Minggu, 12 Maret 2023

 

Tembakan Salvo di Ujung Senja

-Briantono Muhammad Raharjo-

 

1948, Jember

 

"Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jadi batu tulisan. Bapak ndak sesak tidur terus di dalam?"

Aku tertegun mendengar pertanyaan dari Aksan, adikku yang belum genap empat tahun itu. Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya. Maut selalu mengundang kerumitan-kerumitan, dibalik kepastiannya. Kalaupun bisa menjawabnya, belum tentu aku siap menghadapi kerumitan hidup berikutnya: siapa yang akan menjadi sosok ayah bagi kami untuk selanjutnya. Aku tak tahu berapa lama harus menangis, tak sanggup kulihat ibu harus serba sendiri menghadapi kami berenam.

"Aksan, Bapak sudah bahagia di tempat tidurnya. Di mata kita, mungkin tanah ini terlihat sesak dan sempit, tapi di dalam sana, Bapak sedang tidur di ranjang yang sangat empuk. Lebih empuk dari rumah kita. "

"Oh, gitu ya Mas Satyo? Bapak gak bosan tidur terus di dalam sana?"

"Insha Allah, tidak, San. Makanya, kita harus rajin berdoa, supaya Bapak bisa betah di sana. "

Rupanya, kau, Satyo, di usiamu masih empat belas tahun itu piawai menenangkan Aksan yang masih kecil. Ah, Satyo, untung ada dirimu. Tapi, apa kau sanggup menjadi...

"Mbak Rukmini, mulai sekarang aku siap untuk jadi ayah buat adik-adik. Mbak Rukmini fokus saja bantu ibu. Kalau bisa, mulai sekarang kita belajar yang rajin biar dapat beasiswa. ", tukasmu, Satyo dengan mata berbinar, meski masih kulihat bekas air mata tersimpan di sklera.

"Hah? Jangan kamu yang cari uang, Satyo, Biar Rukmini saja yang berhenti sekolah dan mulai berjualan bantu ibu. Ibu ndak sudi kalau kamu harus bekerja keras. Nanti nilai rapotmu turun.". sergah ibuku, dengan suara serak habis menangis. Aku hanya bisa menunduk dan patuh, karena memang situasi sudah sulit semenjak ayah sakit keras. Apalagi yang bisa kami harapkan dengan harta seadanya? Saat itu, kami melangkah menjauh dari kuburan ayah yang masih basah, mengikuti para pelayat yang bubar secara perlahan.

"Jangan begitu, bu. Mbak Rukmini kan pinter di sekolahnya. Kemarin kan dia dapat piala penghargaan lho, Bu. Sayang kalau dia berhenti sekolah, Bu."

"Tapi, Satyo. Mbakmu, sekolah setinggi apa pun juga nanti akan seperti Ibu; mengabdi pada suami, menjaga anak-anak, dan membimbing mereka semua dari rumah. Sementara kamu, Satyo, laki-laki memang harusnya berkarya di luar, mengabdi untuk bangsa dan negara, menjelajah nusantara, dengan sekolah dan kerja sampai sukses. "

"Tak bolehkah Satyo turut membangun bangsa ini dari rumah, Bu? Bagaimana nanti Aksan, Galih, dan Nilam akan mencari teladan ayah, kalau Satyo berpangku tangan dari mencari nafkah? Mbak Rukmini juga berhak bu, untuk melanjutkan keinginannya tanpa harus terus di rumah. "

"Kamu mau melawan ibu, Satyo?"

Ibu sudah tampak emosi. Kau mulai terdiam sambil menunduk, Satyo. Aku ingat betul, memang bila Ibu sudah mengucapkan suatu kalimat dengan nada tinggi, tak ada satu orang pun anaknya yang berani melawan. Hanya mendiang Ayah, yang bisa meredakan emosi Ibu bila terjadi demikian. Tapi Ayah pun sudah tak ada ,...

"Tentu tidak, Bu. Tak ada niat sama sekali melawan Ibu yang sangat Satyo sayangi dan hormati. Maka, besar keinginan Satyo untuk membantu Ibu meringankan beban sdan menghadirkan ayah dalam keluarga kita, serta membimbing Aksan, Galih, dan Nilam. Satyo hanya tak mau ibu menanggung sendiri semua ini, Bu."

"Benar, kamu ingin turut menanggung kewajiban ayahmu? Ibu ndak yakin, lhe, kamu bisa fokus belajar."

"Ibu ndak usah khawatir. Satyo percaya teman-teman dan guru Satyo pun pasti mendukung supaya tetap bisa belajar sambil bekerja," katamu dengan berbinar di hari itu.

Tiba-tiba, aku ingat tentang cerita lainnya tentang Ibu, yang selalu diungkapkan almarhum Ayah di kala kita bercengkrama. Ayah selalu bilang pada kita, Ibu sebenarnya suka malu dan sungkan untuk minta dibantu. Berbeda halnya bila  kita tatap matanya sambil berkata siap untuk meringankan bebannya. Ibu akan pasrah sekaligus lega. Itulah mengapa, Ibu kerap berkata bahwa tak ada sosok lain yang mendiami hatinya, selain tentang ayah, Kupikir, kaupun tak mirip seperti Ayah, Satyo, karena sifatmu yang acuh tak acuh. Tetapi engkau gemilang dengan menjadi dirimu sendiri. Diam-diam, kau sering membimbing adik-adik kita, tanpa harus bertitah atau melancarkan dikte.

Mungkin karena itulah, tanpa ada desakan atau permohonan ibu, aku, dan adik-adik, sehari setelah ayah wafat kau langsung merelakan diri berjualan di pasar. Segala macam jajanan kau tawarkan pada tetangga, saudara, hingga teman-temanmu di sekolah, meski tak selalu berganti jadi uang kontan.

Kudapati Ibu sering mendesah melihatmu mulai berjualan di sela-sela sekolah. Terkadang, aku menjadi sasaran cibirannya, karena baginya seorang perempuan patut malu berpangku tangan ketika lelaki belum dewasa berjibaku dengan keseharian mencari nafkah. Tanpa disuruh Ibu sekalipun, aku ikhlas menemanimu berbelanja, menata dagangan, hingga mencatat pemasukan. Tapi, kau tahu, Satyo? Ibu tak pernah berubah pendirian sejak Ayah wafat.  Ibu selalu bilang sibuk di dapur setiap kali aku dan Nilam  mengajaknya untuk ikut acara di sekolah. Meskipun tugas sekolah menumpuk, tetap saja ibu memanggil aku dan Prastiwi pemalas bila dapur dan seisi rumah kotor. Berbeda denganmu, Galih dan Aksan; sampai-sampai kadang ibu rela meninggalkan cucian menumpuk seharian demi upacara kelulusan sekolah kalian.

Tahukah kamu, Satyo? Aku pernah tak sengaja mendengar Ibu menegurmu karena masih sibuk berjualan disaat musim ujian sekolah. Ia minta engkau fokus belajar agar nilai yang didapat sempurna, tak perlu repot-repot mencari nafkah. Suatu hal yang kadang aku dan Nilam  dambakan : diminta agar fokus belajar, tak perlu berpikir soal kerjaan rumah tangga atau membantu ibu agar dapur mengepul. Tapi aku tahu, Satyo. Tidurmu sedikit. Setiap hari kau berusaha untuk tak melewatkan kewajibanmu terhadap seisi rumah, meski sesekali  matamu berkunang-kunang.  Di lain waktu kau sempat sakit, ibu merawatmu dengan penuh harap dan cemas, sambil menyempatkan diri menyalahkan aku dan Nilam karena kurang  perhatian padamu.

Usai kau pulih, segera kau tunaikan kewajiban belajar dan mencari nafkah, tanpa mengeluh ataupun banyak bicara. Kau berkata dengan yakin pada ibu, bahwa setiap bulir-bulir masa depanmu bukan hanya ada pada lembar-lembar buku yang dipelajari setiap malam; melainkan juga ada pada kekerasan hati untuk bertahan hidup dan mencari peluang melalui tangan sendiri. Ibu terdiam saat itu, entah karena dirimu memang cukup keras kepala, atau memang sebenarnya beliau sadar kau meyakini hal yang tepat saat itu. Keyakinan itulah yang kau pelihara demi cita-cita besarmu: menjadi benteng pelindung ibu pertiwi.

