Minggu, 08 Desember 2019

Refleksi Ziarah

Ziarah ini bukanlah film yang diisi aktor populer. Akan tetapi, film ini adalah salah satu karya anak bangsa yang telah memenangkan beberapa festival film di dalam dan luar negeri. Tayangan sepanjang 90 menit kurang ini adalah sebuah sintesa dari 2 tema besar: mewujudkan kerinduan dan mengenang jasa para pahlawan. 

Film ini dibuka dengan sayup-sayup terdengar “sangkan paraning dumadi” yang dalam terjemahan bebasnya berarti "asal dan tujuan hidup", di mana kita berasal dan kembali. Dari judulnya saja sudah dapat kita terka, film ini tidak akan jauh-jauh dari hal yang berbau kematian. Sekilas memang benar, namun tidak diilustrasikan secara eksplisit, lebih tepatnya bagaimana memaknai perjalanan hidup dalam menanti maut sebagai ujungnya. 

Dikisahkan Mbak Sri (Ponco Sutiyem) yang sudah berusia renta menghabiskan waktu di sisa hidupnya. Sewaktu mudanya ia ditinggalkan suaminya berjuang untuk menghadapi penjajah Belanda pada Agresi Militer ke-2 pada tahun 1948. Suaminya berpesan akan berjuang, jika selamat ia akan kembali padanya, dan bila tidak mohon direlakan bisa jadi ia gugur dalam peperangan.

Sekian lama menunggu,  suaminya tersebut tidak pernah kembali dan tidak ada beritanya. Sesuai dengan pesannya, Mbah Sri menganggap suaminya sudah gugur. Maka dari itu, Mbah Sri pun cukup mengunjungi gundukan tanah dengan bambu runcing berbendera merah putih sebagai makam suaminya. Tujuannya adalah untuk berziarah mengenang suaminya tersebut.

Namun, suatu ketika ia bertemu dengan veteran yang masih hidup dan menceritakan di mana suaminya itu tertembak. Dari informasi yang serbatanggung itu akhirnya Mbah Sri menelusuri tempat yang dimaksud tersebut. Harapannya adalah bisa menemukan makam suaminya, dan kemudian akan dimakamkan di sebelah pusara suaminya ketika sudah meninggal kelak.

Selagi hidup, keinginan harus diperjuangkan. Tanpa kenal lelah Mbah Sri menelusuri beberapa daerah, menanyakan kepada tokoh yang masih hidup dan para pejuang untuk menemukan informasi yang utuh. Pencarian terus dilakukan, hal itu yang juga membuat repot cucu lelakinya Prapto (Rukman Rosadi) yang akhirnya mencari neneknya yang pergi tanpa pamit itu.      
Dengan gigihnya Mbah Sri terus mencari. Ia hanya berbekal nama suaminya Pawiro, foto pun tidak ada. Ada titik terang dengan informasi sesama pejuang bahwa ada nama Pawiro yang berada di sebuah daerah pelosok. Mbah Sri pun terus menelusuri tempat tersebut. Info yang didapat ada makam yang bernama Pawiro. Dengan pantang menyerah, Mbah Sri mengunjungi tempat yang dimaksud. Namun sial, ternyata setelah didatangi, makam tersebut sudah tergenangi waduk program pemerintah..
Mbah Sri mendapatkan kejelasan tentang suaminya dari seorang veteran. 
Akhirnya Mbah Sri hanya bisa pasrah. Ia pun cukup nyekar dengan bunga yang ditabur di waduk yang diyakini ada makam suaminya. Ia pun kembali ke rumah dengan dijemput cucunya. Dan “suasana” normal kembali.

