Rabu, 20 November 2019

Refleksi Film Three Kingdom: Empati Pada Hal yang Sederhana adalah Kunci Memupuk Keteladanan

Semasa peralihan dari sekolah menengah atas menjadi anak kuliah, saya merasakan kegetiran untuk beberapa hal. Diantaranya adalah syarat karantina program kemitraan dari calon kampus yang tidak membolehkan menghadiri perayaan wisuda di kala masa perkuliahan dan kewajiban untuk menginap di asrama selama program. Lantaran sekolah menengah saya mengadakan wisuda dan prom night di hari sibuk, tentu saja mau tidak mau dilanggarlah kedua aturan tersebut.

Saya sempat membolos dengan dalih pura-pura sakit, lalu mengumpulkan surat itu kepada ketua kelas grup perkuliahan di kemitraan. Nyatanya, saya pun ketahuan oleh pihak rektorat dan orang tua mengingatkan untuk mematuhi aturan program kemitraan 'selagi masih diberi kesempatan'. Sehari membolos itu memang berpotensi menjadi batu sandungan untuk keberlanjutan nilai program kemitraan, tetapi saya tidak menyesalinya. Besar keinginan hati untuk bersua dengan semua teman sekolah menengah untuk terakhir kali.

Di saat gundah akan perpisahan dengan teman-teman sekolah menengah, lalu harus beradaptasi dengan teman-teman program kemitraan, saya kerap menghibur diri dengan menonton ulang film garapan Tiongkok. Film ini memang baru dirilis tepat pada tahun itu, 2008. Selain karena memang saya penggemar cerita tiga kerajaan, kiprah Andy Lau sebagai aktor laga sudah menjadi favorit semenjak sekolah dasar. Di benak saya,  Yoko sang pendekar pemanah rajawali yang diperankan Andy Lau mengakar kuat. Di film ini, karena pergeseran usia, citra diri seorang Andy Lau pun berevolusi menjadi jenderal bijaksana.

Sebagai pendahuluan, saya ingin mengulas beberapa rangkuman dinasti tiga kerajaan, yang pernah mengisi sejarah Tiongkok di tahun 180-290 Masehi. Pada kisaran tahun 183 Masehi, kekaisaran dinasti Han mencapai masa senjakala, semenjak pangeran sulung terbunuh dan pangeran Xu Lian Di yang masih dibawah umur naik tahta. Naik tahta sang pangeran bungsu terjadi tak lain karena diprakarsai oleh wazir istana yang licik, Dong Zhuo Zhong Ying. Kepemimpinan rezim kaisar 'boneka' ini memantik mosi tidak percaya dari jenderal-jenderal tentara kekaisaran: Sun Jian, Cao Cao. Liu Bei, dan Yuan Shao. Lebih-lebih karena para wazir istana saling berebut kue setelah kaisar boneka naik takhta.

Army
Para jenderal istana mulai mencari daerahnya sendiri setelah pemberontakan
Buntut panjang dari mosi tidak percaya ini, setelah Dong Zhuo ditaklukkan, setiap jenderal ini memutuskan untuk mendirikan kerajaan sendiri-sendiri, terkecuali Yuan Shao yang meninggal dua tahun setelah  pertempuran melawan Cao-Cao, sahabatnya. Cao-Cao yang merangkap posisi menteri kekaisaran (meskipun kontroversial) membangun kerajaan Wei di bagian selatan Tiongkok. Sun Jian sudah keburu wafat tak sempat menyaksikan berdirinya kerajaan Wu di bagian utara, namun putra bungsunya yang bernama Sun Quan menjadi raja pelopor sekaligus raja terkuat selama puluhan tahun. Sementara itu, berdiri juga kerajaan Shu di wilayah tenggara Tiongkok dipimpin oleh sosok jenderal istana yang paling budiman, Liu Bei Xuan De bersama dengan dua saudara angkatnya: Guan Yu Yun Zhang dan Zhang Fei Yi De. 
Jenderal Liu Bei (baju merah) berdiskusi dengan Guan Yu (bertombak) dan Zhang Fei 

Film Three Kingdoms yang disutradarai oleh Daniel Lee ini menmberikan peran pada Paman Andy Lau sebagai jenderal Liu Bei yang paling setia dan berdedikasi, Zhao Yun Zi Long. Maka, skenario dari film ini mencuplik dari bagian pertengahan sejarah tiga kerajaan, tepatnya bab 92 dari novel Three Kingdoms karangan Luo Guanzhou yang diterbitkan di abad 14. Dalam berbagai versi kisah tiga kerajaan, jenderal Zhao Yun merupakan salah satu jenderal paling digugu dipanut di kerajaan Shu, baik perihal keperkasaan maupun kesetiaannya.

