Rabu, 11 Desember 2019

Reflksi Sandal Bolong Untuk Hamdani: "Beberapa Masalah Akut yang Sering Menimpa Buruh"

Ketika  membaca post soal pembedaan makanan antara majikan dan baby sitter, disitu saya trenyuh. Masih hangat mata saya ini merekam 9 tahun silam sepasang keluarga tidak memberikan kursi untuk baby sitter anaknya.  Tapi waktu itu saya diamkan dan tidak mencegah mereka, Barangkali karena pemikiran masih sebagai mahasiswa tingkat 3 yang polos, saya punya keterbatasan unutk mengkritisi. 

Pemandangan itupun makin lazim, saat sering kulihat para asisten rumah tangga maupun supir terpisa meja  dengan para majikan bila ada acara makan. Mungkin bukan sesuatu yang masalah kalau mereka diberi uang makan, tapi cukup terlalu kalau hanya dibiarkan berdiri atau duduk menunggu, tanpa sepeser upah tambahan untuk makan.

Barangkali, pledoi untuk isu semacam ini muncul, saat menganalogikan bahwa karyawan perusahaan pun seringkali makan tak disantuni tempatnya bekerja. Barangkali, ada yang perlu dipoles dalam pemikiran kita: apa jangan-jangan sebenarnya setiap buruh adalah para pekerja kasta terendah dalam setiap instanasi? Awalnya saya berasumsi bahwa beberapa pekerja kantor-kantor khusus seperti konsultan, media, ataupun jasa keuangan rasanya tak banyak mengalami situasi perbudakan atau jadi masyarakat 'kelas sekian' di dalam struktur sosial perusahaannya. 

Tetapi, cukup dua buku bertajuk  "Tirani Pasar Kerja" dan " Orde Media", membuat otak saya kembali tercuci mengenai definisi buruh dan penyimpangan perusahaan yang menghadang mereka. Dengan cukup pahit, harus saya akui bahwa wartawan, teller bank, konsultan pemula, hingga karyawan kontrak yang berdasi pun tidak lolos dari penyimpangan budaya perusahaan yang menempatkan mereka sebagai 'budak'. Apa yang saya maksud budak di sini adalah: ditempatkan pada pekerjaan berisiko, upah seadanya, tunjangan ditahan-tahan, dan beberapa pengurusan dokumen administrasi pun dipersulit. 

Hanya saja, Orde Media, yang disusun oleh tim keroyokan remotivi, memaparkan beberapa sebab mengapa beberapa pekerja 'tak sadar; bahwa dirinya sedang dijadikan 'buruh' :

"Para wartawan kerap tak menyadari bahwa mereka pun diposisikan sama seperti buruh honorer, lantaran mereka sering bersinggungan dengan para artis dan pejabat elit. Perasaan mempunyai 'kolega' seperti itu acapkali menghipnotis pikiran bahwa pekerjaan mereka adalah profesi terpilih." 
(Orde Media, 2017)

Lalu bagaimana dengan buruh lainnya? Setiap kali peringatan hari 1 Mei digemakan, rasanya buruh yang menuntut upah tak lepas dari stigma masyarakat. "Mereka hanya tukang demo", "bikin rusuh", dan "tidak terdidik". serta ribuan jenis hinaan yang kemungkinan bermuara pada stigma bahwa menjadi buruh adalah sangat relevan dengan 'tidak berpendidikan.' Acapkali, stigma itu menguat karena demonstrasi kerap memaksa aparat untuk membuat barikade bagi jalan dan fasilitas umum. Belum lagi kalau ada adegan sampah di sekitar demonstrasi, sudah tertangkap kamera sebelum dibersihkan. Jadilah bertambah cacian bagi para buruh. 

Ribuan Buruh melakukan aksi demonstrasi menuju Istana Negara, Jakarta. Dalam aksinya mereka menolak PHK sepihak, sistem kerja outsourcing, dan menuntut kenaikan upah. TIRTO/Andrey Gromico
Demo Buruh 1 Mei 2016
Melansir dari laman berita tirto.id,  dalam kasus berjudul "Aspek Indonesia: Demo Buruh Melanggar?", para penggerak serikat buruh menolak bahwa diri mereka melakukan kekerasan dalam aksi damai menentang PP 78 tahun 2015 tentang skema pengupahan. Nyatanya, mereka mengklaim bahwa justru aparat represif terhadap demonstrasi. Tak kurang dari 26 aktivis ditangkap dan diperlakukan semena-mena. Kasus ini kemudian tetap dikawal oleh serikat buruh dengan digawangi dua puluh tiga aktivis dan dua orang pengacara ke pengadilan umum pusat. 