Tidak dinyana suatu hari ada informasi bahwa ada makam yang bernama pejuang Pawiro. Dan akhirnya Mbah Sri pun melakukan perjalanan kembali untuk menemukan makam suaminya tersebut. Beberapa tempat sesuai info ditelusuri. Secercah harapan pun kembali hadir, dengan makam bernama Pawiro. Namum, setelah ditelusuri jejak masa lalunya tidak sama dengan suaminya tersebut, kesimpulannya pun didapat bahwa makam itu bukanlah yang dicari selama ini. 


Film ini akan lebih banyak bercerita tentang perjalanan Mbah Sri menyusuri lembah, gunung, perbukitan, dan berbagai bentang alam di pelosok-pelosok desa.
Dalam perjalanan panjangnya, ia akan bertemu dengan orang-orang yang yang tengah berdialog tentang tanahnya, orang-orang yang memperjuangkan tanahnya, dan orang-orang yang tersingkir dari tanahnya.
Perjuangan Mbah Sri pun tak pupus. Beberapa saksi yang ditemui meminta info lebih spesifik. Untuk lebih jelasnya, Mbah Sri memberi info yang lebih utuh, memberikan nama lengkap suaminya Pawiro Sahid.
Penelusuran terus dilakakukan. Dan ternyata tidaklah sia-sia, mbah Sri berhasil menemukan makam dengan nama Pawiro Sahid. Dan tidak diragukan lagi bahwa inilah makan yang dicari-cari selama ini sebelum nanti usianya usai. Penonton pun bernapas lega, namun ternyata cerita belum usai. Ada dua makam yang identik bersebelahan, hanya beda nama yang satu bertuliskan Ki Pawiro Sahid dan satu lagi Nyi Pawiro Sahid. Akhirnya kita menahan napas, apakah arti semua ini?

Bagi mbah Sri, perjalanannya mencari makam sang suami ini tidak sekadar menjadi perjalanan menyusuri sejarah cintanya, tapi juga menyusuri luka-luka sejarah bangsanya.

Perjalanan ini berujung pada sebuah temuan fakta yang menyakitkan.
Baginya rasa sakit itu berkah, karena dari situ ia bisa belajar tentang hakikat pasrah.
Dengan sikap pasrah itulah, ia berhasil mengais satu bentuk kemenangan, bahkan ketika ia terpuruk dalam kekalahan.

Suatu sikap yang membuatnya berhasil menemukan cinta dengan cara yang tak pernah ia duga.

Tidak dapat dipungkiri Film Ziarah sangat “Jawani”, hampir keseluruhan berbahasa Jawa. Penekanan cerita tak lepas dari filosofi Jawa yang dituangkan dengan simbol-simbol yang penuh makna. Perlu mengerutkan kening juga untuk menerjemahkan itu semua.

Film Ziarah ini para pemainnya pun bukanlah bintang yang selama ini kita kenal. Menonton film ini seperti melihat film dokumenter tentang perjalanan seseorang. Tampak nyata dan natural. 
Sepakat apa yang dikatakan kata BW Purwa Negara, sutradara sekaligus penulis naskah film ini, 
"Kalau sinema adalah hidangan, Ziarah bukan piza atau burger. Lebih tepat seperti singkong atau tempe. Kalau film adalah kendaraan, Ziarah bukan Ferrari tetapi sado. Ziarah dibuat dengan segala kesederhanaan, tetapi dengan harapan dapat memberi makna," ujarnya seusai pemutaran Ziarah pada Plaza Indonesia Film Festival beberapa waktu lalu. Kompas.com 
Cukup puas rasanya menonton film Ziarah ini, banyak pelajaran dan pesan moral yang dipetik. Tentang kesetiaan, janji yang tak pernah tertepati, perjuangan yang tanpa lelah, serta bagaimana memaknai hidup itu. Hidup kadang ada di persimpangan antara harapan dan ketidaksesuaian realitas. Berdamai dengan masa lalu apalagi yang pahit memerlukan perjuangan tersendiri untuk menyembuhkan “luka”. Tentunya bagaimana memaknai itu semua dengan bijak disertai kepasrahan kepada Tuhan.

