Jumat, 04 Oktober 2019

MENABUNG BAWANG PUTIH (FIKSI)

.Pagi itu Gandhina menyiapkan sarapan untuk suaminya, Suroso. Sambil menggoreng ikan mujair dalam wajan, diirisnya kecil-kecil tiga siung bawang putih di atas tatakan putih. Satu siung teriris, aroma sengitnya tercium Gandhina, hingga menarik air keluar dari pelupuk matanya.  Dengan wajah sembab, Gandhina menyelesaikan racikan sambel lalu menata hidangan.

"Mas Ros, ayo makan dulu. Makanan sudah siap." 

"Oke Gandhina, terima kasih. Kamu kenapa, Ndhin?" 

Suroso menangkap gemetar dari nada suara istrinya. Gandhina hanya memalingkan muka lalu bergegas menuju kakus. Setelah pintu kamar mandi rapat tertutup, wanita itu terisak pelan di wastafel sambil menyalakan keran. Ia berharap suara air mengalir menutup getaran bibirnya. Ia masih terbebani akan pertemuan dengan keluarga besarnya pada Idul Fitri seminggu silam. Dua setengah tahun pernikahan cukup lama untuk menunggu tanpa menunda, manakala saudara-saudaranya yang baru menikah cepat dikaruniai momongan. Seusai Gandhina puas menumpahkan air mata, dibersihkanlah wajahnya dan segera ia menghampiri Suroso. 

"Mas Ros, hidungku mampet lagi, makanya buru-buru ke kamar mandi. Nanti sore bisa kan jemput aku di tempat biasa? Nanti malam kelas bubar jam sepuluh malam" 

"Insha Allah bisa, Ndhin. Kabarin aja kalau udah beres. Aku  baru bisa keluar kantor jam 7 malam nanti." 

Suroso beranjak pamit memacu mobil menuju kantor. Urat wajahnya berubah tegang. Sebenarnya, ia begitu ingin menenangkan istrinya. Namun,  ia sendiri tersangkut masalah keuangan. Awal tahun ini perusahaan tempatnya bekerja mengalami pailit, hingga gajinya harus dipotong. Pikiran Suroso tercekat soal tanggungannya berbulan-bulan ke depan; jatah bulanan Gandhina, kebutuhan sehari-hari, biaya perawatan mobil, hingga biaya ujian fotografi Gandhina yang sebesar setengah kali gaji bulanannya. 

Di dalam kamar, Gandhina mengusir kesepian dengan mengintip album foto percontohan milik tempat kursusnya. Selembar foto janin membuat Gandhina kembali menumpahkan air mata. Dalam rasa gundahnya, wanita berambut sebahu berhidung mancung hampir berkepala tiga itu terus membatin: “Apa yang salah denganku dan Mas Roso? Dua dokter bilang kami sehat-sehat saja, tapi harus berapa lama untuk menunggu? Apa sebaiknya berhenti kursus biar fokus”. Gandhina kemudian membanting album itu, lalu larut dalam tangisannya. 

Kendati tabungan Suroso terkuras cepat karena biaya kursus fotografi, diam-diam pria berusia hampir tiga puluh lima itu mengagumi hasil jepretan istrinya. Mata seakan susah beralih, manakala menatap gambar- tekstur halus dengan kejernihan nyata, seolah objek foto berada di depan mata. Bahkan, benda-benda tak bernyawa seakan memiliki ruhnya sendiri Kerapkali Suroso membatin, 

“Mungkinkah kamera itu menggenggam keinginan manusia penggunanya?”

Setiap kali Suroso mengantar Gandhina kursus, Suroso selalu menyempatkan diri menguping materi yang sedang diikuti istrinya melalui lubang pintu. 

Tepat jam sepuluh malam, Suroso datang menjemput Gandhina. Didapatinya sang istri melambaikan tangan dan mengucapkan salam perpisahan pada teman-teman kursusnya. Saat duduk di kursi mobil menyambangi Suroso, Gandhina mengungkapkan rencana berhenti kursus. “Aku mau uangnya buat program kehamilan saja, Mas Suroso. Nanti semakin tua malah semakin berisiko .”  

