Sabtu, 02 November 2019

Bagaimana Cerita Ini Mencapai Penghujungnya


(Cerita ini merupakan sebuah konklusi)

Pada zaman dahulu, Nuh Alaihissalam memimpin rombongan hewan untuk bersama-sama memasuki bahtera raksasanya. Setiap jenis hewan yang memasuki bahtera tersebut memiliki pasangannya masing-masing. Di setiap wilayah, para hewan berkembang biak dan saling merangkul hingga lahirlah spesies-spesies baru yang menghuni muka bumi. 

Namun, manusia-manusia pengikut Nuh tak lantas mengikuti titahnya. Setiap hari, mereka berkeluh kesah dan semakin tamak, hingga dihanguskannya seisi hutan. Ladang-ladang mereka dirikan, hewan mereka bantai. Kendati demikian, masih ada sosok manusia yang sudi untuk menjaga kekayaan alam ini. Sayang, nyawa mereka sering berakhir mengenaskan ditangan para manusia tamak dan lalim. 

"Jadi, begitukah kisah awal mula hubungan pahit dan manis antara manusia dan alam, buaya kecil?" tanya Yoka hendak mengulas cerita yang disampaikan. 

"Kurang lebih demikian yang disampaikan oleh kakekku. Tepat sebelum ia diburu dan dikuliti manusia atas nama perubahan zaman." jawab buaya kecil bernama Dodon yang kini satu sekoci dengan rombongan Komu. 

"Aku terkejut saat kau sebutkan nama ayahku, Don. Jadi, teman baik yang dimaksud ayahku rupanya adalah ayahmu."

"Ya, maafkan aku yang memanggilmu dengan nama ayahmu. Aku turut berduka atas kepergiannya."

"Terima kasih, Don. Mungkin beliau sudah tenang di alam sana. Bolehkah kami minya dirimu untuk menunjukkan jalan menuju markasmu?"

"Tentu, tapi kusarankan kalian tidak bermalam di tempatku. Beberapa kali, ayahku kelabakan dengan para buaya yang berkhianat lantaran bersekutu dengan klan lain, lalu menghabiskan makanan-makanan kami."

"Wah, ternyata di rawa sesejuk ini, suasana hati tetap panas ya. Mudah-mudahan, mereka bisa bersatu karena tahu akan panas yang lebih dahsyat oleh ulah tangan manusia."

"Ya. Tiap malam aku berdoa, meskipun setiap hari ada saja pengkhianat yang muncul dan membuat berang. Sampai-sampai, aku berenang menyelamatkan diri lalu hampir terkurung dalam lambung ikan arwana."

"Kalau bukan karena elang jambul itu sedang lapar, mungkin kami tersesat hilang arah."


Tak kurang dari puluhan kilo dikelilingi bukit-bukit terjal, rombongan Komu dan para iguana tiba di markas Saghot, pemimpin klan buaya dan ayahnya Dodon. Berkat arahan dan ancer-ancer dari buaya muda itu, mereka bisa melintasi rawa yang panjang itu Terlihat sang pemimpin buaya dikawal oleh selusin ajudan yang merapat di sekitar rawa yang bergelembung. Pemimpin klan itu mengamati dengan seksama kombinasi hewan yang ada dalam rombongan Komu. Matanya kemudian menatap lama Yoka. Buaya besar itu memiliki sisik yang padat, sorot mata tajam, rahang lebar, dan gigi-gigi pendek yang tajam. Sebagai pemimpin klan, Komu dan rombongan merasakan wibawa yang menekan dari reptil raksasa yang terlihat pendiam itu.

"Terima kasih telah menyelamatkan putraku.  Jadi, kau putra Tigor, sahabat lamaku? Aku turut bersedih atas kepergian ayah dan ibumu, Nak.

"Terima kasih, tuan Saghot. Aku cukup terkejut saat Dodon menyebutkan nama ayahku. Sekarang aku mulai ingat, bahwa dulu ayah pernah beberapa kali menemuimu"

"Delapan tahun memang waktu yang tak terlalu lama. Jujur, aku merasa kehilangan salah satu teman setiaku dan kini hutan rimba semakin berubah. Hanya di daerah rawa berkabut ini kami para buaya bisa bertahan dari terjangan manusia. Mereka belum menjamah tempat ini, namun makanan semakin habis. Itulah mengapa kaum kami tidak punya pilihan selain baku hantam dengan lima klan lainnya, demi sesuap makanan. "

"Jadi, memang di rawa ini terjadi perebutan makanan yang cukup ketat ya, tuan Saghot. Maka itukah sebabnya mengapa tempat ini tak cocok untuk kami berdiam?"

"Memangnya kalian mau jadi bulan-bulanan klan lain? Biasanya, setelah setiap sore kami berburu, pasti ada anggota klan yang luka bahkan tewas. Hanya lima ekor rusa atau seekor kerbau dalam sehari yang tampak di sekitar rawa.  Aku akan utus beberapa orang untuk mengantarmu ke habitat dimana kalian bisa tinggal untuk waktu singkat. Tapi, kalian harus terima dengan apapun yang akan kalian dapati di tempat baru. Diantara enam klan ini, termasuk kami, tak ada yang suka berkubang dalam air asin."

Kemudian rombongan Komu dan hewan lainnya diantar oleh para ajudan menuju tempat persinggahan mereka sementara. Sebuah perbatasan antara rawa dengan pantai, dimana terdapat banyak pohon bakau dan kelapa. Rombongan terkesima dengan penampakan teluk yang cukup indah, udara yang sedikit berkabut,. Tapi, ada yang membuat Komu, Mara,  dan Neka terkesima.

"Hei, kau sudah lama tinggal di sini? Siapa namamu? Kami pendatang baru.". timpal Komu memperkenalkan diri

"Halo, iguana berwarga gelap, apa rasanya memanjat kelapa? Apa kami bisa belajar darimu?" sahut Neka memanggil seekor iguana bongsor berwarna coklat gelap.

Tak lama, Rudra datang dari suatu tempat yang jauh. Ia datang dengan paruh berdarah. Rupanya, ia baru memberi pelajaran kepada sang 'ayah tiri paksa', meski tak sampai menghabisi nyawanya. Yoka tertegun dengan penampakan pantai, lalu melihat sekeliling. Banyak burung camar tampak menggugah selera mata, beserta beberapa kepiting yang sesekali merapat ke teluk. Lantaran mereka banyak melihat hewan-hewan serupa mereka di pesisir, mulailah mereka menyusun kehidupan baru.


TAMAT




#Tantangan8eps6
#SambunganSabtu
#OneDayOnePost2019
#Odopbatch7
#CeritaBersambung
#Ekologi

4 komentar:

  1. Sedih, alam rusak karena tangan manusia

    BalasHapus
  2. Ya, tapi kadang kita harus percaya bahwa di suatu tempat pasti ada harapan.

    BalasHapus
  3. Keren... Akhir yang bikin nyesek...hiks..hiks..

    Padahal perintah Tuhan. Makmurkan BumiKu. Nyatanya, manusialah sumber perusakan

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...