Mungkin inilah mengapa kita dianjurkan berziarah. Kematian adalah sebuah keniscayaan, hanya menunggu waktu pada saatnya. Urip mung mampir ngombe seperti falsafah Jawa yang sering kita dengar. Mengisi perjalanan kehidupan itu yang lebih penting, yaitu setidaknya kita sebisa mungkin dapat memberikan manfaat kepada sesama dan lingkungan sehingga kita bisa bangga pada akhirnya kembali di mana kita berasal. 

Masyarakat Indonesia boleh berbangga dengan salah satu karya anak bangsa yang satu ini. Film Ziarah, film karya BW Purbanegara ini memang menarik perhatian penikmat film hingga memenangi beberapa penghargaan, salah satunya Film Terbaik di Salamindanaw Film Festival 2016, Skenario Terbaik versi Majalah Tempo 2016, Nominasi Penulis Skenario di Festival Film Indonesia 2016, Nominasi Film Terbaik di Apresiasi Film Indonesia 2016 dan Kompetisi Film di Jogja Netpac Asian Film Festival 2016.

Selain itu dalam event ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017 yang diselenggarakan di Hotel Pullman, Kuching, Serawak, Malaysia, Sabtu, 6 Mei lalu, 'Ziarah' sendiri berhasil mendapatkan penghargaan Best Screenplay dan Special Jury Award.

    Film Ziarah, mengetengahkan progresi alur cerita sebagai sajian utama. 
BW sendiri selaku sutradara mengaku bahwa ia terinspirasi untuk membuat film ini dari pengalamannya menjadi relawan ketika ia membantu para korbannya.
"Inspirasinya banyak saya dapat dari Tsunami Aceh dulu yang sangat membekas di hati saya. Saat Tsunami Aceh dulu saya bertemu dengan banyak orang yang bisa berdamai dengan itu. Sata juga banyak bertemu dengan orang tua yang bisa bercerita lancar tentang masa lalunya," ungkap BW.

Penghargaan Special Jury Award sendiri didapatkan oleh Mbah Ponco Sutiyem, yang dinilai luar biasa dalam memerankan mbah Sri dalam film 'Ziarah'.
Menanggapi hal ini, Ponco mengungkapkan rasa syukurnya. Ia pun menambahkan akan meminta persetujuan anak-cucunya jika ditawari main film lagi oleh BW.

"Saya merasa senang sekali (mendapatkan penghargaan), kalau ditawari lagi ya saya minta persetujuan anak sama cucu saya dulu," ucapnya sambil tersenyum.

Sebelum perjalanan menuju akhirat, sejatinya memang banyak kejutan yang menunggu di antara sisa-sisa hidup. Tatkala menyimak ziarah ini, saya kembali membayangkan beberapa kebiasaan kakek yang ditinggal pergi nenek. Setiap Jumat, beliau yang telah berkursi roda menyempatkan diri mengunjungi makam, kendati lokasinya terletak di daerah yang agak curam. 

Sungguh, kadang kerinduan itu mewujudkan kekuatan yang ajaib pada manusia. Karenanya, jarak tak terhingga pun bisa tercapai dalam hati yang bertaut. Ziarah bukan hanya sebuah budaya, namun manifestasi kerinduan manusia dalam memahat jalan diantara jalan yang membentang. 

10 komentar:

  1. Film bagus ya. Jadi mau nonton juga. Tp blom ada kayaknya di bioskop lampung^^

    BalasHapus
  2. alak yoha: ini memang film indie,...jadi nyari di toko DVD konvensional agak susah.

    BalasHapus
  3. Wow 9/10?? Kok aku gatau film sekeren ini 😱

    BalasHapus
  4. Di youtube ad ka brian jd pgen nonton

    BalasHapus
  5. pemeran utamanya sudah sepuh, tapi aktingnya sepertinya keren sampai dapat penghargaan

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...