapkan oleh Taylor, yang membuat warna hidup serasa berbeda. Belasan tahun, Kate merasakan dirinya dalam keluarga hanya sebagai individu yang memiliki misi 'bertahan hidup', memiliki alasan lebih ketika Taylor yang hadir selaku teman berjuang hidup hadir.
Sebagai manusia biasa yang punya perasaan, Kate pun merasakan kegundahan Anna yang terus-menerus harus menjadi ban serep untuk dirinya. Alih-alih bersikukuh untuk bertahan hidup, Kate pun merancang skenario agar keluarga 'ikhlas' bila terjadi apa-apa dengan dirinya. Di titik ini, Kate mungkin sedang membagi inspirasinya dengan saya, bahwa perkara ikhtiar bukan hanya tentang kemauan untuk memperbaiki keadaan dan menciptakan kemungkinan positif dari 'takdir yang sulit dihindari', tetapi juga soal menyiapkan akan kemungkinan yang terjadi sambil menata hati bila takdir sudah tak bisa dihindari.
Maka, satu kesimpulan pamungkas, dari semua adegan yang diangkat dari novel ini, membuat saya teringat akan kutipan dari Martin Luther King:
"Kedamaian dalam hidup, bukanlah tentang lenyapnya masalah, namun tentang hadirnya keadilan dalam mata batin dalam proses menyelesaikan masalah. "
Iya juga karena ga mungkin hidup tanpa masalah. Kalo mau tenang ya berdamai dengan masalah itu. Keren nih jadi pengen nonton filmnya
BalasHapusTulisannya yg selalu keren nih bikin penasaran jd pgn nonton filmnya hehe
BalasHapusSuka banget sama kutipannya, bahwa adik terlahir bukan untuk menyelamatkan kakaknya..semoga ada kesempatan nonton filmnya juga ah
BalasHapus