Minggu, 05 Januari 2020

Belajar dari Penyesalan: Seni Menjadi Orang tua


Di suatu waktu, ada seorang profesor yang sedang mengajar hukum notariat di hadapan para mahasiswa S2nya. Mahasiswanya gabungan anak muda lulusan S1 beserta pria wanita yang sudah berkeluarga. Sang profesor adalahpria setengah baya lebih yang terkenal berani mengeluarkan mahasiswanya yang sibuk bermain ponsel maupun yang tidak serius di ruangan tatkala kuliah, disamping terkenal akan prestasinya mengatasi berbagai isu perijinan properti di kotanya.
Salah seorang mahasiswinya ada yang membawa bayi, dan menangis keras tanda rewel tatkala sang profesor masuk ke inti pembahasan kuliah. Segenap hadirin peserta kuliah menatapnya, dan sang mahasiswi tertunduk malu sembari tenangkan bayi mungilnya. Sang profesor hentikan sejenak kuliahnya, dan menghampiri mahasiswinya yang sibuk menenangkan bayinya. Ketika mahasiswinya mengira beliau akan menyuruhnya keluar, beliau malah menggendong bayinya, lalu mengatakan: "oke kita lanjutkan perkuliahan, saudara-saudara". Lalu sepanjang perkuliahan, sang profesor begitu khidmat menerangkan intisari kuliahnya hari itu.
Kala kuliah notariat usai dan hadirin bubar, mahasiswi tadi segera mengambil bayinya seraya meminta maaf: " Pak Dosen, maafkan anak saya rewel mengganggu kelas. Saya malu sudah menginterupsi kelas". Alih-alih gusar, sang professor justru malah menenangkan mahasiswinya: "Kenapa harus minta maaf? Itu sudah alami bagi seorang bayi untuk menangis dan ia masih seorang manusia yang belum tahu banyak hal. Ya saya memang tegas pada mereka yang main-main saat jam perkuliahan; lantaran teman-temanmu dan kamu memang sudah berumur, sepatutnya berdisiplin dan mengendalikan diri".
"Tetapi, bagi saya, kalian semua yang ikut perkuliahan saya adalah keluarga. Anak-anak kalian semua pun adalah cucu saya juga. Dari lubuk hati saya yang terdalam, saya menginginkan peserta didik bukan hanya cakap memangku jabatan dan amanah, namun juga tidak lupa tanggung jawabnya pada keluarga." Sang mahasiswi pun tertegun mendengar sang profesor, dan sang profesor menunjukkan foto keluarganya di mej yang masih hitam putih, hasil cetakan tahun 70an.Sang mahasiswi bertanya dan kagum sekaligus: "Wah anak-anak pak profesor lucu-lucu , bagaimana mereka sekarang
"Ketahuilah, dek. Yang masih hidup menemani saya sekarang hanya si tengah dan si bungsu yang sudah sukses melanglang buana(sambil menunjuk foto), si sulung sudah wafat saat masih balita." Mahasiswinya yang sambil menggendong bayi pun ikut prihatin :"Turut berduka cita pak, maaf saya tidak tahu bapak punya kenangan seperti itu"
Profesor pun melanjutkan: "Tidak apa-apa, ya ini sudah takdirnya, meski saya sering sedih kalau mengingatnya. Ketahuilah, dulu saya sempit memandang bahwa anak bisa sukses kalau ayahnya sukses. Maka saya tenggelamkan diri dalam bekerja agar naik karir, hingga sering saya mengelak sampai berbohong kalau si sulung minta saya menemaninya bermain lantaran lelah dan sibuk. Tidak sibuk pun, saat si sulung merengek dan saya butuh istirahat, tidak jarang saya keluar nada-nada mengecam penuh prasangka . Ah, hingga suatu hari saya harus selesaikan kerjaan mendadak, si sulung minta temani main, saya tolak. Dia akhirnya main sendiri keluar, dan disitulah saya terakhir melihat ia bernafas"
Sembari sedikit berkaca-kaca, beliau menegaskan dengan suara parau: "Kalau saya tegas dalam ruangan kelas, dan tidak ingin mahasiswa bermain-main, itu tidak lain adalah agar kalian bisa menghargai setiap waktu ada; saatnya belajar ya belajar, main ya main. Anak-anak dan orang tua pun butuh waktu bersama kalian, bukan sekedar uang atau ijazah. Uang dan ijazah berharga, tapi takkan ada yang bisa gantikan waktu bersama keluarga."
"Semenjak saat itu, saya manfaatkan setiap waktu yang ada, lalu bercengkerama dengan anak saya yang lain, dan juga saling berbagi iman, taqwa, dan wawasan, dalam teladan. Saya pun tidak malu juga untuk meminta maaf duluan bila saya yang salah dan itu yang membuat hidup saya damai hingga sekarang.. Baik, sepertinya sudah cukup sore, sekarang kita pulang saja. Tuh, anakmu bobo pulaas sekali. "
Lalu profesor dan mahasiswanya berkemas,... Sesaat sebelum profesor bergegas menuju pintu, sang profesor kembali berpesan: "Oh ya mbak, nanti bila kau tak jadi notaris sepertiku, kau tak usah malu menjadi ibu yang bekerja dalam rumah di bidang apapun, asal halal barakah. Kalau kau gagal jadi orang hebat, jangan menyerah untuk menjadi orang tua dan anak yang gigih bagi keluargamu. Kamu nanti akan merasakan bahwa menjadi orang tua adalah pencapaian terbesar yang melampaui kebanggan ijazah ataupun setumpuk predikat mulia"
(Source: Ini Untuk Dibaca, Ayah Edy Parenting)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...