Apakah artinya seorang oknum?, Bila kita kembali mendefinisikan berdasarkan kitab bongsor KBBI, oknum merujuk pada 'individu yang terkait anasir sesuatu'. Biasanya keterkaitan individu ini kerap dikonotasikan negatif. Semisal ada orang berseragam polisi melakukan penembakan salah alamat, media kemudian menyebutkannya sebagai oknum.
Lalu, saya berpikir lebih jauh lagi mengenai ke-oknum-an ini. Jikalau memang ini selalu merujuk pada individu yang 'tercemar', mungkinkah oknum ini bisa jadi 'individu' yang mewakili kepentingan 'tercemar' milik sekumpulan massa? Pada beberapa tahun pertama menjadi sarjana, mungkin dengan polosnya saya berpikir bahwa segala kejahatan yang melibatkan institusi tertentu, hanyalah kelakuan beberapa oknum tak bertanggung jawab.
Namun, pikiran saya sedikit tercuci, tatkala menelaah buku milik Anthony Dio Martin bertajuk : "Toxic Leadership.", terbitan tahun 2005., Buku yang mengulas dan mengupas tentang titik-titik dimana pemimpin jahat dan budaya buruk berlaku, nyatanya membuka pemikiran baru dalam kepala saya: bahwa kejahatan masif tak bisa langgeng hanya karena kelakuan orang-perorang, melainkan terdorong oleh kekuasaan besar yang merajut benang-benang permufakatan jahat yang tersusun rapi. Lebih dalam lagi, buku ini mengupas tentang empat tipe pemimpin jahat: pemimpin yang suka membentak hanyalah dua diantaranya, yang diumpamakan sebagai singa dan gajah.
Dua pemimpin jahat suatu instansi nyatanya ada yang memiliki pembawaan tenang, menghanyutkan, sekaligus menjerumuskan. Salah duanya adalah pemimpin jahat tipe buaya dan pemimpin tipe musang. Pemimpin jahat tipe buaya hampir tidak pernah marah ataupun mengagitasi terang-terangan, akan tetapi dia membebaskan perlakuan anak buahnya yang kejam dan sulit mengampuni anak buah yang melakukan kesalahan. Tipe pemimpin musang malah lebih unik: merupakan tipe orang yang jarang hadir dan kurang cakap memimpin di suatu instansi, jarang terlibat, namun setiap kali anak buah melakukan keberhasilan, dia mengklaim turut andil.
Beberapa tipe pemimpin jahat ini, sayangnya berada pada beberapa lapis birokrasi sipil dan militer, berdasarkan beberapa fakta sejarah. Maka, kita mengenal adanya diktator seperti Pol Pot di Kamboja yang tidak mengumbar banyak muka garang tetapi lalim bukan main. Contoh lainnya, Robbespiere, orang yang terkenal dengan selera humornya tetapi cukup sadis menjadikan lawan yang dibantai sebagai bahan tontonan khalayak ramai.
Sialnya, karena pemimpin jahat ini punya posisi dan pangkat, serta beberapa jasa yang sulit dilupakan, mereka kerap bisa bersembunyi dan cuci tangan dari segala permufakatan jahat yang direncanakan. Salah satu trik yang biasa mereka lakukan untuk mendorong terjadinya pembantaian, adalah teknik 'fear mongering'. Trik fear mongering adalah teknik pemimpin jahat menyebar ketakutan dan kecemasan baru pada masyarakat atau anak buah yang dipimpin, untuk mengikuti arahannya. Salah satu contoh paling kongkrit ada pada masyarakat Indian yang dijajah pendatang asal Barat pada awal-awal pendudukan tanah Amerika Utara, dimana para pendatang Eropa kerap menyebut para Indian sebagai radikal.
Pembantaian terbesar di abad 13-14, suku Indian kerap distigmakan radikal oleh para pendatang Eropa |
Tapi kita takkan membahas film indian, melainkan film Indonesia yang mengetengahkan modus fear mongering yang menjadi sorot utama dalam adegannya. Karena alasan inilah,maka film Indonesia yang diproduseri mantan VJ MTV Arie Untung ini sempat dicekal oleh aparat dan beberapa ormas dari peredaran. Padahal, siapa yang berhak mengadili imajinasi dalam fiksi? Film yang disutradarai Anggi Umbara ini justru menyorot pada kejadian di Indonesia beberapa dekade ke depan.
Film yang dirilis pada tanggal 1 Oktober 2015 silam bagi saya tidak hanya manarik dari latar yang dan alur, melainkan juga menyorot situasi politik dunia yang kian hari tambah tak bersudut. Sebagian penghargaan dalam politik di berbagai belahan dunia kerap mengacaukan akal sehat kita, dimana sebagian penghakiman atas nama politik membuat fitnah semakin kencang
Jakarta tahun 2036, bukanlah ibu kota yang kita kenal saat ini. Dalam film ini, negara sudah kembali damai dan sejahtera sejak perang saudara dan pembantaian kaum radikal berakhir di titik revolusi tahun 2026. Penggunaan peluru tajam adalah perihal yang terlarang, sehingga hak asasi manusia kembali dijunjung. Peluru karet menjadi andalan utama aparat untuk meringkus residivis, oknum penjahat, dan teroris yang masih tersisa. Satu dilema yang sangat menyulitkan bagi aparat mengingat beberapa kelompok radikal kembali bangkit dan berjuang untuk menganti wajah demokrasi sehingga aparat mengandalkan kemampuan bela diri yang tinggi untuk menumpas para penjahat.
