Kamis, 12 Desember 2019

RKAL 2020 (Rancangan Kerja Anggaran Literasi 2020) : 4 Karya dan 6 Tema Dalam 12 bulan

"Saya bisa saja tidak menulis hingga menyempatkan waktu untuk tidak menulis. Tetapi sekali menulis, saya mencamkan diri untuk tidak akan berhenti dan harus dituntaskan." (Puthut EA, pengantar cerpen Kitab Rasa)

Kutipan di atas adalah salah satu kalimat yang cukup menggugah pemahaman saya mengenai menulis:  kegiatan natural  penalaran manusia  alam mengekspresikan bahasa dan mengapa ia adalah sesuatu yang harus diselesaikan. Kemudian, saya sempatkan untuk membaca ulang tulisan lama berupa coret-coretan zaman SD dan SMP. Beberapa di antaranya kembali meluapkan penasaran; akan seperti apa cerita ini tumbuh bila disandingkan dengan isi otak ini bila diteruskan? Kalaupun saya memutuskan untuk tidak meneruskan tulisan-tulisan tersebut, yang tersisa adalah rasa penasaran yang sayangnya diikuti juga perasaan minim estetika.

Ketika mengambil sudut pandang sebagai pembaca tulisan tersebut, nyatanya memang tulisan yang hanya beberapa kalimat yang tidak beres, seringkali distigmakan seperti coret-coretan dinding yang biasa disebut vandalisme. Namun, bukan berarti kegiatan menulis memang diharuskan untuk usai, melainkan ketika kita berusaha menyelesaikan tulisan secara utuh, disitulah nilai seni dan estetika dari suatu tulisan terbit. Meskipun tidak tersentuh tangan penerbit.

Kegiatan menulis pun sebenarnya terbagi dalam banyak ragam; namun paling mudah mendikotomikannya berdasarkan niat adalah dalam dua tipe: tulisan altruis dan tulisan komersil. Dalam konteks bahwa tulisan kita belum usai: tentu kemungkinan besar sulit untuk mengkomersialisasikannya. Selain belum memiliki dan menularkan 'seni' dalam penyusunannya ke dalam benak pembaca secara utuh, tulisan yang belum selesai hanya merangkum 'sebagian sudut pandang' yang belum selesai. Dengan dasar inilah, maka di zaman saya masih menjadi anak berkuliah, belum terpikir serius untuk menerbitkan dan mengumpulkan tulisan-tulisan di akun media sosial untuk dirangkul menjadi sebuah buku.

Di kemudian hari, saya mulai menyadari beberapa manfaat dari menulis untuk komersial: adapun hal tersebut bukanlah kesalahan fatal, selama tidak mengandung framing ataupun kalimat melecehkan pihak tertentu. NH Dini, salah satu sastrawan besar Indonesia pun mengakui bahwa mencari uang lewat tulisan adalah hal yang realistis, dan beliau pun rela membuang malunya demi hal tersebut. Seringkali, para penulis diidentikkan dengan ketidakmapanan hingga hidup terlunta-lunta, padahal tidak demikian. Ada banyak cara untuk mengubah tulisan  menjadi pundi-pundi penyambung nafas kita.

Hari ini pun datang, bahwa sebaiknya dalam kegiatan menulis perlu direncanakan resolusi. Rasanya, memang resolusi, -entah seringkali beberapa persen diantaranya berakhir jadi wacana-, adalah suatu kebutuhan. Kegiatan menulis mendapatkan amunisi dan energinya dari penalaran dan tafsir atas apa yang kita baca. Sebaliknya, rutinitas menulis dan tanggapan yang mengikuti tulisan tersebut, adalah stimulus yang merangsang pikiran untuk menelaah kembali tentang apa yang kita baca dan bagaimana cara membaca yang baik. Maka, bila berbicara soal resolusi menulis, saya secara pribadi ingin menyampaikan bahwa utamanya,  program-program perbaikan menulis harus bisa direncanakan secara sistematis dan tersturktur -termasuk tentang sumber dan bagaimana kita mengambil bahan bacaan-

 Sebelum lanjut ke resolusi, saya ingin menguraikan kembali tentang pemahaman literasi saat ini dan bagaimana menyusun batas serta cita-cita menulis dalam sebuah seni perencanaan strategis, yang meninjau kekuatan,  kelemahan, ancaman, dan tantangan.


