Senin, 09 Desember 2019

Refleksi Jermal

Apakah yang sering terbayang di benak kita bila disebut kata "laut"? Barangkali, imajinasi akan mengarah pada rekreasi, bersantai di pantai, hingga meresapi ombak yang menyapa permukaan pasir.
Sampai-sampai, muncul istilah seperti "vitamin sea", seolah-oleh memang berkunjung ke laut menjadi nutrisi. 

Kendati demikian, laut juga menyimpan sisi kelamnya. Diantaranya (mohon maaf) menjadi titik rawan tsunami, abrasi air laut, atau sekedar angin laut yang membadai. Maka, menjalani kehidupan dengan berkutat pada lingkungan laut seringkali bukanlah rutinitas yang mudah dijalani. Selain karena sisi kelamnya, laut adalah tempat persaingan hidup yang kadang menguras akal sehat: menjaga kesegaran ikan-ikan untuk menyambung nafas, menantang ganasnya angin laut, atau sekedar suara ombak yang kadang tak ramah di telinga. 

Diantara serpihan-serpihan kejadian yang potensial terjadi di laut, acapkali muncul kisah manusia yang dibalut tragedi, kegetiran, atau kenangan yang muncul ke permukaan. Saya pernah menyaksikan bagaimana ketegangan seseorang yang dikejar hiu di sepanjang pantai, atau berlomba-lomba menyelamatkan diri dari terkaman ombak pelumat. Diantara sebagian risiko-risiko yang terkandung dalam latar kehidupan laut, saya terkenang satu film menengangkan yang agak unik: Jermal.
Image result for jermal
Jermal, salah satu tempat penangkaran

Film ini mengetengahkan kehidupan yang terjadi di Jermal. Sekedar berbagi pengetahuan, Jermal adalah sebuah tempat untuk menjaring ikan yang dibuat dari kayu-kayu dan berada di tengah laut. Di wilayah ini, seringkali juga terdapat anak-anak dibawah umur yang dipekerjakan untuk menjaring ikan atau buruh nelayang dengan gaji dibawah rata-rata. 

Kisah layar perak yang disutradarai oleh Ravi Bharwani, Rayya Makarim dan Utawa Tresno ini , selain banyak menguraikan tentang kehidupan orang yang hidup dan sehari-harinya bergantung pada lingkungan sekitar Jermal, tayangan sekitar satu setengah jam lebih ini menyorot pada hubungan antara ayah dan anak yang sudah lama terpisah. Ketika sang anak bertemu, ayah yang sedikit lupa ingatan tak segera mengakrabi anak tercintanya. 

Film ini saya sempatkan untuk ditonton, berhubung pernah mengikuti lokakarya peran yang dibimbing oleh Almarhum Uwak Didi Petet. Riri Riza, yang waktu itu turut menjadi pemateri di lokakarya Salman yang saya ikuti, kerap mengklaim bahwa Jermal adalah film uwak Didi Petet yang paling gelap. Pada sebagian besar tayangan, mungkin penonton akan melihat pemandangan dan pendalaman masalah kejiwaan yang intens saat disuguhkan latar laut minim cahaya matahari. Jadi lupakan dulu slogan vitamin sea saat menonton ini. 

Jaya (Iqbal Manurung) yang ibunya baru saja meninggal pergi menuju jermal, sesuai pesan terakhir ibunya,  untuk bertatap muka sang ayah, Johar (Didi Petet) yang sudah 12 tahun tidak pernah pulang karena sedang bersembunyi atas tindakan kriminal yang dulu pernah dia lakukan. 

Tapi sesampainya disana Jaya malah mendapati hal-hal yang tidak menyenangkan. Sang ayah merasa tidak mau mengakuinya dan hubungan mereka sangatlah canggung bahkan cenderung kearah permusuhan. Selain itu Jaya juga mendapat perlakuan yang tidak pantas alis di-bully oleh anak-anak yang tinggal di jermal. Tapi lama kelamaan Jaya mulai bisa beradaptasi dan berusaha mengetahui masa lalu apa yang disembunyikan sang ayah. Johar sendiri mulai mencoba menerima keberadaan Jaya walaupun itu tidak mudah baginya dan Jaya.


Image result for jermal
Jaya dan Johar, tidak saling akrab di awal, namun saling mencoba bertahan hidup
Jaya memutuskan untuk mengambil nasib ke tangannya sendiri. Dia berharap akan diterima dan belajar keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk bertahan hidup di jermal. Tidak begitu jelas mengapa Jaya (Iqbal S. Manurung) mau mengikuti Bandi (Yayu A.W. Unru), seorang tukang masak disebuah Jermal. Yang pasti Bandi tahu asal-usul Jaya sebagai anak dari Johar (Didi Petet), pengawas jermal dimana Bandi bekerja. Johar ini sudah 12 tahun tidak pernah turun ke darat karena masa lalunya yang kelam. Dan diakibatkan dari masa lalunya itu menyebabkan ia menafikan kehadiran Jaya.

