Senin, 25 November 2019

Refleksi Minority Report: Trauma Terselubung di Balik Penegakan Hukum untuk Prasangka

Cara manusia menegakkan hukum selalu berubah-ubah sepanjang zaman. Berbeda regulasi, semakin dinamis pula manuver dan cara-cara bekerja perangkat penegakan hukumnya. Pada zaman penjajahan, upeti tambahan dan penyiksaan kerap menjadi opsi bagi pelanggaran undang-undang, dengan catatan bahwa diskriminasi kerap terjadi dengan dalih undang-undang lapis tertentu. Hingga zaman kini, penegakan hukum dengan ironi penyimpangannya masih menjadi cerita pilu dari potret keadilan komunal. Contohnya, pasal -pasal dalam transaksi elektronik dan pencemaran nama baik yang cenderung 'karet' membuat korban kezaliman malah berbalik menjadi penuding dan pelaku. Di l

Tak pelak, terkadang para perangkat penegakan hukum pun kerap terjerumus dalam penyimpangan. Fenomena ini sulit diprediksi apalagi dihentikan, selama kepentingan-kepentingan yang tersembunyi di balik konspirasi yang sistematis. Saya masih ingat bagaimana sebuah kasus pembacokan ahli IT malah dipelintir oleh beberapa aktivis getok tular menjadi pembunuhan karakter sang istri korban, yang justru menolong suaminya saat kejadian. Jikalau boleh saya lebih terus terang, sejujurnya tren pemelintiran ini semakin menjadi -jadi saat ada petugas anti korupsi yang kehilangan organ pentingnya dalam sebuah insiden malah difitnah rekayasa. Beruntungnya, laporan salah satu awak media menegaskan legitimasi kebenaran kasus insiden ini, karena resiko yang dipertaruhkan bila fitnah ini bertahan adalah reputasi bangsa di hadapan insitusi luar negeri.

Saya tidak ingin apriori bahwa setiap hukum pasti terjadi penyimpangan, kendati memang keberadaan masalah seperti itu sama sekali bukan mitos. Yang ingin ditekankan adalah perlu adanya pihak-pihak yang berpandangan objektif untuk turut menjadi kontrol dan pengawasan terhadap fungsi-fungsi undang-undang dan hukum, agar mencegah dan meminimalisir penyimpangan yang terjadi. Seperti yang telah saya tekankan dalam refleksi film Fearless tentang pentingnya mencari kebenaran secara utuh, acapkali mengenali logika dan orang-orang kunci dalam suatu kasus bisa menjadi solusi saat kasus dan konflik dieskalasi dengan fitnah dan konspirasi.

Terlepas dari segala penyimpangannya, hukum-hukum kita yang diarahkan untuk mengurai dan memecahkan masalah dalam keseharian dan sosial masih cenderung mengandalkan penjara beserta durasinya sebagai sebuah 'solusi' utama. Membunuh, mencuri, perbudakan, eksploitasi ilegal, (maaf) pelacuran, pelanggaran hak cipta, pelanggaran izin sertifikasi, hingga pengambilan hak tanah semua bermuara pada jeruji. Yang cenderung ringan hanya pelanggaran lalu lintas atau konflik lokal, itupun kalau pihak penuntut memang benar adalah orang pemaaf. Sisi yang mengagumkan dari skema penegakan hukum ini, sekaligus membuat merinding, selalu saja ada sosok aparat yang jeli dalam melihat permasalahan, ada pula yang reaktif dan cenderung bertele-tele bila berhadapan dengan kasus yang melibatkan orang tertentu.

Dengan meninjau beberapa rangkuman realitas ini, apa yang bisa dibayangkan tentang skema penegakan hukum masa depan? Bisa jadi dasar-dasarnya memang lebih kuat, atau justru semakin bias dan lebih normatif dari hukum saat ini. Lebih-lebih, saat ini dunia sedang di ambang pintu untuk beralih pada tren industri 4.0. Beragam fantasi yang mungkin tersirat ketika disebut kata penegakan hukum sudah tercermin dalam beberapa film, beberapa diantaranya adalah Judge Dredd dan Power Ranger Timeforce SPD. Film dan serial  ini mencoba memotret bagaimana bila polisi bisa merangkap hakim sekaligus dalam menjatuhkan vonis. Tentu saja, fasilitas 'memenjarakan di tempat' pun turut dihadirkan.