MEMAKNAI KEMBALI CARA UNTUK MEMBACA:

Sebelum membahas tentang buku apa yang harus dibaca untuk pengayaan berpikir, ingin diri ini menekankan bahwa manusia sejatinya punya banyak bahan bacaan selain buku. Saya tidak ingin dan berniat menggurui bahwa menjadi kutu buku adalah sebuah kesalahan. Akan tetapi, pemikiran yang salah adalah menilai cara berpikir orang hanya dari buku bacaannya atau perkumpulan yang diikutinya. Selama ini, saya sering mendengar premis dan stigma, bahwa para penulis 'novel romantis' dan pembacanya adalah 'cengeng', 'picisan', 'kurang modern', dan berbagai tuduhan yang bernada meremehkan.  Maka, izinkan saya mengutip kalimat pembukaan favorit dari buku 'Dongeng Panjang Literasi Indonesia'


"Literasi itu bukan hanya tentang bacaan serta cara tulis-menulis. Literasi adalah tentang bagaimana manusia mengenali sumber-sumber ilmu pengetahuannya" (Yona Primadesi)

Berangkat dari premis ini, saya teringat kisah  seorang ilmuwan yang membanggakan dirinya di hadapan seorang nelayan; mengklaim bahwa bila tidak membaca buku adalah kesia-siaan. Beberapa waktu kemudian, situasi berbalik: dia tenggelam lalu ditolong nelayan. Nelayan tersebut akhirnya membalikkan ucapan profesor tersebut: sia-sialah hidup anda bila tak belajar berenang seumur hidup. 

Kita seringkali lupa, bahwa 'bacaan-bacaan' kita juga adalah bagaimana alam menampakkan tabiatnya, orang-orang sekitar menampilkan gaya berbicaranya, atau bahkan sekedar lapuknya perabotan-perabotan di rumah. Maka,  menulis pun sejatinya adalah proeses mengambil gagasan dan rangsangan dari hal-hal yang bisa dirasakan semua panca indera kita, tak hanya dari mata.
Hanya saja, memang lagi-lagi mata, mulut dan telinga kita masih dibutuhkan untuk menalar istilah-istilah yang telah dialami panca indera melalui kamus,b ertanya atau sekedar berselancar di google translate. 

Di lain sisi, orang yang belum pernah membaca buku secara serius pun, selalu punya kesempatan untuk menulis. Sejarah telah membuktikan bahwa menulis punya peran penting dalam mengabadikan peristiwa-peristiwa masa lampau, kendati orang sedang tidak punya banyak amunisi istilah dan teori. Maka lahirlah diary Anne Frank, memoar Solferino, hingga diari istri kepala kebun binatang.

Sejatinya, kendala bahasa bukanlah halangan berarti dalam menalar pengalaman yang ada di sekitar, meski nantinya tetap butuh untuk meninjau kembali istilah agar sesuai dengan konteks sosial-budaya. Sebelum kita fasih dalam memahami bahasa, terlebih dahulu ada tiga bahasa universal 'buatan manusia' yang selalu bisa dibaca: angka, gambar, dan gestur.

Apakah mungkin menghasilkan tulisan yang matang dari gejala alam dan bahasa universal, diluar ketersediaan buku? Tentu saja bisa, kalaupun tidak ada buku pun, menulis wasiat dan catatan resep masakan pun adalah sebuah input yang berharga, meski tak ada sistematika. Intinya, apapun yang telah dialami, dirasakan, dimakan, dicerna, dan diingkari sekalipun bisa ditulis. Ini adalah sebuah pengingat bahwa sebenarnya dalam menulis, takkan terjadi situasi 'kekurangan bahan gagasan', terkecuali bila sedang terikat oleh penerbit untuk menelurkan tema tertentu.