Suroso hanya mengiyakan rencana istrinya, meski dalam hatinya memendam kekalutan atas menipisnya uang tabungan. Sesampainya di rumah, Suroso berterus terang tentang kondisi keuangan perusahaannya. Gandhina tak kuasa menahan kecut di wajahnya lalu menatap kesal Suroso. 

“Sekarang kita harus bagaimana? Kita sudah bukan anak umur duapuluh lagi, Mas Ros!",   seru Gandhina histeris. 

Suroso sudah hafal apa yang akan terjadi, bila Istrinya bergegas masuk kamar lalu menguncinya. Suroso berpikir keras, bagaimana caranya unutk menenangkan hati istrinya. 

Pria jabrik berbadan sedikit gempal berkulit sawo matang itu lalu teringat saran Pakde beberapa bulan silam. Segera ia ketuk pintu kamar yang dikunci Gandhina,

 “Sayang, tolong buka pintunya. Berapa pun harganya, mulai minggu ini kita akan berobat alternatif di Rawamondok. Aku udah ga sabar ingin punya anak juga, Dhin.” 

Pintu kamar terbuka, Suroso kemudian masuk dan menjelaskan rencana pengobatan. Meski awalnya Gandhina ragu, namun Suroso terus meyakinkan akan khasiat pengobatannya. 

Mereka berdua menuju alamat yang dimaksud di akhir pekan. Pengobatan alternatif itu dijalankan sepasang suami istri berusia setengah abad, Mbah Purwo Santika dan Mbah Kakung Arok. Tepat saat itu antrian pasien begitu padat. Berbondong-bondong mereka menunggu pijatan dan racikan resep Mbah Purwo dan Mbah Arok, supaya penyakit ataupun permasalahan keluarga segera teratasi. Sekalipun sebagian mereka menjerit menahan sakit karena pijatan dan totokan yang cukup keras mengenai titik-titik di badan. 


Ketika giliran Suroso dan Gandhina tiba, mereka merasa tidak ada jalan mundur. Selama dua jam, baik Suroso maupun Gandhina merasakan perihnya ditotok Mbah Arok laksana tertusuk paku payung, hingga menerima pijatan Mbah Purwo yang tak berbeda kembang api. Kedua ahli terapi itu lalu mendiagnosa bahwa sistem reproduksi Suroso terganjal protein berlebih, sementara rahim Gandhina dihalau  sisa-sisa glukosa. Mereka lalu diminta untuk meminum ramuan bawang putih. Masing-masing botol bernilai setengah juta rupiah. 

Besar harapan akan hadirnya momongan, setiap kali ramuan itu habis Gandhina selalu meminta Suroso untuk membelinya lagi sambil terus menjalankan ‘fitrah’ suami-istri. Setelah sepuluh minggu, ramuan bawang putih itu belum membuahkan hasil yang berarti. Maka, mereka mengadu kepada Mbah Purwo dan Mbah Arok. 


Ramuan Bawang Putih


Jadi bawang itu belum bekerja dengan baik? Mbah rasa ada yang salah dengan hati kalian. Kalian terlihat mesra, tetapi ada beban yang sepertinya masing-masing kalian pendam. Cobalah kalian jujur dengan pasangan masing-masing, baru sambil kalian minum ramuan”, tutur Mbah Purwo sambil menerawang pasangan suami-istri itu. 

Seusai diberi wejangan Mbah Purwo, hubungan Suroso dan Gandhina meregang hingga pertengkaran mereka memuncak diawali hal sepele: Suroso yang lupa tanggal ulang tahun Gandhina menjadi sasaran lemparan hair dryer, guling dan tas. 

“Jadi, berapa kali lagi uang kita harus dibakar untuk sekedar ramuan bawang putih? Dari dulu, janji manis yang kamu ucapkan selalu berakhir omong kosong! Lagian, aku memang istri ga berguna kan buat kamu?” 

Setelah luapan kekecewaan Gandhina tersebut, berhari-hari mereka terperangkap perang dingin. Namun, diam-diam Suroso masih yakin khasiat ramuan bawang putih itu: staminanya mulai stabil dan tidak mudah lelah dalam bekerja. Setelah Gandhina terlelap, Suroso masih menyampatkan meneguk segelas minuman beraroma asam kecut itu.

