Jumat, 22 November 2019

Refleksi Fearless: Pertaubatan Tulus Berbuah Keberanian Membela Kebenaran

Ada banyak hal yang mendorong seseorang untuk berpikir hanya dari satu sisi. Entah karena pengaruh didikan, lingkungan, atau zona nyaman, yang membuat seseorang tidak perlu berpikir dari sisi lain. Hal ini acapkali diperparah manakala orang terbiasa 'sukses' dengan suatu budaya atau identitas ataupun merasa terancam oleh perundungan orang sekitar yang berpikir seragam. Jadilah terkadang malas untuk berpikir dari sisi yang berbeda untuk mencari kebenaran secara utuh.

Kadangkala, khilaf tak bisa dihindari ketika berpikir parsial dan tendensius. 

"Pokoknya golongan saya yang benar"

"Siapapun yang masuk kubu A berarti pengkhianat."

Khilaf seperti ini bisa jadi berbuah bencana sosial sistemik, manakala terdoktrin menjadi sebuah keyakinan. Dosenku pernah mewejangkan pada sebuah sesi kuliah, dibuka dengan sesi pertanyaan: 

"Kira-kira, lebih sulit meyakinkan yang mana: orang yang berpikir logis atau orang yang berkeyakinan tapi tidak logis?"

Beberapa mahasiswa merujuk orang yang logis sebagai pihak yang sulit diyakinkan, lantaran butuh data. Dosenku mengungkapkan bahwa dirinya memiliki pendapat berbeda: justru karena bisa diyakinkan dengan data, orang yang logis bisa lebih mudah diyakinkan. Saat itu memang isi kepala mengaitkan antara kecenderungan tidak logis sebagai sebuah kepolosan. Nyatanya, banyak orang di dunia ini punya keyakinan menyimpang, hingga sulit mempercayai data dan fakta. 

Ketika saya menjadi pekerja korporat, manajerku pernah berpesan agar melihat banyak sisi dari suatu hal. Bisa jadi, di titik lain orang melihat persoalan dalam kacamata negatif, ternyata punya implikasi positif di lain sisi. Maka, menurut kesimpulannya bentuk sebuah kebenaran tidak selalu linear. Sebagai tambahan, mas manajer turut mengakui bahwa dirinya kerap salah dalam berpikir dan mengambil sudut pandang. 

"Makanya, kadang orang yang sudah punya ilmu dan jadi ahli pun butuh untuk dibantu berpikir. Pertanyaanya, apakah orang tersebut terbuka untuk mencari bantuan berpikir dan siap berlapang dada menerima bantuan dari yang lain untuk berpikir?"

Maka, dinamika watak seseorang pun tak selamanya linear. Amat langka orang yang memiliki watak hitam putih secara mutlak. Hanya saja, tayangan sinetron kita dewasa ini terlalu nyaman menampilkan pembawaan orang baik yang sangat pasrah dan orang jahat yang zalim di sepanjang tayangan. 

Nyatanya, orang yang pernah membulatkan keyakinan menyimpang hingga skeptis dengan pikiran berbeda, punya saatnya untuk berbalik arah.  Itulah mengapa, selama hayat masih dikandung badan, kesempatan terbaik untuk perbaikan diri selalu terbuka. Dunia ini masih indah, karena selalu ada masa depan bagi orang yang pernah gagal dengan dirinya, dan selalu ada masa lalu bagi mereka yang sudah selesai dengan dirinya. 

Saya ingat bagaimana tahun dua ribu tujuh silam, tak sengaja film Tiongkok yang diperankan Jet Li terputar oleh sebuah stasiun TV. Judul filmnya cukup memukau, Fearless. Terbayang di pikiran,  bahwa karakter utama dalam film ini adalah seorang atlit beladiri serba bisa. 

Huo Yuanjia, demikian nama seorang pemilik wisma beladiri Wushu yang diperankan oleh Jet Li. Yuanjia kecil bertekad mendalami beladiri setelah menyaksikan bagaimana sang ayah, Huo Endi dipecundangi secara brutal oleh lawamnya Zhao. Yuanjia yang kemudian terus meningkatkan kualitas jurus-jurusnya, berubah perangai menjadi keras kepala dan bengis.

