Selasa, 29 Oktober 2019

Dengan Siapa Kita Jalani Cerita Ini

(Cerita ini adalah sambungan dari 'Mari Kita Mulai Cerita Ini')

Molo bergumam dalam hati, saat ia menatap kasuari yang menyebutkan nama satwa asing. 

("Sudah kuduga, memang dia hendak memperdayaku. Kali ini, aku takkan bertanya lebih jauh. 
Bosan kujilat seisi rimba hanya untuk mencari jejak anak-anakku.")

"Mohon maaf tuan kasuari, aku sepertinya salah arah. Terima kasih telah menerimaku di wilayahmu."

"Oh begitukah? Sepertinya kau memang mencari seekor musang dibalik semak-semak ini. Kau cukup menjilat kakiku dulu, sama seperti hewan lainnya. "

Molo berbalik arah, antusias mencari sumber bau yang sedikit dikenalnya. Tak diindahkannya tanggapan kasuari. Terperanjat dan tertekan. Beberapa cangkang telur sudah dipecahkan, sisa sebutir dan seekor kadal kecil yang terluka. Musang Bajengkong sedang tertidur. Bergegas Molo mengambil langkah memutar untuk menyelinap ke dalam semak, kemudian dibawanya telur yang masih utuh bersama bayi kadal yang terluka. 

Rupanya, musang hitam besar dengan hiasan kepala tengkorak burung itu terusik oleh gerakan induk iguana. Ia mengancam dengan beringas, tepat setelah terjaga dari tidur siangnya.

"Hei! Kembalikan makananku! Akan kulumat kalian."

Molo berusaha susah payah lari dari Bajengkong dengan membawa 'banyak muatan'.  Sesaat Bajengkong mulai menyusul, tinggal selangkah untuk mencengkram mangsanya yang berlari. 

"DOR!" "DOR!"

Bajengkong berbalik arah, lari tunggang langgang mendengar bunyi yang nyaris memecah gendang telinganya. Matanya menangkap api yang melesat menuju pepohonan, melumat dedaunan. Molo tetap berlari sekencang-mungkin, karena tujuan besarnya hanya tentang keselamatan diri dan nyawa dua ekor kadal yang dilindunginya.


_______
_______
"Komu, apa yang terjadi denganmu? Sudah tiga hari ini kau buang air besar dan muntah lebih dari sepuluh kali. Apa jangan-jangan mimpi tentang ibunda membuatmu banyak pikiran?"

"Aku tak paham, kak Neka. Mungkin memang aku merindukannya, sama sepertimu. Tapi entah mengapa, rasanya aku tak sanggup mengunyah buah-buahan selama beberapa hari ini."

"Ya, aku juga merindukan ibunda, Komu. Mungkin, buah-buahan yang tadi sudah membusuk. Kita memang sedang tak banyak pilihan untuk bertahan hidup, gara-gara longsor besar itu."

"Aku jadi terpikir soal Mara, kak Guni, dan kak Bong. Bagaimana ya mereka? Apa mereka sehat?"

"Entahlah, kuharap mereka sehat-sehat saja. Sebenarnya Mara mau saja ikut dengan kita, selama ia mampu membuang rasa segannya terhadap kak Bong dan kak Guni.  Kak Bong memang kasar dan egois dari dulu, sementara kak Guni baru nurut kalau ada maunya. "

"Eh....kok ada bau makanan ya? Tampaknya ada sesuatu yang lezat tak jauh dari sini."

"Entah kenapa, aku tak bisa menciumnya, Komu. Mungkin itu adalah makanan yang cocok untuk lidahmu."

Secara refleks, Komu berlari menuju sumber bau. Ada sesuatu dari dalam diri Komu yang membuat kadal besar remaja itu berlari lebih cepat dari biasanya.  Bau itu ternyata adalah aroma amis darah dari seonggok jasad babi hutan yang ususnya terburai, tergeletak di balik patahan ranting dan kayu pohon besar. Lantaran Komu tak kuasa menahan air liurnya, maka dilahaplah bangkai tersebut.

"Kamu sanggup makan bangkai seperti ini, Komu? Hoeekss,..... aku mual sekali mencium baunya."

