Rabu, 22 Januari 2020

3 Level Kedisiplinan

Semangat pageeee...
Assalamualaikum wr wb;
Salam sejahtera;
Minggu yang lalu ada kawan yang bertanya kepada saya tentang DISIPLIN. Katanya dia masih sulit mendisiplinkan diri sendiri. Ada tips pak?Saya pikir boleh juga nih kita bicara tentang disiplin. Tidak bermaksud menggurui tapi mari kita coba bicarakan akar penyebab kenapa kita dan orang-orang sekeliling kita gak disiplin atau sulit berdisiplin.
Banyak contoh ketidakdisiplinan. Paling mudah dan terlihat nyata ya yang terjadi di jalan raya. Tiap hari saya ke kantor naik motor. Dalam 45 menit perjalanan dari rumah sampai kantor memang sungguh memprihatinkan. Tidak terhitung banyaknya kelakuan tidak disiplin yang diperagakan saudara-saudara kita di jalan.Menyeberang jalan tidak di tempatnya, mobil-mobil saling serobot tidak di jalurnya sehingga memperparah kemacetan ibukota, dan lain-lain, dan lain-lain. Dan yang paling parah dari itu semua, juara bidang ketidakdisiplinan, kita tahu yaitu para pemotor. InsyaAllah saya pemotor yang tidak masuk kategori itu. Mudah-mudahan pada percaya ya? Kalau gak percaya boleh sekali-sekali saya boncengin ke kantor. Dijamin akan menyaksikan kedisiplinan saya hanya saja tidak termasuk disiplin dalam hal kecepatan. Hehehe tapi itu hoax kok...
Bagi pemotor ibukota kayaknya lebih tepat kita sebut gak ada aturan lalu lintas yang berlaku buat motor, karena hampir tidak ada aturan yang terlewat, semuaaaa dilanggar... Melawan arus, nerobos lampu merah, gak pake helm, motornya gak lengkap, masuk jalur cepat, dan lain-lain, dan lain-lain yang kalau kita sebutkan di sini dua halaman juga nggak cukup.
Yang paling prihatin adalah saudara-saudara kita dalam melanggar peraturan itu (kata lainnya TIDAK DISIPLIN), mereka sepertinya tidak punya rasa bersalah ceroboh dan dilakukan secara BERJAMAAH  ikut-ikutan pula, bersama puluhan orang yang lain. Berarti ada penyebab yang kronis dalam hal ketidakdisiplinan ini dan tentunya tidak boleh dibiarkan makin meluas. Bukan tidak mungkin akan mempengaruhi sektor-sektor lain.
Lalu apa urusannya dengan saya ya? Dengan menulis ini apa saya bisa memperbaiki keadaan itu? "Kalau gak bisa ya jangan bawel", gitu mungkin ya komentar para pemerhati blog?
Bener sih, saya dan tiap masing-masing orang sudah pasti gak bisa memperbaikinya secara langsung, tapi bolehlah kita bertukar pikiran mencari akar masalahnya dan memperbaiki paling tidak untuk diri kita sendiri dan lingkungan yang dalam kontrol kita, misal lingkungan pekerjaan. Harapannya fenomena ketidakdisiplinan itu tidak menular ke lingkungan kita baik di keluarga maupun di pekerjaan kita.
Apa sih arti disiplin? Disiplin berarti melaksanakan secara sungguh-sungguh dan konsisten values atau nilai-nilai yang kita yakini atau yang menjadi kewajiban bagi kita. Nilai-nilai itu bisa yang ada di diri kita sendiri seperti agama, keyakinan-keyakinan, rules yang kita tetapkan sendiri karena kita yakini itu baik, dan lain-lain. Juga nilai-nilai dalam keluarga, dalam masyarakat, agama dan negara. Salah satunya adalah peraturan-peraturan lalu lintas yang kita jadikan contoh di atas merupakan salah satu nilai yang harus kita taati.
Menurut saya ada 3 tingkatan orang berdisiplin.