Yuanjia pun berhasil membalas kekalahan ayahnya yang tak diperoleh lewat cara yang adil, dengan menaklukkan semua putra Zhao di arena beladiri. Sifat bengis Yuanjia tak lantas berubah setelahnya, meskipun punya banyak murid dan pengikut. Sialnya, Yuanjia selalu memanjakan murid, pengikut, dan semua orang yang sepaham dengannya hingga uang perguruan selalu habis untuk berpesta dan minum arak. Berbeda dengan mendiang ayah yang mengutamakan keadilan dalam bertindak sekalipun dicurangi.  

Suatu ketika, salah seorang pengikut Yuanjia terluka oleh guru perguruan saingan. Yuanjia marah dan menantang bertarung Qin Lei, sang guru tersebut, di sebuah restoran milik teman Yuanjia bernama Jinsun. Lantaran adu otot tersebut membuat pelanggan Jinsun kabur, Yuanjia tak lagi dianggap sebagai teman. 

Perseteruan antara Yuanjia dengan Qin Leo berbuntut panjang. Qin Lei tewas, anak angkat Qin Lei balas membunuh ibu dan putri Yuanjia. Yuanjia pun berang, namun anak angkat Qin Lei melakukan bunuh diri. Kebencian dari perguruan Qin malah semakin menjadi-jadi, hingga Yuanjoa menyadari bahwa salah satu pengikut perguruannya sempat berselingkuh dengan istri mendiang Qin Lei, hingga menyebabkan  kasus persekusi. 

 Yuanjia pun merasa bersalah lalu meninggalkan daerah Tianjin, hingga ia tenggelam di suatu sungai. Seorang nenek bijak bernama Sun dan cucunya yang buta bernama Yueci menyelamatkannya. Dari dua orang tak dikenal ini, Yuanjia kembali meresapi arti pentingnya menjunjung keadilan dan cinta kasih dalam menghadapi persoalan dan musuh. 

Awal abad 20, Yuanjia mencoba menebus segala kesalahannya. Utamanya adalah meminta maaf pada keluarga Qin dan Jinsun. Lantaran saat itu daerah Tianjin sedang dijajah negara lain, mau tidak mau orang Tiongkok yang kalah bertarung dengan penjajah harus siap jadi budak. 

Lawan penjajah pertama yang dihadapi Yuanjia yang telah bertobat adalah seorang pegulat asal Amerika bernama Hercules. Dengan menjunjung keadilan, Yuanjia menantangnya bertarung secara jantan. Hercules menghantam Yuanjia dengan membabi buta, hingga senjata cakar beracunnya terlepas. Yuanjia membuktikan dirinya berbeda, lantas melumpuhkan Hercules sewajarnya lalu menolong dia dari luka senjata makan tuan. Hercules pun merangkul Yuanjia sebagai teman. 

Reputasi Yuanjia kian membaik, hingga integritasnya menjadi mumpuni di hadapan para lawannya. Jinsun pun menjadi investor utama Yuanjia setiap kali digelar pertandingan beladiri dengan bangsa asing. Di tahun 1909, Yuanjia berhasil mendirikan Asosiasi Atlet Wushu di Shanghai. 

Hanya saja, para penjajah mulai khawatir kalau Yuanjia jadi motor perlawanan bangsa Tiongkok. Jadilah mereka menggelar tantangan dimana Yuanjia harus melawan empat jagoan mereka dalam sehari, satu ronde. Para petarung itu berbeda latar belakang: petinju Inggris, ahli tombak Belgia, atlit anggar Spanyol. , beserta seorang samurai dari Jepang. 

Betapapun berat tantangannya, Yuanjia cenderung memilih senjata sederhana sembari meresapi kembali pesan-pesan ayahnya dan nenek sun. Yuanjia mengalahkan tiga atlet dari Eropa, dan tak sengaja mengobrol hangat dengan sang samurai Jepang. Samurai berambut cepak bernama Tanaka ini kemudian merasakan bahwa Yuanjia adalah orang yang berhati tulus, lalu mereka saling bersulang teh. 

