Sabtu, 05 Oktober 2019

ODOP Adalah Laboratorium, Bukan Arena Bertanding

Saya sudah terbiasa menulis semenjak kelas 1 SMP. Memulainya dengan mengulik komik kesukaan saya, lalu dilukis menjadi imajinasi baru adalah keasyikan tersendiri. Sebagai hasilnya, dalam kepala ini terdapat proyeksi penyusunan sifat karakter cerita sebanyak 114 varian. Hanya saja, selain lomba cerpen maupun kelas menulis, tak banyak wadah untuk bisa menuangkan varian karakter ini, selain catatan kosong yang selalu menyediakan ruang untuk dicoret-coret.

Setelah kuliah, saya baru mengikuti kursus kepenulisan yang lebih serius. Bermula dari seminar di UPI, lokakarya UNPAR, menghadiri event dari penulis-penulis baru, sampai pernah mengeluarkan uang yang lumayan untuk menggali materi kursus dari Tempo. Akan tetapi, hasil dari karir kepenulisan ini baru saya rasakan setelah menang lomba resensi di penghujung 2018, berikut turut mencetak antologi dengan alur yang lebih kompkeks.

Dulu saya sempat mengikuti ODOP batch 6. Hanya saja, sebelum kompetisi dimulai, saya tanpa pikir panjang bersegera angkat kaki. Selain karena sedang fokus menunggu kelahiran anak, jumlah tanggung jawab saya di kantor semakin berlipat. Tentu timbul penyesalan di kemudian hari, yang saya bayar dengan mengikuti tantangan 30 hari menulis di ajang lain, hingga menjadi peserta terbaik di RWC ODOP 2019.

Kesibukan menulis sesuatu yang ditarget setiap hari, ada kalanya membuat lelah. Namun, manfaatnya untuk menghadirkan fokus kegiatan berpikir yang lebih bermanfaat sulit untuk dipungkiri. Jadilah saya tidak berlama-lama tenggelam dalam sekian sentimen dan masalah yang digeluti dalam keseharian. Ada suatu ketenangan yang tercipta, setiap kali tulisan yang baru tercetak.

Ketika ODOP kembali membuka kesempatan, saya merasa lebih antusias untuk terlibat. Lebih-lebih, meskipun belum pernah menang, saya telah mencetak 7 cerpen dalam kurun waktu 2019. Sehingga, ketika kembali terjun dalam ajang kepenulisan, terasa sekali saya sudah memiliki banyak bekal.

Di sisi lain, saya harus sering menyadari, bahwa di dalam kompetisi pasti ada bumbu kolaborasi, sebagaimana dalam kerjasama adakalanya butuh kompetisi. Kalau tidak merasa terkejar oleh orang lain, kadang kala ruang untuk kemalasan terbuka cukup lebar. Di lain sisi, ketika kita asyik bersaing tetapi lupa bahwa rasa saling membutuhkan orang lain itu krusial, akan cukup sulit untuk menemukan ruang dimana kita bisa bekerja lebih cerdas.

"Jika ingin pergi lebih cepat, silakan berangkat sendiri. Jika ingin pergi lebih jauh, silakan berangkat bersama-sama."

Setelah sekian kompetisi dan forum, saya menegaskan ingin memandang bahwa ODOP ini adalah sebuah laboratorium. Punya jam kerja tertentu, orang-orang ahli yang punya jam terbang dalam berpraktik, berikut beragam peserta yang sudah punya keahlian beragam namun ingin mencoba hal baru. Saya sendiri mencoba menggali dimensi dalam kategori fiksi dan non-fiksi, supaya membangun korelasi dengan pemenuhan nilai literasi, rekreasi, dan kontemplasi.

Kebetulan, selain menulis untuk diri sendiri, rutinitas blog walking memungkinkan para peserta untuk menyimak cara orang lain, hingga membuka peluang untuk mengulik ide baru. Seolah gagasan itu tak pernah habis.

Kalaupun sesekali diadakan bedah, saya rasa ini hampir mirip dengan sesi lokakarya kemajuan yang suka diadakan di sela rutinitas praktikum. Supaya lebih dalam memahami unsur-unsur yang melatarbelakangi pembuatan suatu karya. Karena, setiap tulisan yang tercipta pasti diikuti oleh motif dan tafsir dari penulisnya. Namun itu saja tidak cukup, karenanya bedah adalah suatu arena jembatan penghubung yang lebih rinci, untuk menyambungkan tafsir penulis dan pembaca.

Dengan memandang ODOP sebagai laboratorium, saya pribadi terpacu untuk memandang bahwa setiap kesempatan adalah demi peningkatan kualitas kepenulisan, ketimbang sekedar bersaing dan menumpuk tulisan. Dengan demikian, saya tidak sabar atas kejutan dan wahana baru, yang hadir di setiap tantangan dan rutinitasnya.

(Bekasi, 4 hari menjelang hari pahlawan)

4 komentar:

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...