Jumat, 25 Oktober 2019

Kutunggu Engkau di Podium

KUTUNGGU ENGKAU DI PODIUM
oleh Briantono Raharjo 

Setibanya di kantor polisi, Maryani mencengkeram kerah baju Mansur lalu menampar pipi kanan putra bungsunya itu. Wanita berseragam kasir yang belum genap empat puluh tahun itu geram dengan ulah putranya yang kedapatan memakai shabu-shabu. Setelah mendaratkan tamparan pertamanya, Mahmud, suaminya, menarik dan menahan tangannya. 

 “Maryani, hentikan! Kita belum dengar sendiri penuturan Mansur dan aparat soal bagaimana dia bisa dapat shabu-shabu itu.”

“Kamu memang lembek, Mud! Sekarang kamu lihat dengan mata kepalamu itu bagaimana bengalnya bocahmu itu?”

Melihat pertengkaran orang tuanya, Mansur hanya memicingkan mata. Pikirannya tersekat pada kejadian setahun silam, yang membuatnya terseret obat-obatan terlarang:

Maryani begitu kecewa akan Mahmud, yang harus menerima ‘hadiah’ pesangon setelah bekerja bertahun-tahun. Hari-hari setelah Mahmud dirumahkan, Mansur kerap kali mendengar nada-nada tinggi dari mulut Maryani. Ayahnya selalu menjadi bahan gunjingan manakala didapati hal yang tidak beres dalam rumahnya. 

Lima bulan mengalami pemutihan, Mahmud diterima bekerja di sebuah bengkel. Namun tak ada pujian atau sekedar rasa syukur terucap dari bibir Maryani. 

“Mahmud, bisa bawa berapa kamu kerja di bengkel? Kamu sih cuma lulusan D3.  Untung aku nguli di kasir biar tetep nafas. Mending dulu aku tamatin S1, daripada kepincut janji manismu!”

Mansur yang mendengar omelan Maryani  dari ruang sebelah, berhadapan dengan kebuntuan dalam dirinya. Batinnya seolah tertusuk sebongkah es besar. Ia merasa bahwa menjadi laki-laki seolah tak berarti saat kehilangan mata pencaharian. 

Sayang, saat berusaha bangkit dari titik rendahnya, kadang bukan yang pertama kali menolong bukanlah sosok tulus. Mansur ingat pernah menyanggupi tawaran Rusfi untuk berkenalan dengan para siswi SMA lain di suatu malam. Selain karena percaya Rusfi sebagai teman berbagi rasa, Mansur ingin menunjukkan supremasinya di hadapan wanita sebaya.

 "Semoga saja cewek-cewek yang mau ketemuan gak rese kaya Ibu” gumamnya dalam hati.  

Nyatanya, pertemuan malam itu adalah ranjau yang membuatnya terdepak dari sekolah. Kini ia harus menerima status barunya sebagai pasien rehabilitasi bekas murid SMA, sekaligus menerima kenyataan bahwa Mahmud dan Maryani bercerai. Belum lagi,  Mahmud dan Mansur tidak lagi diperkenankan tinggal satu atap. Maryani yang tidak terima penghasilan suaminya dan ulah putranya lalu menahan Marini bersamanya. Beruntung, tidak sampai seminggu Mahmud menemukan kontrakan baru, sementara Mansur harus mendekam dulu di bangsal rehabilitasi. 

Suatu hari, sehelai kertas tercecer menembus celah bawah pintu kamar menarik perhatiannya. Mansur lalu membaca kertas itu: pamflet iklan berisi gambar dan narasi memikat mata. Terketik sebuah inisial di kop kertas: A. Wicaksono.  Ia langsung mencari tahu soal pemilik nama pamflet. Nyatanya, sang pemilik nama saat ini adalah penghuni panti seperti dirinya : Alrian Wicaksono, 

Seusai berkenalan, Alri kemudian menjelaskan bahwa bisnis periklanan masih leluasa untuk dijalankannya sekalipun dalam masa rehabilitasi. Mansur kemudian menyatakan ketertarikannya untuk belajar periklanan.  Kebosanan Mansur dalam panti rehabilitasi tergenapi oleh 'kursus' dari Alri. 

Seusai rehabilitasi, Mansur berusaha untuk lulus paket C, sekaligus mendalami desain periklanan hasil gemblengan Alri.  Ketekunan Mansur membuahkan hasil, saat reklame coretan tangannya merombak bisnis bengkel Mahmud hingga meningkat pesat. Dari uang yang terkumpul, mereka menempati rumah baru sekaligus membuka showroom mobil

Empat setengah tahun kemudian, hidup Mansur dan Mahmud berbalik arah. Mansur adalah mahasiswa berprestasi di universitas tempatnya berkuliah. Tiap kali Mansur terjun dalam kompetisi antar kampus, jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Nagajaya kerap memborong piala, piagam, dan hadiah. 

Suatu ketika, Maryani mencari Mansur dan Mahmud demi agenda yang cukup penting. Lantaran tidak menemukan mereka di kontrakan lama, Maryani mencari tahu dari tetangga sekitar. Didapatilah alamat baru  Mahmud dan Mansur di sebuah komplek cluster. Empat tahun berpisah, Maryani dan Mahmud hampir tak pernah bertatap mata.  Sesekali Mahmud bertanya tentang dirinya dan Marini, Maryani hanya menjawab satu-dua patah kata dalam SMS. 

