Rabu, 04 Desember 2019

Refleksi Mimpi Sejuta Dollar: Meresapi Perjalanan Bertahan Hidup di Negeri Orang




Seberapa cepatkah kita membaca mengupas sebuah novel? Setiap orang memang memiliki kecepatan membaca yang berbeda-beda, tergantung jenis bacaan yang disukainya. Saya pribadi, menyukai novel yang mengusung biografi dan kisah nyata. Meskipun banyak novel lain yang pure fiksi juga cukup jeli dalam menghadirkan unsur-unsur realistis dalam balutan materinya, kisah yang dipijak dari pengalaman nyata punya fondasi yang lebih kuat. Karena ada orang yang betul-betul mengalaminya, sehingga setiap detil yang dihadirkan jauh lebih terbayang di pelupuk mata.

Sekitar pertengahan tahun 2012 silam,  saya menghadiri seminar motivasi, karena diajak oleh istri yang waktu itu masih berstatus pacar. Kebetulan yang menjadi pemateri utama dalam seminar itu itu adalah Merry Riana, yang begitu diidolakan oleh istri. Kesuksesannya membangun bisnis di Singapura, dengan memulai dari modal dengkul turut menginspirasi banyak orang. Ketika seminar berlangsung, saya mulai tertarik dengan jargon pebisnis yang juga merupakan ibu dua anak ini: "

Saya bertekad  pada ulang tahun ke-20, sebelum umur 30 akan meraih kebebasan finansial" (Merry Riana, seminar April 2012). 

Karena tertarik lebih jauh dengan sosok Merry Riana, ketika istri meng-endorse novel tentang sang pebisnis, saya tak pikir dua kali untuk segera membeli. Awalnya saya tak langsung membacanya setelah membeli. Namun, di suatu malam, demi mengusir kebosanan karena menunggu loading laptop, akhirnya tangan tergerak untuk membuka halaman dari buku ini.


Sebuah biografi Merry Riana, salah satu buku yang menginspirasi



Tanpa terasa, tiga puluh menit pertama saya turut larut dalam bab pertama novel ini. Lalu dibukalah lembar-lembar berikutnya. Tanpa terasa, waktu menunjukkan pukul 12 malam menuju pergantian hari, tetapi saya enggan tidur setelah masuk bab pertengahan. Novel ini, selain menguraikan perjuangan Merry Riana bergelut sendirian di negeri singa bersirip, juga memaparkan beberapa teori ekonomi dan filsafat motivasi. Tahu-tahu, langit shubuh sudah menyambut, total tujuh setengah jam saya lewati tanpa tidur meresapi novel ini hingga tamat.

Beberapa tahun kemudian, teman saya mengajak nonton bioskop. Di akhir tahun 2014 itu, teman saya yang sedang libur memprovokasi untuk mencari film horror. Kebetulan, saya juga diajak komunitas pembicara publik untuk nonton film Merry Riana. Alih-alih menuruti seleranya mencari film horror, saya tawari dia untuk ikut nonton bersama komunitas.

"Nanti kamu saya traktir" tukas saya saat itu.

Pada saat itu, dia awalnya hanya cengengesan mengira film ini hampir mirip dengan sinetron drama seperti umumnya. Maklum, sutradaranya memang spesialis film drama, pak Hestu Saputra. Di tangan beliau ini lahir pula film Ayat-Ayat Cinta yang menyedot perhatian jutaan pasang mata. Dia mengira, bahwa kemungkinan film yang ditonton bersama teman-teman komunitas saya ini akan banyak mengusung melodrama. Mungkin saya pun perlu maklum lebih jauh, berhubung dia belum sempat membaca novelnya. Saya pun tak berekspetasi lebih, toh penulis novelnya Alberthiene Endah, turut menjadi bagian dari produksi film ini.

Film bermula dari kerusuhan tahun 1998, dimana banyak pedagang berdarah Tiongkok turunan mulai risau dengan aksi kekerasan terhadap etnis yang merebak dimana-mana. Salah satu yang terancam saat itu adalah keluarganya Merry Riana. Berangkat dari keterdesakan itu, ayah Merry Riana memberikan sejumlah uang untuk putrinya agar bersekolah di luar negeri, lantaran kondisi tanah air sedang tidak nyaman.

Merry, yang diperankan oleh Chelsea Islan ini, awalnya bersikeras ingin berkuliah di tanah air sembari menjaga keluarga. Namun, keluarga bersikeras agar ia mengambil jalan aman menuju keluar negeri. Saking rusuhnya peristiwa tahun 1998 itu, keluarga Merry pun nekad menumpang ambulans untuk mengamankan diri menuju bandara. Sialnya para perusuh seakan tak mau melepas keluarga Merry tanpa ada yang bisa dijarah. Jadilah mereka mengorbankan harta demi keselamatan diri. Dengan harta yang tersisa, keluarga Merry mencoba untuk membeli tiket, yang ternyata hanya cukup untuk satu tiket. Lantas, Merry-lah yang 'dipaksa' untuk berangkat.