Awal film ini mengisahkan bagaimana Zhao Yun bergabung dengan militer Shu, karena diajak teman sekampungnya yang bernama Luo Ping An. Luo Ping An sendiri diperankan oleh aktor kawakan Sammo Hung.  Zhao Yun digambarkan sangat menghormati Luo Ping An. Selain karena usianya yang lebih tua, teman sekampungnya itu adalah sahabat setia yang menemaninya dalam berbagai misi berbahaya. Bagi seorang Zhao Yun, Luo Ping An berperan sangat besar dalam pengembangan karirnya dari semula prajurit mata-mata hingga menjadi jenderal.

Luo Ping An masih menjadi sersan, sementara Zhao Yun menanjak karirnya menjadi jenderal. Di film ini, dikisahkan bahwa Zhao Yun berdedikasi untuk sebuah misi darurat penyelamatan putra Liu Bei yang masih bayi. Zhang Fei dan Guan Yu yang tak serta merta percaya pada tentara bawahan mereka tersebut, lantas menguji kekuatan Zhao Yun. Zhao Yun pun menampilkan bakat bertarungnya yang lincah, tangkas, dan lihai dalam menangkal serangan beruntun dari kedua jenderal tersebut. Liu Bei lalu mempercayainya untuk membawa pulang permaisuri dan bayi lelakinya.

Rupanya, paman Andy Lau kembali menampilkan kelihaian bertarung dan bertahan hidup. Setelah bayi lelaki itu didekapnya, Zhao Yun melibas semua tentara Wei yang mencoba menyerang, hingga melucuti pedang Cao-Cao, sang kaisar Wei. Cao-Cao, yang saat itu membawa cucu perempuannya ynag bernama Cao Ying, mewejangkan pada cucunya agar waspada terhadap sosok Zhao Yun.

Fong Cau Yi! Fong Cau Yi! (Dengan ini saya memanggil...)

Seruan sang patih utama negeri Shu itu begitu terngiang di telinga saya, hingga terbayang betapa hebatnya marwah orang-orang yang dipanggilnya.  Berangkat dari keberhasilan misi penyelamatan putra mahkota, Zhao Yun diberikan kehormatan sebagai salah satu dari lima jenderal harimau. Empat yang lainnya terdiri atas Guan Yu dan Zhang Fei, saudara tiri Liu Bei, jenderal senior Huang Zhong, dan seorang jenderal mantan tentara kekaisaran ahli kavaleri, Ma Chao. Bagaimana perjalanan singkat Zhao Yun menjadi sosok yang dipanut kerajaan, masyarakat, hingga berpisah dengan wanita yang dicintainya adalah adegan yang menyentuh dan menguatkan sosoknya sebagai jenderal berintegritas.

Zhuge Liang memanggil kelima jenderal dari pendopo.

Namun, tak semua orang senang dengan karir Zhao Yun yang menanjak. Yan Ping yang masih mandek dengan karir militernya mulai merasa iri dengan teman sekampungnya itu. Acapkali Yan Ping menggerutu mengapa bukan ia yang menjadi jenderal harimau dan mendapatkan penghargaan di Shu. Di titik ini, mungkin penonton akan merasa kesal dengan sikap mengeluh dan julid dari lakon yang diperankan oleh Sammo Hung ini. Kendati demikian, Zhao Yun tetap menghormati kakak 'sekubunya' itu.

Waktu bergulir, Zhao Yun menjadi jenderal paling senior di kerajaan Shu. Keadaan kerajaan pun sudah berganti. Anak-anak dari Zhang Fei dan Guan Yu tak seakur dan matang kedua ayahnya dulu. Baik Guan Xing (diperankan Vanness Wu, yang jadi F4 itu lho) dan Zhang Bao, dua-duanya saling berseteru dan beradu ego. Untungnya, Zhao Yun punya banyak kader setia yang turut mewarisi dedikasinya terhadap kerajaan. Keberadaan Zhao Yun merupakan salah satu fondasi penting yang membawa kestabilan negara Shu, lantaran ia sering melerai dan menyatukan pikiran antar sekelilingnya yang kerap bertikai. Di titik ini, sosok Zhao Yun semakin menjadi tak tergantikan di antara yang lain.