Disiplin Level-1, karena Takut Hukuman
Kita berdisiplin, melakukan perintah, menjauhi larangan, mentaati peraturan, hanya karena takut dengan HUKUMAN atau konsekuensinya. Level ini kalau di bangku kuliah setara dengan nilai C. Lumayan daripada gak lulus dapat D atau E yaitu nilai bagi para pelanggar peraturan baik masuk kategori ringan atau berat.
Ciri Disiplin Level-1 seperti apa? Mudah saja, karena takut dengan hukuman, maka kalau tidak ada atau tidak dilihat pihak-pihak yang bisa menghukum, maka kita cenderung melakukan ketidakdisiplinan atau pelanggaran.
Kita nyerobot lampu merah, melawan arus dan lain-lain karena yakin gak ada polisi yang sedang bertugas di situ atau memang selama ini setahu kita tidak pernah ada polisi di situ atau ada polisi tapi beliau-beliau tidak pernah melakukan penindakan. mungkin kasihan sama kita karena tampang kita sudah memelas dari sononya. Atau polisi dan orang-orang sudah frustrasi dengan para pelanggar, karena kalau ditegur malah galakan para pelanggarnya. Penegurnya malah dipelototin dan di-marah-marahin. Pusing yak...
Friendly speaking, penegakan hukum dengan penerapan hukuman yang konsisten sebenarnya sangat membantu untuk menegakkan disiplin pada awal-awal era penerapannya. Setelah semua orang aware harusnya dengan sendirinya akan menjadi budaya.
Walaupun demikian, sebagai leaders, kita harus hati-hati menerapkan disiplin dengan model "pemaksaan" seperti ini karena tidak selalu efektif.
Di lingkungan pekerjaan, penerapan disiplin dengan hukuman yang tegas biasanya diberlakukan untuk pekerjaan yang memiliki resiko tinggi, misal resiko keselamatan kerja seperti pekerjaan di plants, outdoor dan lain-lain. untuk pekerjaan kantoran lebih banyak dituntut kesadaran pribadi untuk berdisiplin.

Disiplin Level-2, Diri Sendiri
Level kedua ini nilainya B, di atas dari level sebelumnya. Paling tidak, karena di level ini seorang individu tidak perlu "ditakut-takuti" dengan hukuman. Pendek kata orang berdisiplin karena kesadaran dan kemauannya sendiri, baik patuh terhadap aturan atau values-nya sendiri maupun values masyarakat atau negara yang jadi kewajibannya.
Contoh paling kecil dan sederhana tentang patuh kepada diri sendiri misalnya program diet untuk upaya hidup lebih sehat. Perlu kedisiplinan untuk melakukannya dengan baik tapi merupakan urusannya dengan diri sendiri dan bersifat pribadi.
Contoh yang lain, ketaatan kita dalam melakukan ibadah ritual dalam agama kita. Gak ada paksaan kan? Tapi kita melakukannya dengan konsisten.
Untuk urusan ibadah dalam muamalah lain lagi. Lain kesempatan akan dibicarakan. 
Kita sebagai leaders, di keluarga maupun di kantor, punya kewajiban menanamkan dan memperkuat disiplin pribadi ini di lingkungan yang menjadi tanggung jawab kita. Tidak boleh capek untuk saling mengingatkan.