 

***

1990, Magelang.

 

Sekarang aku sudah merasakan apa yang dimaksud dengan puncak, lembah, dan jurang kehidupan. Mungkin juga dirimu, Satyo. Menjadi seorang pengabdi negara yang dicintai sekaligus dibenci memang sesuatu yang membuat hari-hari kita yang melelahkan jarang berakhir membosankan. Setiap kali idul fitri tiba, kita bersua lalu saling terkejut. Rambut kita yang dulu hitam legam kini memutih. Beberapa kali aku sempat cemas ketika mendapati keriput mulai bersarang di pipi, meskipun kau tak begitu ambil pusing dengan pipi yang mulai tirus. Lima tahun ini, kita mulai merasakan betapa nyatanya kehadiran para utusan malaikat Izrail, yang sering didongengkan almarhum ayah dulu.

Petang membayang, tapi selalu ada ruang untuk kita melompat ke dalam aliran masa lalu. Aku ingat saat kau berbagi salam tentara pertama ketika sekolah militer menjadi madrasah cita-cita. Begitu pula engkau yang sering mengumpati celotehan filsafatku, sebagai akibat pergaulan dengan orang-orang politik. Lalu kita meleburnya dalam canda tawa, sambil sesekali kau sisipkan pesan tersirat agar aku tetap menatap lurus ke depan, tanpa lirik kiri dan kanan. Tanpa perlu kau ingatkan berkali-kali, setiap kali aku bergumul dengan ranah politik, pesanmu terekam jadi bayang-bayang di otak. Bayangan itu menguat karena hadir dalam senantiasa nada suaramu yang lugas berbaur dengan sorot mata tajam dan sebelah telinga yang tak lagi utuh. Kau tahu, Satyo? Setiap malam setelah tragedi perang yang membuat telinga kiri lenyap,  aku mengingat setiap pesan menjadi jalinan petunjuk hidup.

Waktu berjalan dengan jalur rahasia, hari ini kita bukan lagi sekedar ayah dan ibu. Ada puluhan manusia-manusia belia di zaman ini yang selalu sedia memberikan hormat pada kita, sembari menyelipkan salam kasih sayang. Sesekali, aku turut menyimak apa yang putri-putriku perbincangkan tentang kau dan keluargamu. Setiap kali kuangkat pertanyaan tentang siapa pria yang akan mengisi masa depan mereka, dengan lengkap mereka akan sebutkan ciri-ciri serupa dirimu. Aku selalu ingin belajar, apa yang membuatmu matang menjadi teladan?

Setiap tahun kita berkumpul, seorang Satyo takkan ada gantinya. Dengan jenaka, kau ceritakan masa-masa mengangkat senjata, menghadang penyerang, lalu mencabik-cabik penindas. Kau sering berujar santai pada cucu-cucumu, bahwa kakeknya adalah seorang tentara tanpa kenal takut. Bagai gemuruh, di atas kapal perang kau sapu musuh-musuhmu sambil memekik kencang, "Keadilan harus ditegakkan." Kadang aku ikut tertawa, saat cucu-cucumu dengan polos menyandingkanmu dengan Thor -yang mereka bilang sebagai dewa petir-, atau Gundala -pahlawan petir fiksi yang terkenal puluhan silam-. Yang pasti, cara bertuturmu, adalah sebuah kunci, agar kita tetap optimis dalam memandang hidup, meski tubuh tak lagi utuh.

Aku masih ingat satu hal yang tak berubah darimu, meski kita telah melewati pahit manis berpuluh-puluh tahun. Di sela-sela menunaikan tugas di jalur laut nusantara, kau tetap setia mengajarkan anak-anakmu, bahkan cucu-cucumu, untuk berjuang dengan dengkul sendiri. Bahkan, bila mereka telah beroleh jabatan dan berlimpah tunjangan, tak kau biarkan mereka berpangku tangan.  Besar keinginanmu agar setiap manusia yang kau cintai sanggup untuk berdikari tanpa harus banyak bergantung pada orang, jabatan, dan keadaan. Mungkin, karena sifatmu itulah hari ini aku, Galih, dan Nilam mereguk kesuksesan. 

Sayang, tahun ini Galih sudah pergi lebih dulu. Awal tahun ini, Ia sempat merayakan ulang tahun pernikahannya, dengan dikelilingi anak dan cucu. Sampai di akhir hayatnya, kau masih menjadi salah satu idolanya.  Terlihat dari salah satu foto besar di ruang tamunya, yang menyorot gambar kapal raksasa legendaris tempatmu menabur sejarah. Kapal itulah yang menjadi saksi bisu akan daun telingamu yang tak lagi berjumlah sepasang. Aku dengar dari istrinya, Galih kerap mendongeng pada tamu-tamunya tentang kehebatanmu berjibaku dengan laut yang bergelombang.

Ah, aku hampir saja lupa, Satyo. Sudah tujuh tahun berlalu sejak kau merasa cukup atas perjalananmu menjadi benteng negara yang menjaga laut. Aku paham perasaanmu yang tak ingin mengumbar kekecewaan, bahwa kita -tepatnya, sebagian besar kita-, belum siap untuk menjadi bangsa yang besar. Sikap kebanyakan kita masih cukup jauh dari harapan bapak bangsa, Soekarno, bahwa kebesaran sebuah bangsa ada dalam penghargaan pada para pahlawannya. Setidaknya, itu yang kusimak dalam nurani setelah ku dengar bahwa dalam suatu upacara kenegaraan kau merelakan diri untuk berpanas-panasan berdiri, karena banyaknya angkatan militer muda yang tak sabar ingin merasakan kursi kehormatan. Bagimu itu lebih baik, karena tak sedikit teman-teman seperjuanganmu yang memilih mengasingkan diri daripada berharap kembali ke barisan tapi dianggap tak lebih berharga ketimbang seonggok sapu pelenyap debu.

Dengan segenap daya dan upaya, aku berusaha agar kau dan teman-teman seprofesi selalu mendapat ruang dan tempat yang memadai. Aku bersuara lantang; berusaha menembus hati rekan-rekan seperjuanganku; para petinggi, dan pejabat publik, agar medali kehormatan tersemat untukmu dan mereka yang pernah mencucurkan keringat dan darah demi republik ini. Sesekali aku ceritakan pada mereka, tentang keprihatinanmu akan seorang sahabat yang kini harus rela rebahan di bawah kolong jembatan karena ketidakpastian nasibnya setelah berjibaku di medan lega. Sungguh, air mata di hari kau temukan nelangsa sahabatmu, adalah sebuah sejarah yang terpatri dalam benakku yang turut menangisi negeri ini.

Dua tahun setelah kau mengundurkan diri, oase kebahagiaan baru datang menyambut. Kau sambangi panti asuhan, panti jompo, hingga panti rehabilitasi. Dengan ditemani anak-anakmu, kau kembali bangkitkan semangat kepahlawanan yang tertidur dalam jiwa mereka yang terasing dan teraniaya. Setiap kali kusempatkan seorang diri mengunjungi tempat-tempat oasemu, para penghuni mencatatmu sebagai seorang pahlawan super. Kau menjelma menjadi legenda baru untuk mereka. Hingga suatu hari, kau mulai ungkapkan batas ragamu.

Penyakit gula sedikit demi sedikit mengambil alih kebebasanmu; mulai dari otot-otot lengan hingga kedua kaki. Rasanya sudah dua tahun sebelum hari ini tiba, kursi roda sudah menjadi sepasang kaki baru untukmu. Hanya saja, tak sedikit manusia yang menaruh rasa hormat padamu; baik keluarga kita, hingga semua orang yang kau nyalakan api jiwa di dalamnya. Rasanya, kata pesimis mungkin tak pernah ada dalam otakmu, meski satu persatu gerak tubuhmu dirantai oleh stroke yang bersarang.

