Rabu, 09 Februari 2022

Cerita Cinta Tanpa Cinta: Antologi Dengan Sajian Utama "Showing Less Telling" yang Membuat Pembaca Melek Tentang Anasir-Anasir Cerita Roman

Awalnya antologi ini sempat saya anggurkan selama dua tahun. Pasalnya, referensi dan rujukan soal situs cerpen yang harus dibaca untuk memenuhi kurikulum kursus cerita pendek yang saya ikuti mengharuskan agar menelaah cerita pendek yang berbobot dan relevan dengan tema sosial. Ketika datang wacana tantangan untuk mendalami fiksi romance, saya pun kembali membuka antologi yang lama telah dianggurkan ini. 


Awalnya saya sempat sedikit meremehkan karya Rayya Indira dan pada koleganya yang dirilis pada tahun 2010 ini, lantaran banyak review merujuk karya ini berada pada nilai bintang tiga. Kenyataannya, adalah suatu kesalahan untuk manut begitu saja pada penilaian banyak orang tanpa membaca sendiri. Tatkala membuka kata pengantarnya, tak butuh waktu lama bagi saya untuk mengklaim bahwa sajian antologi ini menawarkan materi romansa dan adegan asmara yang dewasa dan berbobot. 

Saya ingin memulai membahasnya dari kata pengantar. Kata pengantar seringkali hadir dalam wujud dan fungsi yang beragam. Ada mukaddimah yang mengambil peran sebagai pekarangan 'rumah' dari sebuah buku, ada pula mukaddimah suatu buku yang memiliki peran vital sebagai pintu masuk yang harus dilalui dan diketuk setiap 'tamu' (baca: pembaca buku), sebelum berkunjung lebih jauh ke dalam rumah. Kebetulan, karya besutan Rayya Indira ini seolah meminta para pembaca untuk 'mengetuk pintu depan' terlebih dahulu sebelhm lama-lama bertamu.

 Dalam kata pengantarnya,Rayya Indira ingin membubuhkan pesan tersirat bahwa cinta seringkali hadir di dunia tak berdiri sendiri. Cinta turut dibangun dari kenangan, persahabatan, kesabaran, berbagi cita-cita, keterus terangan, perhatian, kejujuran, hingga kerelaan untuk melepaskan. Unsur-unsur penyusun cinta inilah yang kemudian didapuk menjadi benang merah yang menyatukan sepuluh cerita di dalam antologi ini. Selain itu, secara teknis penyajian, antologi "Cerita Cinta Tanpa Cinta" ini seolah memamerkan dirinya sebagai karya sastra yang disusun sempurna dsngan teknik "showing less telling", yang mana merupakan pendekatan lazim seorang penulis untuk mengajak pembaca turut terlibat dalam narasi. 

Dari sepuluh kisah cinta yang dihadirkan, beberapa diantaranya cukup relevan dengan kehidupan dunia perkantoran. Sebut saja kisah Boni dan Lumi yang menjadi cerita pertama, menampilkan skema kehidupan dua sejoli dalam rutinitas kantor yang membuat mereka berdua saling mengisi dengan tindakan-tindakan yang dinilai 'romantis' bagi kebanyakan orang. Kehidupan perkantoran ini pun seolah jadi tema sentral dalam antologi ini, dimana pada cerita "Apa Artinya Kerja Bila Tak Ada Rindu", para pembaca akan disajikan lika-liku perkantoran yang penuh hierarki dan birokrasi, dimana pemikiran kritis Aida selaku tokoh utama ditampilkan menjadi solusi untuk masalah semacam ini. 

Sebagai pengisi utama dan pemimpin antologi ini, Rayya mempersembahkan kisah Zita,  seorang maniak pengetahuan umum yang akhirnya berhasil membebaskan temannya dari potensi kekerasan seksual. Di lain cerita, yang sebenarnya berisi opini dan esai, dengan tajuk "Bukan Mau Biasa", Rayya seolah mendapat panggung podium raksasa untuk mengumumkan pada khalayak pembaca tentang situasi dan tokoh seperti apa yang mencirikan 'kisah romansa'. 

"Kebanyakan fiksi romansa memilih senja sebagai latarnya. Mungkin karena suasana pagi identik dengan orang bekerja. Tapi, rasanya kisah romansa takkan lengkap tanpa unsur senja", demikian tutur Rayya yang tercantum dalam halaman 92 buku ini. 

Sebagai kumpulan cerita dewasa yang melepaskan dirinya dari batas hitam dan putih, "Andai Amnesia" menampilkan kisah perselingkuhan terselubung, yang kemudian mencurahkan pesan moral kepada pembaca bahwa ada perbedaan yang besar tapi tak terlihat antara "Pernikahan" dan "Jatuh Cinta". Selain itu, ada pula kisah 'Ringan' yang memiliki uraian alur cerita tak sesederhana judulnya. Kedua kisah ini memiliki kesamaan ketika para tokoh utamanya dengan sengaja 'melupakan' suatu hal yang penting. Lupa ini kemudian memiliki konotasi ganda, yang bergantung pada situasi cerita masing-masing. 

Konotasi lupa dalam "Andai Amnesia" seolah menjadi 'obat bius penghilang rasa sakit', ketika Gita sang pelakon utama dalam cerita tersebut memih mengubur masa lalu kelamnya lalu melangkah maju bersama tunangannya. Sementara dalam kisah "Ringan", tindakan lupa itu cenderung berperan negatif sebagai faktor yang membuat Marin dan Irwin merealisasikan perpisahan mereka. 

Selain kisah-kisah yang telah disebutkan, setengah kisah lainnya merupakan sajian romansa yang memiliki alur yang cukup sulit dicerna dan jauh dari kata klise. Bila kebanyakan resensi merujuk nilai antologi ini di kisaran 60 dari 100, saya dengan cukup yakin mematok penilaian di kisaran 70-80, mengingat cerita-cerita cinta ini sejatinya memang semuanya diangkat dari kisah nyata. Justru karena suatu cerita memang nyata adanya, memang alurnya takkan selalu seindah yang biasa menjadi angan kita selepas membaca dongeng konvensional, ataupun semengerikan kisah tragis horror yang dibumbui dramatisasi sakit hati. 


#OneDayOnePost
#ReadingChallengeODOP10
#RCODOP10

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...