Sabtu, 07 Desember 2019

Refleksi Atambua 39 Derajat Celcius

Ketika sebuah keluarga yang pada mulanya saling mencinta harus terpisah karena kedua orangtua harus memilih, dan pilihan mereka jatuh pada dua sisi yang berbeda, siapa menjadi korbannya?

'Atambua 39 Derajat Celcius' merupakan film terbaru kolaborasi dua sineas Riri Riza (penulis skenario, sutradara) dan Mira Lesmana (produser), yang sebelumnya pernah pula bersinergi dalam 'Eliana, Eliana' (2002), 'Gie' (2005), 'Untuk Rena' (2005), '3 Hari untuk Selamanya' (2007) dan 'Laskar Pelangi' (2008)

Mengambil latar film di Atambua, Nusa Tenggara Timur, guratan kisah yang agak sulit dicerna ini terfokus pada jalan terjal pengungsi di perbatasan, setelah momentum 'pelepasan' Timor Timur (kini Timor Leste) pada 1999. Sebagian mereka yang  memilih untuk tetap membela Indonesia menetap di Atambua. Sayangnya, nasib mereka seringlali  terlunta-lunta tanpa jalan hidup  yang jelas.

Adalah Ronaldo (Petrus Beyleto), seorang bapak yang karena kecintaannya terhadap Merah Putih, memilih untuk meninggalkan istri, seorang anak perempuan dan satu lagi anak yang sedang dikandung istrinya.  Saat perpecahan di Timor Timur terjadi, istri Ronaldo memilih untuk tetap tinggal di Liquica, kampung halamannya di Timor Leste. Ronaldo bersikeras, Timor bagian dari Indonesia, dan harus kembali ke pangkuan Merah Putih. 

Dalam ‘pelarian’-nya ke Atambua itu, Ronaldo mengajak serta Joao, anak lelakinya. Menurutnya, anak lelaki selayaknya meniru sang bapak. Itulah salah satu manifestasi rasa cinta Ronaldo yang tergambar dalam tayangan berdurasi seratus menit ini. 

Namun, apa yang didapat Ronaldo di Atambua? Hidupnya tidak menentu. Demi menyambung nafas, ia melakoni peran sebagai sopir bis serabutan, yang tidak diperhitungkan dan kerap dikucilkan karena sering mabuk dan membuat takut penumpang. mabuk dan judi menjadi pelarian atas kemarahan dan depresi yang mengikutinya, akibat terpisah dari keluarga, lalu mendapati realita yang tak sesuai harapan, hingga kehilangan asa untuk berjuang dalam kehidupan. 

Hubungannya dengan Joao (Gudino Soares) pun tak terlalu dekat. Ronaldo selalu pulang larut malam, dalam keadaan mabuk, dan hanya mendapati Joao yang sedang tertidur. Namun kecintaan Joao terhadap ayahnya begitu nyata meski Ronaldo tak menyadari. Joao setia membersihkan muntahan bapaknya saban pagi. Tak hanya itu, Joao tetap mencari ketika Ronaldo tidak pulang dan ternyata menginap sebagai tahanan di penjara akibat pertengkaran ‘ideologis’ di sebuah klab biliar.

Joao, digambarkan sebagai sosok yang merindu kasih sayang. Tidak banyak ia merasakan kasih sayang sang Ibu meski sentuhan dan bau wangi dada Ibunya terekam alam bawah sadarnya. Rekaman suara ibu dalam sebuah kaset menjadi denyut hidupnya, yang selalu menarik-narik kesadarannya ke masa lalu, masa dalam buaian dan dekapan Ibu. 

Dalam hatinya, Joao memiliki kasih sayang, yang kemudian ingin ia curahkan pada Nikia (Putri Moruk), teman masa lalu yang saat itu menjadi tetangganya. Nikia pun punya kisah sendiri, dimana ia menghilang dari masa lalu Joao untuk pergi ke Kupang. 


        Joao dan Nikia, saling bertukar kebiasaan untuk memahami

Nikia datang ke Atambua untuk berduka atas wafatnya sang Kakek, Mateus. Meski memiliki latar belakang yang pahit dan getir, Nikia bukanlah orang yang mudah menyerah. Ketetapan hati seorang Nikia akan cukup mengundang decak kagum manakala seorang diri ia harus mengangkat batu-batuan untuk menutup makam dan membawa sendiri salib dari besi tempa, sebagai simbol penanda makam sang kakek.

Joao yang biasa menghabiskan waktu menjadi tukang ojek dan bermalasan bersama teman teman remajanya berganti kebiasaan dengan ritual mengikuti Nikia. Sesungguhnya ia tidak terlalu paham mengapa, kalau saya taksir kemungkinan karena perasaan menemukan teman senasib. 

Karena saking Nikia mulai membuka hati pada Joao, sampai suatu hari Joao menunjukkan perasaannya dengan cara yang memaksa. Nikia pergi meninggalkan Atambua. Sementara, Ronaldo berkelahi di sebuah tempat bilyar, hingga ia kemudian ditahan di kantor Polisi. Joao menebus ayahnya keluar dari tahanan, kemudian pergi untuk mencari Nikia. Ronaldo pulang menemukan rumah yang kosong dan menemukan kumpulan surat dalam bentuk kaset kaset rekaman dari Istrinya.[

Pada film yg musiknya digarap dengan menggugah oleh Basri B. Sila ini, relasi antartokoh tercipta dalam tempo yang lambat namun teratur. Alur terasa lambat di awal dan kurang bergairah di area yang genting tersebut, yang ditandai lewat angka 39 derajat Celsius. Menurut sang sutradara, angka itu merupakan suhu tubuh genting manusia saat demam.

