Rabu, 23 Oktober 2019

2012 Agustus: Selamat Tinggal Untuk DIrimu.

Aku berkenalan dan bersahabat denganmu di suatu masa setelah ujian akhir nasional berakhir. Awalnya aku menyatakan dengan lantang:  "Engkau takkan pernah kutatap!" Kau telah menjadi teman baik teman-temanku selama aku melihatmu di warung depan sekolah. Tak henti-hentinya mereka mengajakmu menjadi teman bicara, bersantap, atau meneguk kopi.

Kau pernah menjadi teman baik Nenekku. Setiap kali kau bertamu, pintu halaman belakang selalu terbuka untuk menyambut. Lalu mulailah kau menemani beliau berbagi aspirasi dan imajinasi. Percakapan kalian begitu khusyuk, sampai-sampai Nenek tidak menghiraukan imbauan Ibu, Pakde, dan Paman untuk menjauhi dirimu. Barangkali, memang dirimu hadir sebagai teman setia.

Di masa setelah ujian akhir nasional, aku telah mengamankan bangku program pembinaan calon mahasiswa di sebuah universitas ternama. Salah satu aturan yang harus ditaati dalam program ini, adalah setiap calon mahasiswa tidak boleh membolos untuk acara wisuda SMA. Saat itu aku memilih melanggar, lalu tenggelam bercengkrama bersama teman yang telah resmi menjadi alumni berkalung medali kelulusan. Sialnya, ada yang melihat jejakku hingga surat dokter yang sudah tertulis sakit seakan tidak memberi dampak berarti.

Orang tuaku yang mengetahui ulahku membolos memberiku beribu wejangan. Entah seperti apa lagi harus kulaksanakan arahan mereka, agar bisa lulus program pembinaan itu dengan gemilang. Maka, di suatu malam aku menemui dirimu. Kau lepaskan penatku, menjadi ruang untuk imajinasi-imajinasi liarku. Aku mulai tersanjung akan kehadiranmu. 

Lambat laun, sejenak bercengkrama denganmu adalah rutinitas yang selalu disempatkan di sela-sela kesibukan. Baik saat istirahat kuliah tiba, saat bermain musik, ataupun saat dirundung sepi. Kamu telah membaur dalam kehidupanku. Sampai-sampai, setiap kali ujian mingguan ku jalani, selain belajar dengan semampunya, sempat-sempatnya kuminta 'restu'-mu. Engkau memang tidak istimewa bagi sebagian orang, terutama kaum wanita. Tetapi, sebagian wanita bahkan Nenekku pun mengakrabi dirimu.

Bertahun-tahun, dokter bagi terapi depresiku adalah dirimu. Padahal, dokter pun melarang untuk akrab denganmu. Tapi aku tak perduli; maka melupakan soal stigma, prasangka, dan noda yang melekat padamu adalah sebuah upaya yang selalu berhasil membunuh segala tekanan hidup yang menyergap. Lebih-lebih, saat kudengar dirimu ikut tertawa saat begitu banyak kenyataan pahit yang patut dijadikan lelucon. Bukankah dirimu adalah penghibur yang punya kemampuan luar biasa dalam menjernihkan isi pikiran? Maka saat pikiranku tenang, aku lupa tentang dirimu yang seringkali sukar berdamai dengan anggota tubuh yang lain.

 Ketika masa kuliah kerja nyata datang, aku tidak lagi menjalani hidup sendiri. Maka di ruang TV asrama sering kuajak engkau berbicara, menjadi teman tertawa dan bersedih menyaksikan daftar tayangan TV. Perantauan membuatku nikmat dalam mencari arti kesunyian, lebih-lebih saat engkau merangkulku. Kau ajarkan diriku  akansunyi yang membuat pikiran melayang tanpa beban.

Tetapi, aku sadar bahwa kau hanya menjanjikan khayalan sesaat. Sayang, tak semudah itu aku melepaskan diri dari jeratmu. Sekujur isi otakku selalu menginginkanmu hadir menemani. Padahal, fakta telah terkuak bahwa engkau adalah si pelaku biadab yang merampas kekuatan tubuh Nenekku, hingga menorehkan lubang kecil di sebelah jantung beliau. Di satu sisi aku tetap akrab denganmu, di sisi lain aku mengutuk dirimu habis-habisan.

Sering ketika kuajak bicara Ibu, janji akan tersingkirnya dirimu terucap. Apa daya, aku selalu jatuh dalam bujuk rayumu. Seakan-akan, seisi otakku telah kau isi dengan tenung dan mantra terbaik. Jangan-jangan, kau telah siapkan perangkap agar tak terpikir olehku untuk menjauh.

Tidak berapa lama, sebuah mantra pamungkas yang mampu memisahkan aku dengan dirimu terucap.

Kalau memang tidak bermanfaat, mengapa tak lekas kau tinggalkan?

Jika terlalu lama engkau mesra dengan hal yang tidak penting, semakin banyak hal penting yang menjadi terlupakan. 

Saat teman-temanku menghubungi dirimu, aku pura-pura lupa untuk bercengkrama denganmu. Kali itu, di sebuah hari di bulan Agustus 2012, aku mencoba tak menjamah atau menyapa dirimu selama seminggu. Tidak kusangka akhirnya aku mampu lepas dari jeratmu. Hingga kini, aku begitu bangga menjadikanmu sekedar masa lalu, bukan untuk menjadi masa depan.

Selamat tinggal, kau yang hidup dengan api, meraba dengan asap. Kau bermain manja dengan akalku, sambil terus menikam sedikit demi sedikit paru-paruku. Aku lelah harus menanggung panas di ujung mulut ini, setelah sekian jam mengakrabi dirimu melalui gerak hisap bibir dan lidahku.  Sekarang, ku harap kau tak lagi mengembara di sembarang udara. Aku tak sanggup melihat air mata mereka yang meminta agar sentuhan tanganmu tak jadi menikam paru-paru anak mereka. 



   Sebuah lirik lagu berucap: Indonesia supermarket bencana. Kau berwajah ramah, tapi ternyata kau penyumbang bencana itu. Semoga api hari ini padam supaya asapmu tak membuat ulah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...