Senin, 13 Januari 2020

Kelelahan yang Kita Rindukan: Puzzle Kepingan Kenangan Manusia tentang Pengorbanan

Saya masih ingat ketika mempelajari cerita pendek secara serius untuk pertama kali. Momentum itu bertepatan dengan masa menunggu terbitnya kartu tanda penduduk Jakarta dari kelurahan. Saat itu, saya berinvestasi setengah juta, untuk berguru secara resmi kepada salah satu kantor media terkemuka tanah air.  Kebetulan, media tersebut merupakan salah satu majalah yang sering saya 'sempatkan' baca ketika mengunjungi rumah almarhumah nenek. Ketertarikan saya pada dunia mengolah imajinasi, menghilangkan keraguan untuk memilih fiksi sebagai 'mata kuliah' tambahan pada sore hari itu. Sang guru yang mengampu kelas fiksi ini pun bukan sembarang orang, maka tak heran bila kelas yang berkapasitas seratus dua puluh orang itu, terisi sekitar delapan puluh kursi lebih, termasuk oleh saya. 

Guru fiksi tersebut memang seorang sastrawan wanita yang populer sejak awal era tahun 1990. Beberapa karyanya yang monumental antara lain adalah 9 dari Nadira, Malam Terankhir, hingga yang terbaru, Laut Bercerita. Beliau adalah Leila S. Chudori, seorang ibu yang berhasil menurunkan ilmu sastranya kepada putri sulungnya, yang juga turut menelurkan karya dalam 3 tahun terakhir. Sayangnya, sesi berguru pada bu Leila hanya dibatasi dua setengah jam, dan festival menulis yang membuat saya membawa pulang secara gratis 1 buah buku biografi besar itu rupanya hanya "pembukaan". Di akhir sesi bu Leila, disebarlah pamflet pilihan kelas menulis untuk periode setengah tahun dengan tarif yang menghabiskan sepertiga gaji bulanan. Minat sudah ada dalam dada, namun apa daya tahun 2017 adalah salah satu waktu terburuk bagi kondisi finansial saya. 

Setelah belajar mencari uang tambahan dengan berjualan makanan gorengan, saya pun meniatkan diri mengikuti kelas menjadi buku. Kebetulan, meskipun genre yang diangkat adalah kisah testimoni non-fiksi, tetap saja melatih kemampuan saya untuk bercerita secara efektif. Untungnya, saya masuk ke dalam grup dimana para anggotanya saling menyemangati untuk menyelesaikan antologi, dengan bantuan mentor yang suportif. Jadilah Agustus 2018 menjadi momen peluncuran antologi pertama saya. 

Waktu kemudian bergulir hingga pertengahan tahun 2019, dimana saya mendapatkan sesi kuliah cerita pendek yang lebih serius, dari komunitas Excellent Family Writer, atas rekomendasi salah seorang bookseller yang sudah cukup akrab dengan perangai pelanggannya.  Kendati saat itu sudah terjadwal  untuk travellling ke Australia selama satu minggu, saya tetap berusaha menyelesaikan tugas harian dari komunitas ini. Tak pelak, satu atau dua kali saya pernah kena damprat orangtua dan istri, karena terlihat asyik mengerjakan tugas di whatsapp, meskipun sedang liburan. Memang harus diakui, tugas mengulas cerpen yang dipilih oleh komunitas ini membuat mata saya lebih terbuka tentang struktur dan substansi cerita pendek yang lebih kritis. Dari sesi diskusi yang diadakan pasca tugas harian, secara tersirat para mentor menyarankan peserta untuk menjadi 'lebah tanpa sengat'. Maksudnya, setiap kali kita menulis sebuah cerita, diusahkan makna yang terkandung dalam kisah-kisah tersebut menyasar pada permasalahan yang terjadi di sekitar, sehingga setiap paragraf mengandung daya kritik atau pencerahan sosial. 

Seusai lulus di bulan Juli 2019, mulailah saya memacu diri terjun di beragam lomba. Hingga saat tulisan ini diturunkan, tak kurang dari tujuh cerpen selesai dan lahir dari tangan saya, termasuk yang pernah dibaca oleh komunitas One Day One Post: "Kutunggu Engkau di Podium".  

