Sabtu, 21 September 2019

Episode 2- Surat Untuk Pakde dan Mas Fajar.

Kepada
Yth. Pakde dan Mas Fajar.

Assalamu alaikum warramatullahi wabarakatuh. Apa kabar Pakde dan Mas? Sudah lama saya tidak menjumpai guratan pena pakde dan mas. Mungkin pakde dan mas sudah begitu sering menulis di berbagai lama media, namun saya yang mungkin sering lupa untuk membaca dan mengulas tulisan pakde dan Mas.

Pakde dan Mas mudah-mudahan masih ingat, bagaimana saya dulu mulai menggemari buku tulisan sebagaimana komik digeluti. Berhari-hari di rumah sakit mendekam karena penanganan inhaler untuk memupus asma membuat saya bosan. Kemudian saya yang waktu itu masih berusia 9 tahun akhirnya mendalami buku kompilasi humor madura , dipinjam dari pamanku seorang dokter anak.

Meskipun membawa belasan komik doraemon dan magic knight rayearth untuk memupus kebosanan, entah mengapa 5 hari terbaring lemas di pesakitan saya lebih senang mengupas buku humor tersebut. Barangkali, karena anak umur 9 tahun seperti saya mulai memahami sisi positif dari setiap keganjilan hidup yang dikemas dalam lelucon.

"Te, sate, sate..."

"Tak, ye"

Logat-logat yang tersebar dalam kalimat yang bertaburan di buku tersebut begitu menghidupkan hari-hari di ranjang. Entah ini positif atau tidak, saya merasa bahwa ragam budaya indonesia ternyata punya daya tarik luar biasa. Semenjak buku itu dikembalikan pada paman, saya mulai memprioritaskan buku humor sebagaimana komik lain yang menarik. Kalaupun ayah saya sudah punya, saya pinjem untuk diresapi.  Di akhir kelas 1 SMP, saya belanja buku humornya Edwin dan Jody, yang sampai sekarang bikin ngekek ndak karuan.

Di tingkat 2 kuliah, lantaran jadi aktivis, saya mulai membaca karya-karya Pakde. Beberapa yang isinya saya ingat adalah Republik Jancoekers dan Berani Ngawur Karena Benar. Lantaran dulu sering diingatkan ayah supaya hati-hati dalam berkomentar di medsos, mengulas kedua karya pakde tersebut membuat saya paham apa arti fiksi untuk menyusun "sindiran yang berseni".

"Normalnya, ngawur itu identik dengan keliru. Namun bila zaman sekarang standar yang benar justru malah membuat kita pusing, terus kita mau apa?"

Begitu tagline 'Ngawur Karena Benar' karangan Pakde yang masih saya ingat. Terutama di hari-hari saya ikut turun berdemonstrasi membela hak-hak adik mahasiswa yang terancam kelabakan dengan uang kuliah yang setinggi gunung.

Kepada Pakde, teruslah berkarya dan menyentil nurani kita dengan wayang dan lakon. Saya masih ingat betul watak pakde yang sering bicara agak nyeleneh tapi ndak pernah nrimo kekerasan dan persekusi.  Jujur, saya cukup kagum dengan kiprah salah satu teman SMA yang memilih jadi penari latar di salah satu lakon buatan pakde.

Barangkali, bila saya harus menyebut siapa nama dibalik kecintaan menulis budaya jawa dalam setiap karya dan narasi yang nyentil, Pakde Sujiwo Tedjolah sang dalangnya.

Lalu Mas Fajar, semoga engkau masih terjaga dari lelap setelah 'menyantap' sebagian besar isi surat yang ngalor-ngidul yang berisi kekaguman pada Pakde Jiwo. Rinduku padamu rasanya juga hampir sulit untuk dilukiskan. Minimal yang mampu saya ungkapkan: Setiap kali login facebook, nama Mas pasti saya sempatkan untuk dipelototi. Baik isinya maupun orangnya.

Awal saya bertemu dengan Mas, saya cukup terkesima. Mas adalah salah sekian penduduk Indonesia yang memfavoritkan Jokernya Batman setiap kali ada perhelatan kostum. Saya mulai menggali, apakah yang membuat Joker bisa jadi tokoh idaman. Padahal secara empiris, kita tahu dia adalah antagonis.

Setelah saya menapaki sekian meme dan lelucon lalu lalang di google, mulailah paham bahwa beberapa perwatakan Joker mewakili kegundahan dan kegetiran hidup manusia di masa dewasa. Hal tersebut sepertinya saya temukan dalam ilustrasi dan tulisan yang mas biasa unggah di laman facebook.

Ada belasan uraian mengenai kegetiran dan kepahitan hidup yang kadang berpotensi mendorong orang untuk bunuh diri, hingga dilema harus memilih satu diantara dua orang yang sedang dihimpit maut. Maka, bolehkan kalau sampai saat ini saya mengagumi mas dengan kompleksitas pemikiran mas?

Mas Fajar Sahrul, saya masih terpingkal dengan komik miniseri mas bertajuk "pertaubatan Mulyono". Betapa sebuah kisah fiksi bisa dibalut dengan narasi nakal dan menohok. Berangkat dari mas, rasanya saya mulai mengerti bagamana menaruh lelucon "cap lada hitam" dalam tulisan kita.

Mudah-mudahan, mas juga sudah lupa pertengkaran terakhir kita? Eh, kok saya malah ingetin?

Ya, kita sempat berbeda pendapat saat menyikap kasus penistaan agama tahun 2016, berikut juga kasus Aleppo tahun 2017. Meski demikian, mas sempat mengomentari positif beberapa kiriman saya di medsos.

Mas Fajar, kalau ada waktu mengunjungi akun sampeyan, saya ingin kembali mengulik narasi dan ilustrasi mas. Biar buku fiksi dan non-fiksi saya nanti bisa berasa "spicy" bilamana mampu disusun dalam bahasa santai dan jenaka. Karena saya tahu, setiap yang ditulis sebisa mungkin mengandung impact. Karena kalau mengandung umpan itu lagunya Meggy Z.

Mas Fajar, udah tahu belum kalau mas Agus Mulyadi sekarang bikin ensiklopedia nabati dan hewani sekadarnya dan semampunya? Saya juga tertarik untuk menyusun buku semacam itu, mungkin di bidang lain, salah beberapanya adalah yang pernah digeluti saat kuliah.

Jikalau mas fajar sudah membaca bukunya, mohon resensi anti mainstreamnya ya. Saya sudah agak jenuh membuat resensi buku dengan pola 'itu-itu' lagi. Ya ada judul, jumlah halaman, terbit tahun berapa, berikut sesi inspirasi dari buku. Saya berharap, kalau sudah belajar resensi dari Mas Fajar, model resensi buku akan berkembang lebih pesat ketimbang anak lepas balita kehilangan kancing karena baju tidak muat di pusernya. Seperti iklan Scott Emulsion itu lho.

Ya sampai di sini dulu surat rinduku untuk Pakde Jiwo dan Mas Fajar.

Jika suatu hari ditakdirkan jadi diaspora, tulisan-tulisan saya akan terus disusun dalam bahasa indonesia. Karena saya akan ingat betapa Pakde dan Mas adalah bukti bahwa betapa banyak budaya indonesia yang masih patut dikagumi, dilakoni, dan dihayati. Baik dalam buku satir, buku nikah (eits), hingga buku jari.

Selamat siang,

Salam sejahtera

Assalamu alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

#tantanganpekan2
#ODOP
#bagaimanasayacintasatirdanhumor

4 komentar:

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...