Senin, 23 Maret 2020

Memilih Guru Agama

Bismillah.
Kalau diurai alasan mengapa saya sukarela mendukung 1610, 411, 212, 112,...dan segala macam kajian sunnah,...mungkin karena saya sejak remaja sudah bertemu dengan berbagai guru ngaji yang notabenenya adalah tetangga rumah saya , dan secara pribadi kuakui aku lebih rela baca ihya ulumuddin ketimbang buku grammar bahasa inggris. . Dari sanalah aku menempa ilmu dasar tentang kalam Allah serta beberapa kecil bagian pembinaan iman.
Maka bila aku ditanya tentang guru agama seperti apa yang ideal, utamanya menurutku yang masih dasar belajar agama adalah beliau beliau yang mengembalikan segala pemahaman pada Al Qur'an dan Sunnah, berikut dengan kecakapan ilmu Tauhid dan juga akhlak yang terpuji. Mungkin kamu kamu akan bertanya: "apakah kamu akan tinggalkan seorang ahli agama atau guru agama, apabila ia berpoligami, tanpa minta izin isterinya?" Jawaban saya adalah tidak akan meninggalkan petuah dan ceramah beliau-beliau!. Aku takkan memungkiri, kamu kamu bisa saja sakit hati, lantaran poligami memang sedikit banyak tinggalkan luka menganga dalam rumah tangga.
Itu hakmu dan cukup rasional, apalagi bila kamu kamu adalah seorang wanita,merasa bukan akhlak terpuji menyaksikan dan tahu ustad teladanmu berpoligami, dan itu adalah hak saya untuk tidak berhenti mendengarkan beliau beliau selagi masih ajarkan kita untuk kembali pada Al Qur'an dan Sunnah , sebagai SOP mutlak seorang muslim serta tunjukkan tuntunan akhlak mulia. Saya baru akan tinggalkan mereka, kalau mereka sudah berhenti mengEsakan Allah lalu menyalahkan ajaran tauhid dan sunnah, tak peduli mereka punya rumah tangga baik dan anak anak yang patut diteladani, bukankah dosa besar nomor wahid adalah menyekutukan-Nya? Untuk mereka-mereka yang sudah terlanjur tinggalkan tauhid dan berkata "semua agama sama", "kitab suci sudah 'exp#####"....aku hanya sekedar berhenti anggap mereka ulama , namun mereka tetap teman kita dalam kemanusiaan.
Aku akan mengulang kisah, bahwasanya zaman dahulu Nabi Musa a.s pun diperingatkan oleh malaikat ketika beliau alaihissalam mengutuk kebiadapan seorang ibu yang membunuh anaknya sendiri; bahwasanya sang Ibu masih sangat berpeluang mendapat ampunan-Nya, ketimbang orang-orang yang berani dengan sengaja tinggalkan ibadah kepada-Nya. Soal engkau benci dengan poligami, aku turut prihatin, dan akupun tidak mengamininya, namun AKU JAUH LEBIH TIDAK SUKA KALAU AD HOMINEM DAN STANDAR GANDA JADI KEBIASAAN YANG MENGAKAR AKUT DALAM MASYARAKAT.
Sungguh aku lebih muak, dengan kebiasaan masyarakat kita yang sedikit-sedikit mengucilkan seorang guru agama lantaran ia poligami , tetapi masih mendukung orang yang gonta-ganti pacar , playboy, playgirl, sebagai sebuah kebanggaan. Apa masih kurang miris, menurutmu, bila kita temukan sebuah keluarga justru malah sukarela biarkan anak2nya pacaran bebas, sementara giliran mereka serius nikah pada umur yang sepadan dan berkecukupan kita tuntut mereka mahar yang tidak masuk akal dan cenderung kita persulit atas nama 'nama baik pada rekan dan tetangga'?
Maka, akupun sering pusing dengan kebiasaan kita menjauhi seseorang yang membuka peluang amal kita, lantaran alasan yang tidak relevan, ataupun kita malah membuka peluang fitnah pada mereka-mereka yang masih berhubungan erat dengan sosok yang kita lawan. Kita menjauhi guru agama, lantaran anaknya ketahuan mencolong, yang padahal beliau-beliau sendiri kewalahan menanganinya, ataupun kita jadikan keluarga ulama yang kita musuhi sebagai bahan rumor tidak sedap tatkala kau ketahui sang ulama dilamar partai yang acapkali sering bikin masalah. Jujur, aku takkan mengamini , mengiyakan penghakiman sempit terhadap para guru agama dan keluarganya, lantaran kesalahan mereka yang masih dibenarkan secara syar;i . Mengapa begitu asyik kita bakar ladang amal dengan fitnah?
Sungguh, kurasakan sekarang, ada beberapa orang yang menurut saya mungkin bukan guru yang betul-betul sempurna dalam kemanusiaan, namun mereka masih mampu menjadi teman dan guru kita dalam ke-Tauhid-an dan habluminnallah. Bukankah yang mendekam dalam neraka 1000 tahun masih lebih melegakan daripada mendekam abadi di dalamnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Tembakan Salvo di Ujung Senja - Briantono Muhammad Raharjo-   1948, Jember   "Mbak Rukmini, kenapa sekarang Bapak hanya jad...