Film yang dirilis pada tanggal 1 Oktober 2015 silam bagi saya tidak hanya manarik dari latar yang dan alur, melainkan juga menyorot situasi politik dunia yang kian hari tambah tak bersudut. Sebagian penghargaan dalam politik di berbagai belahan dunia kerap mengacaukan akal sehat kita, dimana sebagian penghakiman atas nama politik membuat fitnah semakin kencang
Jakarta tahun 2036, bukanlah ibu kota yang kita kenal saat ini. Dalam film ini, negara sudah kembali damai dan sejahtera sejak perang saudara dan pembantaian kaum radikal berakhir di titik revolusi tahun 2026. Penggunaan peluru tajam adalah perihal yang terlarang, sehingga hak asasi manusia kembali dijunjung. Peluru karet menjadi andalan utama aparat untuk meringkus residivis, oknum penjahat, dan teroris yang masih tersisa. Satu dilema yang sangat menyulitkan bagi aparat mengingat beberapa kelompok radikal kembali bangkit dan berjuang untuk menganti wajah demokrasi sehingga aparat mengandalkan kemampuan bela diri yang tinggi untuk menumpas para penjahat.
Tokoh utama adalah Alif, Lam, dan Mim, merupakan tiga sahabat seperguruan silat
yang dibesarkan bersama di padepokan Al-Ikhlas. Alif, yang diperankan Cornelia SUnny yang lurus dan keras dalam
bersikap, memutuskan jalan hidup mengabdi jadi aparat negara. Ia bertekad membasmi semua bentuk
kejahatan serta mencari para pembunuh kedua orang tuanya. Lam, seorang jurnalis yang diperankan oleh Abimana Aryasatya, punya pembawaan yang lebih tenang dan tidak tergesa-gesa. Kendati kerap tak disukai perusahaannya, ia selalu mengusahakan dirinya berpikir netral untuk menyebarkan kebenaran dan menjadikan
dirinya mata dari rakyat. Sementara Mim, seorang pengajar silat di Padepokan, yang Om Agus Kuncoro, punya pembawaan sifat yang bijaksana namun tak segan-segan melawan bila disakiti. Ketiganya dipertemukan kembali
setelah terjadi kekacauan pasca ledakan bom di sebuah cafe.
Bukti-bukti versi kepolisian dan investigasi mengarah pada
keterlibatan Mim beserta anak-anak padepokan. Namun Lam sebagai jurnalis
mendapat informasi dari agen misterius tentang rekaman CCTV kejadian
sebelum ledakan yang terjadi disebuah cafe. Rekaman tersebut menunjukkan bahwa
ledakan yang terjadi adalah rekayasa dari agen profesional yang
bertujuan melakukan "framing" dan mendiskreditkan umat Islam.
Alif yang menerima bukti-bukti prematur dari atasannya harus menghadapi sahabatnya sendiri, Mim dan menghancurkan padepokan yang telah membesarkannya. Lam yang terjepit di antara kedua sahabat berusaha mencari titik temu demi menghindari kehancuran yang lebih parah. Mim memilih menghadapi para aparat dan rela mengorbankan jiwanya tanpa kompromi. Alif, Lam, dan Mim dipaksa bertempur satu sama lain dalam mempertahankan dan memperjuangkan kebenarannya masing-masing, seraya harus terus menjaga keluarga dan orang-orang yang mereka hormati dan cintai.
Film pun memutar kembali, menjelaskan segenap detil yang melatarbelakangi pikiran dan watak segenap karakter.. Alif berasal dari keluarga terpandang, berada, dan punya posisi dalam masyarakat. Namun, kebakaran dan perlakuan semena-mena dari orang tak dikenal (jahat) harus ia saksikan dengan mata telanjang hingga menyebabkan kedua orang tuanya tewas di TKP. Tangis air mata membasahi dirinya, lantaran ilmu bela diri yang dimikinya tidak bisa menyelamatkan keluarganya dari mara bahaya.
Aparat Penegak Hukum (APH) pun saat itu, sangat berlarut-larut dalam menuntaskan masalah keluarganya tersebut. Tak ayal, jika kasus kaluarga Alif mulai menguap di permukaan seperti jarum tertelan jerami. Acapkali, para aparat yang bertanggung jawab hanya menjawab "sedang dalam penyelidikan", namun tak membuahkan hasil berarti.
Berangkat dari titik tolak tersebut, Alif memantapkan diri untuk menjadi APH pro rakyat. Sebab, dalam dirinya APH hanya menyelesaikan dua perkara; duit dan keputusan transaksional. Hanya dua perkara tersebut yang selalu sukses memangkas segala kerumitan dalam proses penyelidikan aparat, menurut pemikirannya. Cita-citanya pun tercapai. Ia tak hanya menjadi anggota, mayor, bahkan ia dilantik menjadi kapten. Sepak terjangnya pun diakui oleh BIN saat itu, bahwa seorang Alif adalah kapten bertangan dingin dan disegani banyak penjahat.
Berlanjut ke Lam, sapaan akrab Herlam, merupakan sosok kritis, serba ingin tahu, teliti, dan penuh empati dengan keadaan sosial. Pernah merasakan hidup didunia pesantren tidak serta merta membuat ia "konservatif" tapi tak juga berpikiran bebas. Menambah pengetahuan dengan membaca buku adalah kegemarannya, hingga tenggelam menekuni karir dalam surat kabar. Iapun didapuk menjadi wartawan yang profesional di Majalah Liberti Indonesia (dalam film tersebut).
Herlam adalah orang yang selalu menginginkan perubahan terhadap bangsa ini dengan cara memberikan infomasi yang berimbang dan objektif. Bukan informasi yang tendensius, memperkeruh keadaan, menyebarkan ketakutan, serba komersil, dan hanya mencari traffic. Maka, sepanjang tayangan, ia kerap menampilkan pemikirannya yang kritis sekalipun di depan atasannya.
Herlam selalu meniatkan, bahwa semua hasil tulisan yang menetes dari tangannya, merupakan kebenaran yang hakiki dan berimbang. Kekuatan menganalisis dan menyelesaikan problem dalam satu kekacauan menjadi ciri khasnya. Tak heran pimred Liberty tersebut memperlakukan istemewa kepada Herlam, meskipun kerap tak setuju dengan gagasannya.
