Rabu, 25 September 2019

Terlalu Banyak Copy Paste Bisa Membunuhmu Pelan-Pelan

Semua orang, termasuk saya sendiri, kiranya sulit lepas dari kebiasaan salin tempel. Lebih-lebih ketika smartphone menjadi kebutuhan sekunder yang sudah lazim, mengambil tulisan-tulisan seisi buku utuh -tanpa kurang ataupun lebih- bisa dimungkinkan dengan ujung jari ini. Akan tetapi, beberapa pengalaman yang terjadi dalam percakapan maupun pekerjaan yang menjadi rutinitas sehari-hari semakin meyakinkan bahwa copy paste punya daya rusak akan integritas pekerjaan dan etika komunikasi kita. 

Bagaimana bisa?

Dulu pun saya meremehkan premis di atas. Setiapkali dosen-dosen zaman masih anak kuliah  kerap menyindir para mahasiswa yang senang menyalin-tempelkan tugas, saya lebih memilih tertawa kecil lalu tetap terpaku dengan cara demikian. Praktis, tidak perlu berpikir keras, hanya tinggal poles sana-sini. Tapi saya naif, sungguh copy paste itu telah merampas daya serap kognitif untuk mengenali pola penyelesaian tugas. Akhirnya beberapa kali jadi malah kerja dua kali, terutama saat dulu menyusun tugas laporan pencemaran udara, hingga menuai beragam masalah dalam penyusunan laporan kerja praktek. Menyunting ulang sana-sini supaya data konsisten dengan narasi. Saya yakin sebagian pembaca juga pernah melalui 'tahap' ini.

Titik mulai mengurangi copy paste secara signifikan adalah ketika dosen pembimbing tugas akhir mengancam 'memulangkan' saya pada kordinator TA. Mata beliau menangkap beberapa tulisan 'bekas laporan' bertaburan menghiasi tugas akhir saya.  Awalnya saya keringat dingin, terlebih ketika melihat beliau mengernyitkan dahi.  Tetapi dosen pembimbing saya cukup baik, beliau mengajarkan bahwa memang wajar kalau mengerjakan tugas butuh referensi, tetapi tidak untuk langsung dicuplik begitu saja.

"Coba buka tab windows lagi, belah layar laptopmu jadi dua, lalu susun dengan  dengan bahasa dan ketikanmu sendiri. Biar saya tidak bertemu lagi laporan soal Purwakarta, malah ketemu kata Karawang."

Usai lulus program sarjana, saya melanjutkan jenjang magister setelah 8 bulan lebih 'mikir-mikir'. Karena mengambil jurusan di luar negeri, sudah barang tentu saya berhadapan dengan kultur pendidikan yang berbeda dengan nusantara.  Jika bertemu sisa-sisa 'salin-tempel' dalam dokumen, di Indonesia paling-paling kertas kita dicoret atau disobek. Sementara di negara-negara persemakmuran Inggris, salah satunya Australia yang menjadi tempat berkuliah saya, menerapkan situs pengecekan yang cukup sadis.

Namanya Turnitin. Situs ini bisa jadi salah satu algojo yang cukup destruktif bagi para pegiat salin tempel yang hanya kejar selesai tapi enggan membaca ulang tugas. Lebih-lebih, universitas tempat saya berkuliah punya kebijakan yang bikin berkeringat: apabila mahasiswa terindikasi melakukan salin tempel dengan tingkat kemiripan 40% sebanyak 2 kali, maka dosen berhak mencabut SKS yang telah diambil mahasiswa tersebut. 

Bagaimana, apakah anda sudah cukup merinding mendengarnya?

Alhamdulillah, selama menjalani kuliah magister, rekor angka kemiripan salin tempel saya hanya mencapai 15%. Beberapa cara ampuh menghindari salin tempel telah terbekali dengan baik di kursus academic english yang dijalani selama 10 minggu. Tetapi nasib berkata lain untuk teman sekelas saya, itupun bukan hal yang disengaja. Situs turnitin menstempel makalahnya 'terjangkit' salin tempel sebesar 40%! Setelah klarifikasi, ternyata makalah buatan teman saya itu copy paste 2 halaman dari makalah tugas buatannya sendiri di masa lalu. 