Film Minority Report menghadirkan fiksi fantasi penegakan hukum dengan warna yang berbeda. Tayangan berdurasi panjang dengan alur cukup rumit ini mengulas tentang penegakan hukum pada suatu kasus berdasarkan 'niat' pelakunya. Lebih teknisnya, adalah bagaimana sebuah vonis bisa dijatuhkan dengan teknologi 'pre-crime', yakni menangkap dan meringkus pelaku kejahatan berdasarkan rekaan kejahatan yang terjadi sebelum 'kejadian' berlangsung. Sebagai contoh, kita bisa terhindar curanmor, karena sistem berhasil membaca niat seseorang sebelum berhasil menggasak mobil.  Bila ini terjadi di era saat ini, mungkin kita akan terkagum-kagum dan merasa sangat nyaman dengan 'keamanan dan kepastian hukum di tingkat praduga'. Siapa sangka, ada kisah suram yang menjadi fondasi sistem 'penduga kejahatan' yang super canggih ini.

Film ini kembali mengusung keistimewaan seorang Tom Cruise dalam menjalankan peran sebagai 'aparat'. Bila kita biasa mengenal Tom Cruise berjibaku dalam misi-misi sulit dalam mission impossible, di film ini bapak beranak gadis remaja ini berjibaku dengan kerumitan masa lalu dan tempatnya mengabdi. Film ini pun disusun dan dikemas dengan memaksimalkan bakat penciptaan dunia di luar jangkauan manusia dari seorang sutradara yang sudah mendunia, mbah Stephen Spielberg. Adapun untuk menunggu film ini siap rilis, pematangan skenarionya butuh waktu sepuluh tahun dan berganti-ganti judul.

Ceritnya mengentengahkan kehidupan manusia di kisaran tahun 2050, dimana penegakan hukum memiliki inovasi yang mumpuni berupa 'pre-crime'. Penjahat kelas manapun: pembunuh, pencuri, penadah, pemerkosa, dan lainnya ditangani sebelum aksi kejahatannya dilancarkan. Teknologi ini dimungkinkan dengan adanya 'kinerja memantau masa depan' dari tiga manusia termutasi bernama 'pre-cogs'. Program ini baru dilancarkan di Amerika Serikat, sehingga pemerintah berencana untuk menyebarluaskan kesuksesannya di penjuru dunia.

Salah seorang aparat yang telah turut menguji kesuksesan sistem ini adalah Kapten John Anderton, yang diperankan oleh Tom Cruise. John Anderton nantinya turut menjadi korban dari sistem pencegah kriminal super canggih ini. Apa pasalnya? Salah satu anak 'pre-cogs' memberikan peringatan bahwa John Anderton akan membunuh orang tidak dikenal dalam tiga hari. Sialnya, ini terjadi saat pegawai pemerintahan bernama Danny Witwer sedang melakukan audit dari sistem pencegahan kriminal ini. John yang awalnya memiliki karir mentereng dalam kepolisian, berubah menjadi buronan di hadapan Danny.

Cerita mulai bertransisi menyorot pada kehidupan pribadi John: sempat bercerai dengan Lara karena kematian putra tunggalnya, Sean lalu terjerumus obat-obatan terlarang. Hingga bertahun-tahun menjadi polisi, John berusaha mencari dalang dari pembunuhan putranya. John yang beralih menjadi buronan karena 'kesalahan sistem', berusaha mencari 'asbabun nuzul' dari sistem 'pre-crime'. Adalah Iris Hineman, seorang wanita misterius, menguak misteri dibalik mesin tersebut. Mesin yang dijalankan manusia berkemampuan melihat masa depan ini nyatanya memiliki kelemahan karena salah satu 'pre-cogs' gadis remaja bernama Agatha cenderung berpikir beda dengan dua pre-cogs lain. Sebelum saya lanjutkan pembahasan, supaya memudahkan pembahasan, 'pre-cogs' ini akan kita alih-bahasakan menjadi 'cenayang remaja'.

Dari menyimak penuturan seorang Iris, mungkin penonton akan dibawa mengawang untuk berpikir secara filosofis tentang bagaimana keberagaman pendapat bisa membawa keseimbangan sebuah sistem. Inilah salah satu skema dalam film ini yang cenderung berat untuk dicerna. Kalau boleh saya analogikan, sistem pre-crime ini memerlukan salah satu cenayang yang berpendapat berbeda agar  berjalan stabil, sebagaimana kabel perhubungan listrik memerlukan lapisan isolator agar tidak menyetrum. Gimana, udah cukup pusing? Baik, kita bahas adegan selanjutnya. 

