Kamis, 05 Desember 2019

Belalang Tempurku, Bagian 1

Hari ini telah berlalu lima tahun silam,  diman saat pertama kali kukuras tabungan  habis-habisan uang bulanan bekal kuliah luar negeri demi roda dua yang kokoh. Tepat di tanggal ini, 5 Desember, kupacu sepedaku menuju bendungan di ujung jalan hope street, sebuah komplek perumahan besar di bagian utara Melbourne. 


Di pertengahan 2014,  setelah 3 bulan lebih bergantung pada kereta dan tram untuk berjalan ke sana kemari,  rasanya menyediakan transportasi pribadi adalah opsi yang harus dipenuhi   Berminggu-minggu naik kereta, nyatanya beberapa kali akses toilet dan resto yang buka 24 jam hanya di daerah kota, namun tidak untuk daerah pelosok.  Begitu pula dengan tram. Sekali saya terlambat mencegat,  artinya harus menunggu 20 menit ditambah harus menyebrang melewati lajur mobil dan motor.

Kedua angkutan raksasa itu pun punya jadwal operasi yang sudah tidak bisa diganggu gugat. Paling larut jam 11 malam hingga angkutan kembali tersedia setengah 5 pagi.  Disatu sisi,  suatu hal yang rasanya sayang bila melewatkan  kesempatan mencari tambahan duit hanya karena sulit mendapatkan transport jam 5 pagi. 


Tanpa ragu, langsung saja kukuras 300 dollar untuk sepeda bermerk reid , berbadan hitam legam yang kokoh. Tak lupa paket 300 dollar itu sudah mencakup helm dan kunci. Sepeda hitam legam ini mulai efektif kupacu per 30 juli 2014 di suatu sore. Saya masih ingat karena sudah terlalu banyak kenangan berkeringat bersamanya. 

  Sepeda Reid Hitam, 'Teman Setia' di negeri orang

Setelah 2 tahun jarang pegang sepeda,  tepatnya terakhir di masa kuliah sarjana, rasanya memang cukup menguras tenaga untuk beradaptasi kembali dengan seni mengayuh sepeda.  But the fun didn't  come at first touch

 Dua minggu bersepeda cukup ampuh menghemat biaya ngetram dan kereta untuk jarak pendek,  hingga 200 dollar teramankan setiap bulannya. Di titik itu,  rasanya investasi untuk roda dua adalah sebuah pencapaian yang efisien. Lebih-lebih, rutinitas mengayuh itu jadi adiktif tatkala bayangan seolah aku adalah  pengelana muncul menjadi hormon-hormon imajinasi dalam otak.  

Sebuah sensasi yang tergantikan: setiap pagi hingga malam menantang jalan yang sempit lalu memutar otak dan mata demi menembus gang,  rasanya tak sabar menanti kejutan berikutnya. 

     Sepeda hitam yang mengajak bertualang ke tempat yang belum terjamah

 Hingga hari ini,  saya sulit untuk merdeka akan kenangan tentangnya. 

Duhai belalang hitam berkaki bulat, Apa kabarmu di tangan Yansen?

-BERSAMBUNG-

1 komentar:

  1. Baca judulnya kirain tuh motor belalang kayak di ksatria baja hitam.oh ternyata inii 😂😂

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...