Rabu, 18 September 2019

Bising Jam Enam Petang


-puisi ini diangkat dari insiden pilu semasa SMA-

Asap membumbung tinggi
Menyusupi aspal-aspal bercabang
Di antara roda-roda besi bergerigi
Terompet-terompetnya bergema mengerang

Pak tua berpeluh mandi keringat 
Menatap jalan terkekang aral. 
Terkepung sesak menyumbat
Membungkam pembuluh-pembuluh aspal. 

Matanya menembus sang senja
Kebisingan tak membuatnya tersekat
Dari hasrat bersua dalam sahaja.
Berjibaku dirinya lewati terik pekat

Pada keluarga pikirannya bertumpu.
Perjalanan memupus usia adalah biasa,
kepada tujuan tempatnya berpadu
demi tergenang dalam kehangatan asa

 Langit berotasi menjadi kelabu
Kian berjejal manusia-manusia sibuk
Menyesaki belantara aspal nan sembilu
Segenap usaha pak tua menahan kantuk.

Setengah jalan pun tak jua tergenggam,
meski kelopak mata pak tua memerah,
dan jantung berdegup kencang menghujam
Ia melaju dengan nafas terengah-engah

Bayangan rumah masih tersamar
Di kala hati berkalang rindu
Lelah menggamit mesra mengakar
Memaksa tubuh dan nalar beradu. 

Kaki pak tua teguh terpaku
Memacu moda dalam lautan aspal
Berarak dalam aral tak jua berlalu
Menahan perih tubuh yang kian kekal

Peluh pak tua semakin tak bertepi, 
siksa nanar kian meredam denyut nadi.
Bising-bising roda kian mustahil jadi sepi, 
aspal kini serupa lahan kerja rodi.

Setengah malam setengah jalan tergapai,
nafas pak tua menipis ke ambang batas.
Bergegas ia tembus kerumunan tak kentara
demi sejenak mengurai peluh yang menggilas.

“Semoga seusai lelapku sementara, 
sekejap mata pagar rumah terjamah”,
Asanya bergema dalam jalan padat tak terkira
Kiranya sisa puluhan kilo tenaga kembali merekah

Namun siapa insan mampu mengurai rahasia Tuhan?
dikala lelap, Pak Tua menjamah rumah terakhir.
musnahlah peluh, saat raga pamit pada kehidupan. 
Menuju kampung abadi, melayang jiwanya dalam angin semilir.

Gatot Subroto, 2019

6 komentar:

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...