Minggu, 17 November 2019

Refleksi Half A Dozen Babies: Penantian Panjang Berbuah Keberkahan Berlapis

Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada kisaran tahun 2000 awal mencetuskan, bahwa tingkat kesuburan pasangan untuk memiliki anak terbagi atas tiga segmen dalam suatu masyarakat. Segmen pertama, yang terdiri atas enam puluh persen populasi, adalah pasangan yang memiliki anak dalam waktu kurang dari dua tahun setelah menikah. Segmen tengah adalah pasangan yang memiliki anak setelah menanti dua hingga lima tahun setelah menikah, mengisi tiga puluh persen susunan masyarakat. Sisa sepuluh persen, adalah pasangan yang harus sabar menanti momongan dalam rentang waktu lebih dari lima tahun atau bahkan tidak memilikinya sama sekali.

Kebanyakan orang memandang bahwa memiliki momongan adalah syarat kematangan dalam pernikahan. Tak pelak, kita acapkali jumpai beragam konflik dalam rumah tangga, terlepas dari sebabnya adalah internal ataupun eksternal (contoh: desakan keluarga besar, saudara, dan sebagainya), terpicu karena ketiadaan momongan. Sebagai konsekuensi, perkara kesuburan kerapkali menjadi kriteria wajib yang distigmakan oleh masyarakat sebagai syarat 'sah' pernikahan. Meski demikian, tak sedikit contoh pernikahan yang berjalan dengan baik dan paripurna tanpa ketiadaan momongan. 

Berangkat dari desakan sosial tentang penting dan sakralnya fertilitas, beragam metode pengobatan dan terapi pasutri pun menjadi solusi maupun sekedar pelampiasan. Padahal, selain faktor fisiologis, sejarah kenabian dan manusia lampau telah berulang-ulang kali membuktikan bahwa perkara momongan adalah mutlak kuasa Yang Maha Berencana dan kadangkala adalah pilihan yang disengaja. Bila masanya memang sudah tiba, Allah takkan mengundurkan maupun mempercepat kecuali atas kehendak-Nya. Lebih-lebih, ketika waktunya tiba, kehadiran anak tak hanya seorang.

Beberapa orang atasan saya di kantor ada yang harus menunggu dari tujuh hingga sepuluh tahun untuk mendapatkan momongan. Atasan saya yang menunggu setelah tujuh tahun kekosongan, langsung mendapat momongan sekali dalam setahun dalam dua tahun yang berturut-turut. Maka, di setiap kesempatan, sering terlihat atasan saya itu mengajak putra-putrinya ke kantor. Bagaimanapun, dengan harapan yang terkumpul dalam penantian panjang, rasanya wajar bagi seorang ibu untuk memberikan perhatian lebih pada putra-putrinya.

Penantian panjang itu tercermin lewat sebuah film yang menarik perhatian saya, yakni Half a Dozen Babies. Film yang ditayangkan pertama kali pada tahun 1999 ini diambil dari kisah nyata penantian panjang pasangan suami istri yang telah menikah bertahun-tahun untuk menyambut buah hati. Karena kisahnya merupakan kejadian yang cukup langka dalam demografi manusia pada umumnya, maka para pemeran yang dipilih pun tidak sembarangan.

Adalah pasangan suami istri sesama pelakon yang dipilih sang sutradara untuk menghayati film ini, yakni Scott dan Melissa Reves. Kedua pasangan pemain opera dan film ini memerankan Keith dan Becki Dilley, kedua guru sekolah taman kanak-kanak yang menjalin asmara setelah bertemu di tempat mengajar. Kisah nyata yang terjadi di tahun 1990 awal ini kemudian dilanjutkan menuju jenjang serius pelaminan.

Keith dan Becki sama-sama tidak berniat menunda momongan setelah pernikahan. Akan tetapi sekian tahun menunggu, momongan tak kunjung  tiba. Desakan dari keluarga besar pun muncul, terutama dari ibu Becki, Doris Stauffer,  yang sudah mulai tak sabar menanti kehadiran seorang cucu. Keluarga Keith sendiri tak terlalu memaksakan kehadiran seorang cucu, namun Keith khawatir dengan kesehatan sang ibu yang kian menurun.  Dengan terdorong kegetiran dan keterbatasan waktu, Keith dan Becki terus berikhtiar mencoba berbagai pengobatan dan terapi.

Setelah tiga setengah tahun berusaha, penonton akan menyaksikan betapa luar biasanya haru mendekap sekaligus cemas saat kedua pasangan ini berhasil mendapatkan kepastian akan momongan. Dokter menemukan bahwa Becky mengandung bukan hanya bayi kembar sepasang, melainkan kembar lima  sekaligus.




Image result for half a dozen babies
Keith dan Becki dalam film Half a Dozen  

Semakin banyak anak semakin banyak pula harapan sekaligus resiko dan kecemasan yang menanti setelahnya. Tatkala keenam janin semakin membesar, Becki pun dirawat inap di rumah sakit untuk dipantau kondisinya. Lantaran kehamilan lima bayi sekaligus merupakan kejadian yang mencengangkan saat itu itu di Amerika Serikat, Keith dan Becky acapkali pusing dengan rutinitas melayani wartawan, yang menambah kelelahan mereka saat menjaga fokus dan stamina menuju kelahiran.