Maryani tertegun setibanya di alamat baru Mahmud. Rumah barunya lebih besar dari tempat mereka pernah satu atap dan bersanding dengan bengkel berisi perlengkapan otomotif. Maryani memencet bel, dan ternyata Mahmud yang menyambutnya. Selain mengulas tentang persiapan Marini menikah, Maryani mengurai segala lika-liku dirinya dan Marini selepas bercerai dengan Mahmud. Dia menyesali tindakannya mengusir Mahmud dan Mansur, hingga pernah hampir terseret kasus penyelundupan opium. Maryani sempat tak kuasa mengelak pubertas kedua dengan pengusaha yang perhatian padanya dan Marini. 

"Gak seharusnya aku tertipu sikapnya selama berbulan-bulan, Mas Mud. Aku ga nyangka dia bernyanyi di pengadilan soal aku ikut menikmati hasil jualan haramnya." tutur Maryani mengutarakan ironi yang dialaminya.

"Jadi, kamu sekarang nrimo kalau  menantu kita cuma pegawai toko yang gajinya  ndak gede?", tanya Mahmud pelan bernada menyindir.

"Aku paham kalau mas Mud belum memaafkan sikapku. Tapi aku mohon Mas Mud memberikan restu untuknya dan mendampingiku saat resepsi nanti. "

"Restuku selalu ada buat Marini dan Mansur.  Sampai saat ini aku ingat soal kamu yang sulit mendengarkan orang lain dan mudah panik saat terkena masalah.  Tapi aku jamin, di pelaminan nanti insha Allah kamu takkan sendiri. Aku mau pulang dulu, Yani. Assalamualaikum." Mahmud beranjak dari swalayan, meninggalkan Maryani kembali menunaikan tugas hariannya.  

Dua bulan berselang, ijab kabul antara Marini dan suaminya terlaksana  khidmat. 
Mahmud dan Mansur mendampingi Maryani, Marini, dan suami Marini hingga resepsi berakhir. Sebelum beranjak pulang, Mansur memberikan kertas undangan wisuda pada Maryani. 

"Aku ingin lihat Ibu di aula nanti. Mansur dapat waktu lima belas menit untuk pidato mahasiswa berprestasi. Sayang kalau cuma ditonton Bapak."

Maryani tidak sanggup memendam haru  membuncah di dada. Mansur yang acapkali jadi tempatnya melampiaskan amarah, kini menjadi akademisi teladan sesuai impiannya dulu. 

"Luar biasa kamu, Mahmud. Kamu bimbing Mansur sampai dia berhasil."

"Bukan hanya karena aku, Yani. Mansur tumbuh besar karena kita semua punya peran dalam kehidupannya. Nanti kita ketemu lagi di aula universitasnya Mansur ya."

Manusia berhak untuk berencana, namun Allah Yang Maha Menentukan. Seminggu sebelum wisuda, Mansur tidak kuasa mengelak tabrakan dengan mobil di sisi turunan jalan, hingga badannya terhempas dari motor. Mansur yang jatuh bersimbah darah segera dievakuasi warga sekitar bersama puluhan korban lainnya. Mahmud yang ditelepon oleh rumah sakit setempat bergegas menghubungi Maryani untuk segera merapat.

Nahas, setibanya mereka di rumah sakit, Mansur sudah berpulang ke pangkuan Ilahi. Semua orang histeris, tidak terkecuali Maryani yang langsung kehilangna kesadaran. Tidak pernah disangka momen resepsi satu setengah bulan lalu adalah hari terakhir mereka berkumpul sebagai satu keluarga utuh. 

Hari kelulusan datang, batin Maryani masih terbebani dengan kepergian Mansur, hingga rona mukanya begitu pucat pasi. Maryani berharap acara wisuda segera usai, sebab takkan dijumpai sosok Mansur di podium. Namun pihak rektorat menyiapkan sebuah kejutan: sesi pidato digelar sebelum sesi serah terima ijazah para mahasiswa. 

Begitu nama Mansur Hamzah Alfatih bergema dalam aula, video kilas balik kiprah Mansur selama di kampus ditayangkan. Awalnya, Maryani hanya mengatupkan tangan pada mukanya, karena tak sanggup melihat podium kosong. Di menit-menit terakhir video, sosok Mansur muncul menghaturkan rasa syukur dan terima kasih atas usaha, bimbingan, dan do’a  rekan-rekan sejawat dan orang tuanya. Maryani dan Mahmud terbelalak takjub.  Lalu dari seisi aula serentak para hadirin mengangkat poster-poster coretan spidol

“We love and miss u so much, Mansur” , “Mansur, you are a Man with Sure!”

Poster-poster itu menggetarkan hati Maryani kembali tegar menjalani sesi wisuda. Seolah di podium tempat rektor dan dewan kampus duduk sosok Mansur masih berpidato merayakan kelulusannya.  

SEKIAN

(Cerita pendek ini disusun ulang dengan modifikasi terhadap kisah nyata salah satu teman saya. Kali ini saya persembahkan untuk tantangan ketujuh ODOP.)

#OneDayOnePost
#ODOPChallenge
#7thChallenge
#Cerpen

4 komentar:

  1. Tumben dominan telling? Apa karena cerita saduran ya om?

    BalasHapus
  2. 1. Isi cerita sangat bagus
    2. Setelah tanda baca ga usah titik. Paragraf kedua➡️ dulu!. Hrf kapital
    Mestinya: dulu! Huruf kapital

    3. Paragraf ke-8 dua baris pertama bikin yg baca keseleo,haha

    4. Saat peralihan dialog atau cerita pada tokoh,bikin bingung

    Maafkeun jempol sy lg usil😀😀

    BalasHapus
  3. Lebih baik mantan brandal daripada mantan kiai

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...