Rabu, 09 Oktober 2019

Zona Nyaman yang Terbuang (Refleksi 15 Oktober 2017)


Sesekali, kita terpikir kembali menjadi anak kecil, meskipun fisik sudah menua di segala segmen. Beberapa sebabnya adalah anak kecil ataubayi tidak punya beban, tidak punya dendam, dan juga pantang menyerah mendambakan apa yang diinginkannya. Tapi begitu diri ini beranjak tumbuh bulu dan uban, terkadang hal-hal yang mampu dirasakan semenjak kecil tak bisa lagi diraih semudah dahulu. Maka disadarilah, dalam proses tumbuh diri ini semakin tahu apa arti benar dan salah, pantas-tidak pantas, etika-asusila, serta soal hasutan dan godaan.

Tatkala makin tua diri ini, ada kalanya begitu mudah dendam bersarang   bingung karena tak tahu apa yang mau dipikirkan dan dilakukan, dan terpaksa pasrah saat tahu bahwa kita terperangkap dalam dilema yang bikin serba salah. Maka dalam keterdesakan semacam demikian,  diri ini cenderung mengikuti apa yang menjadi 'mood' ketimbang apa yang perlu dan harus 'dilakukan'. Mungkin, saat itu sangat sepi akan rasa penerimaan ataupun penghargaan dari sekeliling kita, atas segenap usaha yang telah diupayakan. Perlahan mulailah terpikir untuk melakukan segalanya 'seenak jidat', lalu hati serta otak membenarkan atas nama 'mood', -atas nama kenyaman bagi sekujur tubuh dan jiwa-

 Kala terperangkap di area kebingungan dan galau, cenderung diri ini membenarkan segala yang tangan perbuat ataupun yang terucap oleh lisan. 
Nikmat sekali rasanya berkubang dalam zona nyaman,  beberapa contoh diantaranya:  memilih lebih khusyuk bermain musik disaat ku pernah kesal dengan teman-teman satu organisasiku yang kadang hanya menghubungi bila butuh tetapi pura pura tak kenal saat tak ada keperluan. Di lain waktu juga saat ku lebih khidmat bernyanyi mengikuti IPOD manakala ku terjebak dalam masalah yang hanya bisa didamaikan dengan kata 'putus' (para pembaca, tahu kan ini masalah seperti apa? ).

Namun, saat kusempatkan untuk bercermin, nyatanya tak semua zona nyaman harus langsung dinikmati. Apalagi, biasanya kewajiban sering kali lebih banyak dari waktu, rasa kenyamanan, dan kesabaran yang dipunya. Lambat laun, isi kepala dan hati mulai mengaduk-aduk kesadaran diri, membawa ke masa dimana keinginan akan rasa nyaman itu diacuhkan lantaran begitu tingginya antusiasme untuk menuntaskan kewajiban dan tujuan hidup, serta mengevaluasi kegagalan yang pernah merugikan diri dan orang lain. 

Aku teringat, saat PR rajin digarap setiap hari, keingingan untuk meraih prestasi terbaik di sekolah meski bisa saja berkubang dalam permainan playstation dan tidur seharian.
Aku terkenang, dalam masa dimana rela berhari-hari ke gunung, berlumpur-lumpur, mendaki bukit, dan  mengikuti jambore unit rohisku, lantaran tak tahan mengembangkan diri hanya lewat berdiam di rumah lalu browsing sepuas hati. 
Aku cukup tersenyum puas, saat kuingat betapa antusiasnya  kuikuti ospek jurusan kuliah setiap akhir pekan, agar memiliki posisi dalam pertemanan dan hubungan dengan teman angkatan. Serta, kuingin membayar kegagalan atas kelabilanku di masa SMA yang membuang kesempatan masuk OSIS.
Lalu kepala ini terisi semangat yang membara, manakala teringat masa dimana aku membaur dengan para demonstran. Substansi aksi kami itu saat itu adalah agar salah satu stasiun TV yang sering menebar fitnah segera minta maaf pada orang yang dihinanya lewat sebuah penelitian palsu. Padahal bisa saja aku lebih khidmat dalam mengikuti pengarahan praktikum. Namun,  perasaan berempati dengan mereka yang tersakiti fitnah, membuatku rela membolos.
Rasanya sudah cukup lama, saat  kesempatan berkarir di bidang yang sebenarnya aku telah geluti bertahun-tahun terbuang sia-sia, karena menjaga hubungan dan janji dengan orang yang menjamin masa depanku. Besar keinginan untuk membuktikan diri bahwa  integritas  sebagai laki laki patut diutamakan diatas kenyamanan berkarir.
Tibalah hari ini, demi sebuah janji yang sederhana, dan kewajiban saya untuk menjaga kesehatan, tiada aku sentuh makanan laut berlemak lagi berkolesterol, dan segala bentuk gula yang destruktif. Padahal atas nama mood, bisa saja aku langsung lahap semuanya, dan menganggapnya enteng seolah2 hanya hari itu saja aku memakannya. Tapi harga diriku yang menginginkan pemeliharaan kesehatan dan menghargai organ tubuhku yang punya banyak pekerjaan, langsung saja kuacuhkan makanan itu.
Maka, hari ini aku masih terkenang 15 Oktober 2017, tentang betapa besarnya gelora hati untuk mengikuti PERHELATAN PARA PENULIS.  Di titik usiaku yang mencapai hampir kepala 3 dalam waktu kurang dari 1000 hari, rasanya lebih dari suatu kewajiban untuk mengabadikan segala hal yang menjadi isi kepala dan hati.  Maaf, karena dirimu, duhai gelora hati, dan pandangan sanubari akan masa depan, aku terpaksa absen dari acara keluarga yang terlalu mendadak namun tak begitu darurat. Besar harapan untuk bisa menghadirkan isi kepala dan hatiku terangkum menjadi sebuah buku.
Monolog ini masih sering kugemakan, tentang betapa banyak zona kenyamanan yang kubuang demi sebuah harga diri untuk mengejar kewajiban dan tujuan hidup, lalu aku pun menolak untuk menyesal karena begitu banyak pula kemajuan diri yang telah kuraih.
Thank you my dignity.
Sungguh, kita manusia tak hanya hidup untuk sekedar manfaat ataupun hilangkan penat, namun juga untuk harkat dan martabat.

2 komentar:

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...