Di suatu siang di hari Minggu, aku mendengar bahwa kau 'mengumpulkan' putra-putramu di rumah. Lima orang keponakanku yang telah menjadi orang di tempatnya masing-masing:i komisaris, direktur, manajer, mandor, dan juragan restoran. Mereka yang telah berdiri dengan kaki sendiri berusaha melayanimu dengan sebaik-baiknya; ada yang menyuapi makan, membacakan kitab suci,  hingga membawakan tabung oksigen. Semestinya, dari awal aku tahu, bahwa waktumu sudah akan tiba.

***

  1994, Solo

 


Suatu pagi, kudengar dari putra sulungmu, ada sebuah permintaan terucap dari mulutmu yang bernafas tersengal-sengal. Kau ingin menuju taman wisata dekat rumahmu. Kebosanan dengan rutinitas di sekitar ranjang membuatmu ingin melihat gelora bunga, wahana, dan warna yang mengisi sekujur badan taman itu. Dalam perjalanan menuju tempat itu, kedua belah matamu tertutup. Mereka kira, engkau sedang tertidur sesaat. Andai tahu lebih cepat, mungkin bergegas ku hampiri dirimu di taman itu. Supaya aku tahu, seperti apa detak jantung terakhir manusia yang paling tegar dalam menjalani hidup sedari belia. Sedari aku yang baru mengenal bahasa dan kata menyambutmu yang masih bayi merah.

Tak lama, tubuhmu yang sudah rapuh itu terdiam. Tiada lagi pesan atau wejangan. Kain biru , muda tutupi mukamu di ranjang kamar perawatan intensif. Kamar yang kini kutempati, setelah bertahun-tahun lalu engkau pergi. Semua orang menitikkan air mata, tanpa kecuali diriku. Karena gerilyamu menyalakan surya dalam jiwa di hati para manusia yang terasing dan teraniaya, para pemimpin negeri ini tergerak untuk memberi ruang kenangan lebih untukmu.

Begitu engkau berpulang ke liang lahat, ku saksikan ribuan orang siap mengantar. Saat itu surya hendak tenggelam ke sisi lain dunia dengan warna temaram. Air mataku tertumpah, begitu pula dengan ribuan orang lainnya. Keralihat sebndamu dibopong oleh puluhan tentara berseragam, dengan balutan kain merah putih. Haru semakin tak terbendung, seolah aku menyaksikan seperti apa pahlawan nasional kembali bersemayam di bumi nusantara. Sekelebat mata, kulihat getaran angin nyaris membentuk pipa di atas ranjang pusaramu. Angin itu seolah menjadi corong wadah peluru yang melesat, saat komando salvo bergemuruh.

"Untuk penghormatan terakhir, salvo tiga kali. Siaaaap, gerak!"

Tiga butir peluru itu melesat ke angkasa, mengukir kilatan-kilatan di antara garis perak awan berarak. Seakan-akan peluru - peluru itu mengetuk pintu peristirahatan terakhirmu di langit, agar engkau dipersilahkan untuk berbaring selamanya hingga akhir zaman. Tempat dimana tiada lagi rasa sakit menderamu. Hari itu, awal tahun 1991, Susatyo menjadi sebuah sejarah yang hidup di hati kami.

  Duhai Satyo, hari itu sudah berlalu dengan sangat cepat.  Anak-anak dan keponakan kita yang mendambakan jadi dirimu, atau mencari suami sepertimu. Kamu adalah pejuang lautan yang tak pernah berhenti berpikir dan mencari peluang untuk masa depan. Kini kamu sudah istirahat dengan tenang.

Aku bukanlah Rukmini yang dulu, yang bisa dengan tegas berbicara lantang dan beretorika. Aku pun tak kuasa melawan misteri yang bersembunyi di balik waktu yang terus bergulir. Aku telah menua seperti dirimu, Satyo. Di tempat ini, terkadang aku bisa melihatmu, siap menjemput dan membawaku berpetualang. Barangkali demikian adanya ruangan ini dinamai, I see you, supaya siapapun yang berdiam di dalamnya bisa melihat siapa yang dikasihi sepenuh hati.

Engkau lenyap, berpetualang ke tempatmu yang abadi, diiringi salvo syahdu menyelimuti udara di kala senja. Hari ini aku sudah tidur lebih pulas. Nafasku pun lebih lega. Kasur putih tempat berbaring ini rasanya tepat untuk melambangkan kedamaian. Sudah lama rasanya berbaring tak pernah senikmat ini.

Aku memang tidak sendiri di sini. Berbagai macam orang kutemui, meski jarang kulihat mereka terbangun menyapa. Aku takkan bosan mengulangi, bahwa di sini adalah tempat yang paling nyaman untuk melampiaskan tidur yang tertunda lantaran serbuan beragam kesibukan. Kesibukan yang merampas waktu, perasaan, dan juga energi tak kasat mata yang menyangga tubuh ini.

Banyak yang mau membantuku, meski mereka bukan manusia. Tapi, aku tetap menghargai bantuan mereka, kendati mereka adalah benda mati yang sudah diprogram. Pipa-pipa yang mereka susun di sekitar lubang bernafas, membuatku nyaman dan lupa akan luka yang aku goreskan sendiri pada tubuh ini. Ya, luka yang membuatku berbaring tidak berdaya, melampiaskan rasa kantuk sekaligus rasa sakit yang sering menjangkiti sekujur paru-paruku.

Tetapi, entah mengapa sunyi tetap terasa, meski berlalu lalang orang di sini. Baik orang yang datang dengan berjalan, maupun yang berjalan terpapah dan yang sudah 'berjalan' ke alam lain. Aku masih ingat, sore hari kemarin kudengar tangisan di ranjang sebelahku. Tak henti-hentinya tetanggaku yang sedang berbaring diratapi oleh putrinya. Sesekali, putrinya meminta bantuan untuk meyakinkan bahwa ayahnya yang terbaring itu masih bisa bangun.

Duhai adikku, apa kau saat ini sedang tersenyum? Bila demikian, berikanlah tatapmu yang hangat dan pancaran matamu. Aku tak peduli seperti apa wajahmu kini, karena engkau masih sama seperti puluhan tahun lalu. Saat pertama kali aku datang pada orang tuamu untuk niat memulai hidup bersama.

Tapi aku tahu, kau sudah beberapa langkah di depan, Satyo. Aku terbaring di sini, setiap hari menanti kabar akan seisi badan yang bisa diajak damai. Meskipun sebaik-baik definisi perdamaian hanya diketahui oleh Yang Maha Kuasa.

Nyatanya, meskipun di sini tenang dan sunyi, dengan hanya sesekali diiringi isak tangis, tetap cemas dan risau menyambangi. Anak-anak mulai sibuk kembali, begitu pula dengan para keponakan, sementara  cucu-cucu kita masih kecil sehingga tidak boleh masuk kamar tidur ini. Nilam yang kini berkursi roda ingin menjengukku disini, tapi apa daya ia tak punya seorang pun menemani. Putri tunggalnya, Miranti, telah pergi mendahului, mengikuti dirimu dan Galih , sementara suaminya terbaring lemah di ranjang rumahnya.

Kalaupun anak-anak berkunjung, hanya satu atau dua orang yang bisa masuk. Jika boleh meminta, ingin sekali aku berjalan barang sebentar. Dulu aku merasa sangat butuh tidur, di sela-sela kesibukan dan kepentingan yang tidak pernah berakhir. Sekarang aku leluasa untuk tidur, namun aku bosan, Satyo.

Kamar tempatku berada ini memang terdengar sangat menggambarkan kerinduan akan seseorang. Paling tidak bagiku saja, Satyo. Jika kueja kembali nama kamar ini, terasa seperti 'aku melihatmu'. I see you. Aku berharap semoga 'kamu' yang dimaksud kamar ini adalah orang yang tersayang. Termasuk kamu, Galih,  yang sudah berkemas beberapa tahun lalu.

Maka, Satyo, izinkan aku menutup mata setelah berbagi beberapa tulisan tentang kamar ini kepada dirimu. Kapanpun engkau hendak membacanya, dari sudut manapun, dibaca selama apapun, sungguh hatiku akan senang. Karena aku tidak bisa melihat kehadiran dirimu saat ini. Tetapi, bisa saja aku mengetuk pintu rumahmu besok pagi ataupun sore ini. Tepat ketika sinyal dalam kotak yang terhubung kawat dengan jantungku ini membentuk garis lurus.