Sebagai tambahan, meski segala hal bisa ditulis, tak semuanya bisa ditampilkan. Sebagaimana udara mengandung polusi gas dan substansi yang membuat sesak nafas lantaran menjalar dalam atmosfir bebas, adakalanya memilah ilmu di dalam informasi yang bertebaran adalah keharusan. Tak semua hal yang didengar dan dirasakan menjadi suatu tulisan yang bisa menyenangkan banyak orang. Maka, langkah paling aman adalah menulis hal-hal sensitif adalah untuk disimpan sendiri, namun bila mengandung sesuatu yang bermanfaat memang sebaiknya disebarkan. Dengan tujuan untuk menyimpan sendiri  ini, maka memfokuskan jadi pembaca sunyi (silent reader) bukanlah suatu kesalahan. Bila akhirnya hal-hal sensitif itu jadi tulisan, siapkan brankas atau kardus kuat untuk membungkusnya rapat-rapat; agar privasi tak berakhir jadi ilusi.



MERUMUSKAN PELINGKUPAN RENCANA MENULIS:

"Orang dewasa hanya menyuruh kita membaca dan membaca agar pintar. Namun jarang kita dengar mereka mengajari  cara untuk menuliskan apa yang kita telah baca" (A.G. Jameela).

Uraian kalimat di atas boleh untuk tidak dicerna dengan serius, karena yang mengucapkannya pun belum merasakan duduk di bangku sekolah menengah pertama. Namun kutipan ini menohok saya pribadi; bahwa budaya kebanyakan keluarga di Indonesia seringkali luput dari membahas bagaimana seorang anak usia belia bisa menulis dengan baik. Setiap kali dinding dan tembok tercoret, caci maki kadang terlontar. Kalaupun seorang anak sudah menulis dengan baik, maka urusan kompetensi menulisnya kerapkali tak ditanggapi orang tua secara serius. Saya pun mencerna perkataan seorang anak kecil dalam buku "Mengapa kita harus membaca" hingga merasuk ke dalam hati.

Adapun bagi orang dewasa, kegiatan menulis pun tidak selalu distigmakan positif. Meminjam kutipan dari Zulkarnaen Ishak, tulis-menulis kerap disamaratakan dengan mencoret-coret keisengan belaka. Hanya saja, menurut Zulkarnaen Ishak, tulisan adalah suatu ruang dimana manusia memiliki hak dan kepuasan tertingginya mengabadikan fantasi dan kejadian dengan gaya bahasa sendiri. Suatu fleksibilitas yang tidak dimiliki oleh media lainnya. Barangkali, ketika realita di sekitar kita tak selalu mengungkap kebenaran secara utuh, tulisan mampu menjadi senjata untuk mencolek orang-orang sekitar tentang suatu isu yang sepatutnya jadi perhatian.

Berangkat dari kemungkinan ini, yang patut dipikirkan sebelum mengutarakan resolusi, puncak seperti apa yang mau dicapai dalam perjalanan kepenulisan kita? Tentu saja, perencanaan, -entah berapa persen yang hanya akan jadi wacana, adalah hal yang mutlak diperlukan. Toh, bukankah bila tidak merencanakan, artinya kita merencanakan kegagalan?

Sebagaimana yang telah saya utarakan mengenai polusi informasi, bila pikiran yang disiapkan untuk menulis itu terlalu sporadis, nantinya setiap hari tulisan tak akan berproduksi lebih dari sekadar curhatan atau gaung tanpa makna. Dari sekian banyak gagasan, ada beberapa hal dari masa lalu hingga hari ini yang menarik untuk diangkat: film yang pernah ditonton, game yang pernah dimainkan, syair-syair lagu kesayangan, serial kartun, ajaran-ajaran para Imam tabi'in, beberapa cerita dari teman-sepupu, hingga kompilasi tragedi manusia.