Mim terbiasa hidup dalam dogma yang kental, membuat ia hanya percaya pada satu sosok saja, yakni sang guru. Sayangnya, ia kadang kerap mengkultuskan sang guru dan. karena sedemikian taatnya sang guru tak boleh disalahkan. Film ini merupakan suatu bentuk visualisasi dari pergulatan politik yang membutuhkan kambing hitam demi tercapainya kepentingan suatu pihak, sehingga apapun dan siapapun akan dikorbankan demi tercapainya kepentingan tersebut; termasuk orang-orang yang tidak bersalah, hingga agama dan umatnya.
Meski berbeda cara dalam menjalankan kebenaran, Mim tetap menjadi sahabat yang solid, saling bercengkrama, tak jarang juga kerap berbagi pandangan tentang situasi kebobrokan negeri ini. Mim lah sosok sahabat yang paling dewasa dengan pembawaan tenang, Lam selalu bertindak dengan teliti dan penuh pertimbangan, sementara Alif bertindak sesuai tugas yang dibebankan kepadanya.
Kembali ke alur awal, persahabatan mereka mulai terusik, sejak para pejabat negeri ini mulai mencari nama baik dan mengorbankan sejuta manusia. Bagaimana tidak? Pondok Al-Ikhlas yang menaungi ketiga sahabat tersebut, harus direlakan disidik oleh TNI. Sebab, ditengarai menjadi sarang teroris. Kecurigaan tersebut semakin mengemuka usai tiga santri masuk ke sebuah cafe di mall dan membawa tas hitam. Seperti biasa, kecurigaan pertama dimulai dari ciri-ciri celana cingkrang, jenggot pancang, dan dahi merah.
Pertikain pun semakin menjadi-jadi usai tulisan press release sementara yang ditulis Herlam menyebar ke seluruh media, bahkan sampai ke email kepala BIN. Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa tulisan Herlam merupakan kebenaran yang hakiki, dengan release yag ditulis Herlam itulah menjadi bukti BIN untuk melakukan penyelidikan intens terhadap pondok tersebut. Pasukan pertama dikirim, rupanya dibantai habis oleh Mim. Di titik itulah Alif kebagian beban untuk membawa pengasuh pendok pesantren tersebut untuk diadili, hingga terjadi perkelahian sengit antara Alif dan Mim.
Di sela-sela pertikaian dan rencana penyelidikan pesantren, para anggota polisi sempat singgah di rumah Alif yang sekadarnya. Tiada TV, hanya beberapa kamar dengan lemari, dan satu fitur yang Alif unggulkan: jendela. Saat ditanya kawan-kawannya, mengapa tiada TV di rumahnya, jawaban Alif cukup menancap di kepala saya:
"Saya lebih suka membeli jendela daripada televisi. Melalui jendela-lah, saya melihat kenyataan hidup yang sebenarnya, bukan yang terpoles oleh berbagai macam make-up dan skenario"
Setelah sang guru ditahan, pondok pesantren yang kehilangan sosok pemimpin mendapuk Mim menjadi penanggung jawab pimpinan sementara. Namun, kegelisahan dan kecemasan tak segera usai dari pondok pesantren tersebut, lantaran ada gerak-gerik mencurigakan dari beberapa orang rekannya di pesantren. Mim mulai mencurigai salah seorang rekan satu pesantrennya yang kerap pergi keluar menuju suatu tempat., yakni Marwan.
Di sisi lain, Lam menyempatkan diri menemui atasannya, mempertanyakan alasan mengapa berita yang dibuatnya, yang masih berupa draf, sudah disebar kemana-mana. Sang atasan malah menyuruhnya meliput Bromo sekaligus pergi liburan. Herlam bukannya tergiur, dia semakin kritis: mengapa setiap kali mengumpulkan berita mengenai terorisme, dirinya selalu diminta berlibur atau pergi ke daerah lain. Atasannya, Pak Chandra pun kehilangan kesabaran, lalu kelepasan bicara bahwa kantor berita ini turut didanai aparat.
“Libernesia ini dibangun dengan mengusung ide kemerdekaan, merdeka dari dokma, dokrin radikal. Akan hancur sehancurhancurnya ketika media lain menyerang kita dengan senjata kita sendiri.”
“Kamu nggak akan obyektif dalam mengusut kasus criminal yang dibuat oleh sesama kalian. Kita di sini nggak bisa menyimpan criminal.” (Pak Chandra, dengan nada mengancam)
"Jikalau Libernesia ini menganggap saya criminal, mengapa masih ditahan di sini?" (Herlam mengkritisi)
"Siapa yang bilang? Saya sudah sering bilang sama kamu, kalau masih saja kolot dalam bekerja, silakan pilih: mengundurkan diri atau saya pecat!"(tegas Pak Chandra)
Setelah pertengkaran itu, Lam mencoba mengklarifikasi semua kejadian yang ada di kantor beritanya kepada Alif. Lam ingin membuktikan, bahwa guru padepokan mereka tidak bersalah, namun saat itu Alif yang sedang merasa berduka atas kepergian kekasihnya dalam pemboman cafe menyatakan bahwa semuanya sudah terlambat. Herlam tetap bersikeras bahwa tidak ada kata terlambat bagi Alif untuk menyadari kebenaran dibalik kasus:
“Mata enggak sesimpel dunia kriminal. Tampilan dunia ini bergerak tiga dimensi.Elo harus lihat satu titik dari berbagai sudut pandang.Udah waktunya elo lepas kacamata kuda lo." (Herlam, berusaha meyakinkan Alif)
Tak lama berselang. Lam tak sengaja menemukan seseorang aparat menyamar menjadi santri. Celah penyamaran itu terlihat lantaran sang santri 'gadungan' lupa melepas sepatu bootnya. Bersikeras menguntit, Lam menemukan bahwa santri yang menyamar itu adalah Kapten Rama, salah satu pasukan anti-teroris yang merupakan rekan kerja Alif. Herlam semakin terkejut, tatkala mendapati bahwa kapten Rama mempersiapkan pasukan yang bersekongkol dengan Marwan, salah satu rekan MIm penghuni pesantren untuk strategi peledakan bom.