Pada awalnya, jika saya kembali memakai pikiran tahun 2013, dimana sempat melihat demonstrasi buruh dengan memakai lagu dangdut serta menelan mentah-mentah agitasi seorang pejabat perusahaan, muncullah kesimpulan: 'buruh demonstrasi hanya bikin berisik". Untungnya, salah seorang teman kuliah mengingatkan: "Memangnya kamu sudah menelusuri langsung dengan mencari tahu buruhnya? Mereka berdemonstrasi pasti ada sebabnya". Akhirnya, saya berpikir ulang, dan memang merasakan bahwa harus verifikasi berlapis sebelum memasang suatu stigma. 

Ketika ikut terjun dalam demonstrasi buruh di Australia tahun 2014, barulah saya sadar, tentang bedanya demonstrasi yang dibayar dan yang memang substansial. Demonstrasi yang berisi isu substansial biasanya tak serta merta membuat para peserta lari tunggang langgang kalau 'ditembaki' aparat. Mereka akan pilih menunduk, tapi tetap menuju ke tempat yang dituju. Demonstrasi yang dibayar, cenderung mudah bubar kalau sedang cuaca buruk. 

Kalaupun dipukul rata bahwa para buruh tak selayaknya berdemonstrasi karena mereka kurang berpendidikan, siapakah dalang yang membuat kualitas pendidikan kita runtuh? Tentunya kita ingat bahwa ketika guru honorer meminta kenaikan gaji pada Oktober silam, mereka hanya diminta memaklumi bahwa mengajar itu diganjar dengan surga. Fantastis, padahal rasanya standar kelayakan hidup tidak cukup hanya diselesaikan dengan motivasi dan ceramah.  Momen ini kembali membuat saya teringat, bahwa sejatinya guru honorer kita pun turut mengalami 'penyimpangan' sebagaimana buruh pada umumrnya. 

Terkait ketimpangan ini, saya mulai mengingat film yang pernah tidak sengaja tertangkap mata saat terjaga dari tidur tahun 2006. Waktu itu, saya masih SMA, dengan kamar tidur memiliki TV. Begitu stasiun SCTV pernah menayangkan nominasi yang menyebut film ini, langsung saja pikiran yang semestinya sudah tidur langsung beranjak fokus pada tayangan seratus menit ini.  Film itu bertajuk "Sendal Bolong untuk Hamdani" 


Film ini diangkat dari kisah nyata dengan nama tokoh disamarkan, dengan esensi utama bahwa menggapai keadilan hukum di Indonesia memang sulit. Keadilan itu hanya dimiliki segelintir warga yang mempunyai "kasta" sosial yang elbih terpang. Buktinya, Hamdani bin Ijin, seorang buruh pabrik sandal PT Osaga Mas Utama divonis hukuman kurungan selama dua bulan 24 hari oleh Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, 23 Oktober , dengan tuduhan mencuri sandal bolong. Ironis memang, hanya lantaran dituduh mencuri sebuah alas kaki rusak milik perusahaan, Hamdani harus kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya. 

Awal dari kisah memilukan buat penegakan hukum di Tanah Air ini berawal pada suatu petang, 4 September 2000. Saat itu, Hamdani akan menunaikan ibadah salat Ashar. Seperti biasanya, Hamdani bersama rekan buruh lainnya secara bergantian menggunakan sandal apkiran yang tersimpan di sebuah gudang untuk mengambil air wudu. Anehnya, manajemen pabrik melaporkan Hamdani kepada Kepolisian Sektor Jatiuwung, Tangerang, dengan tuduhan mencuri. Padahal, kebiasaan meminjam sandal sebelum salat juga kerap dilakukan karyawan di pabrik itu.

Isu pun merebak di kalangan karyawan bahwa tudingan itu hanyalah rekayasa belaka. Soalnya, selama ini, Hamdani dikenal sebagai pengurus serikat buruh di Karya Utama dan aktif memperjuangkan hak-hak karyawan di pabrik sandal yang terletak di kilometer 5, kawasan Tangerang, Banten. 