Dengan kondisi tanpa keluarga mendampingi, Merry hanya dibekali alamat teman ayahnya yang sudah lama berdomisili di Singapura. Namun ternyata orang yang dituju  ternyata sudah tidak berdomisili.. Dengan uang seadanya, Merry harus berjibaku minimal sampai keluarga berinisiatif menjemput, Maklum, di tahun 1998, belum banyak orang yang memakai handphone, Dari sinilah kisah perjuangan Merry Riana dimulai dengan harus mencari tempat tinggal dan bertahan hidup.

Tapi bukan Merry bila putus asa begitu saja. Akhirnya, ia kembali bertemu dengan teman SMAnya yang bernama Irene. Awalnya, Merry tidak begitu yakin dan kenal dengan Irene. Lantaran menjadi nomaden, mau tidak mau Merry mengakrabkan diri dengan Irene dan memohon agar bisa tinggal di asrama tempat Irene berkuliah. Irene menyetujui tapi mengingatkan bahwa asramanya yang ketat bisa membuat terusir.

Sayangngnya, Merry ketahuan menginap di asrama Irene beberapa hari setelahnya. Karena perbuatanya itu melanggar aturan akhirnya Merry harus diusir dari asrama itu. Irene, mencoba untuk bernegosisasi dengan pihak kampus agar Merry dapat menginap di sana, Pihak kampus memberi syarat untuk tinggal disana harus menjadi mahasiswa.  Mau tidak mau, akhirnya Merry belajar giat agar lulus tes universitas ternama, dan akhirnya gayung bersambut. Hasil tes meloloskannya menjadi salah satu mahasiswa yang berhak untuk kuliah di Universitas Teknologi Nan Yang.

Tapi, kabar gembira itu tak lantas menyelesaikan segala masalah. Merry masih harus ketar-ketir melunasi uang kuliah sebesar 40.000 dolar Singapura. Salah satu harapan  adalah mengambil student loan yang hanya bisa didapat jika ada pihak yang menjadi penjamin. Lantaran tidak ada kerabat dan teman seperti Irene tidak bisa menjadi penjamin, Merry pun harus mencari mahasiswa senior yang bisa menjadi penjaminnya.

Irene kemudian meminta tolong kepada salah satu mahasiswa senior yang ditaksirnya bernama Alva  (diperankan oleh Dion Wiyoko) Merry berpikir Alva mau menjadi Awalnya, Alva kurang begitu percaya karena belum pernah mengenal Merry sebelumnya. Tentu saja, Alva ingin diberi jaminan bahwa Merry akan benar-benar sanggup membayar hutangnya.

Dari situlah Merry berjuang menyambung nafas; utamanya untuk memperoleh kepercayaan Alva hingga bersedia menjadi penjamin. Semua tempat-tempat usaha yang berada disekitar situ dicoba Merry untuk mendapatkan penghasilan. Namun tak satupun dari mereka yang mau menerima Merry bekerja di tempat-tempet itu. Merry yang tetap gigih walaupun banyak menerima penolakan, akhirnya menemukan pekerjaan dengan gaji yang sedikit. Karna kegigihan Merry pula yang akhirnya membuat Alva akhirnyaa mau menolongnya untuk menjadi penjamin hutangnya.

Merry pun berpikir bahwa dia harus fokus pada studinya, agar tidak menyusahkan kedua orang tuanya karena besar keinginannya untuk membahagiakan dan membanggakan mereka. Maka Merry pun kuliah dan berpikir keras untuk mendapatkan pekerjaan lalu melipat gandakan uang yang ia miliki, mulai dari  menyebar brosur, bisnis online, bekerja di restoran dan bermain saham dengan resiko tinggi. Momentum inilah yang kemudian membuat Merry menyatakan harapan pamungkas di usianya yang ke-20, bebas finansial sebelum umur 30.

Film yang diangkat dari Novel, momentum meresapi kutipan berharga



Merry kemudian mengecup hasil penjualan sahamnya yang meraup keuntungan berlipat ganda, dengan mentraktir teman-temannya lalu mengadakan pesta meriah. Saat itu, Merry merasa bahwa roda kehidupan sedang berputar naik ke atas untuknya, sampai-sampai mulai terdistraksi dari perkuliahan.  Sayang, tak lama kemudian saham yang diambil Merry mengalami penurunan kurs, hingga kondisi keuangannya kembali surut. Bak jatuh tertimpa tangga, Merry yang sempat ikut terjerat dalam bisnis multi-level marketing, hingga menyebar ajakan lewat email, turut terkena getah saat para pelaku bisnis tersebut dikejar polisi atas dasar dugaan penipuan. Semua uangnya habis karena sudah terlanjur investasi diperusahaan abal-abal tersebut, dan untungnya Merry masih dibela oleh Alva di kantor polisi. 

