Senin, 23 September 2019

Membedah "Dewasa dan Kekanakan" Sebagai Kriteria.

Banyak orang zaman sekarang meletakkan kriteria mereka dalam mencari pasangan, salah satunya adalah persoalan 'Dewasa atau Kekanakan?' Tidak bisa dipungkiri, seringkali pilihan akan diletakkan pada definisi "Dewasa". Kemungkinan besar karena kebanyakan orang masih percaya slogan umum: "Tua itu pasti, dewasa itu pilihan".
Tapi benarkah menjadi kekanakan itu suatu pilihan buruk? Pada awalnya saya pikir iya. Lantas ketika dulu berinteraksi dengan anak SMP saat masa kuliah, kucoba jadi orang kalem dan bicaranya pun irit-irit milih-milih. Ternyata itu salah tempat, teman saya mengingatkan; 

"Anak-anak biasanya senang bicara dengan orang dewasa yang ekspresif dan bisa meniru mereka". 
Hal ini terbukti ketika saya mengajar kelas inspirasi; anak-anak jauh lebih responsif kalau saya ajak adu yel-yel, teriak-teriak, lalu tertawa puas.

Di kemudian hari, saya merasa adalah suatu hal yang irasional; bila orang lebih rela selingkuh karena merasa pasangan selingkuhnya lebih 'dewasa', lantas ia meninggalkan pasangan halalnya yang dianggapnya "anak mami papi". Tidak sepenuhnya benar, karena ada saatnya sifat manja itu dibutuhkan kalau kita bekerja sama: yaitu 'realistis tentang hal yang kita belum mampu laksanakan',  meskipun manja itu menyebalkan.

Berarti apakah jadi dewasa itu salah juga? Tidak, yang mungkin patut dibenahi adalah pengertian dan ekspektasi kita soal "kekanakan" dan "dewasa" dalam membina hubungan, Kita sering lupa bahwa  standar "halal" dan "haram" dalam suatu hubungan juga harusnya jadi pertimbangan utama, sebagaimana kekanakan dan kedewasaan ada tempatnya sendiri, dengan konteks yang relevan. 

Apa maksudnya tempatnya masing-masing? Apakah akan ditempatkan di tupperware atau di gudang yang bau apek karena belum dipel karbol? Tidak, maksud saya antara kekanakan dan kedewasaan bukan berarti lebih penting salah satunya. 

Ada kalanya  menjadi anak-anak itu tepat, dan ada saat di mana kedewasaan itu diperlukan. Jangan lupa, semakin tua kita, kita ga bisa memungkiri bahwa kemampuan berpikir bisa jadi menurun; sehingga kalau dijumpai orang tua uzur yang berpikir kekanakan, itu masih fenomena manusiawi!. 

Bukankah telah digaungkan dalam surat At Tin ayat 5: 
"Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat serendah-rendahnya". Jadi tidak ada pula kedewasaan permanen, karena sifat dewasa, kemampuan berpikir, kemampuan bergerak, bergerak eksponensial seringkali beririsan dengan kapabilitas biologis kita selaku makhluk hidup.

Bagaimana dengan sifat anak-anak? Apa saja yang patut dicontoh dari mereka?

Mereka punya 3 keunggulan : berbuat salah langsung baikan, punya mimpi dan imajinasi tanpa batas, dan mereka tanpa menyerah melakukan sesuatu. Ini justru kapabilitas yang kadang diperlukan dalam menghadapi fenomena global yang penuh ketidakpastian: dimana kita harus belajar memilah relasi, belajar memuntahkan ide-ide brilian, dan sesekali menaklukkan lelah untuk mencapai tujuan. 

Tapi jadi orang dewasa pun juga punya kelebihan : bertanggung jawab atas pilihan yang telah ditekadkan, tahu kapan harus berhenti, serta tahu kapan harus membalas, kapan harus memaklumi ; ini pula sifat yang bisa membangun wibawa dan kehormatan. Tapi bagaimana memicu dua sifat yang kadang bertentangan ini agar tepat sasaran? Pergunakanlah nalar kita yang masih terus tumbuh ini untuk sadar diri dimana kita berada, meskipun kondisi tidak langsung bisa diperkirakan.

Maka kalau menjadi kanak-kanak adalah sesuatu yang salah: mengapa manusia diciptakan dari bayi, ga langsung dewasa? 

Kita boleh mengira bahwa orang sukses biasanya adalah orang dewasa; tapi jangan lupa bahwa di satu sisi dewasa pun butuh belajar dari anak kecil yang enggan menyerah penuh imajinasi, sebagaimana anak kecil butuh teladan dari orang dewasa. 

Tulisan ini kembali saya persembahkan, setelah meninjau kutipan dari seorang teman: 

"Kita mengajari anak cara-cara bertahan dalam kehidupan, sementara dia mengenalkan kita tentang cara baru mengenal dunia."

10 komentar:

  1. Tulisannya inspiratif sekali kak, terkadang orang dewasa jg masi bersikap selayaknya anak anak 😊
    Salamnkenal dr tim konstantinopel πŸ™

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah berkunjung. Semoga setiap karya kita bisa jadi bahan bakar untuk mendaras kenyataan hidup. Salam tim Tokyo

    BalasHapus
  3. Sering berpikir enak ya jadi anak2 tanpa tahu gimana

    BalasHapus
  4. Sering berpikir enak ya jadi anak2 tanpa tahu gimana

    BalasHapus
  5. Suka dengan tulisanmu, fakta keseharian yang kadang tidak terpikirkan

    BalasHapus
  6. Ya gitu deh, Bang. Nggak semua tua itu dewasa dan nggak semua kecil jg dewasa eh anak-anak.

    BalasHapus
  7. Sebagai orang dewasa harus bisa memilah n memilih waktu yg tepat untuk berpikir dewasa atau kekanakan, 😊

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...