 

(Jakarta, Maret 2021)

 

Sabtu, 04 Maret 2023

9 Panglima Aksara Digital: Mengurai Resep Rahasia 9 Penulis Digital Tersohor Indoneisa

"Satu teladan lebih baik daripada seribu nasihat". Kiranya pepatah anonim yang telah mengakar bersama peradaban manusia ini turut berlaku untuk dunia kepenulisan, pun demikian dlaam segmen aksara digital. Mencari petuah, nasihat, dan petunjuk baik secara teknis hingga strategis untuk terjun dalam dunia kepenulisan digital sejak era 2015 hingga sekarang hampir sama mudahnya dengan menyalakan lilin kala gelap. Sekali kita mengetikan "rahasia sukses kepenulisan digital" pada search engine, akan kita dapati puluhan hingga ratusan tips pada halaman pertama browser. Tentunya, dari kiat-kiat melimpah yang tersedia, hanya sebagian orang Indonesia yang membuktikan keberhasilan serta kesuksesan berdasarkan prosesnya yang panjang dan bertahap. Mencari lahan penghasilan dalam dunia tulis-menulis bisa dibilang menjadi salah satu lahan bisnis yang cukup mudah untuk dimulai, meski membutuhkan konsistensi dan tekad baja untuk tetap produktif tanpa terpaku jam kerja agar tulisan yang dibuat bukan hanya mendatangkan pundi-pundi uang, melainkan juga menjaga tingkat volume viewer (penyimak) yang konstan menghasilkan selama bertahun-tahun. Di zaman aplikasi dan infrastruktur penunjang digital berkelimpahan, geliat persaingan dunia tulis-menulis kian memanas, sebab bermunculan beragam platform menulis berbasis kontrak dan munculnya desain-desain blog yang bisa mengoutsource sumber daya dari luar negeri (baca: hosting, domain, premium subscription). Adapun dari sekian banyak wadah menulis digital, potensi tertinggi monetisasi bisnis bterletak dalam tiga klaster utama: a. Media Sosial b. Platform Menulis Freemium c. Blogging atau Website. Kriteria: a. Aktualisasi gagasan dalam konten. b. Tingkat viewer dan follower c. Jangkauan konten dan hasil monetisasi a. Media Sosial 1. Kartini F. Astuti: Instagram
2. Iqbal Aji Daryono: Facebook 3. Raditya Dika: Twitter Penulis, blogger sekaligus youtuber ini followers-nya mencapai 13.8 juta lho! Radit memang kerap kali membagikan konten kocak di instagramnya, mulai dari kehidupan pribadi, buku-buku, atau inspirasi menulis. Bahkan di tahun 2016 ia mendapat penghargaan sebagai “male celeb instagram” dalam Indonesia Social Media Awards 2016. Selain itu, buku-buku yang ditulisnya juga masuk dalam Best Seller dan diangkat menjadi film layar lebar, seperti Cinta Brontosaurus, Koala Kumal, Kambing Jantan, Manusia Setengah Salmon, dan masih banyak lainnya. b. Platform Menulis Freemium 4. Alfian N Budiarto: Storial 5. Almira Bastari: Wattpad 6. Tendi Murti: Komunitas Bisa Menulis c. Blogging/ Website 7. Asri Tadda: Health Blogging Assri Tadda merupakan pria asal Sulawesi Selatan yang menjadi salah satu blogger terkaya di Indonesia. Assri Tadda memulai membangun blognya sejak tahun 2005. Blog Assri Tada mengusung tema kedokteran karena Assri Tadda memiliki latar belakang dibidang kedokteran. Saat ini, Asri Tadda mendirikan AstaMedia yang merupakan Blogging School. 8. Yosef Ardi: Travelling Blogging< osef Ardi mweupakan salah satu blogger terkaya di negeri kita yang berasal dari Flores Nusa Tenggara Timur (NTT). Yosef Ardi mengawali kariernya sebagai wartawan di harian Bisnis Indonesia. Saat itu, Yosef Ardi memulai bisnis online dari sebagai pekerjaan tambahan disamping pekerjaan utamanya sebagai wartawan. Blog yang dibangun Yosef Ardi bertemakan politik dan bisnis. Pengetahuan tersebut ia dapatkan dari California sewaktu ia menempuh pendidikan sarjana disana. Pada awal membangun blog, Yosef menggunakan bahasa Inggris. Blog itu dibangun oleh Yosef sejak tahun 2005 hingga kini. Setelah mengalami perkembangan pesat dan memiliki banyak pembaca, Yosef membuat blog nya berbayar per hari 1 dollar Amerika untuk berlangganan membaca artikelnya. Saat ini, blog miliki Yosef sudah berkembang di berbagai negara seperti New York, Tokyo, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Sydney, dan lainnya. 8. Iwan banaran: Website Informasi Otomotif Blogger Indonesia Iwan Banaran sebetulnya mengambil niche yang cukup spesifik. Namun, ini tak membuatnya terjebak pada topik bahasan yang itu-itu saja. Dia membagi kontennya dalam lima kategori utama, yaitu reviews, gosip motor, racing, modifikasi, dan galeri. Dengan banyaknya kategori, banyak juga tenaga yang dihabiskan untuk membuat konten. Tapi nampaknya ini bukan jadi masalah bagi blogger Indonesia kelahiran Tulungagung ini. Jika Anda sering mengunjungi blog Iwan, sudah jelas kalau ia sangat sering mengunggah konten baru. Bahkan, dalam sehari ia bisa menerbitkan dua sampai tiga artikel. Catatan inspirasi dari Iwan Banaran: Bedah niche Anda ke berbagai ide konten yang menarik. Buatlah konten secara terus-menerus dan konsisten. Semakin sering Anda membuat konten, semakin besar audiens kembali mengunjungi blog. Kembangkan konten ke berbagai platform, misalnya YouTube dan Instagram. Buat website toko online dengan tutorial WooCommerce sesuai dengan niche blog. referensi: 1. https://www.niagahoster.co.id/blog/blogger-indonesia/ 2. https://www.10thetop.com/2018/06/10-blogger-terkaya-di-indonesia.html 3. https://www.indoworx.com/niche-blog/ 4. https://blog.mizanstore.com/inilah-penulis-indonesia-dengan-followers-terbanyak-di-instagram/

Rabu, 09 Februari 2022

Cerita Cinta Tanpa Cinta: Antologi Dengan Sajian Utama "Showing Less Telling" yang Membuat Pembaca Melek Tentang Anasir-Anasir Cerita Roman

Awalnya antologi ini sempat saya anggurkan selama dua tahun. Pasalnya, referensi dan rujukan soal situs cerpen yang harus dibaca untuk memenuhi kurikulum kursus cerita pendek yang saya ikuti mengharuskan agar menelaah cerita pendek yang berbobot dan relevan dengan tema sosial. Ketika datang wacana tantangan untuk mendalami fiksi romance, saya pun kembali membuka antologi yang lama telah dianggurkan ini. 


Awalnya saya sempat sedikit meremehkan karya Rayya Indira dan pada koleganya yang dirilis pada tahun 2010 ini, lantaran banyak review merujuk karya ini berada pada nilai bintang tiga. Kenyataannya, adalah suatu kesalahan untuk manut begitu saja pada penilaian banyak orang tanpa membaca sendiri. Tatkala membuka kata pengantarnya, tak butuh waktu lama bagi saya untuk mengklaim bahwa sajian antologi ini menawarkan materi romansa dan adegan asmara yang dewasa dan berbobot. 

Saya ingin memulai membahasnya dari kata pengantar. Kata pengantar seringkali hadir dalam wujud dan fungsi yang beragam. Ada mukaddimah yang mengambil peran sebagai pekarangan 'rumah' dari sebuah buku, ada pula mukaddimah suatu buku yang memiliki peran vital sebagai pintu masuk yang harus dilalui dan diketuk setiap 'tamu' (baca: pembaca buku), sebelum berkunjung lebih jauh ke dalam rumah. Kebetulan, karya besutan Rayya Indira ini seolah meminta para pembaca untuk 'mengetuk pintu depan' terlebih dahulu sebelhm lama-lama bertamu.