Merry yang pantang menyerah walaupun sudah jatuh bangun memperjuangkan kuliahnya. Membuat Alva jatuh cinta kepada Merry. Namun dilemanya, Irene sahabat Merry yang terlebih dulu mengenal Alva, juga menyukai cowok tampan tersebut. Pernah suatu ketika, saat Irene mengetahui Alva sedang berduaan dengan Merry, membuat Irene cemburu, marah sampai-sampai mengusir Merry dari kamar tempat mereka tinggal berdua.

Merry yang terpuruk, tak tahu kemana harus mengadu pun mengalami depresi. Di saat seperti itu, secara mengejutkan Merry mendapati ibunda hadir mengunjungi kamarnya. Merry langsung menumpahkan semua bebannya pada ibu yang telah lama tak dijumpai. Kata-kata ibu Merry, yang diperankan Chintya Lamusu, cukup menyihir saya waktu itu:

"Memang semua ini berat untuk dilalui. Namun, kamu harus punya kata selesai bagi dirimu untuk semua hal ini. Ada suatu hal yang istimewa dalam dirimu yang terlupakan."

Merry kembali bangkit dari keterpurukannya, lalu bertekad untuk berjuang kembali. Pekerjaan sampingan yang dilakoninya kini hanya menjadi penjaja asuransi, selain berkuliah. Merry yang tak bisa menghindari berbagai penolakan, tetap teguh pendirian dari mulai pagi hingga malam. Suatu kesempatan kembali mempertemukannya dengan Irene di jalanan. Irene merangkul kembali sahabatnya itu dengan meminta maaf terlebih dahulu atas kekhilafannya karena sikap cemburu. Lebih-lebih, Irene mengisyaratkan persetujuannya untuk perasaan Merry terhadap Alva.

Tak lama berselang, Merry yang kehujanan saat mencari prospek asuransi diajak berteduh oleh Bu Noor. Setelah teh dan makanan terhidang, Bu Noor mulai mengawali pembicaraan tentang produk asuransi yang dijajakan Merry. Singkat kata, lewat pertemuan klimaks inilah Merry kembali menemukan 'hal berharga' dalam dirinya, tepatnya adalah bagaimana sukses adalah tentang 

Merry yang kemudian menemukan Alva lewat suatu kejadian yang tidak disengaja, mulai lebih terus terang tentang perasaan dalam dirinya. Kisah cinta Merry dan Alva yang sungguh dramatis. Akhirnya menjadikan mereka satu sebagai sepasang kekasih. Ada suatu kutipan difilm ini, ketika Alva menyatakan perasaanya kepada Merry dengan memberinya buku berjudul (s.h.m.i.l.y) yang artinya ‘See How Much I love you’.

Banyak kata-kata yang memotivasi dalam film ini. Namun, yang lebih mengundang penasaran saya untuk menguliti isi film dan novel ini sekaligus adalah bagaimana memilih motivasi dan motivator yang "konsisten" memperbaiki diri, ketimbang sekedar bermanis-manis sesaat. Memang film ini tidak mewakili semua isi dari novel, karena keterbatasan durasi. Akan tetapi, film ini sudah cukup untuk merangkum pembawaan Merry Riana semirip mungkin dengan yang terurai dalam novelnya.

Tak pelak, teman saya yang awalnya biasa saja menikmati film ini sekadar sajian hiburan, turut terharu dengan sepak terjang Merry. Perjuangan manusia menegakkan tulang punggungnya demi cita-cita, selalu menjadi unsur romantis yang melecut semangat untuk memulai dari kekosongan dan situasi sulit.

"Bri, saya ga butuh nonton film lain, deh. Saya nonton ini aja udah nangis." (Bang D.F, teman saya yang terharu setelah menonton film Merry Riana)

Untuk pembahasan kali ini, tidak akan saya titik beratkan pada tokoh-tokoh. Unsur yang menarik untuk dibahas adalah tentang bagaimana memilah motivasi dan motivator yang 'sesuai'. Di tengah cerita, Merry Riana pun sempat tertipu dengan bisnis MLM, karena sebuah janji yang sifatnya "too good to be true." Untungnya, Ibu Merrry Riana peka dengan 'apa yang seharusnya diperjuangkan' oleh putrinya.

