Selasa, 08 Oktober 2019

Refleksi 1000 Hari Jadi Penduduk Jakarta

Saat menjelang SMP,  Bapak mengajak saya  daftar sekolah di Jakarta. Sontak waktu itu saya menangis: takut susah ketemu sepupu, kakek-nenek, hingga reunian dengan teman. Mereka semua menetap di Bandung.
"Hanya hari Minggu bisa pulang balik Bandung.", begitulah isi pikiran seorang anak baru lulus SD yang lugu. Sebenarnya saya paham, bahwa Bapak punya keinginan tulus untuk mendekatkan jarak dan ingin dirinya tak kadung jadi weekend dad yang pulang ke Bandung setiap jumat malam, lalu ke Jakarta lagi setiap Minggu sore.
Masa berganti, sejak lulus SMA jadi terlatih tinggal sendiri diluar rumah berkat program orientasi perkuliahan, yang mengharuskan untuk tinggal di luar rumah. Tatkala menjelang tingkat 4 kuliah,  keberanian untuk tinggal di luar Bandung meningkat, lantaran mendekam 5 minggu untuk kerja praktek. Di titik itu saya sudah berani bertekad untuk kerja merantau dari luar Jawa Barat.  Nyatanya, akhir April 2014 saya terbang ke Aussie demi kepentingan pendidikan. Jadinya saya merantau sangat jauh, untungnya sudah terbiasa dengan beberapa pola hidup sendirian.
Kelar S2, saya mempersiapkan pernikahan sama calon istri, 'bermarkas' juga di Jakarta. Istri saya orang Bekasi, namun kebanyakan vendor yang bagus adanya di Jakarta. Jadilah tiap weekend bmsejak sebelum keterima kerja, 'Sabtu-Minggu adalah hari bertamasya ke Jakarta'. Tatkala dirilis SK kerja permanen: "Briantono, Jakarta Selatan",  Jakarta telah menjelma menjadi rumah untuk berutinitas.
Seusai sepasang cincin di jari manis bertaut, saya boyong istri untuk tinggal di Jakarta Selatan. Oh sungguh indah pemandangan rumah-rumah dinaungi apartemen berjenjang-jenjang :p. Tatkala musim hujan datang, tak jarang akhirnya saya menyempatkan 'main air'. Soalnya kadang tinggi air hujan menggenangi sungguh tidak terkira.  Untungnya, semenjak tingkat 2 saya sudah berpengalaman nyebur ke sungai.
Jakarta, tak hanya sekedar kota. Ia juga telah jadi saksi bisu bergantinya identitas saya  dari lajang, menikah, lalu menjadi ayah seorang bocah lelaki. Serta, di ibukota jualah saya merasakan naik pangkat di kantor. 1 hal yang tidak banyak berubah di Jakarta, ada saja hari-hari dimana harus rela tua di jalan dan terhimpit sekian roda roda yang sibuk berlalu lalang.
2017 April adalah bulan bersejarah, saat saya turut andil dalam mendorong kepemimpinan yang baru untuk Jakarta. Berbekal KTP Jakarta yang telah rilis September 2016, saya menaruh harapan besar pada Pak Anies dan Pak Sandiaga. Memang beliau berdua tidak disukai banyak orang. Namun, semenjak masa kepemimpinan mereka, saya melihat sendiri bahwa layanan transjakarta semakin luas jangkauannya. Acapkali jembatan Sudirman dan Pelican Crossing yang mereka rancang kerap jadi spot untuk foto-foto dan daya tarik Jakarta, entah itu bagi para fansnya maupun hatersnya Pak Anies dan Pak Sandiaga.
Besar harapan saya: tahun-tahun berikutnya, orang-orang Jakarta lebih banyak berkerumun di angkutan umum, lalu jalanan panjang ibu kota ini tak lagi rakus dijejali roda -roda kendaraan pribadi yang harus ditebus pajaknya setiap tahun. Kalaupun banjir menggenangi, semoga tahun-tahun berikutnya sampah tidak menumpuk hingga menjadi gunung. Supaya hidrogen yang menyusun sendi-sendi muara Jakarta tetap murni seperti adanya.

3 komentar:

  1. Aamiin semoga bisa berkurang trus, masalah 'main air' dan macet sdh sperti darah daging Jakarta 😅

    BalasHapus
  2. Aku pernah bermalam minggu saat hujan di kota Jakarta 😁

    BalasHapus
  3. Tentang jakarta dan seribu keruwetannya 😁😂

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...