 Dalam kata pengantarnya,Rayya Indira ingin membubuhkan pesan tersirat bahwa cinta seringkali hadir di dunia tak berdiri sendiri. Cinta turut dibangun dari kenangan, persahabatan, kesabaran, berbagi cita-cita, keterus terangan, perhatian, kejujuran, hingga kerelaan untuk melepaskan. Unsur-unsur penyusun cinta inilah yang kemudian didapuk menjadi benang merah yang menyatukan sepuluh cerita di dalam antologi ini. Selain itu, secara teknis penyajian, antologi "Cerita Cinta Tanpa Cinta" ini seolah memamerkan dirinya sebagai karya sastra yang disusun sempurna dsngan teknik "showing less telling", yang mana merupakan pendekatan lazim seorang penulis untuk mengajak pembaca turut terlibat dalam narasi. 

Dari sepuluh kisah cinta yang dihadirkan, beberapa diantaranya cukup relevan dengan kehidupan dunia perkantoran. Sebut saja kisah Boni dan Lumi yang menjadi cerita pertama, menampilkan skema kehidupan dua sejoli dalam rutinitas kantor yang membuat mereka berdua saling mengisi dengan tindakan-tindakan yang dinilai 'romantis' bagi kebanyakan orang. Kehidupan perkantoran ini pun seolah jadi tema sentral dalam antologi ini, dimana pada cerita "Apa Artinya Kerja Bila Tak Ada Rindu", para pembaca akan disajikan lika-liku perkantoran yang penuh hierarki dan birokrasi, dimana pemikiran kritis Aida selaku tokoh utama ditampilkan menjadi solusi untuk masalah semacam ini. 

Sebagai pengisi utama dan pemimpin antologi ini, Rayya mempersembahkan kisah Zita,  seorang maniak pengetahuan umum yang akhirnya berhasil membebaskan temannya dari potensi kekerasan seksual. Di lain cerita, yang sebenarnya berisi opini dan esai, dengan tajuk "Bukan Mau Biasa", Rayya seolah mendapat panggung podium raksasa untuk mengumumkan pada khalayak pembaca tentang situasi dan tokoh seperti apa yang mencirikan 'kisah romansa'. 

"Kebanyakan fiksi romansa memilih senja sebagai latarnya. Mungkin karena suasana pagi identik dengan orang bekerja. Tapi, rasanya kisah romansa takkan lengkap tanpa unsur senja", demikian tutur Rayya yang tercantum dalam halaman 92 buku ini. 

Sebagai kumpulan cerita dewasa yang melepaskan dirinya dari batas hitam dan putih, "Andai Amnesia" menampilkan kisah perselingkuhan terselubung, yang kemudian mencurahkan pesan moral kepada pembaca bahwa ada perbedaan yang besar tapi tak terlihat antara "Pernikahan" dan "Jatuh Cinta". Selain itu, ada pula kisah 'Ringan' yang memiliki uraian alur cerita tak sesederhana judulnya. Kedua kisah ini memiliki kesamaan ketika para tokoh utamanya dengan sengaja 'melupakan' suatu hal yang penting. Lupa ini kemudian memiliki konotasi ganda, yang bergantung pada situasi cerita masing-masing. 

Konotasi lupa dalam "Andai Amnesia" seolah menjadi 'obat bius penghilang rasa sakit', ketika Gita sang pelakon utama dalam cerita tersebut memih mengubur masa lalu kelamnya lalu melangkah maju bersama tunangannya. Sementara dalam kisah "Ringan", tindakan lupa itu cenderung berperan negatif sebagai faktor yang membuat Marin dan Irwin merealisasikan perpisahan mereka. 

Selain kisah-kisah yang telah disebutkan, setengah kisah lainnya merupakan sajian romansa yang memiliki alur yang cukup sulit dicerna dan jauh dari kata klise. Bila kebanyakan resensi merujuk nilai antologi ini di kisaran 60 dari 100, saya dengan cukup yakin mematok penilaian di kisaran 70-80, mengingat cerita-cerita cinta ini sejatinya memang semuanya diangkat dari kisah nyata. Justru karena suatu cerita memang nyata adanya, memang alurnya takkan selalu seindah yang biasa menjadi angan kita selepas membaca dongeng konvensional, ataupun semengerikan kisah tragis horror yang dibumbui dramatisasi sakit hati. 