Meminjam uraian dari salah seorang senior saya, Irawan Surya Kusuma, yang kini menjadi konsultan, ada beberapa jenis motivasi yang harus dipikir ulang sebelum dicerna:

a. "Jadilah dirimu sendiri, apa adanya.". Sayangnya dinamika dan sunatullah dari kehidupan ini adalah setiap makhluk hidup berkembang dan tumbuh. Jika kita hanya menjadi diri seadanya, tentu takkan mudah beradaptasi dengan situasi yang terus berubah. Ada saatnya pula, meskipun awalnya tak ada orang yang membimbing, kita pun akan mencontoh dari orang lain yang sudah punya 'sesuatu'. Mengusung orisinalitas memang suatu hal yang baik, tetapi harus diiringi dengan antusiasme yang realitis untuk belajar pada orang-orang yang memang punya kualitas. Kalau seandainya kita hanya tetap jadi seadanya, bukan tak mungkin kita akan jadi korban keadaan yang tak selalu bisa dipahami.

b.  "Ikuti saja kata hatimu, jangan dengarkan apapun kata orang." Kata ini terdengar baik, seolah nurani kita adalah komando tertinggi yang sangat layak untuk ditaati. Akan tetapi, sama seperti halnya otak, nurani pun perlu diasah. Itulah mengapa kegiatan ibadah ada sepanjang hayat, bukan hanya ketika hati sedang terasa tidak baik. Adapun ketika kondisi hati sedang baik, bukan berarti harus serba ditaati.

Adalah hal wajar ketika tidak semua omongan orang patut didengarkan, terlebih yang bernada mencibir secara personal bukan secara substansi. Akan tetapi, jika menutup telinga rapat-rapat, bisa jadi sulit bagi kita untuk melihat sudut pandang yang lain maupun bertukar pikiran. Memilah orang yang tepat untuk didengarkan memang proses yang sulit, bahkan butuh lebih dari kejelian. Adapun kita yang kadang perlu menutup telinga pun belum tentu jadi orang terbaik. Standar sikap profesional memang menempatkan kita secara ideal sepatutnya tahan mental untuk mendengarkan orang lain. Yang patut menjadi pertimbangan matang, selain perlunya omongan orang perlu didengar atau tidak, adalah apakah semua hal yang bisa didengar harus dimasukkan ke hati? Entah menjadi karyawan maupun pemimpin, rasanya memang mengerjakan segala tugas harus mendahulukan pemikiran sehat ketimbang perasaan.

Dalam usaha memikirkan sesuatu dengan akal sehat, mungkin lebih tepatnya dimulai dengan memilah apa yang didengar dengan mencernanya di otak, ketimbang semuanya dimasukkan dalam hati.


c. "Untuk apa repot-repot jadi karyawan? Lebih baik jadi pengusaha". Kalimat ini sudah cukup fatal, meskipun terdengar merdu sebagai motivasi. Perusahaan sekecil apapun, seorang pemimpin perusahaan pasti butuh karyawan. Kalimat ini sebenarnya mengandung bumbu keangkuhan, karena mendiskreditkan arti dari bekerja kepada orang lain. Secara natural, manusia tak selalu bisa berpikir dan berbuat atas kehendaknya sendiri. Sepintar apapun orang, pasti adakalanya butuh bantuan berpikir, jikalau tak ada bantuan harta sekalipun. Ada banyak pengusaha sukses, awalnya menjadi karyawan terlebih dahulu.

Adapun menjadi karyawan seumur hidup, bukanlah pilihan yang hina. Bukankah kita sudah sering mendengarkan bahwa : semua manusia adalah sama di hadapan Allah, yang membedakan adalah amalnya? Terlepas apakah perusahaan tempat karyawan bekerja tersebut baik atau buruk, selama mengusahakan pekerjaan yang halal dan memenuhi cita-cita, profesi apapun menjadi mulia.

Dengan meninjau ketiga kriteria ini, Merry Riana rasanya patut digolongkan sebagai motivator yang 'sehat' dan 'menginspirasi secara realistis'. Beberapa inti nilai yang saya serap setelah membaca karya-karyanya, lebih mengenai tentang perjuangan menggapai mimpi, keberanian berjuang dengan niat yang tepat, serta jargon pamungkasnya tentang merumuskan kebebasan finansial.

Akhir kata, mungkin tenaga dan pikiran yang saya kerahkan untuk tulisan ini pun, tak lepas dari inspirasi dari seorang Merry Riana,

"Tidak ada artinya segala rencana masa depan, kalau kita menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depan mata." 


Kutipan Berharga yang Melecut Semangat saya



1 komentar:

  1. Aku pernah baca bukunya, inget Merry harus berhemat, lalu mencari tambahan penghasilan dari saham dan justru terperosok dan akhirnya bangkit saat mulai menjual asuransi..semangat Merry emang luar biasa

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...