"Ada indikasi balas dendam juga" kata Aswad Sugiarto, rekan Hamdani. Apalagi, sandal yang dipinjam dianggap mereka sebagai barang reject atau rusak. "Masa sandal yang dipinjam malah dituduh hasil curian" ucap Aswad dengan geram. Itulah sebabnya, ketika PN Tangerang menggelar kasus Hamdani unjuk rasa pun kerap mewarnai persidangan yang dikenal dengan sebutan Kasus Sandal Bolong. Bahkan, saat awal persidangan yang bertepatan dengan hari kelahiran Hamdani ke-26, rekan-rekan buruh pun bersama-sama merayakan ulang tahun pria pemalu ini.

Sayangnya, upaya sejumlah buruh untuk menggugah nurani sang hakim agar memutuskan kasus ini dengan penuh rasa keadilan tak terwujud. Dengan tegas, Ketua Majelis Hakim Suprapto tetap mengetokkan palu dan memvonis Hamdani bersalah. Sontak saja, putusan majelis hakim itu membuat para pendukung termasuk kuasa hukum Hamdani kecewa. Menurut Fredy Kusnanda, seorang di antara kuasa hukum Hamdani dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, majelis hakim tak memahami kronologi kasu, lantaran tuduhan tersebut tak tepat konteks 

Usut punya usut, Kepala Hubungan Masyarakat PN Tangerang Ade Komarudin menyatakan, mereka tak melihat latar belakang konflik perburuhan yang terjadi antara manajemen dan Hamdani. Soalnya, mereka hanya melihat tindak pidana yang dilakukan Hamdani, yakni mencuri sandal.Akhirnya, putusan yang dianggap berat sebelah itu dijalani Hamdani di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tangerang selama hampir tiga bulan. Di dalam sebuah ruangan yang sempit dan pengap, Hamdani berusaha tabah menjalani hukuman atas perbuatan yang tak pernah dilakukannya. "Saya merasa diperlakukan tak adil. Penegak hukum telah dipengaruhi orang berduit," ujar pria yang beralamat di Kosambi Bedeng RT 04/1 Desa Kayu Bengkok, Sepatan, Tangerang.

Hari terus berganti, saat yang dinanti Hamdani untuk menghirup udara bebas pun tiba, 14 Januari 2001. Dengan ditemani istri, kedua orang tua, dan tim kuasa hukum, Hamdani melangkah keluar dengan keinginan untuk melupakan kehidupan di dalam sesuatu yang jauh dari premis hotel prodeo. Jika melihat hamdani, julukan hotel tak pantas disematkan pada tempatnya menjadi pesakitan

"Kehidupan di bui itu menyedihkan," tutur Hamdani. 

Hal serupa juga dirasakan keluarga yang ditinggalkan Hamdani. Menurut kedua orangnya, selama sang anak tercinta mendekam dalam penjara, hati mereka dilanda kesedihan yang mendalam. Bahkan, hingga saat ini, mereka tak pernah percaya bahwa anak mereka adalah pencuri. Namun, kepedihan itu usai ketika Hamdani tiba di rumah. Kebebasan Hamdani ini disambut gembira seluruh sanak keluarga Hamdani, khususnya sang istri yang tengah berbadan dua.

Kembalinya Hamdani di tengah-tengah masyarakat juga disambut gembira rekan-rekannya. Soalnya, perjuangan yang dilakukan Hamdani selama ini dalam memperjuangkan hak-hak buruh mulai mendapat perhatian dari manajemen pabrik. Saat itu, mereka sempat berunjuk rasa menuntut hak-hak normatif, di antaranya dihapuskannya kontrak lantaran tak sesuai dengan Undang-undang Tenaga Kerja. Selain itu, mereka juga menuntut adanya tunjangan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Kendati belum sepenuhnya tuntutan dikabulkan, kini perbaikan sejumlah kesejahteraan buruh mulai dialami buruh. "Lumayan, saat ini telah ada uang makan," ungkap Aswad.

Kasus menyedihkan yang menimpa Hamdani ini juga menjadi perhatian publik. Soalnya kasus ini menunjukkan, rakyat kecil masih kesulitan dalam menggapai keadilan. Menurut Purwaningsih dari Institut Perburuhan Jakarta, dalam kasus ini menunjukkan terjadi perubahan pola dalam menyelesaikan kasus antara pengusaha dan buruh. "

"Banyak kasus yang berawal dari perburuhan dialihkan menjadi kasus kriminalitas," kata Purwaningsih. 

