Kamis, 10 Oktober 2019

Ari, Delapan Tahun Berlalu Semenjak Kisah KKN-mu

Assalamu alaikum warrahmatullahi wabarakatuh, Ari Yanni.

Apa kabarmu kini?

Semua alumni SMA dan kampus kita sudah menempuh jalan masing-masing dan beberapa orang telah melepas masa lajangnya, termasuk sahabat terdekatmu yang menulis puisi tentang kerinduan akan dirimu. Bolehkah aku tampilkan kembali? Desember 2018 silam, teman-teman SMA serentak berkumpul dalam reuni. Kamu mungkin ada di sana, tapi mata kami yang terbatas ini perlu alat bantu untuk bisa melihat keberadaanmu. Kukira itu ada di balik fisik ini: mata batin yang merasakan bahwa kamu selalu hidup diantara kami.


Siang kemarin, aku kembali merindumu. Entah dengan kadar yang sama, lebih, atau kurang seperti halnya teman-teman dekatmu. Tapi tahukah engkau? Meskipun kita jarang berbicara, Ari Yanni, aku merasa  kamu adalah salah seorang yang berperan besar dalam menjerumuskanku untuk mendalami pelajaran bahasa Indonesia. Karenanya, dengan niat membumikan keindahan bahasa, izinkan aku kembali mengulas puisi yang ditulis Andrina, salah seorang teman terbaikmu:


Detik Purnama
(Andrina R.R, 2011)

Sampai aku menulis ini adalah detik yang mengharukan
Perpisahan ini tidak abadi, sampai berjumpa lagi sobat
Dimana aku merenung adalah sebuah dekapan nyata
Prahara hidup di dunia bagi orang yang menyayangimu

Kini aku dambakan kembali senyuman manis
Dalam derai canda tawa yang indah
Seakan kilat-kilatan memorimu mencuat lagi
Hingga sore itu, aku mengigau bertemu denganmu

Aku melihat silaunya cahaya bulan dimalam itu
Menandakan Tuhan selalu memberikan cahaya abadi
Untukmu disana, untuk kami disini dan pada memoar
Yang terpancar hanya kebahagiaan diatas segala duka

Kini aku sendiri, memanjatkan doa pada Illahi
“jangan kau kecewakan saudara kami”
Air mataku bergenang, terus ku serukan lagi
“berikan tempat terindah baginya”

Dinginnya malam ini menusuk kulitku
Tapi tak sedingin dunia ini kehilanganmu
Aku masih dapat bertahan
Meredam emosi

Aku tatap lagi alam di dunia
Merenung, terdiam, tak ada pikiran
Kali terakhir aku dapat menyentuhmu, kehangatan yang kau berikan
Apa kan ku ikhlaskan kepergianmu sobat?

Hati ini berasa hancur, bukan yang pertama kalinya
Namun sudah cukupkan kepingan hati ini terbelah
Aku sudah banyak kehilangan
Tidak kubiarkan satu nyawa lagi

Sayang, Ada satu jalan yang akan kita lalui lagi
Beritahu rahasia dimana tempatmu berada
Kelak kita akan berkumpul lagi dalam satu surga Tuhan

Dimalam yang tak berdaya ini
Aku bersahaja pada Sang Pencipta
Seraya memanjatkan doa, keinginan, dan harapan
”pertemukan persahabatan kami kembali”
(Bandung, 2011)


Bagaimana, Ari? Apa engkau turut menyimak puisi ini kembali? Atau justru engkau sudah selesai menghayati hingga siap membacanya kembali? Aku rasa, kalau hari ini Januar, Andrina, Nina, Ina, Rama, Giovanni, Adhamaski, Tiara, Laras, aku, dan saudari kembarmu Ari Yanti menyimak caramu membawakan puisi, kurasa kami takkan mampu membendung gravitasi yang menarik mata ini.  Lantaran begitu besar rindu, yang membuncah setelah dirimu mengucapkan selamat tinggal dalam tidurmu yang damai. 



Begitu damai, hingga tak henti-hentinya aku turut membanjiri bekal doa untukmu. 

Delapan tahun yang lalu di bulan Juni, memang tepat apa yang diutarakan eyang Sapardi dalam puisi, "Hujan Bulan Juni". Mungkin, saat itu alam menyembunyikan air mataku dari kejauhan, bersama dengan hujan yang tak henti-hentinya mengguyur Suralaya. Saat aku turut mendengar engkau harus terkapar lelah setelah berjuang dalam tragisnya jalan raya ibukota. Aku tak kuasa untuk kembali ke kota kelahiran, yang telah membesarkan kita bersama. Namun, aku terus mengawasi perjuanganmu lewat akun media sosial yang tak henti-hentinya dibanjiri kata-kata motivasi dari teman-teman. 



Yang membuatku pilu saat itu, Ari, tak lain adalah kerisauan sebagai mahasiswa KKN yang terpisah jauh dari rumah, serta harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi di tempat perantauan. Di Suralaya, dadaku sering bergemuruh melihat jalan-jalan yang berlubang dan berbatu. Acapkali emosi tidak bisa kutahan, lantaran hanya bisa mengambil uang di tempat yang berjarak hampir satu jam dari asrama. Aku sempat berpikir, bahwa bekerja di tempat yang sama denganmu adalah jaminan kenyamanan. Tapi siapa sangka, justru sore itu jalan beraspal ibukota menjadi saksi tragedi yang menimpa dirimu. 

Aku masih ingat, saat teman-teman satu SMA bersatu padu menggalang dana untuk kesembuhanmu.. Tapi aku sudah terlanjur di bis, setelah menyumbang sebisaku. Setelah selang-selang itu turut menjadi senjatamu berjuang melawan rasa sakit yang mendera, Allah-lah sang Maha Penentu definisi mutlak dari "kesembuhan". Engkau ucapkan pamit di malam itu, saat seisi kampus berkumpul dalam lautan doa. Supaya perjalananmu yang begitu senyap dan larut bersama udara malam, dipenuhi oleh bekal yang membebaskanmu dari kesulitan dan tantangan yang menanti. 


Berbondong-orang mengantarmu menuju pembaringanmu yang memberikan kedamaian, air mata semakin tak terbendung. Lebih-lebih, saat Giovanni berorasi bahwa engkau selalu ada bagi angkatanmu, sampai kapanmu. Nyatanya, engkau memang abadi, dalam hati setiap insan yang mengenangmu. Seperti baru kemarin, engkau datang menghampiri mimpi, lalu kembali menyapa tepat saat aku memulai pembicaraan tentang kenangan dalam tragedimu bersama atasanku.  Aku tak pernah tahu, seperti apa jalan dan rumahmu kini, maka kulanjutkan kembali do'a dan segala untaian harapan terhadap dunia yang sedang engkau diami saat ini. 

Barangkali, doa-doa itulah yang turut menjadi bekalku, bila tiba saatnya nanti untuk berkumpul di dunia yang abadi. Mungkin, di tempatmu terbaring kini, ada seribu arti baru yang lebih sejati dari dunia  fana yang sedang disinggahi saat ini. 
(Jakarta, 2019)






1 komentar:

  1. Terharu aku bacanya 😢
    Semoga di tempatkan tempat yang begitu indah di sisiNya 😇😇

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...