Lantaran John menjadi buronan, tentu saja sistem sensor kota telah diprogram agar melaporkan keberadaan dirinya saat tertangkap kamera. Berangkat dari hal itu, maka John nekad memutilasi matanya melalui jasa seorang dokter pensiunan yang sudah uzur, Semua untuk memuluskan rencananya menculik Agatha tanpa ketahuan, agar reputasinya kembali dipulihkan. Agatha berhasil diculik , hingga sistem praduga kriminal 'padam' untuk sementara waktu.

Setelah seisi kota Washington semakin memburu John, satu-satunya 'tempat yang aman' adalah rumah Lara, mantan istri John. Kendati Lara masih trauma, diterimanya sang mantan suami yang matanya sudah 'cacat' tersebut bersama Agatha. Langkah awal yang ditempuh John untuk memulihkan namanya, tak lain adalah meminta Agatha untuk menerawang masa depan dari seorang bernama Leo Crow.

A man wearing a leather jacket stands in a running pose. A flag with the PreCrime insignia stands in the background. The image has a blue tint. Tom Cruise's name stands atop the poster, and the title, credits, and tagline "Everybody Runs June 21" are on the bottom.
Minority Report, film kompleks yang diawali laga lalu berujung perang pemikiran dan siasat. 
Nyatanya, John sempat terprovokasi untuk membunuh Leo Crow, tersebab penampakan foto-foto anak kecil yang ada di dalam kamar hotel pria cepak brewokan tersebut. Jikalau saya dan anda ada dalam posisi John, tentu akan bertanya-tanya saat melihat foto mendiang anak yang meninggal dalam suatu insiden tertancap di dinding hotel. Mungkin juga, akan tergoda untuk beringas mengingat bahwa anak tewas misterius.

Karena adegan-adegan berikutnya cukup rumit bila hanya ditampilkan lewat aksara, saya ringkas saja. John kemudian menyadari bahwa salah seorang kepala aparat pemerintahan bernama Burgess menjadi dalang pembunuhan dari ibu Agatha. Leo Crow tidak jadi dibunuh arena dicegah oleh Agatha, meski setelahnya Leo malah nekad menembak dirinya sendiri, k. Burgess, yang diperankan oleh aktor kawakan Ian Mc Kellen, kemudian menghabisi nyawa Danny, tepat setelah kepala biro hukum itu menyadari beberapa kejanggalan dalam 'penerawangan' yang menuding John sebagai pelaku pembunuhan. Hanya saja, Burgess merasa bahwa jika Danny mengungkapkan kejanggalan tersebut, maka konspirasi jahat dibalik sistem praduga akan 'terkuak, termasuk menguatnya bukti tentang pembunuhan ibu Agatha'.

Menyadari konspirasi jahat Burgess, rupanya John telah menyiapkan sebuah rencana untuk 'menjebak' kepala pemerintahan yang licik itu. Skenario cerdas itu dimulai dengan membiarkan Lara menyeretnya langsung pada Burgess. John dimasukkan ke penjara, di titik inilah ia menyiapkan 'kejutan; untuk Burgess. Badan John memang secara kasat mata 'dilumpuhkan' dalam penjara hingga pingsan, namun otaknya terhubung menuju suatu jaring-jaring kesadaran yang dibangun oleh para 'cenayang'.

Lara kemudian menggoda Burges, hingga pejabat uzur itu secara tak langsung mengakui kejahatannya di masa lampau. Merasa dijebak, Burgess mengejar Lara, lalu dibebaskanlah badan John, sementara kesadaran otaknya John telah berhasil mengacak-ngacak sistem para 'cenayang'. John kembali sadar, lalu mempersiapkan sebuah tayangan yang 'dicuplik' dari dimensi bayangan masa lalu para cenayang sistem praduga, yang berisi reka ulang kasus pembunuhan ibu Agatha oleh Burgess di sebuah pesta penghargaan. Burgess yang kadung ketahuan di hadapan khalayak tersebut mencoba menghabisi nyawa John. Kali ini, Burgess yang tersudut: jika John dibunuhnya, sistem praduga kriminal akan mengejar  dirinya. Kalaupun John tetap selamat, sistem praduga akan berhenti bekerja karena kredibilitas dari para cenayang tidak lagi konsisten untuk menampilkan rekaan kriminal dan kejahatan.

Burgess memilih menghabisi nyawanya sendiri, otomatis sistem praduga hukum ini terhenti. Akan tetapi, John kemudian memilih rujuk dengan Lara, hingga mereka kembali menjemput kepastian akan hadirnya momongan. Ketiga anak remaja yang dieksploitasi menjadi cenayang kembali hidup normal, di suatu tempat yang terjamah, dengan bahagia.