#OneDayOnePost
#ReadingChallengeODOP10
#RCODOP10

Jumat, 01 Oktober 2021

Menakar Kembali Kadar Pemberi Obat Hati

Sebuah Catatan 2016 Kalau badan kita sakit, tentu datang ke dokter dan minta resep obat: entah generik atau antibiotik, atau hanya sekedar berobat alternatif dan minum jamu langsung diglek, dipijit, wes ewes ewes bablas sakitnee. Lalu bagaimana bila hati kita yang sakit? Bermacam pula solusinya ; dari mulai ibadah intensif, rajin mengaji, kebaktian, itu kalau secara pilihan idealnya. Sebagian orang mengambil pendekatan yang sekarang sudah cukup umum, dan bahkan diriku pun kadang berobat hati dengan cara demikian: Datangi motivator dan dengarkan seminarnya. Yes, obat hati itu bernama motivasi dibawakan praktisi yang bertajuk motivator: lalu terhibur oleh petuah petuah sakti mandraguna bikin hati ces pleng. Tapi sama seperti halnya obat antibiotik, jamu, dan lainnya, motivasi punya aturan pakai. TIDAK semua petuah sejuk harus dilahap mentah mentah: karena bisa berefek samping Racun Pikiran dan Racun Sosial; seperti halnya efek overdosis obat yang bikin komplikasi a b c d sakatonik abc. Boleh jadi para pembaca status saya ini mengira saya mengada ada; tapi ketahuilah banyak saya dan teman saya akhirny sempat luntang luntung bingung ga tahu tujuan hidup, karena telan mentah2 motivasi. Maka, seperti apakah motivasi yang beracun itu? Kalau menurut senior saya, Surya K, ada 3 ciri, dan saya tambahin 2 ciri2nya, menurut kajian beberapa buku pembanding: 1. ["Ngapain hari ini kerja jadi karyawan, kerja pada orang mending jadi pemimpin di bisnis sendiri"] : ya, ini paling beracun karena secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi orang BAHWA JADI KARYAWAN, BURUH adalah kerjaan rendah. Damn, memangnya seorang pemimpn bisnis bisa melakukan semuanya SENDIRI tanpa satu orangpun karyawan? Hahaha, motivator kaya gini musti dicemaskan, takutnya besok dia melongo karena kantornya kosong lantaran karywannya resign jadi pebisnis semua: berharap langsung jadi bos. 2. ["Ikutilah Passion kalian: untuk apa buang waktu di hal yang ga disukai?] : ini masih mending dari yang pertama, meski tetep tidak lucu; karena bisa jadi para penikmat motivasi seperti ini mendadak malas kuliah, resign dadakan, ga mau kerjain pekerjaan rumah tangga dengan alasan :"Ini BUKAN PASSION SAYA!!" Saya pun juga dulu berpikiran untuk melakukan HANYA APA YANG SAYA SUKAI DAN SENANGI,...yang kemudian pemikiran seperti ini menjadi polusi, adalah membuat orang lupa :"Ada begitu banyak hal yang harus saya lakukan dan saya capai: MESKIPUN BUKAN KEINGINAN SAYA". Itulah yang namanya OBLIGATION, (kewajiban)...memang membuka bisnis yang penuh trial dan error demi dapat sukses masa depan itu bagus, tap jangan disaat orang tua, saudara, anak2 dan istri sedang butuh keseriusan kita mengelola hidup , terutama saat masa terhimpit! Jangan juga begitu ketemu pelajaran ga disukai pas kuliah, langsung minta pindah kuliah, emak bapak yng bayar,....duh mau dikemanakan porsi kewajiban berbuat baik dan berkomitmen pada ortu, lantaran keegoisan karena suatu hal yang ga disukai? Orang sukses Yang jadi tokoh dunia abadi; mereka belajar menahan diri terhadap hal2 yang ga disukai dan tetap menikmati berbagai macam pelajaran yang kadang PAHIT.... 3. ["Ga usah pedulilkan kata orang lain, percaya dan ikuti kata hatimu"] : terdengar logis dan indah, tapi tetep masih GA LUCU; why? Mari simak lirik lagu gigi "Tuhan" : "....hati adalah cerminan....tempat PAHALA DAN DOSA BERPADUUU,...Huwooo". Jadi kata hati tak selalu berbuah kebaikan, kadang2 juga dorongan berbuat jahat. Percaya diri dan jadi diri sendiri itu hak setiap individu, dengan catatan bahwa sampah masyarakat pun percaya diri dan jadi diri mereka yang buruk bukan suatu yang mendatangkan manfaat. Jadi garing kan, apalagi kalau lihat tayangan tahanan KPK yang baru divonis, mereka cuma lempar senyum tanpa minta maaf, saking merasa :'inilah Diriku apa adanyaaa, akubangga jadi diriku sendiri". Pret, benarkah jadi diri sendiri adalah Kebal feedback dan input dari orang lain?? Huhahahaha, kalaumemang demikian, dokter mana laku soalnya tiap pasien yakin sakit adalah keadaan dirinya yang ideal. Awalnya, memang saya senang mengikutiapa kata hati, sampai ga dengerin orang lain: lalu otomatis orang lain kadang malas ngomong jujur sama saya. Memang suatu hal yang wajar, kalau ga bisa bahagiakan semua orang, tapi bukan berarti semua orang ga berhak didengarkan. Paling nggak, meskipun kita ga mengikuti kemauan semua orang, paling ga hadirkan sikap mendengr yang penuh simpati, jadi orang enak bicara apa adanya sama kita. Oke, 2 ciri yang lain, yang perlu diperhatikan dari seorang motivator: 4. [Motivator bertahun2, sumber pemasukan yang lain apa ya?]: memang tidak segaring 3 yng diatas, tapi meski udah puluhan tahun memotivasi, tetep kalau mendengar suatu wejangan dari motivator, perlu dilihat kapabilitas nya yang lain;terutama yang mendukung dia untuk mwmberi petuah macam2 . Hati hati, motivator yang hanya jago bicara pun ga sedikit,..dan ini yang kadang disindir sebagai "pengems gaya baru". Kok gue lancang merefer sebagai demikian? Karena kalau cuma omong doang dapat duit, pengemis juga bisa....dan yang menyebalkannya bila sudah pasang tarif ga masuk akal dan minta banyak tunjangan. Hueee, ngareeppp. .... 5. ["Munafik, kalau lu ga butuh duit"!] : terlepas dari konteks manapun, memang duit dibutuhkan pada banyak hal. Tapi banyak2 hal2 non duit yang menunjang performa seorang manusia, jadi cukup sempit impian bila HANYA memimpikan duit banyak karena masuk jurusan a, masuk pwrusahaan a, pilih hobi a. Jangan lupa bahwa kasus asusila ga langsung bikin tidur tenang meski gaji dan tunjangan melimpah, dan ga sedikit orang susah cari kerja karena gatahu mesti ngapain lagi selain nyari uang. John c. Maxwell:" berilah buruhmu cukup upah dan pujian: pujian tanpa upah tak membayar rekening listriknya, upah tanpa pujian tak segera menghilangkan kegalauan dan kebosanannya" Oke, sebelum mengikuti seminar motivasi apapun, jangan lupa baca aturan pakai. Buat saya, aturan pakai terbaik buatkehidupan mutlak dari Al quran dan Hadits: yang mencerahkan mana yang harus diikuti dan hanya SEKEDAR DIDENGAR.... Tentunya, penakaran ini kembali bisa dijalankan sesuai kemauan dan kekritisan masing-masing. Maklum, zaman sekarang banyak predator berkedok motivator juga. Memang masih jauh panggang dari api, agar bisa menemukan sosok-sosok yang bisa membangun jiwa secara utuh di nusantara ini. Namun, setidaknya kita punya bekal untuk meilah lebih jauh. [SOURCE: 1. Surya kresnanda, Motivasi menyesatkan 2. JOHN C. MAXWELL, Maxwell Daily reader 3. Toxic leadership, Martin ]

