Selasa, 15 Oktober 2019

Tentang Kriteria Pasangan (Part-1): Setelah Lima Minggu

Aku mengenalmu di sebuah bilik tempat kita belajar bersama. Tepatnya, di sebuah lembaga bimbingan belajar favorit yang terletak tidak jauh dari sekolah kita. Kau terlihat begitu rajin mengulang beberapa soal latihan yang diminta guru pembimbing.

Setelah sekian lama aku mengenalmu, ada rasa bergejolak. Tepat di sini, dibalik katup koroner yang menjadi gerbang keluar masuk aliran darah sekujur tubuh. Hidungmu yang mancung, alismu yang tipis panjang, hingga matamu yang terang, semuanya menjadi bunga yang mulai berkembang dalam pikiranku. Sialnya, terkadang bayangan tentangmu masih terus bertahta hingga rembulan menampakkan diri.

Pada suatu siang, aku menunggumu di depan gerbang bimbingan belajar. Tepatnya di lapangan parkir. Meskipun panas dan aku diminta pulang oleh petugas parkir, tetap aku setia menunggu. Apa boleh buat, mungkin kelabilan sifat remaja adalah justifikasi yang mendorongku untuk memberanikan diri.

Akhirnya kau keluar di siang yang teduh itu, dengan menenteng tas kesayangan. Aku langsung mendekati, dengan menggenggam sekuntum bunga. Setelah berbicara sepatah dua patah kata, langsung saja kulancarkan kalimat pamungkas itu. Tentu saja, lantaran kau belum mengenalku, menggeleng dengan senyuman adalah pilihanmu. Tapi tak mengapa, usiaku yang masih jauh dari kepala dua memang selayaknya harus berdamai dengan sekian kegagalan.

Satu tahun berputar cepat, kita kembali bertemu di sesi promosi bimbingan belajar yang lain. Melihat wajahmu kembali, aku tidak jadi fokus sepenuhnya pada apa yang diterangkan oleh para guru. Di sisi lain, para guru bimbingan belajar itu, hampir semuanya 'meluangkan' waktu untuk promosi bimbingan belajar. Dengan jurus diskon, rumus cepat, dan kumpulan buku-buku latihan soal. Lagi-lagi, kepalaku meminta untuk berpikir tentang dirimu. Kali itu, kau pun menghampiriku, lalu meminta maaf soal penolakanmu setahun silam.  Aku memilih tak banyak bicara, kecuali memaafkan dan menganggapnya hal biasa. Selama masa putih abu, aku mencoba memalingkan muka darimu.
Kuakui, aku malu setelah penolakan itu.

Setelah aku diterima di jurusan kuliah yang dituju, aku mencatat nomor teleponmu dari buku kenangan  sekolahmu. Kau angkat dering telepon yang kukirimkan sore itu, lalu obrolan kita buka dengan tema jurusan kuliah tujuan. Kau sedih, karena namamu tidak terdaftar di kampusku. Lalu sore itu kucoba menghiburmu dengan cerita inspirasi yang kudapat dari internet. Kau berucap bahwa dirimu terharu dengan kisah itu. Aku merasa  gerbang yang telah tertutup rapat itu terbuka kembali.

Suatu ketika, kau minta tolong diriku untuk mengantarmu memesan kursi mahasiswa di salah satu STIKES. Tawaran yang takkan sama sekali kutolak. Sepanjang perjalanamu menuju kampus di perbukitan itu, kita kelepasan berbicara mengenai kriteria wanita dan pria idaman masing-masing. Kucatat dalam hati bahwa kau tidak menyukai pria kekanakkan. Selagi menunggumu melaksanakan ujian, aku sempatkan berziarah ke makam kakekku. Selesai melaksanakan ujian saringan masuk, kau sempatkan membelikanku es buah. Tentu saja langsung ku lahap habis tanpa bersisa di rumah.