Lam kemudian bergegas memberitahu Alif dan Mim. Mim langsung waspada, lantaran memang sejak awal dia sudah menemukan gelagat mencurigakan dari Marwan. Alif tidak langsung percaya, meskipun penasaran. Akan tetapi, Alif yang dikuasai rasa penasaran pun mencoba menelusuri kasus. Bergegas mengumpulkan bukti, ternyata dalang dari pemboman yang baru santer terjadi adalah ulah pimpinan tertingginya, Kolonel Mason
Ketika Kolonel Mason memanggil Alif untuk suatu tugas, Alif mulai mengkritisi, kemudian memaparkan bukti-bukti keterkaitan atasannya dengan kejadian pengeboman. Alif pun geram, lalu menuntut sang Kolonel mengapa membunuh orang-orang tidak berdosa.
“Tidak bersalah? Ada 12 orang tikus politik yang sedang menyusun strateegi kudeta. Ada 15 orang mahasiswa menganut paham komunis, dan ada 10 anak koruptor pemilik bisnis ilegel. Mestinya disana juga ada 3 orang teroris yang mati, kalau mereka tidak kamu usir”.(Kolonel Mason berujar)
Tentu saja, Alif segera 'diamankan' setelah mengetahui kebenaran pahit ini. Dia pun ditempatkan di suatu kursi bersama Kapten Nayla, Tragis, demi keselamatan Alif, kapten Nayla pun mengorbankan keselamatan dirinya. Alif segera menyelamatkan diri sembari dirundung duka kehilangan rekan sekaligus orang yang ternyata mengakui dirinya mencintai rekan prianya itu.
Dari sisi pesantren, Herlam sedang berusaha mengejar Marwan. Marwan telah tiba di gedung interogasi, dimana kyai pondok ditahan. Ternyata Marwan sudah menyiapkan rencana pengeboman saat kiai pondok sedang diinterograsi, bersama beberapa oknum aparat . Beruntung, Herlam tiba di lokasi segera menyelamatkan Mim yang sedang dikepung. Tak lama, Marwan melancarkan aksi bom bunuh diri untuk membumihanguskan 'bukti-bukti'.
Herlam dan Mim kemudian mendapati Alif yang terluka. Mereka saling menceritakan kejadian yang dialami, menghasilkan suatu kesimpulan : terorisme yang terjadi selama ini adalah hasil kongkalikong antara para petinggi aparat, media, dan orang dalam pesantren yang terbujuk rayuan uang. Mereka bertiga kemudian dihadang sisa-sisa aparat yang dipimpin kolonel Mason di sebuah ruangan bawah tanah, setelah mereka berusaha melarikan diri.
Di saat terdesak itu, tentu saja baku hantam dan tembak tak terhindarkan. Beberapa kali adu peluru, akhirnya Kolonel Mason tumbang. Namun aparat tetap menembaki, lantaran muncul seorang dalang lagi, kolonel Tamtama. Kolonel yang merupakan sahabat lama Alif ini kemudian menuturkan alasan mengapa aparat memerlukan 'adanya terorisme':
“Ini mainan kami. Kita butuh musuh Lif. Kita butuh perang, kita butuh kekacauan, kita butuh semua fanatis ini untuk apa? Balance. Untuk menjaga kestabilan di dunia ini. To create peace. Agar semua orang menjunjung tinggi nilai perdamaian. Agar mereka mensyukuri apa yang mereka miliki. Ini tugas kami. Dan seharusnya juga menjadi tugas kamu.”
“Pasti yang ada di dalam otak kamu sekarang kami adalah komplotan iblis yang membuat perang dan kekacauan. Membunuh orang semau kami. Guest what… Iblis adalah makhluk yang paling dekat dengan Tuhan. Yang paling ta’at atas fungsi dan perintah Tuhan. So we are the necessary evil. We control everything.”
(Kolonel Tamtama, dengan wajah senyum sinis)
Pertermpuran klimaks tak terelakkan, dari mulai adu peluru hingga berkelahi 'seadanya'. Tak lama, kolonel Tama pun tertembak. Namun, sepertinya akhir dari film ini menuju anti-klimaks.
Dikaji lebih dalam, tayangan 120 menit ini menjadi peringatan bagi umat beragama terutama Islam. Secara tersirat mendeskripsikan menggambarkan betapa sedikit orang yang memegang teguh agamanya di masa yang akan datang. Agama menjadi minoritas, lantaran sedikit sekali perhatian dari pemerintah, didiskriminasi, bahkan diadu domba, difitnah sebagai teroris.
Beberapa adegan dalam film ini menyorot stigma teroris yang kerap menempel pada Islam, dimulai pada adegan di scene-scene awal yang memperlihatkan pemberitaan bom terjadi di berbagai tempat dari tahun ke tahun. Masyarakat berdemo menuntut perlindungan dan kedamaian. Pelaku teroris digambarkan muslim berdasarkan kelengkapan atribut yang mereka kenakan berupa jubah atau gamis dan n sorban yang dililitkan menutupi kepala dan wajah mereka.
Menyorot pada latar tahun 2036, dimana keadaan Indonesia telah berubah secara signifikan, struktur dan pola sosial pun telah mengalami banyak perubahan mulai dari penampilan, pemikiran hingga keimanan. Krisis kepercayaan akan tuhan, Islam satu-satunya agama yang ada dalam film tersebut, acapkali dibubuhkan sentimen radikal sehingga menjadi elemen yang dikucilkan masyarakat . Hal ini karena banyaknya aksi terorisme dengan pelaku yang mengenakan atribut Islam, membuat masyarakat kian resah hingga stigmatisasi pun sukses.