Babak terakhir digelar, tepatnya pada 14 September 1910. Berbeda dengan tiga lawan sebelumnya, Tanaka begitu cermat hingga Yuanjoa pun sulit berkelit. Tanaka turut kagum pada stamina Yuanjia yang terus bertahan, kendati mereka sudah sering bertukar senjata dan saling melucuti. 

Miris, kadang orang yang merindukan dam menjunjung keadilan tak serta merta mendapatkan keadilan yang diinginkannya. Teh yang disuguhkan saat Tanaka dan Yuanjia beristirahat sejenak, nyatanya racun telah ditabur untuk Yuanjia. Yuanjia muntah darah di tengah babak, hingga nafasnya sesak. 

   Jet Li, sebagai Huo Yuanjia, teladan tak kenal takut. 

Namun, keberanian Yuanjia melampaui batas nyawanya sendiri. Di babak terakhir dimana Yuanjia dan Tanaka diplot untuk adu tangan kosong, para suporter kedua petarung meminta babak untuk diulang di lain hari. Yuanjia bersikeras menyelesaikan babak terakhir saat itu juga, maka Tanaka menjadi sasaran dari pukulan yang pernah dihempaskan untuk membuat Qin Lei terbunuh. Tanaka terkapar hingga sulit bangun, Yuajia rubuh menghembuskan nafas terakhirnya. 

Dengan suportif, Tanaka mengakui kemenangan Yuanjia.

"Kalau saja dia masih bugar tadi dan serius, aku sudah mati terbunuh" (Tanaka, adegan klimaks Fearless)

Bila anda turut mengalami tatapan pada layar saat film ini ditayangkan, mungkin air mata akan menetes hangat. Bahwa semangat Yuanjia untuk tetap adil meski dicurangi masih bergelora. Manusia mungkin tak kuasa menghadapi kepastian maut, tapi maut tak menjadi gerbang penutup dari tekad. Tekad Yuanjia ini kemudian membuatnya dinobatkan sejarah Tiongkok sebagai pahlawan nasional pengusung Wushu. 

Seperti yang telah diutarakan, ada saja saatnya ketika mengharapkan keadilan, keadilan tak kunjung datang dialihkan oleh kecurangan. Inilah kekejaman dunia yang harus membuat kita siap mental. "Mengharapkan singa tidak memakanmu karena kau tidak memakan singa adalah hal mustahil". Apalagi, berhadapan dengan berlapis konspirasi yang menjadi senjata senyap dari berbagai kepentingan. 

Tapi, dari sisi positifnya, yang bisa diwariskan secara tak kasat mata bukan hanya ilmu beladiri. Melainkan juga tekad, harapan, cita-cita, hingga sikap. Di hadapan warisan tak kasat mata, maut seolah hanya membendung jiwa dan raga. 

Sejarah telah mencatat keberlangsungan tekad dari pahlawan yang gugur pada para pengikutnya. Itulah mengapa selalu ada pembahasan anti rasialisme di Amerika, setelah presiden Abraham Lincoln tewas tertembak. Bisa jadi, itulah mengapa di benak rakyat palestina, perjuangan tak pernah padam setelah Ahmad Yassim dibombardir oleh rudal Israel. Maka, nyawa telah menjadi kurir terbaik bagi tekad dan semangat mereka untuk terserap dalam hati para sahabat dan pengikut. Inilah, suatu antibiotik bagi ketakutan dan kecemasan, keberanian yang dipompa oleh integritas.

FEARLESS!!








5 komentar:

  1. Tulisannya selalu keren-keren nih. Semangat

    BalasHapus
  2. Bagus paragraf terakhirnya. Ada pesan moral yang disampaikan.

    BalasHapus
  3. Wallpapernya samaan ya sm mba maria tanjung.
    Mantep kak tulisannya. Mampir blogku nggeh hehhe

    BalasHapus

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...