Tepat sesuai judul filmnya, setengah lusin bayi. Bayi yang lahir ternyata berjumlah enam di tahun 1993 itu secara urutan waktu lahir diberi nama: Brenna, Julian, Quinn, Clare, Ian, dan Adrian. Saat Becki menjalani operasi caesar lantaran tubuhnya sudah tak sanggup menahan gejolak rahim, para dokter mengira bahwa kandungannya hanya berisi lima orang. Di sela-sela akhir operasi untuk menutup katup perut, Adrian si bungsu terlahir. Lantaran keenam bayi lahir prematur, tentu asupan nutrisi yang berlebih adalah kebutuhan yang cukup darurat. Lebih-lebih, Claire, anak keempat harus masuk PICU terlebih dahulu dan Adrian yang beratnya sangat kurang  menambah kerisauan Becki dan Keith,

Di sisi lain, mungkin penonton akan makin kesal dengan tokoh Doris Stauffer, yang tak lain adalah ibu Becky. Karena di sepanjang film ini, Doris Stauffer selalu tampak girang dengan kehadiran wartawan dan gila ketenaran. Ketika keenam cucunya lahir, Doris selalu mengompor-ngompori konferensi pers hingga pameran untuk 'memperkenalkan' keenam cucunya. Untungnya, di akhir film ulah Doris bisa dikendalikan berkat ungkapan rasa muak dari suami dan Becki sendiri.

Ibu dari Keith sendiri, Lee Dilley, (diperankan aktris kawakan Teri Garr) memiliki watak yang berbeda kutub dengan Doris. Lee, meskipun harus bolak-balik rumah sakit demi perawatan dirinya, tetap berusaha memberikan cinta dan perhatiannya pada keenam cucunya. Lee sendiri tidak membedakan perhatian antara keenamnnya, meskipun turut memberikan dukungan berlebih untuk Adrian yang perlu waktu untuk menambah berat badan. Bila menonton langsung ceritanya, mungkin penonton akan turut merasakan kehilangan saat Lee berhasil memeluk Adrian yang masih bayi mungil itu saat dirinya terbujur kaku di kasur pembaringan lalu menghembuskan nafas terakhir.

Setelah keenam bayi pulih selayaknya anak-anak biasa, Keith dan Becki kembali berjuang untuk membuat dapur mengepul. Pilihan yang sedikit paradoks terjadi saat Becki memilih untuk mencari nafkah sementara Ketih yang berperan dalam mengurus anak dan rumah tangga. Pemandangan seperti ini sebenarnya lazim di negara barat, lantaran masyarakatnya cukup liberal dan terbuka soal stereotip peran pria dan wanita dalam rumah tangga. Kendati demikian, tren ini tidak serta merta layak diterapkan, mengingat prai-lah yang memiliki kewajiban mencari nafkah.

Sebagai tambahan, ketika stasiun televisi ABC mengudarakan film berdurasi sembilan puluh menit ini, keluarga Dilley tidak menyetujui semua bagian dari kisah nyata mereka diabadikan menjadi tayangan. Akan tetapi, setelah tersiar, banyak penonton yang larut dan turut berbahagia dengan kisah keluarga dengan enam anak ini. Tak pelak, kisah keluarga ini turut dicatat dalam sejarah panjang rekor dunia Guiness.

Sepanjang akhir film ini, penonton, termasuk saya seolah merasakan kembali perjuangan sepasang orang tua mendambakan anak, berbagi dan beradu peran dengan keluarga besar, hingga tetap bertahan hidup setelah anggota keluarga bertambah. Film ini mungkin tak serta merta menjadi rekomendasi dalam berbagai majalah, namun tetap menjadi tayangan berharga, terutama tentang pentingnya menjaga ekspektasi dan ikhtiar dalam menanti buah hati.

-SEKIAN UNTUK SESI INI-









13 komentar:

  1. Wah, filmnya sepertinya layak untuk ditonton. Saya juga hampir 8 tahun belum punya momongan, makanya ingin ke dunia menulis sehingga tidak perlu memikirkannya. Andai di masyarakat Indonesia tidak ada stigma-stigma negatif mengenai kemampuan meiliki anak, tentu hidup lebih tenang.
    Salam kenal.

    BalasHapus
  2. Salam kenal mba maria. Nanti kita diskusi yak di grup kelas.

    BalasHapus
  3. Half Dozen haha,kayaknya harus nonton ini 😌

    BalasHapus
  4. wah kayaknya bagus nih dari kisah nyata, drama banget ya.

    BalasHapus
  5. Bagus ya filmnya. Bikin berpikir bahwa stigma tertentu itu ga seharusnya dipertahankan..

    BalasHapus
  6. Jihan: yup, tonton aja. Cocok kok buat drama keluarga

    Ane dan mba kiky: tonton aja browsing di google " Half a dozen". Rame loh filmnya.

    Yoha: ya memang sebaiknya yang namanya stigma itu harus sering diredam.

    Atiq: alhamdulillah terimakasih.

    BalasHapus
  7. Recomended bgt apa recomended aja filmnya?

    Hehe.... Bayangin aja ikut pusing.

    Btw setelah anak pertama ini aku menanti sdh 9 tahun untuk anak kedua. Sampai skrg blm diberiNya.

    Berharap segera dan diberi kembar. Tapi jangan kembar 6 juga 🤭

    BalasHapus
  8. yulia: ya, aku udah lihat foto putrimu. Cantik kayak emaknya. Amiin semoga disegerakan. Recommended aja. Nanti setelah nonton baru kerasa gregetnya.

    BalasHapus
  9. Jadi pengen nnton flimnya, bgus juga kayaknya utk mengubah pandangan org2 terhadap pasangan yg belum punya anak.

    BalasHapus
  10. Lasmi: yo, monggo ditonton, menarik kok.

    Dina despina: yup, have a great time lah kalau udah nonton. Bentar banget dan seru sih.

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...