Arie Untung selaku produser mengakui bahwa banyak hal dalam film ini terinspirasi dari kisah-kisah dizaman Rasulullah Muhammad SAW. Namun inspirasi tersebut dikemas ulang sesuai dengan konteks abad 21. Contohnya pada pemilihan angka Detasemen 38: 80-83, yang merupakan nama dari pasukan elit tempat Alif bernaung. Angka-angka tersebut bukan tanpa makna. 38: 80-83 merujuk pada Al-Qur’an surat ke 38 yaitu Shad ayat 80-83.
Meskipun film 3: Alif, Lam, Mim ini hanya bertahan tujuh hari tayang di bioskop, namun film ini telah menyabet berbagai nominasi dan mendapatkan penghargaan. Seperti menjadi nominasi sebanyak 7 kategori dalam Piala Maya 2015, menjadi nominasi di 4 kategori dalam Indonesian Movie Awards (IMA) 2016, dan Tahta Ginting mendapatkan penghargaan sebagai pemeran pria pendukung terbaik, meskipun dia mendapatkan peran sebagai antagonis utama. Bahkan film 3: Alif, Lam, Mim ini juga masuk nominasi Atlanta Asian Film Festival di Amerika.
Film 3 ini juga telah terbit dalam bentuk DVD di Jepang. Selain beberapa hal yang disebutkan di atas, film yang menggambarkan masa depan ini merupakan karya masyarakat Indonesia untuk pertama kali menampilkan laga futuristik dengan memadukan tentang persahabatan, dan drama keluarga. Rekaan adegan yang dilcontohkan oleh aktor dan aktris Indonesia papan atas menambah nilai tambah bagi film ini. Seperti Abimana Aryasatya yang melakukan adegan-adegan laga tanpa stuntman (pemeran pengganti), ataupun bumbu drama antara Kapten Nayla (Prisia Nasution) dan Alif yang memberi warna roman bagi cerita ini.
Teori konspirasi mulai dipraktekkan. Dimana "kesalahan" diciptakan dengan perencanaan yang sangat matang, melibatkan pasukan, hingga dikontrol oleh pasukan asing. Tujuannya tidak lain adalah menginginkan nama baik dari publik. Namanya tersohor, dipuja, dan kemudian menacalokan sebagai presiden. Film yang cukup menggambarkan keunikan negeri ini. Pada intinya, fim tersebut mengambarkan pada kita bahwa tidak semua yang terjadi di negeri ini merupakan kesalahan yang nyata, melainkan kesalahan yang dibuat-buat dengan perencanaan yang sangat matang. Tidak lain bertujuan untuk branding nama. Bisa jadi teroris yang belakangan ini marak terjadi meruapakan konspirasi dari salah satu kalangan. Misalnya bom Sarinah yang mengundang banyak kejanggalan. Pada intinya adalah mari belajar membedah kasus hingga ke akar-akarnya
Ya, diakui atau tidak, perkembangan ideologi akan sejalan dengan tindakan aplkatif yang dilakukan seseorang. Tindakan tersebut, secara tidak sadar akan menyulap perubahan terhadap dirinya sendiri. Contoh, bagaimana Buya Hamka, sedikit memberatkan nikah poligami, sebab ayahnya adalah poligami sejati. Namun, dimata Buya keadaan berpoligami itulah yang menyebabkan keadaan rumah tangganya menjadi tidak nyaman. Hingga memutuskan dalam tulisannya yang tertuang dalam Tafsir Al-Ahzar, sedikit memeberatkan terahadap poligami. Sedikit gambaran, bahwa kecenderungan ideologi seseorang tergantung pengalaman tersebut.
Alif yang menerima bukti-bukti prematur dari atasannya harus menghadapi sahabatnya sendiri, Mim dan menghancurkan padepokan yang telah membesarkannya. Lam yang terjepit di antara kedua sahabat berusaha mencari titik temu demi menghindari kehancuran yang lebih parah. Mim memilih menghadapi para aparat dan rela mengorbankan jiwanya tanpa kompromi. Alif, Lam, dan Mim dipaksa bertempur satu sama lain dalam mempertahankan dan memperjuangkan kebenarannya masing-masing, seraya harus terus menjaga keluarga dan orang-orang yang mereka hormati dan cintai.
Film pun memutar kembali, menjelaskan segenap detil yang melatarbelakangi pikiran dan watak segenap karakter.. Alif berasal dari keluarga terpandang, berada, dan punya posisi dalam masyarakat. Namun, kebakaran dan perlakuan semena-mena dari orang tak dikenal (jahat) harus ia saksikan dengan mata telanjang hingga menyebabkan kedua orang tuanya tewas di TKP. Tangis air mata membasahi dirinya, lantaran ilmu bela diri yang dimikinya tidak bisa menyelamatkan keluarganya dari mara bahaya.
Aparat Penegak Hukum (APH) pun saat itu, sangat berlarut-larut dalam menuntaskan masalah keluarganya tersebut. Tak ayal, jika kasus kaluarga Alif mulai menguap di permukaan seperti jarum tertelan jerami. Acapkali, para aparat yang bertanggung jawab hanya menjawab "sedang dalam penyelidikan", namun tak membuahkan hasil berarti.
Berangkat dari titik tolak tersebut, Alif memantapkan diri untuk menjadi APH pro rakyat. Sebab, dalam dirinya APH hanya menyelesaikan dua perkara; duit dan keputusan transaksional. Hanya dua perkara tersebut yang selalu sukses memangkas segala kerumitan dalam proses penyelidikan aparat, menurut pemikirannya. Cita-citanya pun tercapai. Ia tak hanya menjadi anggota, mayor, bahkan ia dilantik menjadi kapten. Sepak terjangnya pun diakui oleh BIN saat itu, bahwa seorang Alif adalah kapten bertangan dingin dan disegani banyak penjahat.
