Kamis, 30 Januari 2020

Manuver Pertama Ustadz Salim Mengabadikan Sejarah yang Terabaikan- Sebuah Resensi 'Sang Pangeran dan Janissary Terakhir"

"Pesantren berdiri berabad-abad, untuk membentengi bangsa Indonesia, membentengi umat Islam, dari pengaruh-pengaruh kekafiran dan dari pengaruh-pengaruh penjajah dan penjajahan, Maka, kalau ada kiai, tidak anti penjajahan, maka itu kiai palsu! Kalau santri tidak anti penjajahan, itu santri palsu. Kalau pesantren tidak anti penjajahan, itu pesantren palsu! Kita ini sedang dijajah, nak!" (Kiai Abdullah Hasan Sahal, akhir 2018). 


Siaran ceramah dari salah satu Kiai Sepuh pembina pesantren Gontor itu memang terdengar provokatif dan mungkin menanamkan amarah sebagian orang. Baik amarah terhadap beliau sang penceramah karena ceramahnya dianggap 'tidak menyenangkan', maupun amarah terhadap situasi yang dipompa oleh 'ghirah'  kesadaran tentang epidemi penjajahan dan penindasan yang masih menimpa sebagian bangsa yang ada di muka bumi, salah satunya bangsa kita, yang baru-baru ini merasakan ancaman di Natuna. Saya adalah orang yang mengemban amarah jenis kedua, dimana pidato sang kiai memantik rasa penasaran tentang premis 'santri palsu adalah yang anti penjajahan', yang berkembang menjadi sebuah pertanyaan besar tertanam dalam kepala.


Rupanya, Ustadz Salim A Fillah, salah seorang da'i yang saya kenal sebagai salah seorang pembina masjid Jogokariyan serta pengisi berbagai tausiyah diluar negeri, menyediakan jawaban atas pertanyaan besar tersebut melalui novel fiksi sejarah yang merupakan debut pertama beliau rahimahullah di bidang fiksi. Adalah 'Sang Pangeran dan Janissary Terakhir', karya beliau yang terangkum dalam halaman sebanyak satu koma dua rim ini, yang memaparkan logika-logika serta alur mengapa santri punya andil besar dalam menentukan perjuangan rakyat, yang dalam konteks buku novel ini adalah perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.  Secara lebih luas, novel ini turut menguraikan bukan hanya perjuangan Kesultanan Yogyakarta trah Hamengku Buwono melawan penjajah kolonial Belanda, melainkan juga tentang turut campurnya para bangsawan Turki dan China, kaum rakyat, patih, dan santri dalam salah satu peperangan dan konspirasi terbesar di pulau Jawa di awal abad 19. Sesuai dengan paragraf awal diatas, kaum santri di era kolonial, yang pemikirannya masih cukup lurus, turut banyak berperan dalam memecahkan pemufakatan jahat para pejabat Keraton yang berkhianat, membuat strategi kaum penjajah kocar-kacir, hingga yang paling rutin: mengobarkan semangat rakyat sipil dari berbagai profesi dengan semangat jihad fi-sabilillah.

Cover Depan Novel SPJT


Membaca novel ini memang cukup menguras energi pada beberapa halaman awal. Selain menantang diri untuk beradaptasi dengan diksi-diksi dan istilah Jawa dan Belanda yang banyak diulang dalam kisah ini, ada beberapa ketegangan dan pertumpahan darah yang cukup mengusik adrenalin. Dengan terus terang, maka label 'explicit content: reader advisory' rasanya tak meleset untuk disematkan pada novel ini. Sebagai tambahan, novel ini bergerak dalam pikiran dengan alur progresif, sehingga kadang muncul beberapa detil yang kadang sekilas terlihat remeh, tetapi mengandung peranan besar dalam interaksi tokoh di sepanjang naskah. Dengan kata lain, mungkin harus sesering mungkin menguatkan mata agar tidak ketinggalan detil-detil yang terjadi.

Bagi saya sendiri, mengunyah segala anasir, konflik, percakapan, perwatakan tiap tokoh, dan perawakan hingga ke hati memang tidak instan terjadi. Tetapi, setelah melewati beberapa ratus halaman awal, novel ini berbalik memberikan energi pada saya. Kembali mengingatkan saya akan inti-inti ajaran tauhid, kaidah-kaidah strategi perang kolonial, permufakatan jahat, perang pemikiran, keterkaitan antara etnis dengan senjata daerah masing-masing, hingga haru-biru peliknya cinta dan romansa antar beberapa tokoh yang bentuknya lebih rumit dari segitiga, bahkan segiempat. Barangkali, novel ini memberikan lebih dari yang digambarkan sub-judulnya: "Kisah, kasih, dan selisih dalam Perang Diponegoro." Dengan menyimak serangkaian konflik dan romansa ini, wawasan dan nurani saya seakan mendapatkan 'ghirah' baru dalam menggali pola-pola interakasi yang terjadi di era kolonial.

Novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (SPJT) ini tak hanya bercerita tentang Pangeran Diponegoro. Alih-alih, justru kisah, lika-liku, dan asal-usul Nurkandam dan Basah Katib, dua bersaudara asal  Turki yang disebut-sebut sebagai salah satu penggerak 'Janissary', barisan tentara kesultanan Turki,  mendominasi novel fiksi sejarah ini. Demikian pula, untuk antagonis utamanya tak hanya berkutat pada para panglima Belanda semisal Van Den Bosch dan Van De Cock, melainkan juga  pengkhianat dalam istana, Patih Danurejo, serta 'anak angkat Kesultanan Yogyakarta' yakni Cao Wan Jie. Bisa disimpulkan, salah satu hikmah dari novel ini adalah suksesnya penjajahan ada karena pengkhiantan orang dalam serta strategi muslihat, sementara gagalnya penjajahan datang dari bersatunya tekad yang dibalut dengan keimanan yang ikhlas dan kompaknya segenap elemen masyarakat mengenali hingga mengendalikan gejala-gejala dan pengaruh-pengaruh penjajahan.

Tokoh-tokoh lain yang turut menjadi kunci dalam rangkaian epos ini, antara lain adalah Nuryasmin-istri Basah Katib, Orhan dan Murad-pengawal setia Basah Katib dan Nurkandam, Siti Fatmasari-putri kedua Danurejo, Kyai Mojo, Gentayu- kudanya Pangeran Diponegoro, hingga Prager-serdadu Belanda yang menaruh hati pada Cao Wan Jie. Dengan adanya tokoh-tokoh ini, interaksi dalam novel SPJT seakan membentuk sebuah ekosistem yang membuat alur cerita lebih kaya. Sedikit bocoran, kata kunci "gudeg" dan "surat Basah Katib" adalah beberapa unsur yang membuat perjalanan epos Perang Diponegoro terisi oleh konflik yang rumit tapi berwarna dan menguak banyak logika yang belum banyak orang sadari.

Seusai membaca ini, saya merasa bahwa kemungkinan besar para pembaca yang mendaras hingga menghayati isi novel ini akan paham beberapa hal: mengapa Pangeran Diponegoro kerap dihujat sebagai fanatik dan radikal oleh kaum penjajah, bagaimana Turki turut mempengaruhi kebudayaan di Jawa, siklus-siklus pengkhiantan dan permufakatan jahat para pejabat pribumi era kolonial, bagaimana 'alam' turut paham siapa yang benar dan salah dalam suatu perang, hingga mengapa keterlibatan para Janissary akhirnya tak tertulis dalam sejarah kebanyakan. Kejutan kecil, memang ada peran binatang buas dalam keberjalanan perang akbar yang terjadi antara 1825-1830 tersebut. Semua akan terjawab dalam rangkaian epos SPJT ini.

Setelah sepuluh hari  membaca SPJT, saya merasa lebih tertarik untuk menguliti strategi perang dan konflik era kolonial bukan hanya yang terjadi di Jawa, tetapi di seluruh pelosok Indonesia. Selain itu, beberapa perwatakan lokasi, tempat, hingga senjata yang ditampilkan turut memicu kembali ghirah saya untuk memahami sunnah-sunnah Rasulullah SAW dan kebudayaan Islam terhadap 'benda-benda mati', yang kadang kurang menjadi perhatian utama dalam banyak kajian agama. Selain itu, narasi-narasi yang tersaji cukup memantik imanjinasi dan mimpi kembali timbul dari mulai kepala hingga dada, berharap mampu untuk seakurat dan semenarik mungkin menyusun narasi dan naskah untuk pahlawan nasional lainnya-berhubung hingga saat ini hobi menulis masih sangat digandrungi-.

Sebelum mengakhiri resensi, saya hampir lupa bahwa ulasan ini bukan hanya tentang novel SPJT , melainkan juga menjadi wadah untuk menyampaikan kesan dan pesan terhadap Ustad Salim A Fillah.

Yang saya hormati, Pak Ustadz Salim, terus terang saya tidak percaya bahwa ini adalah hasil eksperimen pertama ustadz untuk fiksi. Karena hadirnya buku ini seakan tidak menyisakan 'sisa-sisa proses eksperimen' ataupun 'trial-error' yang berkonsekuensi 'plot-hole'. Kendati dirangkai dalam bentuk campuran antara novel tipe konvensional dan flashback progressive yang cukup sulit dibaca secara cepat,  Ustadz sudah sangat rapi dalam mengemas situasi berikut elemen-elemen semiologi terkait beserta penguraian watak dari para tokoh-tokoh yang terlibat di dalam naskah ini. Barangkali, karya Ustadz yang satu ini akan menjadi salah satu referensi utama dalam menyajikan narasi sejarah yang begitu hidup dan interaktif.

Akhir kata, berikut saya lampirkan keterangan data-data dari buku:


Cover Belakan

Judul                        : Sang Pangeran dan Janissary Terakhir -

                                   Kisah, Kasih, dan Selisih dalam Perang Diponegoro

Penulis                     : Ustadz Salim.A. Fillah

Tebal                        : 632 halaman tanpa lembar index   

Penerbit                   : Pro-U-Media

Tahun Terbit           : 2019

Penyunting             :Irin Hidayat

Pemeriksa Aksara  :M. Shiddiq, P

Layouter                : Romadhon Hanafi dan Arya Muslim


ISBN-978-623-7490-06-7






Tabik,

Salah satu jamaah masjid kantor yang fakir ilmu,

Briantono Muhammad Raharjo

30 Januari 2020.

#semuabacasangpangeran

#sangpangerandanjanissaryterakhir





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...