Gagasan hanya akan tinggal sekelumit kabut yang sementara menetap di otak, jikalau saya tak segera memintal benang atau menuju mesin jahit untuk merajutnya supaya bisa ternalar. Oleh karena itu, saya memfokuskan bahan bacaan untul satu tahun ke depan, berikut dengan beberapa rencana kegiatan lain. Harapannya, kegiatan menulis saya bisa bersinergi dengan proses kreatif bermain musik, berkelana dengan sepeda, lika liku tuntutan karir, berikut warna warni harmoni rumah tangga. 

Supaya fokus ini dapat disusun secara sistematis, saya memetakan ulang beberapa hal mengenai diri dan lingkungan sekitar. Dengan demikian, saya tahu sudah sampai dimana kemampuan menulis dan membaca, serta lebih memprioritaskan kebutuhan belajar pada anasir-anasir yang penting. 

Berikut hasil 'pengkajian' saya:

 1. ANALISA INTERNAL

Dalam menguraikan pencapaian diri secara sekilas, berikut yang saya simpulkan: 
Kelebihan dalam menulis dan literasi:
- Saya seorang pecandu ensiklopedia dan tayangan discovery channel. 
- Setiap hari menyempatkan membaca esai lebih banyak ketimbang berita aktual. 
- Pekerjaan utama sebagai analis, sehingga paham sistematika
- Punya banyak hafalan gaya referensi kepenulisan: mulai dari Asma Nadia hingga Nirwan Ahmad Arsuka 
- Terbiasa meliput situasi, pernah ikut merekam aksi demonstrasi. 


Kelemahan dalam menulis dan literasi:
- Saya sering memakai kalimat sensitif yang mengawang, membuat orang suka salah tafsir. 
- Ketika keliru prioritas, suka buru-buru salin tempel
- Saya agak emosional dalam menyusun kata-kata.
- Tidak cukup rapi mengulas statistik dan grafik. 
2.ANALISA EKSTERNAL

Adapun kemajuan teknologi informasi dan era digital telah membawa banyak kesempatan bagi karir kepenulisan, meski menyisakan beberapa hal yang harus dikritisi. Berikut uraiannya: 

Peluang dalam bidang menulis dan literasi:
- Banyaknya wadah untuk menulis, utamanya blog dan media sosial
- menjamurnya perguruan menulis dari berbagai instansi
- merebaknya lomba-lomba menulis
- Banyak penerbit baru yang bermunculan, mencari ide-ide segar.
- Fasilitas untuk penerbitan secara pribadi lebih lengkap. 
- Menjamurnya seminar dan lokakarya bisnis tulisan,

Ancaman dalam bidang menulis dan literasi:
- Getok tular politik dan konspirasi: mengusung kedustaan dan framing tak berimbang lewat tulisan yang memihak dan tendensius. 
-Maraknya pencurian data lewat modus adsense dan periklanan. 
-Pencurian hak cipta yang kadang kurang di seriusi oleh payung hukum yang berlaku. 
-Bermunculan sekolah menulis abal-abal, padahal modus MLM. 

RANGKUMAN PROSES PENYUSUNAN STRATEGI 

Dengan meninjau analisa eksternal dan internal, maka saya merumuskan program resolusi dengan membagi fokus sebagai berikut: tulisa. fiksi berupa cerpen, puisi, prosa, atau novel dengan kadar 33.3% dan non-fiksi berupa reportase, liputan, testimoni, dan fitur dalam intensitas  66.67%.. Tujuan intinya, saya ingin agar kemampuan analisa dan penalaran lebih difokuskan untuk merangkum kejadian aktual, serta membangun pengalaman tafsie baru terhadap produk-produk yang sedang berkembang di pasar. 

Dengan demikian, saya kerucutkan fokus tema untuk non-fiksi menjadi 6 tema. Harapannya bisa didalami dengan realistis, terukur, dan spesifik selama 2 bulan untuk setiap tema. Kecepatan menulis dan membaca itu penting, tetapi bukan segalanya dibanding dengan membangun pemahaman wawasan jangka panjang.

1. 6 Tema utama untuk 2020

a. Bisnis: Januari-Februari
Saya telah lama berkecimpung dalam dunia bisnis telekomunikasi sejak tahun 2016. Kendati demikian, sejak ditempatkan di bagian analisa strategis, saya merasa tak memilik banyak pengetahuan keuangan, model bisnis UMKM, ataupun cara berjualan door to door yang masih awet hingga era digital. 