Alif (Cornelio S). Herlam (Abimana Aryasatya), Mim (Agus Kuncoro), berbeda watak namun tetap bersahabat |
Berlanjut ke Lam, sapaan akrab Herlam, merupakan sosok kritis, serba ingin tahu, teliti, dan penuh empati dengan keadaan sosial. Pernah merasakan hidup didunia pesantren tidak serta merta membuat ia "konservatif" tapi tak juga berpikiran bebas. Menambah pengetahuan dengan membaca buku adalah kegemarannya, hingga tenggelam menekuni karir dalam surat kabar. Iapun didapuk menjadi wartawan yang profesional di Majalah Liberti Indonesia (dalam film tersebut).
Herlam adalah orang yang selalu menginginkan perubahan terhadap bangsa ini dengan cara memberikan infomasi yang berimbang dan objektif. Bukan informasi yang tendensius, memperkeruh keadaan, menyebarkan ketakutan, serba komersil, dan hanya mencari traffic. Maka, sepanjang tayangan, ia kerap menampilkan pemikirannya yang kritis sekalipun di depan atasannya.
Herlam selalu meniatkan, bahwa semua hasil tulisan yang menetes dari tangannya, merupakan kebenaran yang hakiki dan berimbang. Kekuatan menganalisis dan menyelesaikan problem dalam satu kekacauan menjadi ciri khasnya. Tak heran pimred Liberty tersebut memperlakukan istemewa kepada Herlam, meskipun kerap tak setuju dengan gagasannya.
Mim terbiasa hidup dalam dogma yang kental, membuat ia hanya percaya pada satu sosok saja, yakni sang guru. Sayangnya, ia kadang kerap mengkultuskan sang guru dan. karena sedemikian taatnya sang guru tak boleh disalahkan. Film ini merupakan suatu bentuk visualisasi dari pergulatan politik yang membutuhkan kambing hitam demi tercapainya kepentingan suatu pihak, sehingga apapun dan siapapun akan dikorbankan demi tercapainya kepentingan tersebut; termasuk orang-orang yang tidak bersalah, hingga agama dan umatnya.
Meski berbeda cara dalam menjalankan kebenaran, Mim tetap menjadi sahabat yang solid, saling bercengkrama, tak jarang juga kerap berbagi pandangan tentang situasi kebobrokan negeri ini. Mim lah sosok sahabat yang paling dewasa dengan pembawaan tenang, Lam selalu bertindak dengan teliti dan penuh pertimbangan, sementara Alif bertindak sesuai tugas yang dibebankan kepadanya.
Kembali ke alur awal, persahabatan mereka mulai terusik, sejak para pejabat negeri ini mulai mencari nama baik dan mengorbankan sejuta manusia. Bagaimana tidak? Pondok Al-Ikhlas yang menaungi ketiga sahabat tersebut, harus direlakan disidik oleh TNI. Sebab, ditengarai menjadi sarang teroris. Kecurigaan tersebut semakin mengemuka usai tiga santri masuk ke sebuah cafe di mall dan membawa tas hitam. Seperti biasa, kecurigaan pertama dimulai dari ciri-ciri celana cingkrang, jenggot pancang, dan dahi merah.
Pertikain pun semakin menjadi-jadi usai tulisan press release sementara yang ditulis Herlam menyebar ke seluruh media, bahkan sampai ke email kepala BIN. Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa tulisan Herlam merupakan kebenaran yang hakiki, dengan release yag ditulis Herlam itulah menjadi bukti BIN untuk melakukan penyelidikan intens terhadap pondok tersebut. Pasukan pertama dikirim, rupanya dibantai habis oleh Mim. Di titik itulah Alif kebagian beban untuk membawa pengasuh pendok pesantren tersebut untuk diadili, hingga terjadi perkelahian sengit antara Alif dan Mim.
Di sela-sela pertikaian dan rencana penyelidikan pesantren, para anggota polisi sempat singgah di rumah Alif yang sekadarnya. Tiada TV, hanya beberapa kamar dengan lemari, dan satu fitur yang Alif unggulkan: jendela. Saat ditanya kawan-kawannya, mengapa tiada TV di rumahnya, jawaban Alif cukup menancap di kepala saya:
"Saya lebih suka membeli jendela daripada televisi. Melalui jendela-lah, saya melihat kenyataan hidup yang sebenarnya, bukan yang terpoles oleh berbagai macam make-up dan skenario"
Setelah sang guru ditahan, pondok pesantren yang kehilangan sosok pemimpin mendapuk Mim menjadi penanggung jawab pimpinan sementara. Namun, kegelisahan dan kecemasan tak segera usai dari pondok pesantren tersebut, lantaran ada gerak-gerik mencurigakan dari beberapa orang rekannya di pesantren. Mim mulai mencurigai salah seorang rekan satu pesantrennya yang kerap pergi keluar menuju suatu tempat., yakni Marwan.
Di sisi lain, Lam menyempatkan diri menemui atasannya, mempertanyakan alasan mengapa berita yang dibuatnya, yang masih berupa draf, sudah disebar kemana-mana. Sang atasan malah menyuruhnya meliput Bromo sekaligus pergi liburan. Herlam bukannya tergiur, dia semakin kritis: mengapa setiap kali mengumpulkan berita mengenai terorisme, dirinya selalu diminta berlibur atau pergi ke daerah lain. Atasannya, Pak Chandra pun kehilangan kesabaran, lalu kelepasan bicara bahwa kantor berita ini turut didanai aparat.