Tayangan film yang berdurasi cukup panjang dengan alur yang cukup berbelit-belit ini awalnya akan diproduksi untuk tahun 1992. Momentum itu sempat tercetus oleh Stephen Spielberg, lantaran melihat film berjudul Total Recall sukses mendulang keuntungan. Hanya saja, karena satu dan lain hal, rancangan kasar untuk menelurkan film ini tertunda hingga tahun 2002. Salah satunya adalah kesibukan Tom Cruise dalam meresapi peran dalam film Mission Impossible

Stephen kembali menemukan momentum untuk menelurkan film ini, pada tahun 1997, dengan melibatkan novelis bernama Jon Cohen. Namun rancangan skenario yang disusun sepenuhnya oleh Jon Cohen tidak disetujui oleh para penyandang dana, kendati Stephen Spielberg dan Tom Cruise telah menyepakati untuk diekseskusi. Tahun 1999, barulah Stephen membuat perencanaan matang dengan berdiskusi panjang lebar bersama lima belas orang pakar teknologi yang dipimpin oleh Peter Schwartz dan Stewart Brand di sebuah hotel.

Hasil dari diskusi panjang-lebar ini, lahirlah skenario dan ilustrasi selebar delapan puluh halaman untuk menelurkan film Minority Report. Tepat tanggal 21 Juni 2002, Minority Report resmi menduduki layar perak hingga mencetak box office. Film ini sejatinya mengandung debat filsafat klasik antara 'kebebasan' melawan 'deterministik'. Saya tafsirkan, film ini hendak mengekspos kepada para penonton untuk melihat dengan 'sabar' tentang perbandingan hukum berdasarkan 'praduga' dengan hukum berdasarkan 'bukti setelah kejadian'. Hasil secara objektif tercermin dari kisah akhir film ini.

Sebagian pesna lain yang coba diungkapkan dalam film ini, adalah bagaimana teknologi dipoles dalam baju politik dan kekuasaan yang manipulatif dan penuh tragedi. Selain itu, film ini seolah memberikan wejangan tersirat bahwa seringkali terdapat insiden pribadi yang memilukan dibalik lahirnya sebuah teknologi yang mengeksploitasi kinerja manusia.

Menurut saya pribadi, penggambaran dunia masa depan yang ditampilkan oleh film berlatar 30 tahun kemudian ini memberikan sebuah tips untuk menjaga privasi. Orang bilang, di era media sosial, privasi hanya ilusi. Namun, privasi itu bisa tetap dijaga di era serba publikasi, dengan membuat 'pengalihan' privasi berupa ilusi publikasi lainnya. Sebagai contoh, bila ditinjau dari tren teknologi saat ini, orang cenderung mudah menampilkan apa yang dimiliki lewat media sosial, sementara sebagian yang lain sibuk menyamarkan dirinya  dengan melakukan segala kegiatan yang ada dalam komunitas yang terhubung media sosial. Sebagian privasi menjadi telanjang di hadapan kamera gawai, sementara sebagian orang tetap menjaga privasi dengan 'menelanjangi' hal lain di media sosial, berupa hal-hal diluar dirinya. Barangkali, film ini bisa jadi pelajaran tentang bagaimana buzzer berkembang biak memainkan persepsi dalam liarnya pertumbuhan teknologi.


SEKIAN DULU, APAKAH ANDA PUSING MEMBACA INI? 
MARI KITA MINUM AIR PUTIH DULU. 





7 komentar:

  1. Keren tulisannya..media sosial emang bikin netizen kehilangan privasi..

    BalasHapus
  2. Ini pasti tabungan tulisan buat buku yg mau rilis nih. Pasti nih pasti 😌😌πŸ€ͺ

    BalasHapus
  3. Dan bagian yg paling membuat q ngilu adalah, sesaat setelah dia operasi ganti retina mata (eh bener ya) dia msti buka matanya bwt discan sm robot..duhhh untung cuma film

    BalasHapus
  4. Yoha: tapi juga bikin privasi bertahan juga tak sulit. Tinggal memviralkan sisi yang lain untuk menutupi privasi

    Jihan: oke

    Nyi heni: iya sih. Untung hanya di film. Namun mhtilasi juga sulit dihindari saat operasi wkwkwwk

    BalasHapus
  5. Menjaga privasi itu penting juga, meskipun di era digital saat ini.

    BalasHapus
  6. Keren deh alurnya.. menggiring opini lalu berakhir di film...
    keren banget Kak...

    BalasHapus
  7. πŸ‘πŸ‘πŸ˜Škeren pokokna mah, bapak satu ini ...

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...