Melihat Zhao Yun punya empat orang letnan jenderal yang sangat setia, Yan Ping semakin iri. Musuh yang dihadapi Zhao Yun pun bukan sembarangan dan orang asing. Adalah Cao Ying, cucu perempuan Cao Cao menduduki tahta mendiang kakeknya. Baik Zhao Yun maupun Cao Ying, dua-duanya adalah sosok yang dipanut di kerajaan masing-masing dan integritasnya begitu mumpuni. Menjelang klimaks film, Zhuge Liang yang sudah sangat uzur mengutus Zhao Yun bersama Guan Xing dan Zhang Bao untuk menyerang pertahanan Wei di bukit merak dengan membekali mereka dua buah amplop yang berisi 'strategi rahasia'.

Strategi pertama berhasil dijalankan, Zhao Yun berhasil mencincang pasukan dan empat orang anak jenderal Wei, Han De. Intinya, Zhao Yun diutamakan untuk memporak-porandakan pasukan Wei sementara Guan Xing dan Zhang Bao ditugaskan untuk menyapu pasukan Wei setelah tercerai berai. Akan tetapi, Han De juga adalah jenderal senior Wei yang mumpuni. Dibombardirlah pasukan Shu dengan rakitan api (kalau zaman sekarang bom).

Strategi kedua tak berhasil, baik Guan Xing maupun Zhang Bao mengalami kekalahan karena ego yang sulit dibuang saat di medan perang. Melihat kekacauan seperti ini, Zhao Yun merelakan diri menjadi badannya sebagai tameng untuk menahan panah musuh.  Meskipun terluka, Zhao Yun tetap menerjang pasukan Wei dan gagah berani hingga membangkitkan semangat dari empat orang letnan jenderalnya. Dalam keadaan terluka pun, Zhao Yun nekad menantang duel Cao Ying. Cao Ying kalah lalu kembali ke barisan, setelah mendapatkan ampunan Zhao Yun.

Duel Zhao Yun dan Cao Ying, saling melucuti helm. 
Cao Ying yang terpukul mundur, rupanya tak kehabisan akal dan nyali. Panglima besar wanita ini kemudian melakukan hal yang bisa membuat para penonton cukup empatik dan mengenyahkan anggapan bahwa semua karakter dalam film ini bersifat hitam putih. Cao Ying memberikan penghormatan terakhir dan pemakaman mewah kepada anak-anak Han De yang telah gugur di tangan Zhao Yun. Han De tergugah, apalagi mendapat sanjungan Cao Ying bahwa sang jenderal tua sudah seperti ayahnya sendiri. Lantaran tergugah, Han De semakin tak takut mati dalam bergerilya menggusur pasukan Shu.

Zhao Yun pun semakin dikagumi oleh keempat anak buahnya, terutama setelah turut mengobati luka mereka. Nahas, Shu sudah terkepung lantaran batalyon Zhang Bao dan Guan Xing luluh lantak. Di saat itu, empat letnan jenderal ini berlutut di hadapan Zhao Yun.

"Jenderal, pasukan sudah semuanya terbantai, dan kita hampir terpukul mundur, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Tegakkan badan kalian, berperang dan berjuanglah demi nama kerajaan Shu."

Lantaran Zhao Yun memberikan titah pamungkasnya dalam keadaan belikat atas terpanah, para letnan jenderal kembali menghambur demi menangkis gempuran Wei. Salah satu letnan jenderal, Deng Zhi memberanikan diri untuk menyambut tombak Han De di badannya. Baik Han De maupun Deng Zhi akhirnya sama-sama tewas. Zhao Yun yang terluka, kemudian bertemu dengan Yan Ping.
Inilah beberapa dialog mereka yang mungkin membuat saya maupun pembaca terharu.

"Mengapa harus dirimu yang menjadi panutan. Aku sudah lebih dulu berkarir dan berjuang, tapi mengapa selalu kau yang disanjun, Zi Long?"

"Justru, dari dulu aku menyangka bahwa sudah sepantasnya kakak Yan Ping yang dipanut. Tanpa seorang Yan Ping, Zhao Yun bukanlah apa-apa. Di manapun, aku selalu melihatmu sebagai teladan."

Adegan ini akhirnya menjadi klimaks dari film ini. Yan Ping mencabut panah Zhao Yun, lalu menabuh genderang, sementara sang tokoh utama melepas baju zirah lalu mengangkat tombak untuk bergerilya mengantar nyawa. Karena banyak adegan yang membuat mental jadi tergugah, saya tak ragu untuk mengulang-ulang sebagian besar cerita three kingdom ini.

ThreeKingdomsResurrectionoftheDragon.jpg
Film Three Kingdom, sebuah epos yang menggugah penonton. 

