Sabtu, 26 Oktober 2019

Kenikmatan Berdebat Dengan Para Bedebah

Negeri saya ini lucu. Tanpa perlu sesering mungkin menonton tayangan humor, beberapa sikap dan tingkah laku orang-orang yang berada dalam dunia maya dan nyata senantiasa membuat perut ini sakit. Sudah beberapa tahun ini, saya lebih suka untuk melatih diri untuk mengubah sakit hati menjadi sakit perut. Soalnya, sakit jiwa tidak ditanggung asuransi kesehatan. 

Apalagi, asuransi kesehatan jaman sekarang malah mengancam status kewarganegaraan para penggunanya. Saya masih ingat berita beberapa hari silam, bilamana uang premi tidak dibayarkan, maka layaban listrik  dan kartu tanda penduduk milik pengguna berhak dicabut. Sungguh sebuah ironi berlelah-lelah kerja hanya untuk membayar asuransi kesehatan, meski di sisi lain tak semua rumah sakit mau menerima jaminan asuransi untuk hal-hal yang sepele tapi vital. Itupun belum termasuk tagihan listrik dan pajak lainnya. 

Selain  menghemat biaya asuransi, saya rasa, melarikan beragam jenis lelah hati jadi sakit perut bisa memperkaya wawasan. Wawasan tentang hal-hal yang tidak perlu dipikirkan terlalu jauh dan orang-orang yang tidak sepatutnya diambil hati. Di berbagai belahan negeri saya, polusi beraneka rupa telah muncul. Tak hanya polusi udara, air, dan tanah: polusi informasi, waktu, etika, dan isu ikut mewarnai kekeruhan dan kekisruhan yang telah lama menjangkiti negeri ini. Sialnya, banyak orang yang justru ketagihan untuk menghirup beragam macam jenis polusi baru ini.  

Sebagaimana tingkat mabuk tergantung kadar alkohol, orang-orang yang menjadi para penghirup polusi ada yang masih biasa saja, ada pula yang berubah wujud menjadi para bedebah. Diantara empat macam polusi yang telah disebutkan, saya selalu berharap banyak lelucon lebih bermutu dilontarkan oleh para bedebah yang kecanduan polusi etika dan informasi.  Masih tertanam di kepala saya, beberapa orang yang memulai 'kelucuan' ini bertahun-tahun silam. Merekalah yang berperan besar untuk mendidik saya agar tak lekas lelah hati menghadapi orang-orang yang masih satu spesies dengan mereka.

Tiga tahun lalu, salah seorang tetangga saya mencicil mobil tipe MPV yang menghabiskan banyak tempat. 'Prestasi' yang diukir mobil tersebut kian bertambah, manakala beberapa kali si bongsor roda empat itu terparkir menyesaki jalan komplek yang tidak luas. Saya sempat lega, lantaran empunya mobil ditegur hansip,

"Pak, mohon maaf lain kali jangan parkir di sini. Banyak orang lalu lalang dan mobil bapak menutupi jalan."

"Rumah saya sudah ga cukup buat masuk mobil pak, emang situ mau bayarin garasi buat saya?"

Rupanya, hansip pun dia lawan. Mbelgedhes! Dasar kelakuan orang pura-pura kaya. Mosok punya uang segepok, beli garasi aja ndak iso. Belum lagi, tetangga saya ini kerap nyombong. 

"Saya merasa punya mobil itu jaminan kebahagiaan. Memang uang tidak bisa membeli kebahagiaan tapi lebih nikmat menangis di dalam mobil daripada di dalam bus. "

Saya cukup tertawa geli mendengar penuturannya, sambil bergumam dalam hati: 

"Yah, benar memang lebih enak buat menangis. Saking enaknya buat nangis, saya ga tahu berapa lama dalam sehari bapak tersedu-sedu dalam mobil itu. Bisa jadi, nangisnya lebih lama di kursi jok daripada kursi bus, lantaran cicilan dan agunan yang nggak beres-beres. Huahahahaha."

Ternyata, bapak tukang pamer itu menemui karmanya. Belum lama ini, bagian belakang mobilnya ringsek diterkam motor tiger. Pelakunya, seorang anak kuliahan berjaket langsung kabur tanpa menengok. 

Ya begitulah namanya harimau, memang gak pilih-pilih mangsa.

Bapak itupun terisak di depan umum, sesuatu yang dianggapnya hina selama ini. Segala sumpah serapah dan ratapan yang keluar dari mulutnya entah kenapa terdengar nikmat di telinga saya dan beberapa orang yang sakit kepala dengan sikapnya. Satu sisi, saya belajar bahwa memang kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang, dan bagi orang yang hobi pamer miskin empati,  kebahagiaan bisa lenyap dalam sekejap. 

