Minggu, 29 September 2019

1992: 100 Hari Menuju London

"Jika tidak didampingi suamimu, Bapak sulit untuk mengijinkanmu sekolah magister di luar negeri. Lagipula, anakmu masih kecil. Tunda saja dulu sampai umurnya lebih dari 5 tahun." pungkas Eyang saat mendengar keberhasilan Mama mendapatkan beasiswa Imperial College dari kantornya. Mama hanya tertunduk lesu, lalu mengiyakan.

3 minggu berselang, Bapak mengumumkan bahwa dirinya juga mendapatkan beasiswa Imperial College. Maklum, di kantornya Bapak merupakan salah satu karyawan berprestasi. Maka, sontak Bapak dan Mama mengurus segala atribut dan perlengkapan untuk terbang ke jantung Eropa itu. Semua Eyangku selalu mengingatkan mereka agar aku diajak.

Pada awalnya, aku siap untuk langsung ikut mereka. Namun,

"Sepertinya kami butuh sekitar 3 bulan untuk beradaptasi di sana, Pak. Jadi dia belum bisa dibawa dulu sampai kami mendapatkan pramusiwi. Mohon maaf, ya Pak, Bu. Kami titip dia dulu."

Terang mamaku setelah menyadari beban kuliah dan penyesuaian kehidupan di negeri yang berjarak 11 jam dari Indonesia tersebut. Jika saat itu aku sudah remaja, mungkin saja kumaklumi bahwa seorang pelajar luar negeri butuh untuk menaklukkan kegetiran soal tempat bernaung di hari-hari pertama menapaki dunia baru. Tapi apa yang bisa dipahami diriku yang berumur 1000 hari saat itu?

Tibalah hari keberangkatan itu. Aku diboyong hingga stasiun, hendak mengantar Bapak dan Mama naik kereta. Yang kutahu saat itu, mereka pergi ke suatu tempat. Tapi, mengapa Mama meneteskan air mata di depanku bila hanya pergi sementara?

Berbulan-bulan semua Eyangku berikhtiar mengasuh dan menghiburku. Seminggu aku tinggal di rumah keluarga besar Mama, seminggu pindah ke rumah keluarga besar Bapak. Setiap kali makan kuminta mereka memasang kartun untuk jadi selingan penghibur.

Masih kuingat bahwa aku begitu senang tidur di atas sampan karet milik Eyang Kakung, seorang purnawirawan marinir. Di lain waktu, pernah kujamah ruang gambar milik Eyang dari Mamaku.

"Brian, hati-hati sama penggaris besi. Nanti kalau kamu luka, Mamamu sedih.", terang Eyang saat melihat cucunya mencoba merogoh penggaris besi. Sudah berlalu 5 tahun semenjak masa pensiunnya, Eyang masih aktif mendesain bangunan. Berawal dari ruang kerja itu, nostalgia yang mengantarkan cintaku pada jurusan teknik itu tumbuh.

Selain Eyang-Eyang: Tante, Pakde, dan Om turut menjadi saksi kejahilan dan tingkahku selama ditinggal Bapak dan Mama. Saat Eyang dari Mamaku mengajakku berkunjung ke Negeri Paman Sam, seringkali meja makan jadi kotor. Pakde dan Bude yang baru pulang kuliah magister turut mengurusku dan mengenalkanku pada beragam makanan fast food. Tak lupa diajak pula aku menikmati macam-macam wahana di Las Vegas, yang cocok dinikmati balita.

Suatu ketika, aku terserang penyakit kencing darah. Kebanyakan minum sirop. Ternyata Mama yang sedang di jantung Eropa  mengalami hal serupa.

"Tolong bawa dia ke sini, udah kangen..." , pinta Mama dengan nada terisak dan menahan sakit. Bapak turut menimpali, bahwa calon pramusiwi untuk menemaniku sudah ada, seorang ibu dari Madiun.

Seusai badanku pulih, Eyang segera memboyongku naik pesawat menuju London. Disanalah aku merasakan pindah rumah tujuh kali.

Bersambung ke judul "Terlatih Nomaden".

9 komentar:

  1. wooww London. Ngiler bacanya kak hihi

    BalasHapus
  2. Dari paragraf awal sdh ada typo, ya.
    Trus tanda baca setelah dialog juga kurang tepat.

    Ceritanya bagus & inspiratif sebenarnya tapi mungkin akan lebih rapi jika penulisannya disusun, misal paragraf pertama tentang eyang, paragraf kedua tentang mama ...dsb


    Maaf jika aku terlalu lancang ya?

    🙏🙏🙏

    BalasHapus
  3. Mba rusmi: terima kasih ya mbak. Yuliani dan Slepi: semoga nanti kita bertemu keseruan baru dalam hidup kita yang lain
    Dewi: typo huruf f udah terhapus.Hahaha cut pastenya agak semrawut ternyata.

    Dari 1 tema bisa muncul 27 sudut pandang. Adapun saya lebih suka kronologis waktu ketimbang pendalaman per orang. Namanya juga mencari serpihan masa lalu di waktu mepet nulis setelah nganter sana-sini dan ngerjain ini-itu ya ga langsung bisa keplanning.

    BalasHapus
  4. Penempatan tanda dialog tag krg tepat.

    Contoh:
    "Tolong bawa dia ke sini, udah kangen,"


    Bukan

    "Tolong bawa dia ke sini, udah kangen",
    🙏🙏

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...