Sepanjang tahun 2008, sesekali kusempatkan main ke rumahmu, hingga kita menyempatkan nonton Harry Potter di bioskop. Sepertinya, saat itu muncul rasa sedikit tidak nyaman, apalagi melihatmu sesekali mengetik sesuatu di telepon genggammu. Aku memilih diam, karena sadar mungkin saja untuk memiliki hatimu, persaingan masih cukup ketat. Aku tak menampik kemungkinan bahwa kau sedang naksir dengan pria lainnya.

Setelah beberapa kali bertemu,  kembali kuutarakan perasaan untuk memilikimu. Lima bulan mengenalmu lebih dekat rasanya terlalu lama untuk dibuat terombang-ambing. Tapi nyatanya, aku memilih untuk sabar menunggu jawabanmu saat itu. Kau bilang butuh waktu untuk berpikir. Lima minggu kemudian, kau menyiapkan jawabannya. Ternyata, kau memilih seorang ketua koperasi kampus, yang juga menjadi seniorku menjadi pasanganmu. Selama seminggu hati terasa remuk,  sehingga saat dirimu mengirimkan pesan ucapan Idul Qurban, pesan itu kubalas dengan ketus. Aku bertekad untuk pergi jauh darimu.

Suatu ketika, setelah mendapat jatah liburan sekolah magister, kau kembali muncul di kampusku. Saat itu aku dibelakangmu mengikuti antrian hidangan lumpia basah. Kau mendapat kudapan lebih dulu, lalu bertatap muka denganku saat membalik badan. Ku sempatkan bertanya beberapa hal, yang mungkin menjurus ke persoalan pribadi. Kau memilih bicara seadanya, "Rahasia..." Lalu, kita saling berpisah jalan, sambil ku tatap perutmu yang menjelma menjadi dunia baru untuk 'seseorang'. Ya, aku ingat bagaimana pernikahanmu dengan dia yang terselenggara secara bersahaja satu tahun silam.

Dimanapun kau dan keluargamu berada, pikiranku masih menyimpan ruang tentang tahun 2008 dan 2006 silam. Maka, kudoakan semoga engkau hidup dalam penuh kasih sayang dan kehangatan, karena engkau hadir sebagai salah satu pelajaran tentang ketegasan yang seharusnya dimiliki seorang pria.

Ya, karena saat mengutarakan perasaanku,  semestinya aku sadar bahwa tak ada ruang bagi diriku dalam pikiranmu, Karena ku abaikan pesanmu di awal pertemuan kita yang kedua kali, "Aku butuh pria yang bisa mencintai ayah dan ibuku, sebagaimana ia memberikan cintanya untukku." Dia yang kemudian kau pilih menjadi pasangan seumur hidupmu, telah lulus ujian dari pesan tersiratmu hari itu.

Maka, sejak hari itu, aku berniat untuk memberikan ketegasan dalam sebuah hubungan yang akan ku jalani. Bila memang seseorang yang kutaksir kelak memiliki pria idaman berbeda, takkan kutunggu untuk berpaling padaku.




7 komentar:

  1. Ini kisah kedua yang kubaca tentang "tertikung" memang lagi trend ya?

    BalasHapus
  2. Akan selalu ada kasus tertikung, ada pula kita tak sadar bahwa dia memilih untuk ditikung.

    BalasHapus
  3. Pernah tidak sengaja menikung. Jahatnya diri ini. Merasa berdosa tapi ....... 😢

    BalasHapus
  4. Ada tikung2 lagi ... Duh, jadi keingetan😅

    BalasHapus
  5. hahaha. Karena salah satu band pernah bernyanyi: Entah Mengapa Menikung itu Begitu Indah. Coba kau tanya pada tetangga sebelah.

    mumpung janur kuning belum tinggi melambai sambil promosi sarung tangan, menikung itu masih memungkinkan.

    BalasHapus
  6. Tikungan ada dimana-mana, waspadalah! Waspadalah!

    BalasHapus
  7. Cerita tikung menikung juga y haha

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...