"Kenapa ya bisa nikmat sekali? Justru aku merasa tak pernah merasakan kelezatan seperti ini sebelumnya"

"Hei kalian! Roooaaaaaaaarrrrr!! Itu makananku!"

Dari belakang semak pohon tempat jasad babi hutan teronggok, muncullah sesosok kucing loreng besar dan bertaring. Aumannya membuat suasana jamuan makan mendadak tegang. Keringat dingin Komu dan Neka seketika mengucur deras. Mereka memasang kuda-kuda, karena bisa jadi sosok kucing besar itu siap mencabut nyawa mereka karena makanannya direbut.

Namun....harimau beranjak remaja itu mendadak sedikit iba melihat perawakan Komu yang kurus kering.

"Hei, komodo. Aku mengerti kamu memang sedang lapar. Tapi paling tidak, lain kali lihat dulu sekitarmu. Babi hutan itu hasil buruanku, jadi lain kali kalau mau makan bawa buruanmu sendiri. Aku tak keberatan makan bersama-sama."

"Maaf, kau panggil aku komodo, kisanak? Apa itu komodo? Aku ini iguana botak."

(Harimau menggumam dalam hati"Ya Tuhan, ternyata aku berhadapan dengan komodo yang tak sadar siapa dirinya?") "Ya sudah, kita makan saja babi ini bersama-sama. Lagipula, aku sudah cukup kenyang makan usus besarnya. Jadi namamu Komu , ya nama yang cocok dengan asal-muasalmu. Aku Yoka, harimau yang sudah berkeliling hutan ini selama empat tahun."

"Terima kasih Yoka atas kemurahan hatimu. Jadi, kau sebut aku komodo? Bisa ceritakan apa itu?"

"Ya, tentu saja. Kulihat, sepertinya kamu jarang berburu. Yang jelas, kalau kalian bertanya apapun padaku, aku takkan meminta untuk menjilat kakiku. "

Setelah menikmati jamuan babi hutan, Yoka mengajak Komu dan Neka berkeliling hutan. Komodo, cara berburu, dan beberapa langkah untuk bertahan di hutan menjadi topik perbincangan mereka. Tak lupa, Komu dan Neka mengajak Yoka bermain ke sarang. Saat itu, Kamga sedang tertidur pulas.

"Kau takkan memakan adikku kan?"

"Tentu saja tidak, Neka. Aku lebih tertarik berburu sapi, rusa, banteng, dan babi. Maka, jika kalian memboyong seekor rusa jadi teman , siap-siap saja melihat air liurku terkucur. "

"Kau bilang tadi cara membunuh hewan adalah dengan memutus nadinya. Tapi, sepertinya aku tak selihai kau dalam menggigit leher hewan besar."

"Kau punya racun dalam liurmu.  Jangankan rusa, badak pun bisa kau tumbangkan hanya dengan menggigit kakinya."

"Baik. Sepertinya aku perlu lebih banyak berguru padamu. Kau kan calon raja hutan"

"Raja hutan? Ada yang lebih mampu merajai hutan ini. Lebih tepatnya, merajalela. Salah duanya, adalah para pembunuh ibu dan ayahku. Sungguh tega mereka hujamkan api ke jantungnya. "

Komu, Neka, dan Kamga tertegun. Mereka ingat cerita ibu mereka beberapa bulan silam, tentang letusan api yang membuat Bajengkong berbalik arah, dengan bunyi yang sanggup memecah telinga. Seketika keringat dingin mengucur. Khawatir para pemilik api itu ada di hutan ini. Yoka menunduk; dalam pikirannya berkutat kenangan tentang mendiang ayah dan ibu.

Grosak...! Grosak...!

"Siapa itu?"

"Grrroaaaaarrrr!!!!!"

Dalam sekejap, seekor macan tutul segera menggamit Kamga, iguana bertubuh mungil itu, dalam mulutnya. Komu, Neka, dan Yoka bergegas mengejar macan tutul dewasa itu.


BERSAMBUNG

#TantanganODOP8eps3
#SambunganSelasa
#OneDayOnePost
#ODOPBatch7























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...