Senin, 20 September 2021

DIA DEL LOS MUERTOS

Seni Merayakan Kematian Dengan Bahagia ala Meksiko *Briantono Raharjo Mari kita mulai bicara soal merayakan kematian dengan merawat ingatan tentang tahun 2005. Barangkali, sebagian dari kita para pecinta musik akan terkenang dengan lagu "Welcome to the Black Parade", yang dipopulerkan oleh para punggawa musik cadas emosional My Chemical Romance. Lagu yang menceritakan tentang seorang pria sekarat yang terkenang akan pesan ayahnya ini merupakan tembang tentang kematian yang sepatutnya dirayakan. Jika anda sempatkan mencari dan menikmati kembali klip video asli lagu ini di Youtube, adegan parade para mayat ini merupakan gambaran megahnya sambutan setelah seseorang dicabut nyawanya. Meskipun konsep video dari lagu cadas yang turut menjadi judul album tersukses My Chemical Romance ini terbilang jauh dari budaya ketimuran, nyatanya tembang ini bertahan di posisi puncak berminggu-minggu. Barangkali, sebagian dari kita terkesima sambil bertanya-tanya; "Apa sepatutnya kematian seseorang yang menimbulkan duka dan luka, harus dirayakan dengan suka cita?" Kematian memang tak dipungkiri adalah kepastian takdir Illahi bagi setiap makhluk yang bernyawa. Rasa kehilangan pun adalah suatu hal yang rasional dalam siklus emosi setiap makhluk hidup. Bagi para penduduk Nusantara seperti kita , setelah keluarga dan kerabat yang dikasihi meninggalkan dunia untuk selamanya, biasanya momentum mengenang perjalanan hidup mereka terwakili oleh takziah, tahlilan,ngaben, saur matua, hingga rambu solo. Dalam ritual-ritual yang telah menjadi warna kehidupan masyarakat kita berabad-abad tersebut, prosesi mengenang kematian adalah siklus emosi Namun, lagu 'welcome to the black parade' yang sangat populer ini bukan mewakili prosesi-prosesi kultural di Nusantara. Jika sempat berselancar ke internet dengan kata kunci 'perayaan kematian bangsa-bangsa pribumi Amerika', maka akan ditemukan salah satu budaya di Amerika Latin yang paling tepat digambarkan lewat tembang tersukses My Chemical Romance itu. Adalah Dia De Los Muertos, atau disebut juga dengan hari orang mati. Hari istimewa di Meksiko yang jatuh di tanggal 1 dan 2 November sebagai hari libur adalah merupakan ajang merayakan siklus tutup usia. Biasanya, kita bahagia bila bertambah usia. Namun, Dia De Los Muertos adalah keunikan bangsa Meksiko yang mewakili persepsi berbeda dan autentik mengenai hidup setelah wafat. Tutup usia juga sepatutnya disemarakkan, karena merupakan perjalanan jauh menuju akhirat. Sekilas, Dia De Los Muertos nyaris serupa dengan perayaan Helloween yang sudah mendunia. Tapi, perayaan ini lebih erat terkait dengan masyarakat Amerika Latin. Dia De Los Muertos adalah murni festival seni pesta kostum, yang mengajak seluruh lapisan masyarakat, baik tua maupun muda, untuk berkumpul, mengenangm dan mendoakan mereka yang telah tiada. Maka, jangan bayangkan bahwa pagelaran ini berisi horor dan hal-hal menegangkan. Keceriaan menyambut ajal selalu menjadi tema utama dari ajang ini. Bagi bangsa Meksiko, meratapi kematian adalah hal yang mendekati tabu, meskipun wajar. Jika menelisik lebih jauh, budaya ini diwarisi turun temurun dari pemikiran bangsa Aztek kuno sejak 2,500 sampai 3000 tahun silam, bahwa kematian adalah sebuah cara menghargai hidup. Prosesi ini merupakan adapatasi dari upacara adat Aztec untuk memuliakan Dewi Kematian Mictecacihuatl serta menyajikan sesajen untuk para arwah. Adat turun-termurn ini kemudian terpapar beberapa pengaruh dari bangsa Eropa, salah satunya Spanyol -penjajah utama dataran Meksiko-, sehingga tiradisi menyembah patung dewa-dewi dilebur dengan ritual agama Kristen untuk mengagungkan turut mengagungkan Maka, di saat Penduduk Indonesia sendiri menjalankan tahlilan 7, 40, 100,atau bahkan 1000 hari, Dia Del Los Muertes tak terpaku pada durasi yang lama ataupun orang tertentu. Hanya 2 hari, 1-2 November setiap tahun, sebagaimana ditetapkan sebagai libur oleh pemerintah setempat. Adapun penetapan Die Del Los Muertos ini diinisiasi sejak tahun 1960. Inti acara dari pergelaran mengenang maut ini terbagi 2 sesi dalam 2 hari. Hari pertama yang bertajuk Dia De Los Inocentes atau Dia De Los Angelitos, dikhususkan bagi setiap penduduk Meksiko yang meninggal di usia belia hingga dewasa muda. Jika mengikuti langsung di lapangan, kita akan takjub dengan ornamen mainan, susu, dan permen kesukaan di pemakaman anak-anak. Perayaan hari kedua, Dia De Los Difuntos mungkin tak terlalu sesuai atau bahkan berbeda dengan adat ketimuran. Pasalnya, hari kedua yang dikhususkan untuk mengenang para orang dewasa dan manula yang wafat, akan tersaji botol-botol minuman keras dan aneka kudapan. Persamaan dari penyelenggaran kedua hari ini, ialah: 1. Semua peserta festival akan memakan kue-kue yang dipersiapkan khusus untuk upacara berupa Pan De Muertos, roti manis yang dibubuhi gula dan disusun dengan corak tengkorak, serta minuman es teh ala Jamaika. tengkorak. Perjamuan kudapan manis ini dimaksudkan untuk mengenang kepribadian dan sikap para almarhum semasa hidup. 2. Pergelaran sastra tengkorak, dimana sejumlah peserta yang piawai dalam dunia literasi unjuk bakat seni puisi, drama, dan mendongeng. Semua peserta yang tampil akan mengenakan kostum seperti hantu, zombie, atau tengkorak dengan ornamen unik. Sesi yang cukup penting ini dimaksudkan sebagai ekspresi perasaan akan doa dan harapan terhadap mereka yang telah tiada, Adapun festival kebudayaan ini turut mendapatkan penambahan ritual dan aktivitas lainnya, tergantung dari tempat perayaannya. Sebagai contoh, di kota Patzcuaro, sajian makan bersama untuk hari peringatan pertama diiringi dengan lilin dan pohon rosario untuk pengangungan Bunda Maria, serta pesta dansa di tempat-tempat publik. Tujuannya adalah untuk mensyukuri kehidupan yang telah dilalui anak yang telah meninggal, serta menguatkan dan memberi harapan pada orang tua ynag ditinggalkan. Pada hari keduanya, segenap penduduk Patzcuaro akan menyalakan lilin di atas perahu berlayar sayap yang disebut Mariposa untuk pergi ke Janitzio, sebuah pulau di tengah danau demi menghidupkan kembali kenangan tentang para arwah. Perayaan kebudayaan ini kemudian mendapatkan puncak perhatian mancanegara di luar Amerika latin, setelah diperkenalkan melalui pembukaan film serial James Bond berjudul Specter pada tahun 2015. Momentum ini kemduian dimanfaatkan oleh pemerintah Meksiko setahun kemudian, lewat perayaan massal di lokasi Paseo De La Reforma dan Centro Historico, hingga diikuti oleh 250,000 peserta. Perayaan kebudayaan ini pun turut menjadi tema utama dari film Disney yang rilis tahun 2017, yang berjudul Coco. Dengan meninjau kemeriahan perayaan kematian ini, saya jadi berpikir: "Mungkinkah ritual semacam Saur Matua, Rambu Solok, hingga Ngaben bisa menjadi inspirasi kita untuk mengupas kembali cara menguatkan harapan setelah mengalami dukacita kehilangan?" (Jakarta, 11 Juni 2020) Referensi: 1. Society, National Geographic (Oktober 17, 2012). "Dia de los Muertos". National Geographic Society. Diunduh 9 Juni 2020 https://www.nationalgeographic.org/media/dia-de-los-muertos/ 2. 'Festival Lokal untuk Para Mendiang". UNESCO. Diarsipkan tanggal 31 Oktober 2014, https://en.wikipedia.org/wiki/Day_of_the_Dead diunduh tanggal 10 Juni 2020, 3. "Dia de los Muertos". El Museo del Barrio. Diarsipkan UNESCO 31 Oktober 2015, https://web.archive.org/…/20151…/http://www.elmuseo.org/dod/, diunduh tanggal 11 Juni 2020 4. Tirto.Id, 2019. Upacara Pemakaman Unik di Indonesia. https://tirto.id/upacara-pemakaman-unik-di-indonesia-ngaben…, diakses 11 Juni 2020

Rabu, 14 April 2021

ADA KALANYA

ADA KALANYA
                                                              OLEH : Briantono Raharjo
Ada kalanya kita harus tahu rasanya tersakiti
Dan juga bagaimana pedihnya terkhianati
Tuk bisa menghargai arti kepercayaan sejati

Ada waktunya kita harus terjerembab penuh lebam
Karena terbakar oleh amarah penuh dendam
Agar kelak kita tahu betapa membinasakannya rasa dendam

Akan datang pula saat kita tertimpa himpitan
Dan caci maki dan hina datang menjadi tekanan
Tuk paham betapa penting nilai hidup penuh kebersamaan

Kan datang pula masa , dimana kita harus diuji dan dicoba
Dengan betapa sulitnya untuk mendengar melihat dan meraba
Untuk tahu betapa tak berdaya kita dimataNya sebagai sang hamba

Karenanya, apapun episode yang akan menerpa dan datang
Bukanlah rasa sakit dan pedihnya yang pantas untuk dikenang
Melainkan pelajarannya yang harus diresapi dan dipegang.

Seringkali kita mengira, kehidupan adalah ladang nestapa
Karena kita sering melihat dunia dari 1 sisi, hingga terlupa
Bahwa ia tak akan membiarkan hambaNya hidup penuh hampa

Bila mereka selalu mengingatNya, dan menjadikanNya tumpuan
Untuk tetap teguh menghadapi marahabahaya dan cobaan
Agar kelak masa depan nan bercahaya kan selalu penuh harapan...

(TRIBUTE TO WISUDAWAN APRIL 2014 )

Rabu, 16 September 2020

Dipta Sang Jari Mahir Tanpa Gitar

 #NAD Belajar

#NAD_BeasiswaRBJ

Selayang Pandang tentang Dypta Rizky Rahadian:

Ahli Akrobat Senar Berbekal Pinjaman Teman

Pertama kali saya berjumpa dengan pria yang lahir di bulan September 30 tahun silam ini adalah ketika sedang memasuki tahap kaderisasi awal komunitas apresiasi musik kampus. Dia adalah teman dari teman bimbel saya saat SMA, yang bernama Reza. Sore di kala Jumat saat berpapasan pertama kali dengannya 12 tahun lalu, sama sekali tak terlihat bahwa dia adalah gitaris dengan kemampuan mencengangkan. Karena kebutuhan ospek komunitas saat itu cukup banyak , saya pun dititipkan Reza dan Dypta untuk membeli barang dan alat kebutuhan kaderisasi di hari Sabtu lantaran membawa mobil pribadi. Sayangnya, kesan saya sebagai orang yang tepat waktu di mata mereka cukup hancur di hari pertama ospek komunitas musik, lantaran telat membawa barang-barang keperluan tersebab oleh macet di sepanjang Jalan Haji Juanda Bandung. Untungnya, Dypta cukup pemaaf, meski Reza sedikit kesal karena mereka mendapat konsekuensi dari para panita atas keterlambatan properti tersebut.