Disiplin Level-3, tumbuh dari Respect dan Berpikir Lebih Jauh
Level ini InsyaAllah rasanya jauh lebih punya impulse daripada dua level sebelumnya. Di Level-3 orang tidak melanggar aturan atau tidak melakukan tindakan-tindakan indisipliner karena adanya RESPECT atau rasa hormat kepada orang lain, lingkungan, aturan dan bahkan ajaran agama dan keyakinannya.
Nilainya setara A, lulus dengan sangat bagus karena selain self dicipline juga sangat dikuatkan dengan respect yang merupakan interaksi dengan orang lain.
Contohnya mungkin lebih mudah masih tentang lalu lintas tadi. Orang lain ramai-ramai nyerobot lampu merah kita tetap berhenti dengan tenangnya di belakang garis menunggu lampu hijau. Jadi manusia aneh? Ya biarin aja. That's what we called cool. 
Kenapa bisa begitu? Itu semua karena kita meyakini bahwa kalau kita nyerobot bisa berbahaya bagi kita dan orang lain dan dengan melakukan itu sadar atau tidak, ada hak orang lain yang kita cederai. Di samping itu pada level ini dipastikan sudah tertanam values dalam diri kita bahwa peraturan itu dibuat demi kemaslahatan umat dan kebaikan bersama.
Di tempat kerja contohnya kita tidak pernah terlambat menghadiri undangan rapat apalagi kalau peran kita sangat diharapkan dalam rapat itu. Bisa begitu? Apa karena ada kenclengan denda 100 ribu bagi yang terlambat hadir rapat seperti yang dulu berlaku di CFU WIB dan NITS? Tidak karena itu. Pendorongnya adalah keyakinan bahwa pada setiap menit rapat tertunda karena menunggu kita, terdapat kerugian para peserta rapat yang sudah hadir tepat waktu.
Apa berdosa kalau kita telat? Saya yakin kita berdosa karena telah berbuat tidak adil atau dholim dalam urusan muamalah.
Contoh lain yang baik misalnya kawan-kawan tidak pernah terlambat datang ke kantor walaupun kita tahu sudah tidak ada lagi sistem absensi menggunakan jam ceklokan seperti jaman saya dulu atau pada era berikutnya agak lebih canggih dikit menggunakan sistem absensi pemindai sidik jari. Boss-boss kita sudah percaya kepada kita makanya beliau-beliau menghapuskan sistem absensi. Buat kantor lumayan gak perlu capek pembelian sistem absensi, buat kita lebih enak karena pada jam pulang gak perlu antri di ceklokan absensi.
Lebih dari itu, kita patut berterima kasih karena sudah dianggap dewasa dan thrusted, sudah disiplin dengan kesadaran sendiri karena respect kepada kantor dan kepada kawan-kawan lain yang membutuhkan hasil kerja kita.
Case para pelanggar aturan di jalan yang tidak merasa bersalah dan ngeyel kalau ditegur, adalah salah satu akibat tidak adanya RESPECT dan lemahnya interaksi lingkungan dan keluarga dalam konteks disiplin. Kita nggak begitu kan?
Maka bila ada di antara kita, saudara atau anggota yang berperilaku begitu, wajib bagi kita untuk amar ma'ruf nahi munkar, menyeru kebaikan, melawan kemungkaran. dengan tangan, dengan mulut atau selemah-lemahnya iman, dengan hati. Paling tidak, kita sendiri harus disiplin dulu, mencapai Level Dua. Begitu lah kira-kira.
Kita harus sadari bahwa setiap langkah kita bisa merupakan teladan bagi orang lain, apalagi bagi keluarga dan posisi kita dituakan dalam keluarga itu.
Mungkin orang tidak menyadari dengan memboncengkan anaknya naik motor ke kantor kemudian dia melawan arus, melabrak lampu merah, grusah-grusuh, itu merupakan bagian dari ajaran-ajaran kita tentang disiplin kepada generasi penerus. Perilaku kita itu akan meresap ke alam bawah sadar anak-anak dan mereka merekam tindakan-tindakan tersebut sebagai tindakan yang legal, wajar, boleh dilakukan. Ngeri bukan?
Oleh karena itu pendidikan tentang respect kepada orang lain, respect kepada aturan, janji, komitmen dan lain-lain sangat penting ditanamkan kepada keluarga kepada anak buah dan lingkungan. Setiap masing-masing dari kita, disadari atau tidak, adalah role model. Tingkah laku kita diperhatikan lingkungan dan mempengaruhi tingkah laku orang lain.
Respect atau rasa hormat, saling menghargai adalah penghulu dari disiplin dan sikap-sikap positif lainnya. Hayo saling menghargai....
Wallohu'alam bishshawab
Wassalamu’alaikum wr wb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...