Apalagi, ketika di tingkat pengadilan majelis hakim kerap mengabaikan unsur perburuhan. Lantaran itulah, pemerintah, pengusaha, dan buruh harus berinisiatif dalam menyusun skema perburuhan yang adil dan tidak memihak. Setidaknya dengan rumusan: pemerintah berinisiatif, pengusaha menjaga konsensus, dan buruh menjalani fungsi kontrol.

Hal senada juga pernah dikemukakan Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea. Menurut beliau, selama ini, penegak hukum kurang memahami hukum perburuhan, sehingga kasus perburuhan kerap berakhir rumit. Karena itu, hakim maupun jaksa diminta dapat mengerti UU Tenaga Kerja. Sebab, hingga kini, kerap terjadi rekayasa yang tak sehat berkaitan dengan persoalan buruh. Itulah sebabnya, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi kini membentuk Tim Crisis Centre untuk meredam kasus perselisihan tersebut tak membesar.(ORS/Tim Derap Hukum)

Image result for sendal bolong untuk hamdani
Sendal Bolong Untuk Hamdani, tayang perdana tahun 2004

Seringat saya lihat foto rekan yang kuliah ataupun kerja di negeri maju hampir jarang terlihat adegan majikan dan asisten berpisah meja. Tak ada pula keresahanan buruh honorer atau buruh pengangkut sampah yang tidak bisa membeli makanan.  Kemungkinannya karena mereka terbiasa melakukan kerjaan domestik tanpa seorang asisten, atau memang negara seperti Belanda, Inggris, Australia, atau Swedia memberikan upah dan perhatian layak kepada para asisten domestik dan buruh. Bisa jadi, menjadi buruh pun tetap dianggap pekerjaan mulia di negara tersebut. 

Beberapa tahun yang lalu, saya ingat sebuah berita tentang mantan penyiar merintis resto yang membedakan menu babysitter dan majikan, demi menghilangkan rasa keberatan para majikan dan memberi tempat istimewa bagi para pekerja domestik, Sayangnya hujatan dari para pembela HAM sempit pikiran masih menghujani niat sang pendiri resto yang mencoba mengembalikan hak-hak para buruh domestik. Sesungguhnya, saya bisa pahami ini. Barangkali, masih banyak orang mengaku membela kebebasan dan keadilan namun masih buram perbedaan akan equity (samarata) dan equality (persamaan hak).

Equity adalah memberikan hal yang sama pada orang yang situasinya berbeda, seperti halnya kita memberi upah buruh sama seperti upah bos atau sebaliknya. Kalau dilihat dari kacamata Dan Pink, psikolog ternama amerika, semua hal yang sama pada orang berbeda justru akan memberikan demotivasi; akan ada pihak yang enggan bekerja sebagai petinggi karena upahnya sama seperti buruh. Tidak  semua orang secara alamiah bersifat altruis {tulus} untuk bekerja lebih berat tanpa penambahan upah. Dan bisa jadi pula seorang buruh merasa tak perlu lagi bekerja karena duitnya sudah sebesar pejabat. Apakah ini adil? Actually no....when we work and we employ someone, we need to reconsider equality.

Persamaan hak itu tidak berarti memberikan hal yang sama, tapi mengusahakan agar ketika seseorang diberdayakan, hak-hak asasinya terpenuhi sebagaimana hak-hak, visi-misi, dan target kita dipenuhi olehnya. Ada banyak pebisnis, kepala perusahaan, pejabat, ataupun sekedar majikan rumah merasa uang adalah segalanya,  lantas merasa bahwa segala urusan selesai ketika penggajian. Keintiman dan empati masalah sekian bahkan terlupakan.  Padahal mereka sendiri enggan tak diacuhkan oleh para atasan dan pemangku kepentingan bisnis mereka.  Maka disinilah pentingnya komunikasi empati. 

Sesekali, coba rasakan bahwa anda adalah seorang pekerja yang hanya dianggap segepok duit lalu tiada dihiraukan kapan sakit punya kesulitan sebagainya, apa rasanya? Ya, ketenangan sulit diraih meski tunjangan segudang. Maka , jangan lupa untuk bermurah dalam hal sikap selain tunjangan. Memang sikap yang baik tak membuat rekening listrik terbayar, tapi mampu membawa ketenangan hati dan disitulah kemampuan membina hati manusia terbangun.

3 komentar:

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...