Maka, untuk Januari hingga Februari, saya ingin bisa kembali mengulas Dewa Eka Prayoga, Rendy Saputra, Warren Buffet, Robert Kiyosaki, Saptuari Sugiharto, Tung Desem Waringin, Aditya Hakim, hingga Hermawan Kertajaya. Besar harapan bahwa dengan memfokuskan pada manajemen dan bisnis, saya bisa menguasai teknik pemasaran, dasar-dasar mendulang uang, hingga bagaimana menyusun ketahanan bisnis masa depan secara mandiri. 

b. Seni dan Desain: Maret-April
Secara empiris, saya mengenal cara menggambar bersamaan dengan pertama kali mengetahui cara membaca dengan baik. Oleh karenanya, membumikan kembali ilmu-ilmu desain dan estetika rasanya bisa meluapkan kembali kreativitas untuk mengukir sudut pandang holistik. Saya pun ingin pada periode Maret-April ini, tangan bisa kembali disuasanakan untuk fasih menggambar dan menalar rancang bangun. 

Dahulu saya adalah seorang anak teknik. Sekarang saya juga akan menuangkan ilmu teknik bangunan, agar rumah lebih nyaman. Sembari demikian, saya pun ingin kembali memunculkan ruang imajinasi baru lewat penafsiran desain foto, produk, lukisan, dan sinematografi. Saya percaya, segala inovasi masa depan, sempat menjadi fiksi hari ini, yang pernah tertuang dalam media-media terbungkus kemasan estetika dan komposisi. 


c. Psikologi: Mei-Juni
Segala pemahaman mengenai karakter diri dan orang di sekitar bermuara dari satu ilmu ini. Pun demikian dengan parenting, membangun relasi bisnis, hingga sekedae membuat refleksi dari pengalaman sekitar terhadap perkembangan emosi. 

Lebih dalam lagi, pemahaman psikologi yang baik cukup berperan untuk memperbaiki pengelolaan ego dan sikap, serta menempatkan harga diri dan perasaan. Izinkan dua bulan ini saya fokuskan untuk memahami Jurgen Habernas, Sarlito Wirawan, Carl Jung, Michel Focault, Erich Fromm, Elly Risman, hingga Ayah Edy. Saya berharap, dengan perjalanan menyusuri jiwa ini, bisa memiliki kompetensi dalam menjaga keseimbangan dalam rumah tangga dan sekitat. 

d. Sejarah: Juli-Agustus
Saya tak perlu mengulang-ulang tafsir tentang Jas Merah. Keadaan kita di masa kini tak lepas dari segala progresi masa lampau. Sebagaimana kendaraan butuh spion untuk melihat kanan kiri, kita butuh sejarah agar kesalahan masa lalu tak terulang. 

Acapkali sejarah kerap membuat bosan sebagian orang, karena taburan angka kronologis tahun dan runutan kejadian. Akan tetapi, dengan pemahaman mengenai motif dan manajemen konflik, sejarah bukanlah suatu anasir yang membebani pikiran. Sejarah adalah cermin yang cukup bening untuk menduga pantulan-pantulan kejadian dinamika masa depan. 

e. Militer dan Persenjataan: September-Oktober
Penting untuk menyadari peran militer dan alutsista dalam menjaga keamanan negara. Selain itu, saya tahu persis bagaimana falsafah militer cukup bermanfaat dalam bertahan menghadapi lika-liku hidup. Seorang tentara pasti pernah bersinggungan dengan kehidupan keras di alam, hingga bersaing dengan binatang buas itu sendiri. 

