Kamis, 02 Januari 2020

Pak, Debit Rencana itu Bukan Takhayul

Bekasi tanggal 1 Januari pukul setengah lima pagi adalah satu dari sekian banyak tanggal dimana telingaku saat itu tak mendengar sayup suara adzan. Alih-alih, hari itu aku dan keluarga besar istri terkejut, lantaran air telah merembes masuk hingga tulang kering kaki. Lantai yang semestinya berwarna putih, bercampur dengan warna kemuning air kali beserta benda-benda yang dihanyutkannya. Anak kami yang masih kecil meminta untuk main, karena sudah jam tujuh pagi pun harus dihalangi, lantaran air terlalu kotor.

Tak butuh waktu lebih dari 24 jam agar air itu surut. Kendati demikian, saat air masih pasang, terdengarlah sayup-sayup suara anak kecil bermain di luar. Rupanya, ember, baskom, dan gelas jadi bekal mereka untuk bercengkrama bersama air bah. Suara air itu begitu merdu, larut bersama tawa mereka. Sebaliknya, riak air itu terdengar sumbang untuk aku yang menyadari bahwa si roda empat tergenang setengah badan.

Ashar tiba, depresi sedikit menghinggapi tatkala melihat bahwa seisi interior mobil telah menjadi kolam, terkecuali bagasi. Orang kiri kanan berkomentar tentang turun mesin, namun tak kugubris hingga tiba waktu untuk memanggil bengkel. Pikiranku jauh lebih tertuju tentang bagaimana agar air tak lama menjadi kolam, dimana yang nyaman untuk berkunjung adalah bayi-bayi lalat dan serangga lain. Dalam hidup, pernah ada suatu kejadian yang sama sekali tidak lucu, saat pernah 'berinteraksi' dengan serangga loreng yang kemudian membuat infus lama menancap di sekujur badan.




Kawasan rumah mertua saat tergenang


Jepang saat tergenang banjir.


Mungkin ini adalah cuplikan rumusnya. Sayangnya, setelah kuliah, saya tidak menseriusinya. Padahal, bila menelusuri lebih jauh, rumus ini bisa menjadi fondasi bagi penaksiran kapan terjadinya banjir. Minimal, bisa menolong diri sendiri untuk menaksir "oh tanggal segini bakal kelimpahan air di rumah", sehingga sebelumnya bisa mengosongkan rumah. Kejadian kemarin, mulai mendidik diri ini bahwa adalah suatu kenaifan bila mengira bahwa setiap segmen kehidupan kita takkan bertemu dengan gejolak alam. 

Menyusul kejadian banjir massal ini, cukup merasa beruntung bahwa internet kekurangan sinyal. Kalaupun sinyal meletup, kepalaku mulai pusing dengan isi media sosial yang dibanjiri hujatan terhadap otoritas a,b,c,d,dan e,....meski tidak menampik bahwa memang kesenjangan itu nyata. Bahwa biasanya yang distigmakan ceroboh adalah warga biasa yang buang sampah sembarangan, sementara pabrik yang membuang limbah berton-ton, sudah biasa pula pasang aparat untuk 'membendung' amarah massa.

Sambil membaca catatan dari Adam Hastara Aji, selaku pemonitor cuaca dari BMKG, saya berjibaku mengeluarkan sisa-sisa air dari mobil. Tak kurang dari 70 menit, meskipun mesin tabu untuk dijalankan karena tersegel unsur-unsur air, paling tidak saya enggan menjadikan seisi jok jadi kolam gratis untuk bayi lalat, larva serangga, hingga jentik nyamuk loreng. Sebagian orang disini cukup paham bahwa saya pernah diospek nyamuk loreng dengan cara yang lebih tidak lucu ketimbang budaya kebanyakan orang termasuk saya yang selalu reaktif menyikapi bencana. Karena selasa malam sudah kadung batuk, jadilah saya enggan keluar ketika suara hujan sudah menyerupai pancuran kolam renang ketikmbang gerimis.
Saat berusaha mengeluarkan air dari jok dengan menggenggam kanebo, perlahan isi kepala berkecamuk. Ingat zaman harus nyebur sungai dengan teman saya yang sudah lama wafat. Ingat rumus drainase, variasi gorong-gorong, hingga diskusi intens dengan pak dosen kepala lab air tentang sewerage. Kini pak dosen saya kemarin sempat masuk rumah sakit kemarin-kemarin, makin berkecamuk perasaan cemas. Cemas itu kemudian menjadi-jadi, saat kemudian genangan air itu memunculkan refleksi. 
Refleksi apa? Tatkala menguras seisi mobil, akupun terkenang pada petuah-petuah seorang dosen professor di jurusan kuliahku. Beliau yang sudah sepuh, acapkali berpesan bahwa merencanakan penanggulangan debit banjir bukanlah sebuah takhayul. Indonesia memang negara perairan, yang penampakan tubuhnya nyaris serupa dengan Jepang. Tapi, setiap tahun, kita, sebagai warga Indonesia lebih banyak menanggapi bencana alam untuk dijadikan bahan politik, lelucon, dan perdebatan yang tak pernah usai. Barangkali, inilah salah satu sebab mengapa dalam kaidah mitigasi, negeri Matahari, menurutku, masih juara. Kalaupun bukan juara, menurut kalian, silakan bandingkan warna air ketika banjir dari kedua negara yang berbeda.