Awalnya, cerita yang saya poles dari kisah teman kuliah lain jurusan yang pernah terlibat narkoba ini, diikutsertakan untuk sebuah lomba yang diadakan sebuah penerbit independen. Tetapi, karena tingginya kriteria penilaian, saya harus cukup puas melihat bahwa cerita ini hanya dinilai 71, dimana juara satu dari lombanya memperoleh nilai 95. Tatkala momen tantangan One Day One Post datang, saya kembali memoles cerita ini, dengan beberapa tambahan materi. Yang cukup melegakan, bercerita di blog tidak dibatasi halaman, sementara syarat lomba sebelumnya lumayan membatasi. Hanya boleh terdiri atas lima halaman, seribu lima ratus kata. Sebuah batasan yang kerap mendorong saya untuk memilah substansi dan diksi berkali-kali, supaya semua kata yang ditulis tidak melewati batas penilaian. Syukurlah, ketika disebarluaskan untuk tantangan blog, ternyata menuai respon positif. 

Esensi yang diambil dari cerita "Kutunggu Engkau di Podium" adalah tentang pengorbanan seorang anak untuk membuat situasi hidup ayahnya lebih baik, kendati sempat berada di posisi pesakitan. Berangkat dari esensi pengorbanan inilah, saya tergerak untuk menyusuri gagasan-gagasan lain tentang warna-warna perjuangan seorang manusia didasari oleh ketulusan.  Maka, besar harapan saya, setelah karya ini tercetak, mampu mengguggah para pembaca, khususnya saya untuk melihat keindahan dibalik suatu pengorbanan. 

Apa yang membuat seorang manusia rela berkorban? Tentu jawabannya beragam, tetapi sebagian besarnya adalah karena penyesalan dan kehilangan. Mengutip lagu berjudul SlipOut, salah satu soundtrack dari anime berjudul Beck, "Regrets Tell Me How, To Make Any Hard Decision.", maka salah satu tujuan utama manusia berkorban adalah untuk menyukseskan kepuasan batinnya dalam memenuhi keputusan sulit. Sebagai contoh, demi mempertahankan harga diri putrinya, seorang ayah rela masuk penjara karena menuntut keadilan pada pemerkosa anak gadisnya, atau mungkin bentuk lainnya, adalah kesetiaan seorang pawang hewan untuk mengutamakan nyawa para satwa, hingga lupa tubuhnya yang sudah renta. Masih banyak lagi contoh-contoh pengorbanan lainnya, yang mungkin saja cukup maksimal untuk menarik gravitasi dari pelupuk mata. 


Berangkat dari pertalian kisah tentang pengorbanan ini, maka saya mencoba menantang diri untuk menyusun belasan kisah lainnya. Takkan ada yang betul-betul serupa dengan "Kutunggu Engkau di Podium", namun  saya jamin benang merah tentang pengorbanannya tak akan lenyap dalam inkonsistensi tema. Beberapa sumber kekuatan yang mungkin akan saya andalkan dalam menyusun barisan kisah -kisah dalam kumpulan cerpen "Kelelahan yang Kita Rindukan, utamanya adalah kenangan tentang orang-orang terkasih dan terdekat yang telah lama menghadap Yang Maha Kuasa, serta beberapa cerita dari komik favorit yang mewarnai masa kanak-kanak dan remaja. 

Sekedar kisi-kisi, dari kompilasi yang insha Allah akan ditelurkan Maret nanti, berikut adalah blurb dari lima cerita yang akan saya upayakan untuk selesai akhir Januari ini: 

1. Pukul 00:00 Tahun 2001: 

Resolusi, resolusi, resolusi. Kata itu tertancap kuat di benak Bagir, keponakanku yang baru saja merasakan masa sekolah menengah pertamanya. Dia bilang padaku tempo hari, bahwa besar keinginannya untuk turut serta meramaikan pesta bakar kambing yang akan diadakan di rumah guru besarku, kendati belum sampai seminggu ia keluar dari bangsal rumah sakit. Aku penasaran, resolusi macam apa yang mau bocah itu laksanakan? Semoga saja bukan tentang bertambahnya koleksi game di rumah yang sudah memenuhi sekujur lemari. Aku masih ingat, betapa cueknya dia terhadap ibunya, kakak sulungku. Sampai-sampai, demi nafsu bermainnya, kakakku harus mengantar dia belanja disaat tubuh sedang meriang. Heran, mengapa lagi-lagi ibuku membolehkan dia? Apakah aku harus kembali jadi anak kecil juga supaya saranku sebagai penempuh spesialis anak akan turut didengar?

2. Jakarta, 2 km/jam:

"Kak Henri, dari buku-buku ini mana yang mau disumbangkan? Jumlah baju kakak saja kalah dari semua tumpukan ini."