Kembali mengulas pada bagaimana cara Zhao Yun dan Cao Ying memompa semangat tentaranya, mereka menunjukkan keberaniannya dalam berempati pada para bawahannya. Dilansir dari buku 100 strategi perang karya Wang Xuanming, ternyata empati para jenderal pada bawahan merupakan strategi terselubung agar para prajurit siap untuk mengantar nyawa. Berikut ilustrasi lengkap saya sajikan dalam dialog yang ada dalam buku komik 100 strategi perang:

"Bu, anakmu dalam perang berhasil diselamatkan oleh jenderal. Kakinya yang terkena panah beracun dihisap oleh tuan besar."

"Hiks, ...hiks, ....anakku akan mati! Huhuhuuu..."

"Mengapa engkau berkata begitu, Bu? Bukankah suatu kehormatan yang melegakan saat anakmu diselamatkan oleh tuan besar?"

"Dulu, suamikku terluka di bagian kakinya. Ketika ia pincang, jenderal turut memapah dan mengobatinya. Suamiku begitu terharu, lalu di perang berikutnya ia bertempur tanpa pantang mundur. Suamiku pun pulang hanya tinggal nama setelahnya."

Dalam empati yang sederhana ini, para jenderal Tiongkok berhasil menyentuh nadi-nadi kemanusiaan para prajuritnya. Semestinya, etos seperti ini bisa dibudidayakan dalam banyak organisasi dan perusahaan. Bahwa ketika seorang pemimpin mau menghargai nyawa setiap bawahannya, tepatnya setelah sang bawahan berjuang untuk organisasi dan perusahaan yang dipimpinnya, maka saat itulah kebutuhan untuk beraktualisasi diri bergelora. Ternyata peran saya begitu berharga di mata pemimpin, di saat begitu besar getar hatinya, maka seorang manusia rela untuk berjuang sekuat tenaga. Sayang, empati seperti ini sedang cukup langka dijumpai di banyak instansi dan organisasi. Kalaupun ada, seringkali berupa kultus atau antipati individu yang tak sehat.

Meninjau pada adegan Zhao Yun yang tidak terbesit rasa risih saat kakaknya mengakui kejulidan, Andy Lau menjadi inspirasi saya bahwa menjadi terkesan dengan orang lain tak perlu menunggu sama-sama punya jabatan. Karena ketulusannya menghormati, Yan Ping tergugah dengan Zhao Yun. Maka benarlah sebuah falsafah: Barangsiapa menghormati maka ia akan dihormati pula, barangsiapa menyayangi, maka ia akan disayangi pula. Di mana yang tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati yang tua, disitulah muncul sebuah etika. 

Hingga hari ini, Three Kingdom merupakan salah satu alasan pamungkas, mengapa saya mengagumi dan memprioritaskan genre film kolosal dibanding yang lainnya. Bahwa dalam keadaan perang dan penaklukkan, ketulusan seorang pemimpin diuji, tentang bagaimana mewariskan nilai bagi pengikutnya.

(Jakarta, 21 November 2019)

10 komentar:

  1. "Menunggu terkesan dengan orang lain tak perlu menunggu sama-sama punya jabatan"
    Bagus mas kalimatnya

    BalasHapus
  2. Budaya negeri tirai bambu ini emang kaya dengan filsafah hidup yang dalam ya. Keren ulasannya^^

    BalasHapus
  3. Suka sama pepatahnya,barang siapa menghormati akan dihormati. Falsafah yang begitu kental tradisi ketimuran

    BalasHapus
  4. Maria : makasih. Saya sedang belajar pula untuk terkesan.

    Yoha: thank you, mudah2an kita semua saling dapat mengalirkan insight..

    Mba Sari: allright, kukira ini falsafah yang harus ada dalam hubungan sosial

    BalasHapus
  5. Belum sempat nonton film ini kakak, keren banget
    #semangat

    BalasHapus
  6. Film yang banyak memberikan pesan moral yg baik bagi penontonnya, pasti byk darah di sepanjang film ini 😵

    BalasHapus
  7. Siiiip buanget tulisan abang satu ni. Jadi pingin nonton filmnya.

    BalasHapus
  8. Jadi inget filmnya Paman Gong yo 😌

    BalasHapus
  9. Kok bisa sih hapal semua nama2 yg banyak n susah gitu? Aku paling susah menghapal nama, nama temen sendiri aja banyak yg blm apal.

    Btw, aku juga suka lihat film setting China historical gini.

    Three kingdoms, will be my next movie to watch

    BalasHapus
  10. Masya Allah, keren refleksinya kakak

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...