 Silakan bandingkan sendiri. Aku tak hendak menyanjung negara tersebut, melainkan ini adalah persoalan kesiapan kita memahami bahasa alam yang begitu dinamis. Tatkala sang professor, pak Arwin Sabar, berpetuah bahwa debit rencana kuantitas air itu bukan takhayul, semestinya aku menalar dengan membayangkan bahwa gejala alam adalah suatu dinamika yang selalu bersinggungan dengan kehidupan manusia. Tetapi, saat kuliah beliau berlangsung, aku malah ikut arus dengan teman-teman lain untuk mengerjakan hal lain, lantaran bosan dengan petuah 'debit rencana' yang selalu diulang. Padahal, kuliah tersebut adalah refleksi beliau mengenai banjir yang melanda kawasan-kawasan di Indonesia, serta tentang naifnya sebagian besar wacana pembangunan dalam menafsir kekuatan alam.

Apakah yang dimaksud dengan debit rencana tersebut? Mungkin akan berbusa-busa bila aku ungkapkan istilah-istilah ilmiah, maka supaya sederhana sorot saja tafsiran perkatanya. Debit adalah tingkat aliran air, sementara yang dimaksud dengan rencana adalah segala sesuatu persiapan mengenai cara mengendalikan dan mengelola aliran air. Yang termaktub dalam frasa ini, adalah tentang perkiraan perulangan aliran air yang akan melalui sungai, bangunan air, dan infrastruktur lainnya. Katakanlah, dengan rumus dan pendugaan pola air, kita memperkirakan bahwa air kali dekat rumah akan meluap setelah 4 tahun, atau mungkin lebih cepat, dengan membayangkan apakah di sekitar kawasan air tersebut ada pembangunan tertentu atau tidak.

Metode Rasional Modifikasi: contoh  Perhitungan besarnya debit banjir rencana dengan metode rasional menggunakan rumus sebagai berikut : Qt= 0,278 x C x 𝐼𝑇 x A 

Keterangan : Qt = debit banjir (m3 /dtk) 
                     C = koefisien pengaliran 𝐼𝑇= intensitas curah hujan dengan periode ulang T tahun (mm/jam)
                    A = luas areal (km2 ) 

Tentang rumus yang kerap tak saya gubris serius. Q= 0.278. I, T, A. phi, debit rencana banjir. Hanya berpuas diri lulus ujian, kini sesal melanda karena tak menghayati. Tetapi memang begitulah kehidupan, setelah beragam ujian terjadi, barulah kita selaku manusia belajar hal-hal penting, dimana saat kuliah kita belajar dulu baru ikut ujian.
Benarlah teorimu, profesor. Maafkan saya yang kerjanya cuma catat tak membaca ulang. Kalaupun musibah itu memang telah jadi rutin, kapan saatnya otak ini berpikir lebih strategis? Mengapa tak kunjung lebih berpikir preventif daripada reaktif-kausatif?
Ya, apa yang berlalu biar berlalu, mungkin saya akan coba menalar ulang gejala-gejala alam. Dimulai dengan kembali merapal-rapal narasi-narasi dalam buku ekologi, itu paling mudahnya.
Entah kenapa, setelah berlomba-lomba api berlari mencari garis finish di langit, selama bertahun-tahun, tak banyak orang yang sadar bahwa awan dan seisi langit berhak untuk menangis. Menangisi ulah kita yang membuang sampah sembarang, menangisi hutan yang terus dieksploitasi dengan meremehkan reboisasi, membangun gedung-gedung, menara, hingga lupa seberapa kuat dan sabar alam siap menanggung sikap kita yang suka alpha dan ahistoris ini, bahkan mengabaikan larangan Allah yang membuat seisi alam murka. Hingga hari ini, yang membuang sampah sembarangan masih jauh lebih banyak disasar jadi kambing hitam ketimbang yang mengabaikan amdal lalu membuat hidup sebagian orang tak bisa memilih kemana mereka harus membuang sampah dan mewadahi kebutuhan hidup.
Barangkali, selain menyiapkan anak-anak di masa depan dengan pendidikan teknologi terbaik, bukan tidak mungkin harus menyiapkan mereka untuk lebih jeli menafsir gejala alam. Setelah berkali-kali kita banggakan perubahan dunia yang berlangsung cepat berikut iklim digitalnya yang membuat hidup semakin mudah, acapkali kita lupa kekuatan alam yang selalu menopang kehidupan sekloter mahkluk hidup, terlepas apapun gaya hidupnya.
Sebagai seorang ayah, saya pun mulai terilhami dari alam yang kerap 'memberikan kuliah' pada manusia: alangkah cerdasnya para manusia yang bersiap diri menafsirkan gejala alam lalu peduli bagaimana menyajikan hidupnya selaras dengan bahasa anasir-anasir alam.
Kebayoran Baru, 2-1-2020








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...