Selain itu, saya ingin kembali mengenang keseruan counter strike dan berbagai macam game militer. Kali ini, saya ingin mendalami beragam senjata dan alat tempur yang berperan dalam keamanan dan pertahanan negara. Siapa tahu, ada falsafah-falsafah manuver militer yang bisa diaplikasikan dalam dinamika kehidupan. Di lain sisi, menulis dan mengakji tentang militer bisa meningkatkan pemahaman, tentang situasi apa saja yang membuat seorang sipil pun perlu kecakapan bertempur dan bertahan hidup seperti militer

f. Ekologi dan Keberlangsungan Lingkungan Hidup: November-Desember
Ini merupakan bidang kegemaran saya sejak lama. Meski demikian, ekologi tak melulu soal hutan, alam belum terjamah manusia, dan hewan liar. Ekologi juga mencakup tindak-tanduk manusia dalam menjaga efisiensi perangkat dengan keseimbangan alam. 

Membahas runutan lingkungan di sekitar rumah adalah kajian ekologi. Maka, dengan kembali mendalami ekologi, saya bisa menyusun perilaku-perilaku serta program-program ramah lingkungan dalam menjaga kesehatan dan keseimbangan alam. Saya ingat bekal terakhir dari kuliah magister: 20 model keseimbangan manusia dengan alam. Mudah-mudahan, dalam perjalanan membumikannya, empati terhadap kekuatan alam bisa menjadi energi tafakur untuk merenungi Maha Dahsyatnya sang Pencipta, Allah SWT.



2. Program penulisan utama 2020


Dengan terfokus pada enam tema di atas, saya berencana untuk merutinkan beberapa jenis tulisan serta menerbitkan sekurang-kurangnya dua buku dalam satu tahun. Terkait penerbitan buku ini, ada salah satu yang sudah hampir jadi, sedangkan satu buku lainnya kemungkinan besar akan mengusung satu diantara enam tema:

a. Rutin: Tak perlu saya uraikan dulu lebih jauh, berikut beberapa jenis tulisan rutin yang akan diterbitkan untuk 2020:
 - Resensi di media sosial, online bookstore, dan media online.
 - Feature singkat produk di ngodop.com atau instagram.
 - Berpuisi di facebook dan twitter.
 - Esai di brilio, selasar.com, mojok.co, idntimes, kumparan, atau tirto.id
 - Cerpen di beberapa majalah anak, dewasa, hingga menyasar media utama seperti Tempo.

b. Rencana penerbitan buku:
i.  Buku bertema film: rasanya sudah sering saya share di blog. Doakan semoga terbit di bulan Maret. Beberapa konten masih dirahasiakan, namun besar harapan bahwa teman-teman sudah cukup familiar dengan gaya tulisan saya sebelum diterbitkan.

Adapun untuk satu buku lainnya, akan mengusung salah satu dari 6 tema berikut. Sehingga, bisa jadi bila insha Allah saya punya energi, maka akan menerbitkan lebih dari dua buku. Berikut tema-tema potensialnya berikut bentuk rencana buku:

ii. Kumpulan puisi tentang tragedi dunia dan Indonesia
iii. Kumpulan tafsir refleksi terhadap toko filsuf seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, atau Imam Al-Ghazali.
iv. Kumpulan catatan selama saya pergi belajar di luar negeri, atau berwisata dalam kurun waktu lama.
v. Kumpulan cerpen yang merangkum kenangan seseorang terhadap sesuatu yang telah hilang.
vi. Rangkuman dokumentasi tentang game-game konsol yang pernah meramaikan masa kecil, dibalut dengan humor dan satir. Supaya tidak jangar.

Demikian, penguraian program resolusi saya. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi pengingat agar saya tetap konsisten.

#ODOPnonfiksi
#Tantangan4
#Resolusibutuhperencanaan
#Biarlahjadiwacanaasaltetapdirencanakan





6 komentar:

  1. Masya Allah keren sekali kakak.... benar-benar detail sekali dan maknanya sangat dalam

    BalasHapus
  2. Wiiih bisa panjang banget ni karena saking detailnya. Ajiib

    BalasHapus
  3. sudah berlalu 9 hari sejak 2020 berawal dari water cannon, guys. Terima kasih atas kunjungannya. alhamdulillah, saya melihat terus ke sini, untuk memompa energi. Terima kasih atas kesediaan untuk membaca, mulai dari mbak kiky, hingga semua teman2ku. Selamat menjalani 2020

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...