“Libernesia ini dibangun dengan mengusung ide kemerdekaan, merdeka dari dokma, dokrin radikal. Akan hancur sehancurhancurnya ketika media lain menyerang kita dengan senjata kita sendiri.”
“Kamu nggak akan obyektif dalam mengusut kasus criminal yang dibuat oleh sesama kalian. Kita di sini nggak bisa menyimpan criminal.” (Pak Chandra, dengan nada mengancam)
"Jikalau Libernesia ini menganggap saya criminal, mengapa masih ditahan di sini?" (Herlam mengkritisi)
"Siapa yang bilang? Saya sudah sering bilang sama kamu, kalau masih saja kolot dalam bekerja, silakan pilih: mengundurkan diri atau saya pecat!"(tegas Pak Chandra)
Setelah pertengkaran itu, Lam mencoba mengklarifikasi semua kejadian yang ada di kantor beritanya kepada Alif. Lam ingin membuktikan, bahwa guru padepokan mereka tidak bersalah, namun saat itu Alif yang sedang merasa berduka atas kepergian kekasihnya dalam pemboman cafe menyatakan bahwa semuanya sudah terlambat. Herlam tetap bersikeras bahwa tidak ada kata terlambat bagi Alif untuk menyadari kebenaran dibalik kasus:
“Mata enggak sesimpel dunia kriminal. Tampilan dunia ini bergerak tiga dimensi.Elo harus lihat satu titik dari berbagai sudut pandang.Udah waktunya elo lepas kacamata kuda lo." (Herlam, berusaha meyakinkan Alif)
Tak lama berselang. Lam tak sengaja menemukan seseorang aparat menyamar menjadi santri. Celah penyamaran itu terlihat lantaran sang santri 'gadungan' lupa melepas sepatu bootnya. Bersikeras menguntit, Lam menemukan bahwa santri yang menyamar itu adalah Kapten Rama, salah satu pasukan anti-teroris yang merupakan rekan kerja Alif. Herlam semakin terkejut, tatkala mendapati bahwa kapten Rama mempersiapkan pasukan yang bersekongkol dengan Marwan, salah satu rekan MIm penghuni pesantren untuk strategi peledakan bom.
Lam kemudian bergegas memberitahu Alif dan Mim. Mim langsung waspada, lantaran memang sejak awal dia sudah menemukan gelagat mencurigakan dari Marwan. Alif tidak langsung percaya, meskipun penasaran. Akan tetapi, Alif yang dikuasai rasa penasaran pun mencoba menelusuri kasus. Bergegas mengumpulkan bukti, ternyata dalang dari pemboman yang baru santer terjadi adalah ulah pimpinan tertingginya, Kolonel Mason
Ketika Kolonel Mason memanggil Alif untuk suatu tugas, Alif mulai mengkritisi, kemudian memaparkan bukti-bukti keterkaitan atasannya dengan kejadian pengeboman. Alif pun geram, lalu menuntut sang Kolonel mengapa membunuh orang-orang tidak berdosa.
“Tidak bersalah? Ada 12 orang tikus politik yang sedang menyusun strateegi kudeta. Ada 15 orang mahasiswa menganut paham komunis, dan ada 10 anak koruptor pemilik bisnis ilegel. Mestinya disana juga ada 3 orang teroris yang mati, kalau mereka tidak kamu usir”.(Kolonel Mason berujar)
Kolonel Mason, mengakui bahwa dirinya adalah dalang |
Tentu saja, Alif segera 'diamankan' setelah mengetahui kebenaran pahit ini. Dia pun ditempatkan di suatu kursi bersama Kapten Nayla, Tragis, demi keselamatan Alif, kapten Nayla pun mengorbankan keselamatan dirinya. Alif segera menyelamatkan diri sembari dirundung duka kehilangan rekan sekaligus orang yang ternyata mengakui dirinya mencintai rekan prianya itu.
Dari sisi pesantren, Herlam sedang berusaha mengejar Marwan. Marwan telah tiba di gedung interogasi, dimana kyai pondok ditahan. Ternyata Marwan sudah menyiapkan rencana pengeboman saat kiai pondok sedang diinterograsi, bersama beberapa oknum aparat . Beruntung, Herlam tiba di lokasi segera menyelamatkan Mim yang sedang dikepung. Tak lama, Marwan melancarkan aksi bom bunuh diri untuk membumihanguskan 'bukti-bukti'.
Herlam dan Mim kemudian mendapati Alif yang terluka. Mereka saling menceritakan kejadian yang dialami, menghasilkan suatu kesimpulan : terorisme yang terjadi selama ini adalah hasil kongkalikong antara para petinggi aparat, media, dan orang dalam pesantren yang terbujuk rayuan uang. Mereka bertiga kemudian dihadang sisa-sisa aparat yang dipimpin kolonel Mason di sebuah ruangan bawah tanah, setelah mereka berusaha melarikan diri.
Di saat terdesak itu, tentu saja baku hantam dan tembak tak terhindarkan. Beberapa kali adu peluru, akhirnya Kolonel Mason tumbang. Namun aparat tetap menembaki, lantaran muncul seorang dalang lagi, kolonel Tamtama. Kolonel yang merupakan sahabat lama Alif ini kemudian menuturkan alasan mengapa aparat memerlukan 'adanya terorisme':
“Ini mainan kami. Kita butuh musuh Lif. Kita butuh perang, kita butuh kekacauan, kita butuh semua fanatis ini untuk apa? Balance. Untuk menjaga kestabilan di dunia ini. To create peace. Agar semua orang menjunjung tinggi nilai perdamaian. Agar mereka mensyukuri apa yang mereka miliki. Ini tugas kami. Dan seharusnya juga menjadi tugas kamu.”
“Pasti yang ada di dalam otak kamu sekarang kami adalah komplotan iblis yang membuat perang dan kekacauan. Membunuh orang semau kami. Guest what… Iblis adalah makhluk yang paling dekat dengan Tuhan. Yang paling ta’at atas fungsi dan perintah Tuhan. So we are the necessary evil. We control everything.”