Suatu saat, Suroso terpikir sebuah rencana. Ia sebenarnya sudah memaafkan istrinya. Kendati Gandhina kurang mampu menjaga lidah dan banyak tuntutan, jasanya tak terhitung semenjak menjadi istri: rela bangun pagi buta demi membuatkan sarapan, membantunya merapikan pakaian, hingga rela mengurangi jam tidur saat dirinya sakit. Maka ia memohon pada sang istri untuk menemaninya jalan sore di taman kota. Sesampainya di sana, Suroso memberikan hadiah ulang tahun bagi istrinya. 

"Kalung emas? Beli dimana? “ 

"Rahasia, yang penting itu emas asli. Terus terang, sudah lama aku tahu barang yang kamu butuhkan. Tapi, biarin aja pura-pura lupa dulu. Biar ada kejutan, Dhin. Maafkan aku." 

"Berarti lupa yang kemarin itu udah lama Mas Roso rencanakan? Aduh Mas, kamu itu bisa-bisanya bikin sakit kepalaku kumat. " 

"Tapi kenapa kamu harus merasa tidak dihargai, Gandhina? Apa selama ini aku sama sekali belum pernah kasih yang terbaik buat kamu? Terus bagaimana dengan kursus fotomu yang berhenti di tengah jalan? Apa itu sekedar angin penyegar buat kamu?" 

"Sudahlah, mas! Apa kamu juga gak ikhlas beliin kado? Apa aku gak berhak mengharap suamiku tetap memberi sesuatu sekalipun dalam keadaan susah?” 

Suroso terdiam lalu mengeluarkan hadiah tambahan: figura foto berukuran 4R dari dalam tas pinggangnya, dengan foto karya jepretan Gandhin terbungkus di dalam bingkainya. 

“Yang aku inginkan, cuma jangan menyia-nyiakan bakat yang kamu miliki dan bisa berempati dengan situasi keuanganku." 

"Jadi, mas Suroso yang mengambil cetakan foto itu? Aku pikir sudah terbang keluar jendela." 

"Karya kamu terlalu berharga untuk lenyap bersama angin. Kamu tahu Gandhina? Setiap kali aku gusar dan tertekan, foto dandelion ini selalu mengingatkanku akan harapan-harapan tentangmu. Seolah-olah, baru saja berjumpa dan saling menaruh cinta." 

Kini giliran Gandhina tertunduk malu sambil tersipu. Tidak disangka foto hasil jepretannya disimpan baik suaminya. Ketakjuban membuncah dalam hatinya, menyimak figura pilihan suaminya yang bening mengkilat, seolah membingkai anggun aura yang dari dandelion beterbangan dalam foto itu. 

Sepanjang hari itu, Gandhina dan Suroso berkencan layaknya pasangan muda. Suroso terus terang soal kebiasaannya menguntit saat Gandhina masih mengikuti kursus fotografi, berikut tentang kebiasaannya meminum bawang putih. Gandhina leluasa berbagi soal cita-cita mudanya membuka gerai studio foto. Bincang-bincang hangat hari itu menumbuhkan kemestraan yang pernah layu, hingga kedekatan mereka semakin mesra setelahnya. 

Suatu pagi setelah momen kencan itu, Gandhina bolak-balik kamar mandi setiap 20 menit. Gandhina tidak mengerti, apa yang terjadi dengan tubuhnya seusai meminum kopi di pagi hari. Iseng-iseng, dia siapkan testpack ketika masih rasa kebelet terus menghampiri. Ternyata, hasil testpacknya berbeda dengan yang biasa dilihatnya selama dua setengah tahun ke belakang. Gandhina yang belum merasa yakin, menceburkan testpack-nya hingga tiga kali. Hasilnya tetap sama seperti pengujian pertama di hari itu: dua garis biru. 

"Aku harus kasih tahu Mas Roso."


SEKIAN

(Cilandak, 5 Oktober 2019)

8 komentar:

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...