"Semua buku ini akan kakak baca selama masih bernafas, Kinan. Memang kata orang, piknik di luar dan bergaul itu penting. Tetapi, buku-buku ini tak pernah kenal soal gosip-menggosip dan memfitnah orang. Bahkan, mereka tak perlu menjilat untuk menyenangkan para pembacanya yang kritis. "

"Hush, Kak! Aku ngeri dengar kata 'masih bernafas'. Nanti kalau kakak tiba-tiba sudah tidak bisa nafas, bagaimana?"

"Ya, tinggal lambaikan tangan dan segera meraih oksigen. Udara itu ada dimana-mana kok, Kinan. Ya sudah, aku pergi meliput dulu. Besok liputan harus naik cetak,nih"

Aku tak pernah menyangka bahwa itu adalah dialog dan momentum terakhir bersama Mas Henri. Sebelum senja yang mencekam itu turut menjadi saksi atas mengepulnya asap dan merembesnya darah di persimpangan jalan. Siapa yang tega berbuat seperti itu padamu, Mas?



3. Tas Selempang di Ruang Tunggu Bandara: 

"Jadi, kamu yang membawa tas saya?"

"Iya, bu. Maafkan saya. "

"Huh! Gara-gara kamu saya ketinggalan pesawat! Sekarang kamu harus tanggung jawab!"

Kemudian ibu berjilbab coklat itu merogoh seisi tasnya. Dibuka kancing utamanya, lalu diobok-obok seisi dalamnya. Dari tatapan matanya menuju  ruang-ruang yang serius, aku cukup memaklumi kerisauan dan kecurigaanya. Seandainya saja waktu bisa kuputar kembali, aku takkan terburu-buru mengambil tas yang salah, higga membuat kesempatannya untuk pulang tertunda. Satu-persatu, kulihat ia menerawang kembali setiap benda yang ada dalam tas berwarna marun itu: kartu penduduk, beberapa lembar dokumen, aksesoris, lalu tatapannya berhenti lama saat membaca secarik kertas krem yang tampak sudah kusut sehabis diremas.  Samar-samar, ku dengar suara sesenggukan, kukira dari ia yang sedang menatap dalam-dalam kertas krem tersebut hingga mukanya tertutupi. 

4. Kabut Pelahap Gema: 

"Jadi, kamu tidak akan tinggalkan bisnis ini, Devie? Lalu bagaimana dengan rencana kita untuk pindah ke luar negeri setelah menikah?"

"Sampai dalam waktu yang tidak bisa kutentukan, nampaknya bengkel ini belum bisa dipercayakan pada siapapun, Faza. Kalau dirimu memang ingin mencari wanita yang siap ikut kamu kemana saja, masih belum terlambat untuk membatalkan semua persiapan akad dan resepsi kita. Aku pun siap menanggung biayanya. Tetapi, sampai dia kembali, bengkel ini tetap aku pegang. "

"Devi, aku mohon kamu realistis. Kita kan sudah lamaran dan tidak mungkin terus tenggelam dalam ketidakpastian. Kita doakan saja dia tetap selamat, sambil kita cari orang yang bisa ambil alih peranmu "

"Ya, aku pun ingin kamu turut mendoakannya. Bagaimanapun, dia kakak iparmu dan sudah menjadi ayah kedua bagiku. "



5. Tangga Menuju Lantai Tiga:

"Diluar sudah malam, Bro. Mending menginap saja dulu. Lagian, lihat ni berapa suhu termometer di HP."

"Subhanallah. Gapapa nih, kalau aku pinjam sofamu sehari?"

"Ya ndak papa. Namanya juga teman. Jadi, visamu habis akhir September ini, Ndan?"

"Ya, per  30 September nanti aku udah ndak sah jadi pelajar New Zealand.  Ha ha ha."

"Nanti kalau mau beberes rumah, boleh ya aku minta beberapa barangmu."

"Tentu saja."

___
___

Zul, bertahanlah. Semoga matamu masih terbuka, saat nanti kusambangi Rembang. Aku masih berhutang banyak sekali padamu. Tentang rantai sepedamu yang sempat kupinjam. Jaketmu yang menghangatkan hari-hari menghadapi dinginnya New Zealand. Rencana kita kembali menjamah benua Australia. Termasuk mencicipi bisnis acara pernikahanmu yang katanya sukses itu. Kumohon, ya Allah, berikanlah Zulkifli lebih banyak kekuatan untuk menghadapi ujianmu. 


Demikian cuplikan dari rencana kumpulan cerpen saya. Bagaimanakah kisah lengkapnya? 

Coming Soon, on March 2020

"Kelelahan yang Kita Rindukan" 

3 komentar:

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...