"Bri, kalau udah lulus kuliah, berarti enak dong bisa lanjutin salin-tempel?Kan udah ga ada tugas kuliah lagi." 

Kenyataannya, lingkungan bisnis dan usaha menuntut integritas lebih pada setiap hal yang kita susun. Beberapa teman saya yang sudah jadi petinggi toko kerap mengeluhkan budaya salin-tempel yang dilakukan mitra dan karyawan mereka.

"Saya ga akan pernah balas ajakan sponsorship dari mitra yang langsung salin tempel proposal di chat whatsapp. Basa-basi dulu kek, jelasin niatnya gimana. Kalau gini sih dia ga serius, cuma pengennya cepet beres doang!"(M manajer toko salah satu retail hijab terkemuka di Indonesia)

"Bri, coba kamu baca ulang 5 slide pertama. Apa yang kamu temukan? Sesuai?  BISA MISLEADING ORANG YANG BACA KALAU BIKIN SLIDE CONTEKAN GA DIBACA ULANG!" (manajer saya)

Nyatanya, memang kadang kemalasan dan keinginan kita untuk praktis dalam bekerja harus dipikir ulang secara adab dan logika. Copy-Paste dalam bekerja itu masih relevan dalam hal memudahkan template, namun kalau sudah soal narasi memang kita diharapkan membaca dan mengkaji ulang. 

Di sisi lain, dengan kemudahan teknologi yang ditawarkan aplikasi obrolan dan komunikasi semacam whatsapp, line, dan WeChat, budaya copy-paste ini seolah begitu menggoda iman.

Ada teman ulang tahun, 1 teman kita kasih ucapan "Selamat ulang tahun sahabatku semoga panjang umur dan bla bla bla". Lantas karena kita melihatnya dalam grup WA, serta-merta tulisan kalimat utuh itu disalin-tempel ulang tanpa perbedaan diksi maupun kata.  

"Biar meriah dan cepat kalau diramein 1 grup, Lagian malas ngetik, Bri" (kata teman saya).

Saya sendiri yang melihatnya, justru malah bikin geleng-geleng kepala dan mulai mikir : "apa lebih baik grup WA ini diisi chatbot aja ya? Bosen saya lihat pesan disalin-tempel puluhan kali, padahal penghuni grup beda adat beda budayanya.

Di tahap ini, kamu pasti setuju dengan saya, bahwa hidup terasa lebih natural ketika kita melihat perbedaan gaya bicara dan narasi. 

Untungnya, momen yang melancarkan budaya copy paste hanya untuk perayaan yang bersifat bahagia.

Bagaimana kalau salin-tempel itu diterapkan dalam momen duka cita?

Kalau saya jadi resipien ucapan duka cita, takkan sanggup saya bendung air mata. Selain karena duka citanya, saya pun turut prihatin karena teman-teman 1 wadah komunikasi hanya menjalankan formalitas di saat terhimpit suatu musibah yang serius. 

Meskipun saya tetap positive thinking kalau-kalau para penyalin tempel ini sibuk dan ingin tetap memberi perhatian, bukan berarti budaya salin-tempel itu tidak akan jadi bencana kalau jadi kebiasaan.

Lalu, bagaimana supaya budaya salin-tempel ini bisa dijinakkan?

Tunggu ulasan berikutnya. 












6 komentar:

  1. Harus itu, oh ya aku pernah dikasih tahu, julukan plagiat bs diberikan pada penulis yg copas karyanya sendiri 😅

    BalasHapus
  2. Duh memang sudah jadi kebiasaan seperti itu 😔

    BalasHapus
  3. Jadi sekian banyak kata yang terbaca berakhir dengan tanya.
    Kami tunggu untuk ulasan berikutnya.

    BalasHapus
  4. Dulu sering copas, sekarang gak lho

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...