Tetapi, saat berkunjung ke rumah paman dari ayah yang sudah uzur, rasanya memang trauma kehilangan anak adalah sebuah duka yang sangat mendalam. Paman dari ayah, meskipun telah uzur dengan dua anak berusia kepala tiga yang sudah berumah tangga, kerap mengingat bagaimana sedihnya kehilangan putri sulung berpuluh-puluh tahun silam. Istrinya, yang sudah seperti tante sendiri bagi keluarga bapakku, bercerita bahwa beberapa kali paman ayah mengigau tentang mendiang putri sulungnya yang wafat karena sakit.
Mengingat cerita itu, saya baru mulai merasakannya saat putra mengalami muntah-muntah hebat beberapa bulan silam. Tepatnya di suatu malam, beberapa hari setelah saya dan keluarga pulang dari tegal. Siklus muntah yang terjadi hingga jam dua pagi, meski telah diminumkam obat itu membuat saya dan istri tak bisa tidur. Rasanya, hati baru tenang kalau sudah ada dokter yang bisa dihubungi, lantaran setiap susu yang diminumkan padanya selalu dimuntahkan. Untungnya, anak saya yang baru berumur setahun pas itu bersemangat menghabiskan segelas air putih. Hal itu yang membuat saya bisa menyempatkan tidur satu setengah jam sebelum adzan shubuh.
Mengenai puncak kecemasan dan kekhawatiran orangtua terhadap kesehatan anak, saya teringat salah satu film garapan George Miller yang ditonton saat masih SD. Saya tak sengaja menyimaknya di salah satu stasiun TV, lantaran filmnya mengentengahkan bocah yang berumur nyaris sebaya saat itu. Meski saya masih anak-anak, entah kecemasan timbul karena menyimak 'teman sebaya' mengalami sakit yang parah. Mungkin karena saat itu, seorang Brian acapkali mengunjungi rumah sakit demi fisioterapi.
George Miller, sutradara yang kini tersohor berkat karya Mad Max dan Fury Road, menggarap film drama mencengangkan yang dicuplik dari kisah nyata yang terjadi sebelum tahun 1990, bertajuk Lorenzo Oil. Mungkin bila disimak sementara, judulnya menyiratkan bahwa Lorenzo-lah yang menemukan sebuah minyak aneh. Padahal, isi filmnya menyorot tentang ikhtiar sebuah keluarga menyusun rencana penyembuhan bagi anak mereka, Lorenzo yang sakit parah.
Film dari Lorenzo Oil memotret kisah Augusto Ozon ( diperankan aktor Nick Nolte) dan Michaela Odone ( diperankan oleh Susan Sarandon) menjalani kehidupan berpindah dari sebuah kepulauan menuju Amerika Serikat bersama putra mereka, Lorenzo (diperankan Peter Dustinov). Awalnya, Lorenzo yang masih berusia tujuh tahun itu merupakan anak yang periang dan lincah, saat masih menetap di pulau Comoro. Segala hal tentang Lorenzo berubah saat keluarga kecil ini pindah karena mutasi ke Amerika Serikat.
Lorenzo yang begitu ceria tiba-tiba sering kehilangan pendengarannya, mengalami kekakuan syaraf, hingga beberapa kali pingsan. Dengan hati yang kalut, Augusto dan Michael memeriksakan putra kecilnya ke dokter. Hasil diagnosa ternyata membuat separuh dunia Augusto dan Michaela serasa runtuh. Lorenzo dinyatakan mengidap adrenoleukodystopia, penyakit langka yang menjangkiti otaknya.
Augusto dan Michaela pun bergegas mencari dokter-dokter terbaik seantero negeri untuk pemulihan bocah kecil mereka. Diagnosa terakhir yang menyatakan bahwa usia anak mereka tak lebih dari dua tahun lagi jika tak ada pengobatan, membuat mereka serasa berpacu dengan waktu. Sayangnya, dokter-dokter, para ilmuwan, dan ahli biologi yang mereka temui memilih untuk angkat tangan untuk sindrom ALD.
Tak ingin menyerah tanpa usaha, keluarga Odone tetap berusaha merumuskan ikhtiar terbaik demi kesembuhan anak mereka, hingga mencoba mempelajari prinsip-prinsip biologi dan genetika hewan. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah kesembuhan Lorenzo semata. Sekian banyak uang pun mereka relakan demi menyambangi para peneliti genetika, anatomi, hingga membuatkan sebuah simposium bagi para peneliti untuk mencari pengobatan terbaik. Rasanya, mungkin musibah yang langka pun tak menutup kemungkinan untuk dipulihkan dengan ikhtiar yang 'langka' pula. Untungnya, seorang profesor bernama Gus Nikolaid begitu tulus memberikan bantuan finansial, moral, dan intelektual kepada keluarga kecil ini, disaat sebagian besar ahli dan peneliti yang disambangi hanya memberikan pendapat pesimis.