Selain kisah keluarga dengan latar belakang politik, film ini menguraikan skema kehidupan sosial yang menarik seperti muda-mudi yang berdansa, kegiatan menenun, hingga sakralnya ritual keagamaan. Penampakan alam eksotik juga dihadirkan dengan natural lewat matahari senja yang jingga, sorot cahaya yang menerobos ranting dan celah langit-langit, dan penampakan ratusan kelelawar di pembukaan film. 

Namun, ada juga beberapa gambar yang tidak jelas maknanya. Misalnya, saat di Kupang, kamera menyorot kantung plastik yang terbang tertiup angin, namun gambar itu tidak membawa ke adegan apapun, tak jelas esensinya. Tapi disinilah memang suspensi sebuah tayangan sedang membumbui mata para penonton. 

Kisah referendum dan perpecahan Timor Timur  2 dekade silam menjadi benang merah film yang keseluruhannya dibawakan dalam bahasa Tetum ini. Pada akhirnya film ini membawa pesan pamungkas akan makna kekeluargaan dan Tanah Air. 

Saat sedang membela sesuatu, apakah sesuatu itu sepadan dengan kehilangan dan kegetiran yang harus diterima? Apakah yang kita bela itu, kembali membela dan ikut memperjuangkan nasib kita? Barangkali itulah pergulatan batin yang memenuhi rongga dada Joao, Nikia, dan Ronaldo di sepanjang film ini. 

Selain konflik yang dialami oleh Ronaldo, yang diperankan dengan sangat baik oleh Petrus Beyleto, konflik lain seakan tenggelam.  Hanya ada sedikit percakapan dengan tetangga mengenai minimnya mata pencaharian di Atambua. Harap maklum juga, jika pada beberapa dialog para tokoh seperti sedang berdeklamasi. 

Dalam film yang telah diputar di Tokyo Internasional Film Festival ini, para pemeran memang pelakon lokal yang memiliki gaya khas sendiri dalam berakting.  Film ini disuguhkan dengan lakon yang seimbang dan natural dari Gudino Soares, Petrus Beyleto dan Putri Moruk. 

Riri Riza pernah mengatakan, para pemeran utama merupakan inspirasi dalam filmnya itu. Beberapa kali, ia mengklaim bahwa anak-anak Timor Leste itu adalah saksi mata yang nyata akan pemisahan tanah air mereka dengan tanah air Indonesia. 

  Film Atambua 39 Derajat Celcius, cukup natural membawakan skema pasca pecahnya Timor Leste dari Indonesia.

"Mereka dulu digendong melewati perbatasan Indonsia menuju Timor Leste, tepat beberapa puluh tahun silam. Perjuangan mereka menjadi inspirasi untuk saya "  (Riri Riza, sutradara Atambua 39 Derajat Celcius)



Gagasan awal tayangan yang berdurasi 90 menit itu terpicu ketika Mira dan Riri tengah menyelesaikan sebuah film dokumenter di kota Atambua, Timor, Nusa Tenggara Timur. Keduanya terkesan dengan keindahan tempat, keramahan penduduk sekaligus prihatin dengan kepedihan yang masih terasa akibat perpecahan politik saat Timor Timur (kini Timor Leste) berpisah dari Indonesia dua puluh tahun silam. 

Sambil menyelam minum air, latar dan situasi NTT membuat keduanya tertantang untuk membuat sebuah film layar lebar yang bercerita tentang kehidupan masyarakat di Atambua. Harapan Mira Lesmana melalui film Atambua 39 derajat Celcius ini, akan menarik lebih banyak simpati dan perhatian untuk wilayah Indonesia bagian timur itu.

Menurut Mira selaku produser, kemiskinan yang tinggi, kurangnya tingkat pendidikan dan trauma yang tersisa setelah perpecahan politik merupakan salah satu permasalahan di kawasan Indonesia bagian timur yang membutuhkan perhatian.

Sekali lagi, Riri berusaha menghadirkan kejujuran dalam filmnya. Kejujuran akan sebuah budaya nasionalisme dan cinta. Sebagian isi film memang berisi romansa cinta, yang terurai dalam banyak bahasa  Cinta kepada lawan jenis, cinta kepada orang tua dan cinta kepada Ibu Pertiwi. Semua terjalin indah sejak awal. Dan kejutan kecil akan kita temukan di akhir film. Kejutan yang akhirnya membuat kita merenung kembali, tentang makna sebuah kemerdekaan dan cinta tanah air.

Bagi saya sendiri, menyaksikan film ini di HOOQ, membuat kembali teringat akan pesan nasionalisme yang pernah digaungkan Henry Manampiring, salah satu aktivis medsos yang punya banyak karya dengan bumbu muatan psikologis ringan: 

Kita boleh saja mencintai tanah air. Hanya saja, bentuknya tak kaku hanya satu arah. Mencintai tanah air selayaknya mewadahi dua arah: kita mencintainya dengan layak, dan tanah air itu membalas cinta kita dengan selayaknya. 

2 komentar:

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...