Setelah ospek komunitas musik berjalan 5 minggu, saya mulai terpikir mengajak Dypta bergabung dalam band demi 'tugas akhir' dari masa penjajakan: menyelenggarakan panggung dimana semua peserta kaderisasi harus unjuk gigi dan unjuk tenaga (baca: bantu-bantu bikin acara, tenda, dekorasi dan sound system). Band yang kami susun untuk acara tugas akhir ospek komunitas musik itu terdiri atas lima orang: saya selaku penggebuk drum, Rizky sebagai juru vokal, Luqman memegang peran sebagai pembetot senar tebal, serta Kurnia dan Dypta sebagai duo gitaris. Kemudian kami menamai band ini dengan nama Mathemusic. Tak hanya sekedar manggung, setiap unit penampil ditugaskan membuat lagu sendiri untuk dibawakan. Kebetulan, saat itu Luqman sudah mempersiapkan cetak biru lagu hasil gubahan senar tebalnya. Ketika Dypta dan Kurnia diminta mengisi bagian gitar, Dypta pun melancarkan jurus-jurus sulap di atas senar yang memukau kami semua saat itu. Jari-jari pria dengan tinggi sekitar 162 cm itu begitu gesit berdansa sepanjang fret gitar mengikuti irama dan nada gubahan cetak mentah lagu yang kemudian kami beri judul "Must Goes On".


Selain mulai terlihat jelas kemampuan jarinya berlari kencang di sekujur leher gitar, Dypta dengan sukarela masuk menjadi anggota unit logistik persiapan acara konser tersebut, yang dipimpin oleh saya. . Tak tanggung-tanggung, 2 minggu sebelum acara, ia telah mempersiapkan seperangkat efek gitar yang cukup lengkap untuk menunjang persiapan logistik acara. Usut punya usut, Dypta ternyata tidak punya gitar di rumahnya, meski jarinya selihai Steve Vai, musisi kaliber dunia, dikala kami mengikuti sesi simulasi konser di sebuah studio. Langsung saja ia didapuk oleh unit acara konser sebagai gitaris kedua dalam sesi kolaborasi bersama puluhan musisi lainnya dalam sesi penutup.

Tak sampai setahun, saya memutuskan keluar dari band tersebab oleh perubahan selera pribadi. Kendati demikian, nafsu bermain musik saya tetap masih kental, sehingga kembali mengajak Dypta untuk bermain membawakan lagu-lagu system of a down bersama dua personil baru. Hanya saja, diam-diam Dypta sudah dipinang band senior kampus untuk membawakan burgerkill untuk suatu acara konser akhir pekan. Maka, saya dan dua orang personil lain meminta ketegasan Dypta untuk memilih. Nyatanya dia memilih untuk latihan bersama keduanya. Karena dia pun komitmen membuktikan dirinya datang latihan, kami pun sepakat meredam konflik sepele tersebut. Satu hal yang masih sulit terjangkau nalar saya: Dypta yang saat itu hanya memiliki gitar kopong dengan jumlah 12 fret di rumahnya ternyata sanggup mengulik lagu 'Darah Hitam Kebencian' yang akan dibawakan band senior dalam kurun waktu seminggu tanpa cela! Begitu halnya pula saat staminanya tak kunjung tergerus di kala kami merapal ulang tembang 'Toxicity' dalam kurun waktu dua hari. Hebatnya pula, dia pun masih menyempatkan mencetak nilai cukup bagus di ujian fisika yang jatuh bertepatan di hari penampilan kami itu.

Dypta menilai ada satu perbedaan mencolok antara pengalaman-pengalaman manggung sebelumnya dan pada kesempatan akhir pekan kali itu, bahwa kemampuan menggebuk drum saya lebih bertenaga dan stabil. Kendati ia cukup tegas membagi peran dan teknik di kala sesi latihan, Dypta yang merupakan alumni teknik fisika ini kerap menularkan semangat optimis pada rekan-rekan bermain musiknya. Di lain hari Dypta mempercayakan saya untuk masuk dalam grup demi memenuhi ambisinya membawakan nomor-nomor progresif dari Dream Theater (DT).

"Coba kamu lihat DVD konsernya DT 'Chaos In Motion' deh, Bri. Aing takjub pisan mereka bawain lagu 'Forsaken', soundnya gak main-main!" cetus Dypta suatu waktu mengulas ambisinya tentang DT. Tentu saja, tembang 'Forsaken' yang membuat dia terpukau setengah mati itu pun masuk dalam daftar andalan kami untuk meramaikan acara pentas penerimaan mahasiswa baru. Tanpa disangka, beberapa bulan selepas sukses manggung di pentas itu, Dypta bersama dengan Lukman kembali mengajak saya gabung kembali dengan Mathemusic. Tapi saya tak langsung memenuhi ajakan mereka untuk jadi drummer permanen. Pertama kali saya keluar dari band tersebut terdorong masalah kepercayaan pemakaian duit, dan kepribadian Dypta sendiri di luar hobi bermusik ternyata cukup mengkhawatirkan.

Apa pasal?

Terus terang, saya sempat punya konflik dengan Dypta pada tahun 2010. Pasalnya, ketika saya pernah hampir putus dengan mantan pertama, pesan-pesan singkat dari Dypta mampir di ponsel mantanku itu. Isinya cukup mencerminkan tingkah laku orang yang sedang menjalankan 'manuver' spesial. Satu hal yang membuat cukup was-was, Dypta juga baru putus belum ada sebulan dengan mantannya saat itu.

"Ya Tuhan, Dypta. Di luar sana, ternyata kamu bukan hanya pemain gitar ulung. Kamu juga pemain hati yang ulung."

Maka, setelah sesi manggung bersama Mathemusic berjalan dengan cukup sukses untuk mengisi acara seminar di tahun 2011, saya berkilah bahwa visi bermusik selama ini tak satu jalur dengan mereka. Hal ini yang saya pakai sebagai alasan kuat untuk tidak kembali bergabung bersama band yang dibentuk bersama di tahun 2008 itu, sambil memendam fakta kelam itu. Karena sifat Dypta selalu terlihat baik di depan mata saya, rasanya tak enak untuk terus terang tentang kekesalan hati sebagai alasan utama tak kembali bergabung. Mungkin, karena saat itu saya berprinsip berusaha menjaga image baik dari teman-teman yang diakrabi. Entah kalau sekarang kami kembali memiliki konflik seperti itu.

Tahun 2012, Dypta lulus lebih cepat dari saya. Dia memang jenius pula dalam studi, sehingga memperoleh gelar cum laude. Di suatu kesempatan manggung sebelum dia wisuda pada bulan Oktober 2012, saya sempatkan mengobrol panjang lebar dengannya tentang perjalanan studi dan hobi selama di kampus. Dypta pun mengakui banyak hal, termasuk soal kebangkitan Bapaknya setelah diputuskan hak kerja, serta mantan yang memutuskannya di tahun 2010 tersebab oleh masalah (maaf) keperawanan. Lalu saya pun turut berterus terang tentang 'kekesalan' yang dipendam saat 2010 itu. Ia pun meminta maaf juga. Lalu kami pun berpisah jalan setelah wisuda Oktober 2012 tiba.

Waktu pecah, Dypta menikah dua tahun setelah giliran saya naik pelaminan. Hal yang tak berubah darinya hingga menjadi seorang bapak dari seorang anak gadis, dia masih khusyuk merapal nada-nada dalam gitar. Bedanya, dia sekarang sudah memiliki sendiri gitar Les Paul di rumahnya. Melihat kemilau gitar yang ditampilkan dalam laman instagram miliknya, saya kembali teringat akan ajakan dia untuk pentas di awal tahun 2012 dengan membawakan lagu Dragonforce yang belum kejadian sampai sekarang.

Hingga saat liputan singkat tentang Dypta ini dirampungkan, saya masih menyempatkan melatih telinga supaya beradaptasi dengan tembang-tembang gahar milik band power metal Dragonforce yang berasal dari Finlandia itu. Mudah-mudahan, teknologi jarak jauh serta aplikasi video bisa merealisasikan mimpi ini, terutama di saat pandemi yang mengharuskan kita menyusun jarak demi keselamatan.

(Jakarta, 16 September 2020)

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...