Waktu menempa Jaya semakin menjadi seperti anak-anak lain: seorang yang tangguh namun kasar, sedangkan Johar terpaksa bertahap menghadapi dan menerima masa lalunya. Akhirnya, baik Johar maupun Jaya belajar bahwa mereka terikat oleh masa lalu mereka, bersatu dengan ruang di mana mereka berada, serta terhubung oleh kebenaran yang tak terhindarkan.



Image result for jermal
Jermal, disuguhkan jadi materi Lokakarya setelah 5 tahun rilis
Latar Jermal yang berlatar pantai kembali membawa ingatan saya menuju liburan ke Lombok beberapa tahun silam. Kendati pantai yang mengelilingi pulau dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat itu jernih, tak terhitung beberapa kali  mata ini tersita untuk memandang toko-toko serta tempat penampungan ikan yang tersebar di sepanjang pantai. Sesekali syaraf dalam otak mengajak berpetualang liar: bagaimana jika sehari-hari saya menyambung nafas di sana? Barangkali saya sudah berkarir menjadi pengrajin dan setiap hari berkutat di laut. 

Tetapi itu adalah pemikiran ketika lulus sarjana S1, berbeda saat Riri Riza dan Didi Petet memutarkan slide show trailer film ini dalam lokakarya yang saya ikuti selang setahun kemudian. Lebih eksplisitnya, jermal-jermal yang menyusun jalan-jalan pantai itu adalah saksi bisu perbudakan anak-anak dibawah umur. Saya pun mulai berpikir ulang, bahwa bagi sebagian orang, laut ternyata tidak 'mengandung' vitamin.
Jikalau sepasang mata ini terus mengikuti pergerakan para tokoh dalam film ini, akan terasa bahwa trio sutradara Ravi, Rayya, dan Utawa cukup kritis dalam membungkus fenomena kerasnya para penduduk yang terbiasa dengan mata pencaharian yang terkait dengan jermal, dengan kemasan drama ayah-anak. Jadi, jikalau bisa didefinisikan, maka film ini adalah drama pencarian jati diri dengan latar laut. 

Sepintas, lantaran Jaya memiliki usia menjelang remaja, kemungkinan penonton akan membandingkan film ini dengan Laskar Pelangi. Tetapi realita hidup tak selamanya linear, begitupun perjalanan hidup setiap manusia. Meski sama-sama mengetengahkan kehidupan manusia yang dimarginalisasi, akhir dari Jermal menyisakan tafsir kehidupan yang masih menjadi misteri, sekalipun antara Jaya dan Johar sudah mau saling menerima di bagian klimaks film. Maka, saya tak ragu menggolongkan film ini sebagai drama-thriller. 

Kendati tak secerah Laskar Pelangi, rasa bosan tak akan terasa ketika meresapi tayangan sekian puluh menit ini, lantaran bahasa yang dipaparkan terurai sederhana, baik secara visual maupun verbal. Film ini menitik beratkan pada adegan-adegan yang sifatnya visual, sehingga penonton akan lebih banyak mengunyah adegan dalam bentuk gestur ketimbang dialog. 

Sama seperti halnya Ziarah yang mengisi tahun 2017, para pemeran Jerman bukanlah para aktor profesional diluar Didi Petet. Aslinya, mereka adalah anak-anak yang direkrut dari berbagai lokasi dan tempat di sekitar Medan. Mencengangkannya, tanpa referensi akting, para aktor remaja ini bisa tampil dengan alami, hingga bisa mengimbangi pembawaan Didi Petet di film ini. Sebaliknya, justru mendiang Uwak Didi Petet yang mencoba berusaha membawakan dialek khusus penduduk pantai, untuk berbaur dengan para pemain 'alamiah' ini. 

Berangkat dari film Jermal, barangkali latar alam lain juga menyimpan kengeriannya. Tetapi bukan hanya karena kejadian alam, melainkan kerumitan manusia turut ikut menjadi kegamangan di dalamnya. Mengakhiri sesi ini, saya ingin mengutip kalimat dari sebuah fanpage instagram:

Mencintai alam jangan hanya soal keindahannya. Memahami alam berarti juga memahami kekejaman yang tersembunyi di baliknya. Suatu hal yang sulit untuk mencintai alam tanpa mengenali kekejaman yang ada di baliknya

8 komentar:

  1. Review nya bagus banget mas, jadi kepengen baca novel nya

    BalasHapus
  2. Bagus kakakku keren sekali tulisannya
    #semangat

    BalasHapus
  3. Mas Brian spesialis mengulas dan mereview film dan buku..keren mas!

    BalasHapus
  4. Kok bisa nemu film ginian 😬😬

    BalasHapus
  5. apa aja yg di ulas ka brian akunya yg ketinggalan apaa ya film2 lama yang keren

    BalasHapus
  6. Ngeliat gambar jermal, jadi inget keramba yg pernah kudatabgi di Hanura, Lampung. Gambarnya mirip..

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...