(Kolonel Tamtama, dengan wajah senyum sinis)
Pertermpuran klimaks tak terelakkan, dari mulai adu peluru hingga berkelahi 'seadanya'. Tak lama, kolonel Tama pun tertembak. Namun, sepertinya akhir dari film ini menuju anti-klimaks.
Dikaji lebih dalam, tayangan 120 menit ini menjadi peringatan bagi umat beragama terutama Islam. Secara tersirat mendeskripsikan menggambarkan betapa sedikit orang yang memegang teguh agamanya di masa yang akan datang. Agama menjadi minoritas, lantaran sedikit sekali perhatian dari pemerintah, didiskriminasi, bahkan diadu domba, difitnah sebagai teroris.
Beberapa adegan dalam film ini menyorot stigma teroris yang kerap menempel pada Islam, dimulai pada adegan di scene-scene awal yang memperlihatkan pemberitaan bom terjadi di berbagai tempat dari tahun ke tahun. Masyarakat berdemo menuntut perlindungan dan kedamaian. Pelaku teroris digambarkan muslim berdasarkan kelengkapan atribut yang mereka kenakan berupa jubah atau gamis dan n sorban yang dililitkan menutupi kepala dan wajah mereka.
Menyorot pada latar tahun 2036, dimana keadaan Indonesia telah berubah secara signifikan, struktur dan pola sosial pun telah mengalami banyak perubahan mulai dari penampilan, pemikiran hingga keimanan. Krisis kepercayaan akan tuhan, Islam satu-satunya agama yang ada dalam film tersebut, acapkali dibubuhkan sentimen radikal sehingga menjadi elemen yang dikucilkan masyarakat . Hal ini karena banyaknya aksi terorisme dengan pelaku yang mengenakan atribut Islam, membuat masyarakat kian resah hingga stigmatisasi pun sukses.
Arie Untung selaku produser mengakui bahwa banyak hal dalam film ini terinspirasi dari kisah-kisah dizaman Rasulullah Muhammad SAW. Namun inspirasi tersebut dikemas ulang sesuai dengan konteks abad 21. Contohnya pada pemilihan angka Detasemen 38: 80-83, yang merupakan nama dari pasukan elit tempat Alif bernaung. Angka-angka tersebut bukan tanpa makna. 38: 80-83 merujuk pada Al-Qur’an surat ke 38 yaitu Shad ayat 80-83.
Meskipun film 3: Alif, Lam, Mim ini hanya bertahan tujuh hari tayang di bioskop, namun film ini telah menyabet berbagai nominasi dan mendapatkan penghargaan. Seperti menjadi nominasi sebanyak 7 kategori dalam Piala Maya 2015, menjadi nominasi di 4 kategori dalam Indonesian Movie Awards (IMA) 2016, dan Tahta Ginting mendapatkan penghargaan sebagai pemeran pria pendukung terbaik, meskipun dia mendapatkan peran sebagai antagonis utama. Bahkan film 3: Alif, Lam, Mim ini juga masuk nominasi Atlanta Asian Film Festival di Amerika.
Film 3 ini juga telah terbit dalam bentuk DVD di Jepang. Selain beberapa hal yang disebutkan di atas, film yang menggambarkan masa depan ini merupakan karya masyarakat Indonesia untuk pertama kali menampilkan laga futuristik dengan memadukan tentang persahabatan, dan drama keluarga. Rekaan adegan yang dilcontohkan oleh aktor dan aktris Indonesia papan atas menambah nilai tambah bagi film ini. Seperti Abimana Aryasatya yang melakukan adegan-adegan laga tanpa stuntman (pemeran pengganti), ataupun bumbu drama antara Kapten Nayla (Prisia Nasution) dan Alif yang memberi warna roman bagi cerita ini.
Teori konspirasi mulai dipraktekkan. Dimana "kesalahan" diciptakan dengan perencanaan yang sangat matang, melibatkan pasukan, hingga dikontrol oleh pasukan asing. Tujuannya tidak lain adalah menginginkan nama baik dari publik. Namanya tersohor, dipuja, dan kemudian menacalokan sebagai presiden. Film yang cukup menggambarkan keunikan negeri ini. Pada intinya, fim tersebut mengambarkan pada kita bahwa tidak semua yang terjadi di negeri ini merupakan kesalahan yang nyata, melainkan kesalahan yang dibuat-buat dengan perencanaan yang sangat matang. Tidak lain bertujuan untuk branding nama. Bisa jadi teroris yang belakangan ini marak terjadi meruapakan konspirasi dari salah satu kalangan. Misalnya bom Sarinah yang mengundang banyak kejanggalan. Pada intinya adalah mari belajar membedah kasus hingga ke akar-akarnya
Ya, diakui atau tidak, perkembangan ideologi akan sejalan dengan tindakan aplkatif yang dilakukan seseorang. Tindakan tersebut, secara tidak sadar akan menyulap perubahan terhadap dirinya sendiri. Contoh, bagaimana Buya Hamka, sedikit memberatkan nikah poligami, sebab ayahnya adalah poligami sejati. Namun, dimata Buya keadaan berpoligami itulah yang menyebabkan keadaan rumah tangganya menjadi tidak nyaman. Hingga memutuskan dalam tulisannya yang tertuang dalam Tafsir Al-Ahzar, sedikit memeberatkan terahadap poligami. Sedikit gambaran, bahwa kecenderungan ideologi seseorang tergantung pengalaman tersebut.
Berasa ikutan nonton filmnya .... 😮
BalasHapusIya..aku pun sepertinya lebih suka baca tulisan kak Brian.. ^^ nunggu review yg lain sambil minum teh^^
BalasHapusBaru tau kisahnya Buya Hamka. Idola banget
BalasHapus