Titik terang penyembuhan mulai terlihat saat akar masalah penyakit ditemukan dan percobaan kimia rumit untuk memodifikasi minyak nabati dirancang. Adalah Don Sudeby, seorang profesor kimia senior, mengusahakan untuk mengurai rantai asam lemak jenuh yang bertebaran di otak Lorenzo dengan ramuan minyak zaitun dan rapeseed yang terproses lewat distilasi. Minyak ini kemudian diujicobakan sebagai suplemen bagi makanan untuk Lorenzo.
Meskipun Lorenzo tak serta merta sembuh, minyak distilasi ini kemudian sukses menghambat pertumbuhan jaringan lemak jenuh tidak stabil dalam otak anak kecil itu. Selubung myelin dalam syaraf Lorenzo yang terlanjur rusak selama menderita penyakit masih membutuhkan upaya penyembuhan yang lebih. Lorenzo belum bisa bergerak maksimal kendati otaknya sudah bisa merangsang lebih baik.
Usaha Augusto dan Michaela kini beralih untuk mencari teknologi biomedis untuk penyembuhan syaraf putra mereka. Yang patut disyukuri, situasi sudah lebih membaik. Lorenzo sudah melampaui vonis maut yang telah diprediksi oleh dokter, hingga pada umur empat belas tahun sang bocah kembali sembuh secara total. Lorenzo remaja yang sudah pulih, mulai kembali menunjukkan bakat-bakat dan keahlian seperti orang biasa pada umumnya.
Ikhtiar orang tua yang membuat perubahan bagi anaknya ini kemudian tercatat sebagai sejarah kegemilangan di dalam dunia kimia dan farmasi Amerika Serikat. Minyak distilasi terproses itu, yang dirujuk dengan nama minyak lorenzo, telah menjelma menjadi cahaya benderang diantara gulita manusia dalam memahami manuver lemak-lemak jahat yang misterius.
Selain tentang ikhtiar orang tua yang terdorong oleh kecemasan, film ini menyiratkan pesan agar menjaga optimisme dalam memecahkan misteri-misteri yang ada di balik musibah. Bisa jadi, ada pintu-pintu solusi yang menjadi cara ilmiah yang baru. Berkembangnya pengetahuan yang baru, tidak terlepas dari peran antusiasme dan keterdesakan manusia untuk memecahkan masalah.
Berkaitan dengan penolakan yang tergambar dari para ahli yang ada dalam film, terkadang menjadi sesuatu hal yang lumrah meskipun menyebalkan. Saat orang merasakan sesuatu hal yang diluar jangkauan pengetahuan dan pengalamannya, biasanya mendorong kecemasan dan pesimisme kerap mengepung pikiran. Memang patut diakui, bahwa segala sesuatu yang asing diluar penalaran sebagai menusia seringkali menjadi sebab utama segala kecemasan.
Dalam sejarah, reaksi manusia begitu beragam dalam menyikapi sesuatu yang belum dikenalnya. Pada zaman ketika penduduk London masih carut-marut dalam menafsirkan sumber penyakit, seorang dokter mencetuskan teori penyebaran air lewat penyakit. Masyarakat saat itu hanya menganggap teorinya takhayul, lantaran telah lama mereka terkungkung pada pemikiran bahwa sumber penyakit adalah miasma, atau pergerakan kuman dari udara.
Kemungkinan besar, yang dirasakan oleh para dokter saat menjumpai penyakit otak yang langka pertama kali, adalah suatu dimensi diluar pengalaman dan penalaran tentang penyakit. Akan tetapi, Allah Maha Adil. Kalaupun penyembuhannya tidak terletak pada profesi dan pengetahuan tertentu, bisa jadi obat yang sejati terletak pada susunan makanan ataupun substansi tubuh yang perlu diperbaharui, terlepas apakah penyembuhan tersebut melibatkan peran dokter atau bukan.
Sekali lagi, tayangan ini kembali menekankan mujizat cinta tanpa syarat dari kedua orang tua yang terus berharap. Jika bisa digambarkan lebih detil, pendekatan yang dilakukan Augusto dan Michaela hampir serupa dengan kisah seorang wanita suku indian yang melihat bayinya diterkam seekor elang gunung. Elang gunung itu terus melesat hingga puncak tebing, meskipun wanita indian tersebut dibantu oleh sepasukan warga indian yang lain. Para pasukan bersenjata tampak menyerah setelah elang semakin naik ke tebing curam, namun tidak dengan wanita indian itu. Ia nekad mengantar nyawa hingga ke puncak demi sang buah hati yang hendak disantap elang gunung.
Perjuangan ibu tersebut tidak sia-sia. Bayi mungil diraihnya meski keadaannya sedikit terluka dan wanita tersebut mengalami cedera pada kakinya. Warga indian yang lain heran, bagaimana ia mencapai tebing curam itu. Nyatanya, cinta kasih tulus memungkinnya melewati batas yang tak mungkin dinalar.
Bisa jadi, cinta kasih orang tua itulah yang menjadi mujizat itu sendiri. Sayang, kita sering tak menyadari besarnya kasih itu. Detik ini, marilah kita tekadkan untuk berbakti dan mendoakan orang tua yang telah mencurahkan cinta kasihnya yang tulus.
PARENT'S LOVE IS UNCONDITIONAL ONES
Greattttt
BalasHapusThank you pipit
BalasHapus