Selain bapak tersebut, beberapa bedebah lainnya yang saya ingat, menimbulkan trauma yang cukup membekas. Dia memang tak punya niat mencelakakan, tapi juga tak ada niat bertanggung jawab. 

Saya tak kenal siapa dia, hanya seorang ibu-ibu yang membawa motor bersama anaknya. Yang kutahu, dia membawa motornya berlawanan arah dengan lampu sennya. Paman saya telah menjadi korban dari ketidakjelasan arah motornya, lalu dia ambil langkah seribu tanpa menoleh. 

Saat kulihat lengan paman bersimbah darah, dalam hati kutukan keras kualamatkan pada ibu tak dikenal tersebut.  Tak sampai sebulan, kudengar berita pahit di TV bahwa seorang ibu dan anak meninggal di tempat setelah motornya tersapu mobil minivan.  Saya mengelus dada sambil mewanti-wanti diri sendiri,

"Astaghfirullah Ervan, lain kali hati-hati dalam berdoa. Jangan-jangan, tak perlu menunggu setahun untuk terkabul."

Selain bapak tetangga dan ibu serampangan tersebut, ternyata bedebah tak hanya muncul di lalu lintas dan komplek perumahan. Dua orang teman yang kusangka sahabat selama ini, ternyata menjadi sumber lelucon dengan topik pengkhianatan.  

Dua tahun silam, Roni meminjam uang  dalam jumlah fantastis. Tak kurang dari enam digit. Dia datang memohon dengan muka memelas. Karena iba, tentu saja kuanggap ia berhak atas uang itu. 

Sayang, begitu uang itu kubutuhkan, Roni selalu mengelak.

"Tadinya saya sudah mau bayar, cuman uangnya ketinggalan."

"Maaf dipakai dulu untuk yang lain ya."

"Ada yang lagi penting banget, bro.."

Akhirnya kudaratkan bogem mentah di wajahnya, sambil tertawa puas. Saat itu, alasan yang dia utarakan cukup menggoda nyaliku:

"Bro, emang lu sekarang udah miskin, sampai-sampai lu sering nagihin gue?"

Sama-sama jadi pekerja kantoran, sama-sama pakai motor. Tak kusangka giginya harus rontok di tanganku. Tanpa diminta perusahaan untuk mundur, harga diriku mendorongku untuk resign lebih dulu. Maaf, saya tidak mau lama-lama berkubang dalam lingkungan para 'pelawak' pinjaman uang. Banyak teman sekantor yang justru membelanya, meski tak sedikit yang memaklumi sikapku. 

Aliran uang tak harus menunggu tanggal tertentu, itulah yang saya yakini ketika kembali merintis usaha penerbitan. Usaha ini bertahun-tahun dijalankan dengan merapel pekerjaan kantor. Maka, ketika surat resign sudah jadi resmi, saya lebih fokus menjalaninya. Tapi, tak jua mengusir bedebah yang ada di sekitar saya. 

Eris, yang kusangka bisa dipercaya untuk menjadi tangan keduaku dalam bisnis ini, nyatanya tak lebih dari seorang plagiat.  Beberapa naskah milik mitra, langsung dimuat di koran atas nama dirinya tanpa izin. Mitra marah, langsung saja kuseret dia secara halus. 

"Eris, sekarang kamu hapus publikasi yang sudah dimuat di koran itu. Saya tidak mau tahu, kamu sudah melakukan plagiat!"

Saya kemudian menyindir perlakuan dirinya dalam akun media sosial. Tak lama, ia malah balik mengancam 

"Kenapa pak Ervan tega mencemarkan nama baik saya? Saya akan laporkan bapak!"

"Kalau kamu mau tidak dicemarkan, kamu jangan pernah berniat untuk berkubang dalam kotoran. Saya hanya tidak mau ada editor semacam kamu di teman-teman penerbit lainnya. Kamu mau ngancam? Silahkan! Kita juga punya undang-undang anti plagiasi, dan saya yakin bukan hanya mitra kita yang sakit hati. Yang jelas, kalau kamu mau nekad somasi, saya takkan pernah lari karena saya bukan Pinokio!"

Dia pun diam membisu. Batang hidungnya tak pernah lagi tampak di mukaku bertahun-tahun. Dasar pelawak. 

Mulai dari empat orang itu, saya selalu belajar menertawakan para bedebah yang tidak tahu malu. Lebih-lebih, kadang saya menanti keberadaan orang-orang semacam ini di manapun berada. Sungguh mereka mengusir kebosanan hidupku. 

Tamat

Masih diniatkan untuk tantangan ketujuh ODOP

#Cerpen10paragraf
#ChallengeOneDayOnePost
#OneDayOnePostBatch7
#Tantangantujuh










1 komentar:

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...